Anda di halaman 1dari 8

Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No.

2, April 2016, Halaman 123-130 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

HUKUM (SANKSI) PIDANA ADAT DALAM PEMBAHARUAN HUKUM


PIDANA NASIONAL
Nyoman Serikat Putra Jaya
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Jalan Prof. Soedarto, S.H Tembalang
Email: putrajaya1948@yahoo.co.id

Abstract

Development of Indonesian criminal law is an effort to make the Indonesian people that has aspired
by Constitustion. One of them through the reform of the legal system that fully recognizes and
respects customary law. Criminal Code draft put the customary law position in a very fundamental
principle. Sources of law or legal foundation to declare an act as a criminal offense, based not only
legislation, but also based on the principle of material legality by give the place to the adat law.

Keywords: Adat Penal Law; Development of Indonesian Criminal Law.

Abstrak

Pembangunan hukum pidana Indonesia merupakan suatu upaya untuk membentuk masyarakat
Indonesia yang dicita-citakan. Salah satunya melalui penataan sistem hukum yang menyeluruh dan
terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum adat. RUU KUHP memposisikan hukum adat
dalam asas yang sangat fundamentil. Sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan
suatu perbuatan sebagai tindak pidana, tidak hanya didasarkan undang-undang, tetapi juga
didasarkan pada asas legalitas materiil yaitu dengan memberi tempat kepada hukum adat.

Kata Kunci: Hukum Pidana Adat; Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.

A. Pendahuluan sistem hukum yang menyeluruh dan terpadu


Pembangunan secara harfiah pada dengan mengakui dan menghormati hukum
hakikatnya adalah suatu kegiatan yang agama dan hukum adat serta memperbaharui
bersifat mengubah keadaan dari yang lama perundang-undangan warisan kolonial dan
menjadi baru, yang dilaksanakan secara hukum nasional yang bersifat diskriminatif
bertahap. Oleh karena itu sasaran termasuk ketidakadilan gender dan
pembangunan adalah manusia Indonesia, ketidaksesuaiannya dengan tuntutan
maka perubahan yang diinginkan itu selain reformasi melalui program legislasi.
tertuju pada kebutuhan, juga akan mengubah Salah satu kesimpulan Konvensi Hukum
sikap dan tingkah laku manusia itu sendiri. Nasional yang diselenggarakan BPHN pada
Oleh karena itu, pelaksanaan pembangunan tanggal 15 s/d 16 Maret 2008 tentang Grand
perlu ditunjang oleh hukum sebagai pengarah Design dalam Perencanaan Legislasi
dan sarana menuju masyarakat Pancasila yang Nasional angka 5 ditentukan,
kita cita-citakan berdasarkan Undang- “Pembangunan Hukum tidaklah terlepas dari
Undang Dasar Negara Republik Indonesia sejarah, karena itu dengan telah dimulainya
Tahun 1945. Sejalan dengan itu, dalam masa reformasi tidaklah berarti kita memulai segala
pembangunan ini, sebenarnya hukum tidak sesuatunya dari nol. Semua hal yang baik
hanya diharapkan akan mampu berfungsi yang ada dalam produk-produk hukum positif
sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan yang sudah ada harus menjadi modal
pengayom masyarakat, tetapi tampil di depan pembangunan hukum, sementara yang tidak
memberi arah pada pembentukan suatu baik dan tidak sesuai lagi harus kita koreksi
masyarakat yang dicita-citakan. Oleh karena dan perbaiki. Pembangunan hukum adalah
itu, yang perlu dilakukan adalah menata konsep yang berkesinambungan dan tidak
123
Nyoman Serikat Putra Jaya, Hukum (Sanksi) Pidana Adat

pernah berhenti sehingga masalah keadilan, B. Pembahasan


penegakan hukum, dan sikap masyarakat 1. L a n d a s a n Yu r i d i s B e r l a k u n y a
terhadap hukum tidak boleh mengabaikan Hukum Pidana Adat
keadaan dan dimensi waktu saat hukum itu Sumber hukum pidana Indonesia adalah
ditetapkan/berlaku, selain tidak bijaksana, hal hukum pidana tertulis dan hukum pidana
tersebut pada gilirannya juga akan berpotensi tidak tertulis. Sumber hukum pidana tertulis
mengingkari asas dan kepastian hukum itu adalah KUHP yang berasal dari Wetboek van
sendiri. Menafsirkan hukum dengan metode Strafrecht voor Nederlandsch Indie, yang
historis selain metode penafsiran lainnya mulai berlaku 1 Januari 1918. Sebelum 1
seperti gramatikal dan sistematis adalah Januari 1918 di Hindia Belanda berlaku 2
penting untuk dilakukan untuk memahami WvS, ialah WvS untuk golongan Eropa
“roh” hukum yang sesungguhnya”. berdasarkan K.B 1866 No.55 dan WvS untuk
Selanjutnya dapat dikemukakan di sini orang Bumiputra dan yang dipersamakan
bahwa pembangunan dalam bidang hukum berdasarkan Ordinantie 6 Mei 1872. Dengan
khususnya pembangunan hukum pidana, demikian, secara formal hukum pidana adat
tidak hanya mencakup pembangunan yang saat itu tidak diberlakukan oleh pemerintah
bersifat struktural, yakni pembangunan penjajah Belanda di Hindia Belanda,
lembaga-lembaga hukum yang bergerak walaupun secara materiil tetap berlaku dan
dalam suatu mekanisme, tetapi harus juga tetap diterapkan dalam praktek peradilan.
mencakup pembangunan subtansial berupa Di era kemerdekaan pemberlakuan
produk-produk yang merupakan hasil suatu hukum pidana adat, mendapat landasan
sistem hukum dalam bentuk peraturan hukum hukum dengan dikeluarkannya UU. No. 1 Drt
pidana dan yang bersifat kultural, yakni 1951, khususnya Pasal 5 ayat (3) sub b, yang
sikap-sikap dan nilai-nilai yang pada intinya memuat tiga hal :
mempengaruhi berlakunya suatu sistem a. Tindak pidana adat yang tidak ada
hukum. Usaha pembaharuan hukum pidana bandingnya/padanannya dalam KUHP
sampai saat ini dilakukan dengan satu tujuan yang sifatnya tidak berat atau yang
utama, yakni menciptakan suatu kodifikasi dianggap tindak pidana adat yang ringan
hukum pidana materiil untuk menggantikan ancaman pidananya adalah pidana
kodifikasi hukum pidana yang merupakan penjara paling lama tiga bulan dan/atau
warisan kolonial, yakni Wetboek van denda lima ratus rupiah (setara dengan
Strafrecht voor Nederlandsch Indie 1915, kejahatan ringan), sedangkan untuk
yang merupakan turunan dari Wetboek van tindak pidana adat yang berat ancaman
Strafrecht Negeri Belanda 1886. 1 pidananya paling lama 10 tahun, sebagai
Berdasarkan latar belakang tersebut, pengganti dari hukuman adat yang tidak
maka perlu adanya kajian akademik yang dijalani oleh terhukum.
berkaitan dengan posisi hukum (sanksi) b. Ti n d a k p i d a n a a d a t y a n g a d a
pidana adat dalam pembaharuan hukum bandingannya dalam KUHP, maka
pidana nasional. Guna memudahkan ancaman pidananya sama dengan
pemahaman, maka pembahasan akan ancaman pidana yang ada dalam KUHP.
didasarkan pada permasalahan sebagai Misalnya : Tindak Pidana Adat Drati
berikut : Kerama di Bali yang sebanding dengan
1. Bagaimanakah landasan yuridis zinah menurut Pasal 284 KUHP.
berlakunya hukum pidana adat? c. Sanksi adat menurut UU Darurat No.1
2. Bagaimanakah keterkaitan antara asas Tahun 1951 di atas, dapat dijadikan
legalitas, sifat melawan hukum dan pidana pokok atau pidana utama oleh
hukum pidana adat? hakim dalam memeriksa dan mengadili
3. B a g a i m a n a k a h R U U K U H P perbuatan yang menurut hukum yang
merumuskan ketentuan terkait dengan hidup dianggap sebagai tindak pidana
hukum (sanksi) pidana adat? yang tidak ada bandingannya dalam
KUHP, sedang yang ada bandingannya
1. Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, hlm. 14.
125
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 2, April 2016

harus dikenai sansi sesuai dengan 1) Putusan Nomor 1644K/Pid/1988


KUHP. tanggal 15 Mei 1991, antara lain
Otje Salman Soemadiningrat menentukan :
sebagaimana dikutip Lilik Mulyadi “Seseorang yang telah melakukan
mengemukakan bahwa hukum pidana adat perbuatan yang menurut hukum yang
berikut sanksi-sanksi adat diupayakan untuk hidup (hukum adat) di daerah tersebut
dihapus dari sistem hukum di Indonesia dan adalah merupakan suatu perbuatan yang
diganti oleh peraturan perundang-undangan melanggar hukum adat, yaitu “delict
sehingga prosedur penyelesaian perkara- adat”. Kepala dan para pemuka adat
perkara pidana pada umumnya disalurkan memberikan reaksi adat (sanksi adat)
melalui peradilan umum. Akan tetapi, terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat
kenyataannya sampai sekarang masih itu telah dilaksanakan oleh terhukum.
terdapat hakim-hakim yang mendasarkan Terhadap si terhukum yang sudah
putusannya pada hukum adat atau setidak- dijatuhi “reaksi adat” oleh Kepala Adat
tidaknya pada hukum yang dianggap sebagai tersebut, maka ia tidak dapat diajukan
hukum adat dengan penafsirannya atas Pasal lagi (untuk kedua kalinya) sebagai
5 ayat 3 UU No. 1/Drt/1951 tersebut.2 terdakwa dalam persidangan Badan
Pengakuan atau pemberian tempat bagi Peradilan Negara (Pengadilan Negeri)
hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis dengan dakwaan yang sama, melanggar
sebagai sumber hukum itu, bahkan ditegaskan
hukum adat dan dijatuhi hukuman
pula dalam aturan yang bersifat umum, yaitu
penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat (3)
dalam :
b Undang-undang Nomor 1 Drt 1951).
a. Pasal 18 B (2) UUD 1945 (amandemen
ke-2). Dalam keadaan yang demikian itu,
Negara mengakui dan menghormati maka pelimpahan berkas perkara serta
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum tuntutan Kejaksaan di Pengadilan
adat beserta hak-hak tradisionalnya Negeri, harus dinyatakan “tidak dapat
sepanjang masih hidup dan sesuai diterima” (Niet Ontvakelijk
dengan perkembangan masyarakat dan Verklaard)”. 3
prinsip Negara Kesatuan Republik 2) Putusan Nomor 984 K/Pid/1996 tanggal
Indonesia, yang diatur dalam undang- 30 Januari 1996, antara lain
undang. berpendirian :
b. UU No. 48 Tahun 2009 tentang “Perbuatan perselingkuhan suami isteri
Kekuasaan Kehakiman. dengan pihak lain yang selama ini
1) Pasal 5 ayat (1) : Hakim dan Hakim dikenal dengan kualifikasi delik
konstitusi wajib menggali, perzinahan ex Pasal 284 KUHP, dan
mengikuti, dan memahami nilai-nilai kasus ini ternyata bahwa bilamana si
hukum dan rasa keadilan yang hidup pelaku (dader) telah dijatuhi sanksi adat
dalam masyarakat. atau mendapat reaksi adat oleh para
2) P a s a l 5 0 a y a t ( 1 ) : P u t u s a n pemangku desa adat, dimana hukum
pengadilan selain harus memuat adat masih dihormati dan hidup subur di
alasan dan dasar putusan, juga dalam masyarakat adat yang
memuat pasal tertentu dari peraturan bersangkutan, maka penuntutan jaksa
perundang-undangan yang terhadap para pelaku (dader) ex Pasal
bersangkutan atau sumber hukum tak 284 KUHP secara yuridis harus
tertulis yang dijadikan dasar untuk dinyatakan tidak dapat diterima” . 4
mengadili. Dengan demikian Mahkamah
c. Putusan Mahkamah Agung Republik Agung mengakui eksistensi hukum
Indonesia. pidana adat beserta reaksi adatnya yang
2.
Lilik Mulyadi, “Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia : Pengkajian Asas, Norma, Teori, Praktik dan
3.
Prosedurnya”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2, No. 2, Juli 2013, hlm. 232.
Mahkamah Agung, Varia Peradilan, Tahun ke VI, No. 72, September 1991
4.
Mahkamah Agung, Varia Peradilan, Tahun ke XII, No. 151, April 1998
124
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 2, April 2016

masih hidup dalam masyarakat formil menentukan suatu perbuatan itu


Indonesia. melawan hukum apabila bertentangan dengan
2. Asas Legalitas, Sifat Melawan hukum tertulis atau undang-undang. Ajaran
Hukum dan Hukum Pidana Adat sifat melawan hukum materiil menentukan
Menurut Muladi, mengkaitkan asas suatu perbuatan melawan hukum tidak hanya
legalitas dengan hukum pidana adat bertentangan dengan hukum tertulis/ undang-
secara serampangan, jelas tidak akan undang tetapi juga bertentangan dengan asas-
cocok. Hukum pidana adat dilandasi asas hukum yang hidup di dalam masyarakat.
falsafah harmoni dan communal Hukum pidana adat termasuk hukum yang
morality akan bertentangan dengan asas hidup atau The Living Law dapat menjadi :
legalitas (principle of legality) yang Sumber hukum positif; dan, Sumber hukum
berporos pada : (1) legal definition of yang negatif dalam arti ketentuan-ketentuan
crime, (2) punishment should fit the hukum pidana adat/The Living Law dapat
crime, (3) doctrine of free will, (4) death menjadi alasan pembenar, memperingan atau
penalty for some offences, (5) no alasan memperberat pidana
empirical research, dan (6) definite 3. Hukum (sanksi) Pidana Adat dalam
sentence, yang merupakan karakteristik RUU KUHP
dari aliran klasik. Asas legalitas dalam Kebijakan yang ditempuh oleh bangsa
arti kontemporer dengan spirit yang Indonesia dalam rangka melaksanakan
berbeda dari aslinya, akan lebih pembaharuan hukum pidana, melalui dua
demokratis, spirit tersebut adalah : (a) jalur, yaitu:
Forward Looking, (b) Restoratif 5 a. Pembentukan Perundang-undangan
Justice, (c) Natural Crime, (d) Integratif pidana yang maksudnya mengubah,
Hukum pidana adat, apabila akan manambah, dan melengkapi KUHP
direkriminalisasi (mencakup “law making” yang berlaku sekarang.
dan “law enforcement”) harus dapat b. Pembuatan Konsep Rancangan Kitab
merumuskan secara jelas empat hal di atas, Undang-Undang Hukum Pidana
yang apabila dijabarkan lebih lanjut akan Nasional guna menggantikan KUHP
mencakup persyaratan sebagai berikut : yang berlaku sekarang.
a. Tidak semata-mata untuk tujuan Usaha membuat draft RUU KUHP yang
pembalasan dalam arti tidak bersifat ad maksudnya menggantikan KUHP yang
hoc. berlaku sekarang sudah dimulai Tahun 1968
b. Harus menimbulkan kerugian atau sampai dengan sekarang telah tersusun
korban yang jelas (bisa aktual dalam terakhir yaitu Konsep KUHP tahun 2015.
delik materiil dan bisa potensial dalam Pasal yang berkaitan dengan hukum
delik formal). (sanksi) Pidana Adat ataupun The Living Law
c. Apabila masih ada cara yang lain yang dalam RUU KUHP tahun 2015 adalah Pasal 1
lebih baik dan lebih efektif jangan dan Pasal 2, yang semula diatur dalam Pasal 1
digunakan hukum pidana. RUU KUHP sebelumnya.
d. Kerugian yang ditimbulkan karena Pasal 1 Konsep KUHP 2015
pemidanaan harus lebih kecil daripada menentukan:
akibat kejahatan. (1) Tiada seorangpun dapat dipidana atau
e. Harus didukung masyarakat, dan dikenakan tindakan, kecuali perbuatan
f. Harus dapat diterapkan secara efektif. 6 yang dilakukan telah ditetapkan sebagai
Diakuinya, hukum pidana adat sesuai tindak pidana dalam peraturan
dengan ajaran sifat melawan hukum materiil perundang-undangan yang berlaku pada
baik dalam fungsinya yang negatif maupun saat perbuatan itu dilakukan.
yang positif. Ajaran sifat melawan hukum (2) Dalam menetapkan adanya tindak

5.
Muladi, “Hukum Pidana Adat dalam Kontemplasi tentang Asas Legalitas”, Makalah dalam seminar “Relefunsi
Hukum Pidana Adat dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Nasional”, Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Denpasar, 16 – 17 Desember 1994, hlm. 2
6.
Ibid, hlm. 3
126
Nyoman Serikat Putra Jaya, Hukum (Sanksi) Pidana Adat

pidana dilarang menggunakan analogi. undangan.


Pasal 2 Konsep KUHP 2015 menentukan : b. Pasal 2 ayat (2) : sepanjang hukum yang
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud hidup dalam masyarakat itu sesuai
dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi dengan (1) nilai-nilai Pancasila, (2) hak
berlakunya hukum yang hidup dalam asasi manusia, dan/atau (3) prinsip-
masyarakat yang menentukan bahwa prinsip hukum umum yang diakui oleh
seseorang patut dipidana walaupun masyarakat bangsa-bangsa.
perbuatan tersebut tidak diatur dalam Dengan demikian, berdasarkan
perundang-undangan. perumusan Pasal 2 ayat (2) tersebut,
(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam diharapkan dapat menjadi kriteria atau
masyarakat sebagaimana dimaksud rambu-rambu/pedoman hukum bagi hakim
pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan dalam menetapkan “hukum yang hidup dalam
nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat” atau “the living law” sebagai
Pancasila, hak asasi manusia dan sumber hukum (legalitas materiil). Kriteria
prinsip-prinsip hukum umum yang ke-1 dan ke-2 bertolak dari rambu-rambu
diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. nasional (nilai-nilai Pancasila dan UUD
Berdasarkan Konsep 2015, sumber Negara Republik Indonesia Tahun 1945) dan
hukum atau landasan legalitas untuk kriteria ke-3 bertolak dari “rambu-rambu
menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak internasional” (mengacu pada istilah “the
pidana, tidak hanya didasarkan pada asas general principles of law recognized by the
legalitas formal berdasarkan UU (Pasal 1), community of nations” dalam Pasal 15 ayat
tetapi juga didasarkan pada asas legalitas (2) ICCPR).
materiil yaitu dengan memberi tempat kepada Berdasarkan perspektif kajian
“hukum yang hidup/hukum tidak tertulis” perbandingan dan kajian keilmuan,
(Pasal 2). Jadi asas kepastian hukum formal pengakuan terhadap eksistensi hukum yang
diimbangi juga dengan kepastian hukum hidup atau hukum tidak tertulis sebagai
secara materiil. Dengan kata lain, sifat sumber hukum bukanlah sesuatu yang asing.
melawan hukumnya perbuatan harus Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
didasarkan pada landasan formal (legalitas a. Hukum kebiasaan atau hukum yang
formal), namun tidak mengurangi eksistensi hidup mendapat tempat sebagai sumber
sifat melawan hukum secara materiil hukum dalam tradisi common law
(legalitas materiil). system maupun dalam sistem hukum
Perluasan asas legalitas materiil yang adat (traditional system law).
memberi tempat kepada hukum yang hidup b. Adanya teori/doktrin/ajaran “SMH
sebagai sumber hukum ini, didasarkan pada : (sifat melawan hukum) materiil”, teori
(a) adanya berbagai kebijakan produk “perbuatan fungsional” atau pengertian
legislatif nasional setelah kemerdekaan ; (b) “perbuatan dari sudut ilmiah”, adanya
kajian sosiologis mengenai karakteristik doktrin “tiada pidana tanpa kesalahan”,
sumber hukum/ asas legalitas menurut dan diakuinya “pendapat ahli/pakar”
pandangan dan pemikiran orang Indonesia atau “ilmu pengetahuan” dalam praktek
yang tidak terlalu formalistik dan terpisah- penegakan hukum, pada dasarnya
pisah/parsial ; (c) berbagai hasil penelitian mengandung arti bahwa yang dapat
hukum adat ; (d) kesepakatan ilmiah/ seminar menjadi sumber hukum (sumber
nasional; dan (e) berbagai hasil kajian dan kepastian) tidak hanya kepastian formal
dokumen/ statmen pertemuan internasional. menurut UU (Hukum tertulis), tetapi
Dalam Konsep walaupun memberi juga “kepastian yang bersifat
tempat kepada hukum yang hidup sebagai materiil/substansial”. Jadi tidak hanya
sumber hukum, namun konsep juga memberi ada “certainty of law” atau “formal
batas-batas berlakunya hukum yang hidup certainty” tetapi juga ada “certainty of
sebagai berikut : (by/in) unwritten law” atau
a. Pasal 2 ayat (1) : perbuatan tersebut “substantive/material certainty”.
tidak diatur dalam perundang- c. Sewaktu menjelaskan KUHP Belanda,

127
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 2, April 2016

Lesing mengemukakan pada intinya, International guna mengadili dan


bahwa secara formal memang “case memidana para pelaku kejahatan
law/unwritten law/ongeschreven recht” perang atau para pelaku kejahatan
bukanlah sumber hukum. Namun dalam terhadap kemanusiaan sehingga
praktek case law itu merupakan sumber mereka tidak diuntungkan dengan
hukum yang amat penting, antara lain adanya praktik impunity.
dengan diakuinya alasan penghapus Di samping merumuskan asas legalitas
pidana di luar UU berupa “tidak adanya sebagai “landasan juridis” untuk menyatakan
sifat melawan hukum” (absence of kapan suatu perbuatan “feit” merupakan
blameunlawfullness) dan “tidak adanya “tindak pidana” (strafbaar feit). Konsep juga
kesalahan/sifat pencelaan” (absence of merumuskan “batasan/pengertian juridis”
blameworthinness).7 tentang sifat/hakikat tindak pidana, dalam
Dokumen-dokumen internasional juga Pasal 12 Konsep. Alur pemikiran yang
memberi peluang diterapkannya “prinsip- melatarbelakangi perumusan pasal tersebut,
prinsip” hukum umum yang diakui oleh merupakan kelanjutan asas legalitas materiil
masyarakat bangsa-bangsa atau “hukum (sifat melawan hukum materiil) dalam Pasal 2
kebiasaan internasional”, seperti : Konsep. Dengan adanya batasan/ pengertian
a. Artikel 15 ayat (2) Konvensi juridis diatas suatu perbuatan yang sudah
Internasional tentang Hak-Hak Politik memenuhi rumusan delik dalam Undang-
dan Sipil. Tidak sesuatupun dalam pasal undang, tidak otomatis (tidak serta merta)
ini yang akan menghambat hak dapat dinyatakan sebagai tindak pidana.
pengadilan dan pemidanaan terhadap Untuk dapat dinyatakan sebagai tindak
perbuatan seseorang (tidak berbuat), pidana (sebagai salah satu syarat dapat
yang pada saat dilakukan merupakan dijatuhi pidana) perbuatan yang telah
kejahatan menurut prinsip-prinsip memenuhi rumusan delik dalam UU itu
hukum umum yang diakui masyarakat (melawan hukum secara formal), harus juga
bangsa-bangsa. bersifat melawan hukum secara materiil
b. Artikel 15 Konvensi Internasional (Pasal 12 ayat 2) dengan menegaskan bahwa
tentang Hak-Hak Politik dan Sipil. setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat
Pasal ini memuat sumber hukum yang melawan hukum (Pasal 12 ayat 3).
dapat dijadikan dasar untuk Konsep berpendirian bahwa sifat
mempertanggungjawabkan seseorang melawan hukum merupakan unsur mutlak
secara pidana, yaitu : dari tindak pidana. Artinya walaupun dalam
1. Hukum nasional atau internasional perumusan delik tidak dirumuskan secara
dan tegas adanya unsur melawan hukum, namun
2. Prinsip-prinsip hukum umum yang suatu perbuatan yang telah dirumuskan
diakui oleh masyarakat bangsa- sebagai tindak pidana dalam undang-undang
bangsa. harus selalu dianggap bersifat melawan
c. Pembentukan : hukum. Jadi perumusan formal dalam
1. The International Military (IMT) undang-undang harus dilihat sebagai faktor
yang berkedudukan di Nurenberg; atau ukuran obyektif untuk menyatakan suatu
2. T h e I n t e r n a t i o n a l M i l i t a r y perbuatan melawan hukum. Ukuran Formal
Tribunal for the far East (IMTFE) atau objektif itupun masih harus diuji secara
yang berkedudukan di Tokyo ; materiil, apakah ada alasan pembenar atau
3. T h e I n t e r n a t i o n a l C r i m i n a l tidak dan apakah perbuatan itu betul-betul
Tribunal for the Former Yugoslavia bertentangan dengan kesadaran hukum
di Den Haag ; dan bermasyarakat. 8
4. T h e I n t e r n a t i o n a l C r i m i n a l Penulis dalam pidato pengukuhan
Tribunal untuk Rwanda di Arusha jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum
yang mengadopsi hukum kebiasaan UNDIP, berpendirian harus ada pergeseran
7. Barda Nawawi Arief, 2008, Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia (Perspektif Perbandingan Hukum),
Semarang, Penerbit Pustaka Magister, hlm. 24 – 25.
8.
Ibid, hlm. 31 – 32.
128
Nyoman Serikat Putra Jaya, Hukum (Sanksi) Pidana Adat

wawasan atau paradigma dalam memaknai Disamping itu terdapat satu Pasal yang
Asas Legalitas dan Asas Keadilan diatur dalam Buku II Bab XXXVII tentang
sehubungan dengan Pemberlakuan Hukum Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Yang
Pidana secara Retroaktif sebagai berikut : Hidup dalam masyarakat pada konsep KUHP
Pertama, Asas Legalitas hanya 2015 dan dirumuskan dalam Pasal 775. Pasal
memberikan perlindungan kepada individu 755 Konsep KUHP 2015 menentukan :
pelaku tindak pidana dan kurang memberikan (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan
perlindungan kepada masyarakat/kelompok yang menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat yang menjadi korban tindak masyarakat dinyatakan sebagai
pidana, sehingga akses untuk memperoleh perbuatan yang dilarang, diancam
keadilan bagi korban terutama korban dengan pidana.
kolektif terhambat. Kedua, Meskipun asas (2) Pidana sebagaimana dimaksud pada
legalitas diakui sebagai asas yang ayat (1) ancaman pidana sebagaimana
fundamental, namun berlakunya tidak secara dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf
mutlak ketika perbuatan tersebut e jo Pasal 102.
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Pasal 68 ayat (1) huruf e Konsep KUHP
umum yang diakui masyarakat bangsa- 2015 mengatur tentang pidana tambahan
bangsa. Ketiga, Pemberlakuan hukum pidana berupa : pemenuhan kewajiban adat setempat
secara retroaktif merupakan pengecualian atau kewajiban menurut hukum yang hidup
dari asas legalitas atas dasar “extra ordinary dalam masyarakat.
crimes”, seperti pelanggaran HAM yang Pasal 102 Konsep KUHP 2015
berat. Keempat, Pemberlakuan hukum pidana menentukan :
secara retroaktif merupakan penyeimbang (1) Dengan memperhatikan ketentuan
asas legalitas yang semata-mata berpatokan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
pada “kepastian hukum” dan “asas keadilan ayat (2) hakim dapat menetapkan
untuk semuanya”. Kelima, pemberlakuan pemenuhan kewajiban adat setempat
hukum pidana secara retroaktif dengan dan/atau kewajiban menurut hukum
kondisi-kondisi tertentu dapat diterima guna yang hidup dalam masyarakat.
memenuhi tuntutan moral pembalasan (2) Pemenuhan kewajiban adat setempat
masyarakat. 9 atau kewajiban menurut hukum yang
Dalam kenyataan atau fenomena dalam hidup dalam masyarakat sebagaimana
penegakan hukum pidana, sering terjadi dimaksud pada ayat (1) merupakan
adanya pertentangan/ perbenturan antara pidana pokok atau yang diutamakan,
tegaknya hukum (kepastian hukum) dan jika tindak pidana dilakukan memenuhi
keadilan. Jika terjadi pertentangan antara ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
kepastian hukum dan keadilan, maka Konsep Pasal 2 ayat (1).
KUHP memberikan jalan keluar sebagaimana (3) Kewajiban adat setempat atau kewajiban
dirumuskan dalam Pasal 13. Pasal 13 Konsep menurut hukum yang hidup dalam
KUHP 215 menentukan : masyarakat sebagaimana dimaksud
(1) Hakim dalam mengadili suatu perkara pada ayat (1) dianggap sebanding
pidana mempertimbangkan tegaknya dengan pidana denda Kategori I dan
hukum dan keadilan. dapat dikenakan pidana p e n g g a n t i
(2) J i k a d a l a m m e m p e r t i m b a n g k a n untuk pidana denda, jika kewajiban adat
tegaknya hukum dan keadilan setempat atau kewajiban menurut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hukum yang hidup dalam masyarakat itu
terdapat pertentangan yang tidak tidak dipenuhi atau tidak dijalankan oleh
dapat dipertemukan, hakim dapat terpidana.
mengutamakan keadilan. (4) P i d a n a p e n g g a n t i s e b a g a i m a n a
dimaksud pada ayat (3) dapat juga

9.Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Reroaktif sebagai Penyeimbang Asas
Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma dalam Ilmu Hukum Pidana), Semarang, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang, hlm. 47 – 48.
129
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 2, April 2016

berupa pidana ganti kerugian. Mahkamah Agung, Varia Peradilan, Tahun


Berdasarkan ketentuan Pasal 102 ke VI, No. 72, September 1991
konsep tersebut, dapat diketahui untuk tindak Mahkamah Agung, Varia Peradilan, Tahun
pidana yang didasarkan pada hukum yang ke XII, No. 151, April 1998
hidup dalam masyarakat atau “the living law”, Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat,
maka pidana tambahan berupa pemenuhan Bandung, Alumni.
kewajiban adat berfungsi sebagai pidana Muladi, “Hukum Pidana Adat dalam
pokok atau pidana yang diutamakan dan Kontemplasi tentang Asas Legalitas”,
dipandang setara dengan pidana denda Makalah dalam seminar “Relefunsi
Kategori I. Jika si terpidana tidak memenuhi Hukum Pidana Adat dan
atau melaksanakan pidana pemenuhan Implementasinya dalam Hukum
kewajiban adat setempat atau kewajiban Pidana Nasional”, Fakultas Hukum
menurut hukum yang hidup dalam
Universitas Udayana, Denpasar, 16 –
masyarakat, maka disediakan pidana
17 Desember 1994
pengganti berupa pidana kerja sosial, pidana
Mulyadi Lilik, “Eksistensi Hukum Pidana
pengawasan, atau pidana penjara, atau dapat
10
juga ganti kerugian. Sudarto mengemukakan Adat Di Indonesia : Pengkajian Asas,
bahwa bagian terpenting dari suatu KUHP N o r m a , Te o r i , P r a k t i k d a n
adalah stelsel pidananya. Stelsel pidana yang Prosedurnya”, Jurnal Hukum dan
ada tersebut dapat dijadikan ukuran seberapa Peradilan, Vol. 2, No. 2, Juli 2013.
jauh peradaban bangsa yang bersangkutan. Serikat Putra Jaya Nyoman, 2013,
Dengan demikian, hukum pidana adat Pemberlakuan Hukum Pidana Secara
dan The Living Law termasuk Sanksi adatnya Reroaktif sebagai Penyeimbang Asas
mendapat tempat dalam pembaharuan Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu
perkembangan hukum pidana nasional baik Pergeseran Paradigma dalam Ilmu
sebagai sumber hukum pidana yang positif Hukum Pidana), Semarang, Badan
maupun sumber hukum pidana yang negatif Penerbit Universitas Diponegoro
serta sangat beralasan atau mendapat Semarang.
pembenaran tidak hanya berdasarkan praktik Sudarto, “Pemidanaan, Pidana dan
hukum kebiasaan nasional tetapi juga di dunia Tindakan”, Jurnal Masalah-Masalah
internasional. Hukum, Tahun XVII – 1987.
Konsep KUHP Tahun 2015
C. Simpulan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia Tahun 1945
Indonesia khususnya RUU KUHP, hukum
pidana adat dijadikan salah satu sumber untuk
menentukan suatu perbuatan dapat dipidana .
atau tidak, baik sebagai sumber yang positif
maupun negatif. Sanksi adat berupa
pemenuhan kewajinan adat, disamping
sebagai pidana tambahan, dapat juga menjadi
pidana yang diutamakan, semata-mata
terhadap pelanggaran hukum adat.

Daftar Pustaka

Nawawi Arief Barda, 2008, Perkembangan


Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia
(Perspektif Perbandingan Hukum),
Semarang, Penerbit Pustaka Magister.

10.
Sudarto, “Pemidanaan, Pidana dan Tindakan”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Tahun XVII – 1987, hlm. 21.
130

Anda mungkin juga menyukai