Anda di halaman 1dari 9

Lex Crimen Vol. X/No.

7/Jun/2021

EKSISTENSI PIDANA ADAT DALAM KERANGKA Pasal V dan Pasal VIII telah berusaha untuk
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL menyesuaikan peraturan-peraturan hukum
(ANALISIS KONSEPSI RANCANGAN KUHP)1 pidana dengan. suasana kemerdekaan, tetapi
Oleh: Evelyna Hasibuan2 pada hakikatnya asas-asas hukum pidana
Meiske T. Sondakh3 kolonial masih tetap mempengaruhi praktek
Deine R. Ringkuangan4 pelaksanaan hukum pidana di Indonesia.
Untuk jelasnya akan diketengahkan bunyi
ABSTRAK Pasal V Undang-Undang Nomor 1 Tahun
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk 1946. Pasal V Undang-Undang Nomor 1
mengetahui bagaimana eksistensi pidana adat Tahun 1946: Peraturan hukum pidana, yang
terhadap hukum positif dan bagaimana pidana seluruhnya atau sebagian sekarang tidak
adat dalam kerangka pembaharuan hukum dapat dijalankan atau bertentangan dengan
pidana nasional di Indonesia. Dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai
menggunakan metode penelitian yuridis negara merdeka, atau tidak mempunyai arti
normatif, disimpulkan: Eksistensi keberlakukan lagi harus dianggap seluruhnya atau
hukum pidana adat Indonesia dari kajian sebagian sementara tidak berlaku.
perspektif normatif bertitik tolak berdasarkan Selanjutnya, perlu disadari bahwa Undang-
ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 adalah hukum
Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, peralihan yang hanya berlaku untuk
ketentuan Pasal 5 ayat (1) Pasal 10 ayat (1) dan sementara dan sifatnya sebagai hukum
Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 peralihan, mewajibkan supaya asas-asas dan
Tahun 2009, Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP dasar-dasar yang lama diuji untuk
Tahun 2008, pendapat doktrina dan membangun tata hukum pidana dan hukum
yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Pada pidana Indonesia yang baru. Akan tetapi,
praktik peradilan, hukum pidana adat terdapat sejarah perkembangan semenjak berlakunya
dalam beberapa putusan seperti delik adat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 hingga
“lokika sanggraha” di Bali berdasarkan Pasal kini menunjukkan dengan jelas bahwa
359 Kitab Adigama jo ketentuan Pasal 5 ayat (3) pengujian masih tetap dilandaskan pada ilmu
sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun hukum pidana itu berjalan sangat lambat dan
1951 dengan adanya sanksi adat sekaligus sama sekali tidak memuaskan, disebabkan si
pemulihan keseimbangan kosmis di dalamnya. penguji belum mempunyai dasar untuk
Terhadap prospek dan dimensi delik adat menguji. . Hal ini mengakibatkan asas-asas
Lokika Sanggraha dalam konteks pembentukan dan dasar-dasar tata hukum pidana dan
hukum pidana nasional maka tergantung aspek hukum pidana kolonial masih tetap bertahan
apakah unsur-unsur delik yang terdapat dalam dengan selimut dan wajah Indonesia yang
Lokika Sanggraha juga ada dan dikenal pada telah merdeka tanggal 17 Agustus 1945 yang
masyarakat adat di seluruh Indonesia. mempunyai kepribadian sendiri. Dalam
Kata kunci: Eksistensi, Pidana Adat, rangka perwujudan tata hukum Indonesia,
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional termasuk juga tata hukum pidana Indonesia,
Pemerintah Republik Indonesia melalui
PENDAHULUAN Direktorat Perundang-undangan
A. Latar Belakang Penulisan Departemen Hukum dan Perundang-
Undang-Undang' Nomor 1 Tahun 1946 undangan telah menyelesaikan tugasnya,
tentang Peraturan Hukum Pidana melalui yaitu dengan berhasil menyusun Rancangan
Undang-Undang Republik Indonesia tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun
1999/2000. RUUKUHP Tahun 1999/2000 itu
1
Artike Skripsi diharapkan dapat menyesuaikan dengan
2
Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM
perkembangan masyarakat yang semakin
17071101360
3
Fakultas Hukum Unsrat, Magister Ilmu Hukum pesat.
4
Fakultas Hukum Unsrat, Magister Ilmu Hukum

208
Lex Crimen Vol. X/No. 7/Jun/2021

Hukum pidana adat adalah hukum yang (library research), yaitu dengan mempelajari
hidup dan akan terus hidup selama ada kepustakaan hukum, himpunan peraturan
manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus perundang-undangan, artike l-artikel, dan
dengan perundang-undangan. Andaikata berbagai sumber tertulis lainnya. Bahan-
diadakan juga undang-undang yang akan bahan yang telah dapat dihimpun tersebut
menghapuskannya, akan percuma juga, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
malahan hukum pidana perundang- metode analisis kualitatif, untuk kemudian
undangan akan kehilangan sumber disusun dalam bentuk suatu karya ilmiah
kekayaannya, oleh karena hukum pidana yang berupa skripsi.
adat itu lebih dekat hubungannya dengan
antropologi dan sosiologi dari hukum HASIL PEMBAHASAN
perundang-undangan.5 A. Eksistensi Hukum Pidana Adat Dalam
Pembaharuan hukum pidana nasional di Kehidupan Hukum di Indonesia
sini dimaksudkan usaha dari bangsa Eksistensi hukum pidana adat ditataran
Indonesia melalui Lembaga Pembinaan yurispudensi Mahkamah Agung RI juga diakui
Hukum Nasional untuk menyiapkan melalui penafsiran sifat melawan hukum
Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab materiil baik dalam fungsi positif dan fungsi
Undang-Undang hukum Pidana yang negatif. Pada yurisprudensi Mahkamah Agung
selanjutnya melalui lembaga pembuat RI yang menerapkan sifat melawan hukum
undang-undang disahkan menjadi Kitab materiil dengan fungsi negatif termaktub dalam
Undang-undang Hukum Pidana Nasional Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 42
sebagai penganti KUHP yang berlaku K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama
sekarang. Melalui apa yang dikemukakan terdakwa Machroes Effendi dimana Mahkamah
diatas penulis tertarik untuk menulis judul Agung membenarkan hapusnya sifat melawan
skripsi: ”eksistensi pidana adat dalam hukum dikarenakan adanya tiga faktor yaitu
kerangka pembaharuan hukum pidana negara tidak dirugikan, kepentingan umum
nasional (Analisis Konsepsi Rancangan terlayani dan terdakwa tidak mendapat untung
KUHP)”, Kata eksistensi menunjuk pada arti serta suatu tindakan pada umumnya dapat
kedudukan dan fungsi dari hukum pidana hilang sifat melawan hukum bukan hanya
adat dalam konteks pembentukan KUHP berdasarkan suatu ketentuan dalam
nasional. perundang-undangan, melainkan juga
berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas
B. Perumusan Masalah hukum yang tidak tertulis . Adapun dasar
1. Bagaimana eksistensi pidana adat pertimbangan diakui eksistensi hukum (pidana)
terhadap hukum positif? adat disebutkan dengan redaksional sebagai
2. Bagaimana pidana adat dalam kerangka berikut: “Bahwa Mahkamah Agung pada
pembaharuan hukum pidana nasional di azasnya dapat membenarkan pendapat dari
Indonesia? Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu
tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya
C. Metode Penelitian sebagai melawan hukum bukan hanya
Penelitian ini merupakan penelitian berdasarkan suatu ketentuan dalam
normatif, yaitu terutama mengkaji kaidah- perundang-undangan, melainkan juga
kaidah (norma-norma) hukum, baik dalam berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas
hukum positif maupun dalam rancangan hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum
undang-undang yang telah ada. Untuk sebagaimana Pengadilan Tinggi dianggap ada
menghimpun bahan yang diperlukan dalam perkara penggelapan yang formil
digunakan metode penelitian kepustakaan terbukti dilakukan oleh terdakwa.”
Dengan tolok ukur sebagaimana dimensi di
atas, maka berdasarkan kasus Machroes Effendi
5
Hilaman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Bandung, inilah timbul suatu yurisprudensi Mahkamah
Alumni, 1984, hlm.20.

209
Lex Crimen Vol. X/No. 7/Jun/2021

Agung dengan Nomor 42 K/Kr/1965 tanggal 8 dan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar
Januari 1966 yang jelas menganut azas Nomor 25/Pid.B/1986/PN.Dps, dipergunakan
“perbuatan melawan hukum materiil” terminologi “Logika Sanggraha”.22 Akan tetapi
(Materiile Wederrechtelijkheid) dalam artian sebenarnya terminologi ini relatif kurang begitu
Negatif. Sedangkan yurisprudensi Mahkamah tepat. Berdasarkan pasal 359 Kitab Adigama,
Agung yang berpendirian perbuatan melawan maka “Lokika Sanggraha” berasal dari bahasa
hukum materiil dalam fungsi Positif terdapat sansekerta, yakni Lokika berasal dari kata
dalam perkara Putusan Nomor 275 K/Pid/1983 “laukika” berarti orang umum, orang banyak.
tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Sedangkan Sanggraha berasal dari kata
Drs. R.S. Natalegawa. Pada asasnya, “Samgraha” yang berarti pegang (dalam arti
yurisprudensi Mahkamah Agung ini luas), sentuh, hubungan. Kemudian dalam
pertimbangan putusannya bersifat futuristis Kamus Jawa-Indonesia, dijelaskan bahwa
dengan titik tolak penafsiran yang keliru pengertian Lokika (I) adalah masyarakat,
pengertian “melawan hukum” dari yudex facti penduduk, dunia, adat (tata) cara, tuduhan dan
diidentikan sebagai “melawan peraturan yang dakwaan. Maka kalau dipergunakan istilah
ada sanksi pidananya”,17 sebagaimana “Logika Sanggraha” dimana Logika berasal dari
dikatakan dengan redaksional sebagai berikut: Logic, Logis (bahasa latin) sedangkan Sanggraha
“Menimbang, bahwa menurut Mahkamah dari bahasa Samskerta, maka menurut persepsi
Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan saya dapat dikategorisasikan ke dalam gejala
hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya bahasa “salah kaprah”.
dihubungkan dengan policy perkreditan direksi Dimensi “Lokika Sanggraha” merupakan
yang menurut Pengadilan Negeri tidak Delik Adat. Banyak sarjana mengemukakan
melanggar peraturan hukum yang ada sanksi asumsinya tentang Delik Adat. Berdasarkan
pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang pendapat dari Ter Haar, Soepomo dan Soerojo
sudah berkembang dalam ilmu hukum, Wignjodipuro maka delik adat merupakan
seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas suatu perbuatan yang melanggar perasaan
hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang keadilan dan keputusan yang hidup dalam
bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat, yang menyebabkan ketentraman
masyarakat.” dan keseimbangan menjadi terganggu sehingga
pemulihan terhadap hal itu diperlukan reaksi-
B. Praktik Hukum Pidana Adat Dan reaksi adat. Mengenai reaksi adat ini Lesquiller
Rancangan Undang-Undang KUHP menyebut tindakan-tindakan pengembalian
Nasional ketentraman magis yang diganggu dan
Delik Adat “Lokika Sanggraha” merupakan meniadakan atau menetralisir suatu keadaan
delik adat bersifat spesifik dan hanya terdapat sial yang ditimbulkan oleh pelanggaran adat.
di Bali, dan juga dikenakan bagi mereka yang Oleh karena itu dengan demikian jelaslah Delik
tunduk pada hukum Adat Bali, sehingga dengan Adat pada prinsipnya mempunyai elemen-
demikian, jikalau salah satu fihak saja tunduk elemen :
kepada hukum adat Bali, maka di sini eksistensi (1) Pelanggaran terhadap norma-norma
Delik Adat Lokika Sanggraha tidak nampak di adat atau perasaan keadilan
dalamnya. masyarakat ;
Dikaji dari perspektif teknis yuridis (2) Pelanggaran bersangkutan akan
sebagaimana tersebut pada Putusan Pengadilan menimbulkan kegoncangan
Negeri Denpasar Nomor 104/PN.Dps/Pid/1980, keseimbangan hukum masyarakat ; dan
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
2/Pid.B/1985/PN.Dps, Putusan Pengadilan
Negeri Denpasar Nomor 66/Pid.B/1985/PN.Dps

22
Lilik Mulyadi, Delik Adat “Lokika Sanggraha“ Di Bali,
17
H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Majalah Varia Peradilan, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim
Jakarta, 2007. hlm 41. Indonesia), Jakarta, Oktober, 1987, hlm 39.

210
Lex Crimen Vol. X/No. 7/Jun/2021

(3) Terhadap pelanggaran itu maka hukum pihak wanita dimana si pria mengingkari
adat memberikan reaksi pemulihan janjinya. Dengan demikian Delik Adat ini
sehingga keseimbangan terwujud. merupakan delik aduan (Kracht-Delicten). Pada
Deskripsi di atas telah menimbulkan dasarnya, delik adat Lokika Sanggraha banyak
pengertian tentang Delik Adat beserta terjadi dalam praktik peradilan di Bali. Dari
eksistensinya. Sehinga secara “ipso facto” maka kalangan akademisi khususnya Fakultas Hukum
berdasarkan Pasal 359 Kitab Adigama, Universitas Udayana pernah mengadakan
perumusan Delik Adat Lokika Sanggraha adalah inventarisasi putusan Pengadilan Negeri
: Malih lokika sanggraha, loewir ipoen, djadma Denpasar dan Pengadilan Negeri Gianyar
mededemenan, sane mowani neherang deen tentang eksistensi pemidanaan Delik Adat
ipoen, djening djirih patjang kesisipang, awanan Lokika Sanggraha. Sedangkan variasi putusan
ipoen ngererehang daja, saoebajan iloeh yang dijatuhkan terlihat pada pidana minimun 1
kesanggoepin ; wastoeraoeh ring (satu) bulan penjara dan maksimal 9 (sembilan)
papadoewantoengkas paksana, sane loeh bulan penjara dan pidana penjara dengan
ngakoe kasanggama, sane mowani nglisang percobaan minimum 5 (lima) bulan dan
mapaksa ngoetjapang dewek ipoen kaparikosa maksimal 2 (dua) tahun. Pada hakikatnya
antoek iloeh, jan aspoenika patoet tetes penjatuhan pidana di Indonesia berdasarkan
terangang pisan, jan djati imowani menemenin pada Asas legalitas (Nullum Delictum Nulla
wenang ipoen sisipang danda oetama sahasa Poena Siene Pravaelege Poenali) yakni konsepsi
24.000, poenika mawasta Lokia Sanggraha, Paul Johan Anseln Von Feurbach (1775–1883)
oetjaping sastra. Sedangkan terjemahan sebagaimana termaktub dalam pasal 1 ayat (1)
bebasnya : Lagi Lokika Sanggraha yaitu : orang KUHP. Asas ini kalau dikaji sebenarnya lebih
bersanggama, yang peria tidak berlanjut menekankan aspek “Recht-Zekerheids”,
sukanya, karena takut akan dipersalahkan, sehingga mempunyai sifat :
makanya mencari daya upaya, janji si wanita (1) Bahwa hukum pidana yang berlaku di
disanggupi, akhirnya sampai di pengadilan, Indonesia merupakan ketentuan tertulis ;
berbeda pengakuannya si wanita mengaku (2) Bahwa hukum pidana tidak bersifat
disenggama, si peria seketika menyatakan retro-aktif ; dan
malah dirinya yang diperkosa oleh si wanita. (3) Bahwa penafsiran analogi dilarang ;
Kalau demikian harus diusut agar jelas, kalau Melihat aspek konteks di atas, maka
benar si peria yang berbuat, patut ia dihukum eksistensi pemidanaan Delik Adat Lokika
denda ; 24.000,- itu yang disebut Lokika Sanggraha di Pengadilan Negeri Denpasar
Sanggraha sesuai bunyi sastra. berorientasi pada ketentuan Pasal 5 ayat (3)
Dari ketentuan Pasal 359 Kitab Adigama dan sub b Undang-Undang Dart Nomor 1 Tahun
hasil Rumusan Seminar “Delik Adat Lokika 1951 jo Pasal 359 Kitab Adigama. Pasal inilah
Sanggraha” yang diadakan FH Unud tanggal 19 yang yang merupakan titik tolak Putusan
oktober 1985, maka pengertian secara umum Pengadilan Negeri Denpasar yakni Putusan
delik Adat Lokika Sanggraha adalah hubungan Nomor 104/Pid/1980/PN.Dps dengan hakim
percintaan antara pria dan wanita yang kedua- tunggal Sof. Larosa, SH, kemudian Putusan
duanya sama-sama tidak berstatus kawin yang Nomor 2/Pid.B/1985/PN.Dps. dengan Ketua Ny.
telah melakukan persetubuhan dengan janji LP Sulatri, SH, lalu Putusan Nomor
kawin, akan tetapi janji tersebut tidak ditepati 66/Pid/B/1985/PN.Dps dengan Ketua majelis
oleh satu fihak. Inti/hakikat yang tercermin Jotje S. Lepar dan putusan Nomor
melalui perumusan tersebut, ternyata delik 25/Pid/B/1986/PN.Dps dengan Ketua Majelis
adat Lokika Sanggraha merupakan delik formal R.M. S.A. Djajaningrat, SH.Dari seluruh putusan
karena unsur kehamilan bukanlah merupakan tersebut unsur Delik Adat Lokika Sangraha
unsur esensial untuk adanya Delik Adat ini disebutkan : Persetubuhan benar dilakukan di
dimana yang penting adalah unsur “janji” tidak luar kawin antara 2 orang yang sudah akil balik
ditepati oleh si pria. Sedangkan munculnya dasar suka sama suka dimana pihak laki-laki ada
pelaku Delik Adat Lokika Sanggraha di janji mau mengawini wanita yang diajaknya
pengadilan dikarenakan adanya pengaduan dari persetubuhan di luar kawin itu ; Namun

211
Lex Crimen Vol. X/No. 7/Jun/2021

ternyata si laki-laki mengingkari janjinya Kalau dikaji lebih detail, bagi masyarakat Bali
tersebut. Delik Adat Lokika Sanggraha merupakan
Kalau dilihat unsur Delik Adat ini, ternyata perbuatan pidana yang mengganggu perasaan
masalah “hamil” bukanlah merupakan unsur hukum dan perasaan keadilan dalam
esensial untuk dapat dipidana seseorang masyarakat adat yakni mengganggu
melakukan Delik Adat Lokika Sanggraha. Tetapi keseimbangan kosmos baik alam lahir dan alam
lebih urgen dari semua itu adalah masalah gaib. Apabila kalau dikorelatifkan ke dalam
pengingkaran “janji” mau mengawini seorang KUHP ternyata perbuatan tersebut tidak diatur
wanita yang telah diajaknya bersetubuh akan di dalamnya. Hal ini merupakan konsekuensi
tetapi tidak dilakukannya. Hal ini nampak pada logis berlakunya asas konkordasi. Dalam KUHP
dasar pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 10 maka jenis pemidanaan
Denpasar Nomor 2/PID/B/1985/PN.Dps dimana berupa “pemulihan kewajiban adat” tidak
unsur janji merupakan unsur penting dikenal di dalamnya. Kalau seorang pelaku Delik
sedangkan masalah hamil bukanlah unsur Adat lokika Sanggraha telah dijatuhi pidana
pokok, apabila unsur pengingkaran janji telah penjara, ternyata bagi masyarakat adat
terbukti dengan didukung saksi (tanpa kuranglah sempurna tanpa diikuti pemulihan
menyalahi ajaran Unus Tertis Nullus Tertis) kewajiban adat guna mengembalikan keadaan
serta hakim yakin, maka pelakunya dijatuhi kosmos yang terganggu. Sehingga bagi
pidana berdasarkan Pasal 5 ayat 3 sub b UU masyarakat adat Bali menghendaki
Dart Nomor 1 Tahun 1951 jo. Pasal 359 Kitab penyelesaian bersifat materiil juga hendaknya
Adigama. diikuti pula penyelesaian bersifat immateriil
Hikmah lain dari seluruh putusan yang serta berorientasi bersifat keagamaan.
diteliti ternyata Delik Adat Lokika Sanggraha Penjatuhan pidana dalam hukum adat Bali
unsur-unsurnya tidaklah dapat ditemukan bertujuan mengembalikan keseimbangan alam
dalam KUHP, akan tetapi hakim tetap kosmos yakni alam lahir (“sekala”) dengan alam
menjatuhkan pidana kepada pelakunya. Hal ini gaib (“niskala”) yang telah terganggu, oleh
sebenarnya berorientasi kepada Pasal 50 ayat karena itu aspek agama Hindu berupa tata
(1) UU Nomor 48 Tahun 2009 yang upacara keagamaan merupakan hal
menentukan, “Putusan pengadilan, selain harus fundamental di dalamnya.
memuat alasan dan dasar putusan, juga Sebagai misal dapat disebut bahwa suatu
memuat pasal tertentu dari peraturan Delik Adat Lokika Sanggraha yang dilakukan di
perundangan-undangan yang bersangkutan sebuah tempat suci (Pura), kemudian oleh
atau sumber hukum tidak tertulis yang hakim pelakunya dijatuhi putusan sesuai Pasal 5
dijadikan dasar untuk mengadili”. Selain itu ayat 3 sub b UU Dart. Nomor 1 Tahun 1951 jo
masih juga ada tugas hakim sebagaimana Pasal 359 Kitab Adigama yakni selama 3 (tiga)
tertuang dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU bulan penjara. Akan tetapi hal ini tidaklah
Nomor 49 Tahun 2009. Konsekuensi logis hal ini cukup. Menurut Agama Hindu Pura merupakan
pula maka bergeserlah ketentuan Pasal 1 ayat tempat suci dan keramat, sehingga untuk itu
(1) KUHP tentang asas “Legalitas” dari pelakunya selain dijatuhkan putusan penjara
ketentuan pengertian melawan hukum formal tersebut haruslah pula dibebankan kewajiban
ke melawan hukum yang bersifat material. untuk mengadakan upacara keagamaan di
Secara implisit eksistensi pemidanaan Delik tempat tersebut sehingga alam kosmos yang
Adat Lokika Sanggraha dalam Praktik peradilan terganggu (“sebel”), jadi pulih kembali.
di PN Denpasar berorientasi kepada pasal 5 Penyelesaian demikian itu menurut
ayat 3 sub UU Dart. 1/1951 jo. Pasal 359 Kitab pandangan masyarakat Adat Bali erat sekali
Adigama dengan tanpa adanya pidana hubungan dengan konsepsi Agama Hindu itu
tambahan berupa kewajiban Adat bagi sendiri yakni berupa Tri Hita Karana atau Tiga
pelakunya untuk mengembalikan Hal yang menyebabkan kebahagiaan. Tri Hita
keseimbangan kosmos yang telah terganggu Karana itu mempunyai dimensi berupa
itu. Parhyangan (keselarasan hubungan Pencipta
dengan manusia sebagai mahluk ciptaannya),

212
Lex Crimen Vol. X/No. 7/Jun/2021

Pawongan (keselarasan hubungan manusia tersebut tidak diatur dalam peraturan


yang satu dengan yang lain) dan Pelemahan perundang-undangan.
(keselarasan hubungan antara manusia dengan (4) Berlakunya hukum yang hidup dalam
alam sekelilingnya). Hal-hal inilah yang masyarakat sebagaimana dimaksud
melandasi mengapa penyelesaian Delik Adat pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan
Lokika Sanggraha bagi masyarakat Adat bali di nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-
samping diinginkan berupa pidana penjara juga prinsip hukum umum yang diakui oleh
ditambah kewajiban adat di dalamnya. masyarakat bangsa-bangsa.
Bagaimana mengenai dimensi delik adat Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP memberi
Lokika Sanggraha dalam konteks pembentukan landasan diterapkan Delik Adat khususnya
hukum pidana nasional? Mengenai masalah dalam pembicaraan ini Delik Adat Lokika
Delik Adat Lokika Sanggraha dalam konteks ini Sanggraha. Jikalau pasal 1 ayat (3), (4) ini
khususnya dapat dilihat dari pelbagai sudut. dihubungkan dengan ketentuan Asas Legalitas
Pertama, apakah unsur-unsur delik yang dalam pasal 1 ayat (1) KUHP maka
terdapat dalam Lokika Sanggraha juga ada dan menimbulkan permasalahan yakni ia berlaku
dikenal pada masyarakat adat di seluruh dalam artian formal ataukah materiil. Mengenai
Indonesia. Hal ini penting sekali sifatnya oleh hal ini banyak pendapat sarjana dilontarkan
karena dengan dikenal dan diakuinya delik dimana satu pihak tetap mempertahankan
tersebut proses kriminalisasi dapat mencapai sebagai hukum tertulis dimana pelanggarnya
tujuan secara lebih sempurna sehingga untuk dijatuhkan pidana berdasarkan pasal 5 ayat 3
itu nantinya tidak diharapkan adanya keadaan sub b UU Dart. 1/1951 sedangkan pendapat
“eenmalig”. Kedua, dengan penerapan delik Zainal Abidin memberi jalan keluar untuk
adat ini ke dalam Hukum Pidana Nasional sementara yaitu hendaknya Delik Pidana Adat
mendatang maka harus juga dipikirkan dianggap sebagai Delik Aduan (Kracht-Delicten).
mengenai masalah Pasal 1 yat (1) KUHP tentang Sehingga melalui aspek tersebut di atas,
Asas Legalitas dimana akan bergeser dari usaha kriminalisasi terhadap Delik Adat Lokika
ketentuan melawan hukum formal ke melawan Sanggraha dalam hukum pidana nasional
hukum materiil. Ketiga, variasi penjatuhan mendatang perlulah diteliti mengenai eksistensi
pidana apakah telah dipikirkan mengenai perbuatan tersebut. Hal ini penting sifatnya
pidana tambahan berupa kewajiban adat yang oleh karena pernah dalam praktik peradilan
memang belum diatur di dalamnya. bahwa hakim tidak menjatuhkan pidana adat
Ketiga sudut pandang tersebut merupakan daerah terhadap unsur-unsur yang identik
kendala bagi penerapan pembentukan Hukum dengan Delik Adat Lokika Sanggraha akan tetapi
Pidana nasional terhadap eksistensi dan hakim menterapkan ketentuan pasal 378 KUHP
pengangkatan Delik Adat. Kalau kita lihat, maka yakni melalui Putusan Pengadilan Tinggi Medan
konsepsi RUU KUHP Tahun 2008 Pasal 1 Nomor 144/Pid/1983/PT-Mdn dengan
menyebutkan : memperluas pengertian “barang” sebagaimana
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau ketentuan Pasal 378 KUHP termaksud juga
dikenakan tindakan, kecuali perbuatan “jasa” atau “kepuasan sex”.
yang dilakukan tetap ditetapkan Dengan demikian prospek Delik Adat Lokika
sebagai tindak pidana dalam Sanggraha dalam hal pembentukan hukum
perundang-undangan yang berlaku pidana nasional mendatang haruslah melalui
pada saat perbuatan itu dilakukan. proses penelitian apakah unsur-unsur delik ini
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dikenal dalam masyarakat adat seluruh
dilarang menggunakan analogi. Indonesia apakah tidak. Akan tetapi RUU KUHP
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Tahun 2008 khususnya ketentuan Pasal 1 ayat
ayat (1) tidak mengurangi berlakunya (3), (4) memberikan landasan penterapan
hukum yang hidup dalam masyarakat pidana adat untuk berlakunya pada masyarakat
yang menentukan bahwa seseorang Indonesia.
patut dipidana walaupun perbuatan Pidana Pemenuhan Kewajiban Adat Dalam
RUU KUHP Tahun 2008, Pada asasnya, secara

213
Lex Crimen Vol. X/No. 7/Jun/2021

substansial sistem hukum pidana adat RUU KUHP menentukan, “pemidanaan


berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung bertujuan menyelesaikan konflik yang
dalam suatu masyarakat dengan bercirikan asas ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
kekeluargaan, religius magis, komunal dengan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai
bertitik tolak bukan atas dasar keadilan individu dalam masyarakat”, sehingga agar dapat
akan tetapi keadilan secara bersama. terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada
Konsekuensi logis dimensi demikian maka praktik penegakan hukum telah ditentukan pula
penyelesaian dalam suatu masyarakat adat adanya eksistensi pidana tambahan
berlandaskan pada dimensi penyelesaian yang sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf
membawa keselarasan, kerukunan dan e berupa, “pemenuhan kewajiban adat
kebersamaan. Tegasnya, hukum pidana adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
lebih mengkedepankan eksistensi pemulihan yang hidup dalam masyarakat”. Asasnya, hakim
kembali keadaan terguncang akibat menjatuhkan pidana “pemenuhan kewajiban
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. adat setempat dan/atau kewajiban menurut
Soepomo menyebutkan dalam sistem hukum hukum yang hidup dalam masyarakat” apabila
pidana adat tujuan dijatuhkannya sanksi adat pelaku telah memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat
sebagaimana berlaku dan dipertahankan pada (3), (4) RUU KUHP yang disebut sebagai tindak
suatu masyarakat adat bukanlah sebagai suatu pidana adat. Kemudian, penjatuhan pidana
pembalasan agar pelanggar menjadi jera akan tambahan ini dapat dijatuhkan bersama-sama
tetapi adalah untuk memulihkan perimbangan dengan pidana pokok, sebagai pidana yang
hukum yang terganggu dengan terjadinya suatu berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-
pelanggaran adat. Perimbangan hukum itu sama dengan pidana tambahan yang lain.
meliputi pula perimbangan antara dunia lahir Konsepsi pidana tambahan berupa
dengan dunia gaib.23 pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
Penjatuhan pidana yang dijatuhkan hakim kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
adalah sebuah proses mengadili dengan bertitik masyarakat atau pencabutan hak dapat
tolak alat bukti, proses pembuktian, hukum dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam
pembuktian dan ketentuan hukum acara perumusan tindak pidana. Eksistensi adanya
pidana. Pada proses ini hakim memegang penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan
peranan penting untuk mengkonkritkan sanksi untuk menambah pidana pokok yang
pidana yang terdapat dalam peraturan dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat
perundang-undangan dengan penjatuhan fakultatif. Tegasnya hakim bebas dalam
pidana terhadap pelaku melalui putusan. menentukan pidana tambahan baik bersama
Penjatuhan pidana oleh hakim dengan pidana pokok atau sebagai pidana
mempertimbangkan segala aspek baik berdiri sendiri atau juga dijatuhkan bersama-
perbuatannya, pelakunya (daad-dader sama dengan pidana tambahan lain, meskipun
strafrecht), tujuan pemidanaan serta tidak dicantumkan sebagai ancaman dalam
mempertimbangkan keseimbangan rumusan tindak pidana. Apabila dikaji secara
kepentingan antara pelaku, bangsa dan negara, intens, detail dan terperinci sebagai dasar
korban, ilmu hukum dan demi keadilan kewenangan hakim untuk menjatuhkan sanksi
berdasarkan ketuhanan yang maha esa. adat berupa pemenuhan kewajiban adat
Pada asasnya, konsep RUU KUHP Tahun setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
2008 merumuskan tujuan pemidanaan. Aspek yang hidup dalam masyarakat” ditegaskan oleh
dan dimensi ini merupakan sebuah kemajuan ketentuan Pasal 100 ayat (1) RUU yang
yang cukup representatif dalam hukum pidana menentukan, “dengan memperhatikan
Indonesia. Ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat
menetapkan pemenuhan kewajiban adat
setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
23 yang hidup dalam masyarakat”, kemudian jika
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Universitas,
1963, hlm. 95 perbuatan pelaku merupakan tindak pidana
adat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3)

214
Lex Crimen Vol. X/No. 7/Jun/2021

maka penjatuhan pidana oleh hakim berupa 2. Pembaharuan hukum pidana sebagai
pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau upaya untuk membentuk hukum pidana
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam nasional hendaknya
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat mengharmonisasikan asas legalitas yang
(1) merupakan pidana pokok atau yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang
diutamakan. Hukum Pidana buatan Belanda dan asas
terbuka yang terdapat dalam hukum
PENUTUP pidana adat sebagai asas legalitas formal
A. Kesimpulan dan asas legalitas materiil.
1. Eksistensi keberlakukan hukum pidana
adat Indonesia dari kajian perspektif DAFTAR PUSTAKA
normatif bertitik tolak berdasarkan Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana
ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang- Dalam Era Globalisasi, Asosiasi
Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, Pengajar Hukum Pidana dan
ketentuan Pasal 5 ayat (1) Pasal 10 ayat Kriminologi Indonesia, Perum
(1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Percetakan Negara RI, Jakarta,
Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 1 ayat (3), 2008.
(4) RUU KUHP Tahun 2008, pendapat Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan
doktrina dan yurisprudensi Mahkamah Hukum & Kebijakan
Agung RI. Pada praktik peradilan, hukum Penanggulangan Kejahatan, PT
pidana adat terdapat dalam beberapa Citra Aditya Bakti, Bandung,
putusan seperti delik adat “lokika 2001.
sanggraha” di Bali berdasarkan Pasal 359 Budiadjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu politik, PT.
Kitab Adigama jo ketentuan Pasal 5 ayat Gramedia, Jakarta, 1982
(3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor Cherif, M. Bassiouni, Introduction to
1 Tahun 1951 dengan adanya sanksi adat International Criminal Law,
sekaligus pemulihan keseimbangan Transnational Publisher, Inc.
kosmis di dalamnya. Terhadap prospek Ardsley, New York, 2003.
dan dimensi delik adat Lokika Sanggraha Dominikus Rato,. Hukum Adat (Suatu Pengantar
dalam konteks pembentukan hukum Singkat Memahami Hukum
pidana nasional maka tergantung aspek Adat di Indonesia, Penerbit:
apakah unsur-unsur delik yang terdapat Laksbang Pressindo,
dalam Lokika Sanggraha juga ada dan Yogyakarta, 2011
dikenal pada masyarakat adat di seluruh Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan
Indonesia. Hukum Dalam Hukum Pidana,
Erlangga, Jakarta, 2009.
B. Saran Frans Maramis,. Hukum Pidana Umum dan
1. KUHP Baru Indonesia akan datang perlu Tertulis di Indonesia,: PT
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di RajaGrafindo, Jakarta 2012.
masyarakat dan sesuai dengan Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, CV
kebudayaan bangsa yang berasal dari Rajawali, Jakarta, 1961
jiwa serta kepribadian bangsa sehingga I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum
sumber hukum kesadaran masyarakat Pidana Adat, PT Eresco, Bandung, 1993
tentang apa yang dirasakan adil dalam I Nyoman Nurjaya, Menuju
mengatur hidup kemasyarakatan yang Pengakuan Kearifan Lokal
tertib dan damai tersebut akan dalam Pengelolaan Sumber
mengalirkan aturan-aturan (norma- Daya Alam: Perspektif
norma) hidup yang adil dan sesuai Antropologi Hukum, dalam
dengan perasaan dan kesadaran hukum Rachmad Syafa’at, dkk, Negara,
(nilai-nilai) masyarakat. Masyarakat Adat dan Kearifan

215
Lex Crimen Vol. X/No. 7/Jun/2021

Lokal,: In-Trans Publishing,


Malang, 2008.
Lilik Mulyadi, Eksistensi Yurisprudensi Dikaji
Dari Perspektif Teoretis dan
Praktik Peradilan, Bahan
Literatur Penelitian Kedudukan
Dan relevansi Jurisprudensi
Untuk Mengurangi Disparitas
Putusan Pengadilan, Puslitbang
Kumdil Mahkamah Agung RI,
Jakarta, 2010.
--------------, Delik Adat “Lokika Sanggraha” Di
Bali, Majalah Varia Peradilan,
Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim
Indonesia), Jakarta, Oktober,
1987
Marsudin Naenggolan,. Handout Study
Pembaharuan Hukum Pidana,
Penerbit:Universitas Mpu
Tantular, Jakarta. 2011
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil
Indonesia di masa datang,
Pidato Pengukuhan Guru Besar
UNDIP. Semarang, 1990
Notohamidjojo, Pengantar Kedalam Filsafat
Hukum,: Universitas Kristen
Satya Wacana, Salatiga, 1998
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum
Pidana Adat Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005.
Soerojo Wignodipuro, Pengantar dan Azas-Azas
Hukum Adat, PT Alumni,
Bandung, 1979.
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,
Universitas, 1963
Sriyanto, I. Kedudukan Hukum Pidana Adat
dalam Hukum Pidana Nasional,
Penerbit: Universitas Indonesia,
Jakarta, 1991
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Asas-Asas
Hukum Adat,: Gunung Agung
Anggota IKAPI, Jakarta, 1982
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni
Bandung, 1981
Ter Haar BZN, Azas-Azas Hukum Adat, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1976
Zainal, H A, Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar
Grafika, Jakarta, 2007.

216

Anda mungkin juga menyukai