Anda di halaman 1dari 116

LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai Negara Hukum, yaitu negara yang menjadikan hukum

sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Oleh sebab itu supremasih hukum senantiasa ditegakan guna mewujudkan

pembangunan nasional yang masyarakatnya memperoleh keadilan, ketertiban,

keamanan, kedamaian dan kemakmuran berdasarkan Pancasilan dan UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

Barda Nawawi Arief (2006:11) bahwa menurut pemikiran yuridis filosofis

konstitusional (karena tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945) “kehidupan bernegara/bermasyarakat/berkehidupan kebangsaan yang

bebas ingin dibangun dan diwujudkan lewat suatu tatanan hukum”. Jadi,

membangun (tatanan/sistem) hukum pada hakikatnya membangun seluruh

tatanan kehidupan kebangsaan (dibidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan

sebagainya).

Karena itu hukum senantiasa diperbaharui guna menjawab perubahan

global, perubahan nasional maupun perubahan masyarakatnya. Namun

perubahan tersebut harusnya berdasarkan jiwa bangsa (volksgeist). Oleh karena

itu pembangunan hukum nasional seharusnya mengakomodir hukum asli bangsa

Indonesia, yaitu kebiasaan yang sudah mengakar secara turun temurun dan

masih dipergunakan oleh masyarakat tertentu. Sebagaimana yang diungkapkan

oleh Eugan Ehrlich (dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2008:xii) bahwa hukum

yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam

masyarakat.

1
Realitas hukum nasional telah mengakomudir hukum agama maupun

hukum adat sehingga pluralisme hukum di tanah air menjadi karakteristik

pembangunan hukum nasional, demikian pula dengan pembaharuan hukum

pidanapun tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup (living law).

Hukum yang hidup atau hukum pidana adat yang dimaksud

sesungguhnya telah diakomudir keberadaannya dalam Pasal 5 ayat 3 sub (b)

Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 LN Nomor 51-9 tentang

Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,

Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Yang berbunyi:

Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja
dan orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada dan tetap berlaku
untuk kaula-kaula dan orang-orang itu dengan pengertian: bahwa suatu
perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan
penjara dan/ atau denda Rp 500,00 (lima ratus rupiah), yaitu sebagai
hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti
oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap
sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum; bahwa bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui
padanya dengan ancaman kurungan atau denda yang dimaksud di atas,
maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti
setinggi sepuluh . tahun penjara dengan pengertian bahwa hukuman adat
yang menurut paham hukum tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa
mesti diganti seperti tersebut di atas; dan bahwa suatu perbuatan yang
menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang
ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang
paling mirip kepada perbuatan pidana itu.

Kemudian di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Nomor

IV/MPR/1999, yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000

tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Bahwa

ditentukan arah kebijakan di bidang hukum khususnya mengenai sistem hukum


2
nasional pada bab IV huruf A angka 2, bahwa menata sistem hukum nasional

yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum

agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan

kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender

dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

Dengan demikian, dalam rangka menata sistem hukum nasional, maka

hukum agama dan hukum adat mendapat tempat sebagai bahan penyusun dan

pembuat peraturan perundang-undangan. Ini berarti hukum (pidana) adat perlu

dikaji secara mendalam agar materi atau bahan-bahan yang ada dan masih

hidup dalam hukum pidana adat dijadikan dasar pembentukan peraturan

perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman juga merupakan dasar pengakuan hukum pidana adat, yaitu :

Pasal 4 ayat 1 : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak


membeda-bedakan orang.
Pasal 5 ayat 1 : Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Pasal 10 ayat 1 : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
Pasal 50 ayat 1 : Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan, juga memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.

Serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Papua (Selanjutnya disebut UU Otsus). Yang kemudian dirubah

oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Selanjutnya disebut Perpu
3
Otsus) Pasal 50 ayat 1 menyebutkan bahwa “kehakiman di Provinsi Papua

dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan”. Sedangkan ayat 2 yaitu “Di samping kekuasaan kehakiman

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam

masyarakat hukum adat tertentu”. Selanjutnya dalam Pasal 51 disebutkan bahwa

• Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat


hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili
sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
• Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
• Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan
perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berdasarkan
hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
• Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara
berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat
yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat 3, pihak yang
berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat
pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk
memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang
bersangkutan.
• Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana
penjara atau kurungan.
• Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak
dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat
4, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
• Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut
ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan
persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang
mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang
bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat 3.
• Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi
putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat 7 ditolak
oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana
dimaksud pada ayat 6 menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan
Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.

4
Dengan demikian, pengembangan hukum nasional bersumber dan digali

dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga hukum nasional

mencerminkan nilai sosial, budaya, dan struktural masyarakat Indonesia.

Nyoman Serikat Putra Jaya (2005:6-7) mengungkapkan bahwa Strategi

pengembangan hukum nasional yang bersumber dan digali dari nilai-nilai hukum

yang hidup dalam masyarakat. Terlihat pula dalam pertemuan-pertemuan ilmiah,

seperti dalam seminar hukum nasional yang telah beberapa kali diadakan dan

hasilnya berupa resolusi, kesimpulan, dan laporan sebagai berikut :

• Resolusi seminar hukum nasional ke I tahun 1963 bidang hukum pidana

• Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat itu adalah perbuatan-

perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP maupun dalam

perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan

perbuatan-perbuatan hukum adat yang hidup dan tidak menghambat

pembentukan masyarakat yang dicita-citakan dengan sanksi adat yang

masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.

• Reselusi butir V angka 4 :

Unsur-unsur agama dan hukum adat dijalinkan dalam KUHP

• Kesimpulan seminar hukum nasional III tahun 1974

Kesimpulan angka 1 :

Pembinaan hukum nasional harus memperhatikan hukum adat yang

merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law)

• Laporan seminar hukum nasional IV Tahun 1979

Dalam laporan sub B II huruf a, huruf e, dan huruf f mengenai sistem hukum

nasional, ditentukan :

5
• Sistem hukum nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran

hukum rakyat

• …

• Dalam rangka menciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk

memperlancar pembangunan nasional, hukum nasional sejauh mungkin

diusahakan dalam bentuk tertulis. Disamping itu, hukum yang tidak tertulis

tetap merupakan bagian dari hukum nasional.

• Untuk memelihara persatuan dan kesatuan, hukum nasional dibina ke

arah unifikasi dengan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat,

khususnya dalam bidang-bidang yang erat hubungannya dengan

kehidupan spiritual.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, jelas masyarakat ilmiah dalam

bidang hukum, menghendaki hukum adat termasuk juga hukum pidana adat

dijadikan sumber dari sistem hukum nasional dan perlu dikaji secara mendalam

sehingga dapat melaksanakan perannya sebagai sumber hukum nasional yang

dapat menunjang pelaksanaan pembangunan.

Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dan akan terus hidup,

selama ada manusia budaya, jadi untuk mengetahui delik adat, sanksi adat, dan

peradilan adat untuk masing-masing wilayah atau daerah yang masih

memperhatikan hukum pidana adat, maka sangat diperlukan untuk mengadakan

pengkajian secara mendalam tentang hukum pidana adat beserta sanksi adatnya

dan cara penyelesaiannya dalam peradilan adat yang tersebar diseluruh

Indonesia termasuk hukum pidana adat Papua.

Salah satu kekhususan dari Otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang

memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima puluh) bahasa
6
daerah (penjelasan UU Otsus) adalah dengan akan diberlakukan peradilan adat

di Provinsi Papua. Dengan demikian maka perkara pidana diantara masyarakat

hukum adat dapat diselesaikan melalui peradilan adat maupun peradilan

nasional.

Di dalam buku panduan hukum adat dewan adat suku Jouw Warry

(2008:56-57) Penyelesaian perkara pidana adat di peradilan adat misalnya delik

pembunuhan dalam sub suku Souw disebut niyayim, irarau untuk sub suku

Warry, dan apun sebutan untuk sub suku tarpi/tarpia, biasanya dilakukan melalui

musyawarah keluarga, kalau belum mencapai kesepakatan akan dilanjutkan

pada kepala keret ( marga ), dan kalau tidak bisa lagi baru akan dilakukan di

kepala suku atau ondoafi perdamaian di tiap sub suku di suku Jouw Warry.

Sedangkan untuk sanksi-sanksi adat yang sudah tidak relefan seperti

pembayaran denda berupa benda dan atau binatang kepada korban dan

keluarganya telah diganti dengan pembayaran sejumlah uang. Karena selain

babi, benda-benda berupa manik-manik, kapak batu, galang batu, gelang dari

kulit kerang sudah jarang ditemukan pada masyarakat Jouw Warry. Sehingga

kini benda-benda yang digunakan untuk membayar sejumlah denda adat lebih

banyak diganti dalam bentuk uang yang nominalnya tidak pernah ditentukan

pasti, karena selalu ada proses negosiasi di antara para pihak, yang

berhubungan dengan :

• Kesepakatan atas nominal uang selalu bersifat relatif

• Nilai uang akan selalu berkembang sesuai dengan perubahan peradaban

manusia

• Nilai dan bentuk denda juga tergantung pada status dan kedudukan sosial

pihak pelaku dan korban


7
• Meski telah terjadi kesepakatan jumlah denda, tapi terkadang masih

mengalami perubahan.

Hukum yang tumbuh dan berkembang bersama masyarakat tersebut

memiliki sumber kekayaan yang dapat menjadi referensi dalam pembangunan

hukum pidana nasional. karena salah satu sumber kekayaan hukum pidana

nasional adalah hukum pidana adat..

TEORI PERKEMBANGAN HUKUM ADAT DALAM HUKUM POSITIF

• Mazhab Sejarah

Friedrich Karl Von Savigny (1779-1861) menandai kelahiran aliran

historis di bidang ilmu hukum. Darji Darmodiharjo dan Shidarta (2004:124)

menjelaskan bahwa Friedrich Karl Von Savigny menganalogikan timbulnya

hukum itu dengan timbulnya bahasa suatu bangsa, masing-masing bangsa

memiliki ciri khusus dalam berbahasa. Hukumpun demikian, Karena tidak ada

bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal. Pandangannya ini

jelas menolak cara berfikir aliran hukum alam.

Lebih lanjut Darji Darmodiharjo dan Shidarta (2004:124) menjelaskan

bahwa Hukum timbul, menurut Savigny, bukan karena perintah penguasa

atau karena kebiasaan tetapi karena perasaan, keadilan yang terletak

didalam jiwa bangsa itu (instinktif). Jiwa bangsa (Volksgeist) itulah yang

menjadi sumber hukum. Seperti diungkapkannya, “law is an expression of the

common consciousness or spirit of piople.” hukum tidak dibuat, tetapi ia

tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das rechts wird nicht

gemacht, es ist und wird mit dem volke).

8
Dari pandangan Von Savigni tersebut menjelaskan bahwa

sesungguhnya hukum yang ada sekarang adalah berasal dari hukum

kebiasaan (hukum Adat) yang dilakukan oleh masyarakat kemudian baru

diformalkan oleh institusi negara sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan. Demikian halnya dengan hukum pidana yang awalnya dari

masyarakat adat sebagaimana diketahuai bahwa hukuman mati dapat

diberikan kepada siapa yang melakukan pembunuhan, hingga adanya

pengembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial kemasyarakatan

hingga perumusan delik tentang menghilangkan nyawa orangpun berubah

sesuai dengan prosedur formal dalam perumusan delik.

Darji Darmodiharjo dan Shidarta (2004:125) menjelaskan bahwa

Puchta adalah murid Von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut

pemikiaran gurunya. Sama seperti Savigny, ia berpendapat bahwa hukum

suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa (Volksgeist) yang bersangkutan.

Manurut Huijbers (dalam Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004:125)

bahwa hukum tersebut, menurut Puchta, dapat berbentuk : 1. Lansung

berupa adat istiadat, 2. Melalui undang-undang, 3. Melalui ilmu hukum dalam

bentuk karya para ahli hukum.

Lebih lanjut Puchta memberikan pandangan pengertian “bangsa” ini

dalam dua jenis : (1) bangsa dalam pengertian etnis, yang disebut “bangsa

alam”, dan (2) bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang

membentuk satu negara. Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah

bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan “bangsa alam”

memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.

9
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa

harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisir dalam

negara. Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-

undang. Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara

sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-

sumber hukum lainnya, yaitu praktik hukum dalan adat istiadat bangsa dan

pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adat istiadat bangsa hanya

berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara. Sama halnya dengan

pengolahan hukum oleh kaum yuris, pikiran-pikiran mereka tentang hukum

memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai hukum. Di lain

pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan apapun. Ia

berhak untuk membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris,tanpa

menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan di praktekan sebagai

adat istiadat.

Jadi sesungguhnya hukum pidana adat dapat menjadi hukum alternatif

untuk mengurangi kejahatan karena sesungguhnya merupakan hukum yang

tumbuh dari jiwa bangsa yang bersangkutan sehingga akan ada suatu

kepatuhan dalam melaksanakannya. Hukum adat tersebut harus disahkan

oleh negara menjadi peraturan perundang-undangan.

• Sociological Jurisprudence

Darji Darmodiharjo dan Shidarta (2004:128) menjelaskan bahwa

menurut aliran sociological jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum

yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat, aliran ini memisahkan

secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup

10
(the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis)

positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah.

Sebagaimana diketahui, positivisme hukum memandang tiada hukum

kecuali perintah yang diberikan yang diberikan penguasa, sebaliknya mazhab

sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan

masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sedangkan aliran yang

kedua lebih mementingkan pengalaman, dan sociological jurisprudence

menganggap keduanya sama penting.

Mazhab sejarah dan aliran sociological jurisprudence sama-sama

menjelaskan tentang hukum kebiasaan, namun sociological jurisprudence

menggunakan istilah living law, sebagaimana yang diuraikan oleh Darji

Darmodiharjo dan Shidarta (2004:128) menjelaskan bahwa Eugan Ehrlich

dapat dianggap sebagai pelopor aliran sociological jurisprudence, khususnya

di Eropa. Ia adalah seorang ahli hukum dari Austria dan tokoh pertama yang

meninjau hukum dari sudut sosiologi.

Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif disatu pihak

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau (living law) dilain pihak.

Menurutnya, hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif

apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat

tadi. Disini jelas bahwa Ehrlich berbeda pendapat dengan penganut

positifisme hukum.

Lebih lanjut Darji Darmodiharjo dan Shidarta (2004:125) menjelaskan

bahwa Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya, bahwa titik pusat

perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim,

11
atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri. Dengan demikian,

sumber dan bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan.

Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada

kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif,

oleh karena ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial

terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh Negara.

Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang

didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem

hukum. Secara konsukuen Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang

berperan sebagai pihak yang mengembangkan sistem hukum harus

mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam

masyarakat bersangkutan.

Sampai disini terlihat bahwa pendapat Ehrlich mirip dengan Von

Savigny. Hanya saja Ehrlich lebih senang menggunakan istilah kenyataan

sosial dari pada istilah (Volksgeist) sebagaimana yang digunakan Savigny.

Kenyataan-kenyatan sosial yang a normative itu dapat menjadi normative,

sebagai kenyataan hukum (facts of law) atau hukum yang hidup (living law),

yang juga dinamakan Ehrlich dengan (rechtsnormem).

Menurut Ahmad Ali (2008:216) bahwa the living law adalah hukum

yang hidup dan sedang aktual dalam suatu masyarakat, sehingga tidak

membutuhkan upaya reaktualisasi lagi. “ the living law “ bukan suatu yang

statis, tetapi terus berubah dari waktu ke waktu. “ the living law “ hukum yang

hidup didalam masyarakat, bisa tidak tertulis bisa juga tertulis. Demikian pula

“ the living law “ bisa berwujud hukum adat (yang tidak tertulis), bisa juga

12
hukum kebiasaan moderen (yang tidak tertulis) yang berasal dari barat

maupun hukum islam di bidang-bidang hukum tertentu.

Jadi pandangan Ehrlich tentang hukum kebiasaan sudah mencakupi

hukum yang tertulis dan merupakan suatu kalaborasi antara berbagai jenis

sistim hukum, yaitu gabungan antara hukum adat dengan hukum islam,

hukum adat dengan hukum barat, atau hukum adat dengan hukum islam dan

hukum barat, yang kesemuanya merupakan satu kesatuan sistem hukum

yang dijadikan hukum adat baik perdata, pidana, maupun tata negara. Karena

sesungguhnya salah satu sifat hukum adat adalah terbuka.

Hukum pidana adat dalam pandangan aliran ini lebih maju ketimbang

aliran sejarah. Aliran ini sudah mengakomodir hukum adat dalam cakupan

yang sudah mengalami perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan

zaman yaitu menerima adanya norma-norma lain yang tumbuh dari

masyarakat semisal norma agama, norma kesopanan dan kesusilaan.

Sehingga hukum pidana adat dalam hal ini lebih dipahami sebagai suatu

hukum kebiasaan yang dapat diterima untuk masyarakat pada saat ini yang

dapat disesuaikan dengan perubahan masyarakat bersangkutan.

• Legal Pluralism

Menurut Griffit (dalam Imam Syaukani, dan A. Ahsin Thohari,

2004:125) Legal pluralism atau pluralisme hukum adalah adanya lebih dari

satu tatanan hukum dalam satu arena sosial (“ by legal pluralism”I mean the

presence in a social field of more than one legal order).

Selanjutnya Sulistyowati Irianto (dalam Imam Syaukani, dan A. Ahsin

Thohari, 2004:126) menjelaskan bahwa baik hukum negara maupun hukum

kebiasaan atau agama, mengutip Hooker (1975), akan saling berinteraksi dan
13
menciptakan keseimbangan sosial yang diharapkan bahwa kemudian hukum

negara akan lebih dominan, sebenarnya itu hanya sebatas wewenangnya

untuk memberikan batas apakah hukum adat masyarakat tertentu dapat

diberlakukan kepada masyarakat yang lain.

Menurut Erman Rajagukguk (www.docjax.com) bahwa setidak-

tidaknya empat sistim hukum hidup berdamping-dampingan secara damai di

Indonesia dewasa ini: Hukum Adat, Hukum Islam, “Civil Law” dan “Common

Law.” Sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika: “Berbeda-beda Tetapi

Tetap Satu,” maka sistem hukum di Indonesiapun mengandung pluralisme

seiring dengan perkembangan bangsa dan masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut Erman Rajagukguk (www.docjax.com) menguraikan

bahwa pertama ; hukum Adat adalah hukum yang hidup pada masyarakat

Indonesia yang berbeda-beda suku bangsa. Hukum Adat adalah kebiasaan-

kebiasaan dalam masyarakat yang ditaati oleh anggotanya dan kebiasan itu

mempunyai sanksi bila ia tidak diikuti. Bidang Hukum Adat ini meliputi hukum

keluarga yaitu warisan, perkawinan, pengangkatan anak, hukum atas tanah

dan hukum yang berkaitan dengan kegitan perdagangan. Di beberapa daerah

dikenal pula delik Adat atau pidana Adat. Hukum Adat ini berkembang seiring

dengan perkembangan masyarakat. Perubahan Hukum Adat itu terjadi baik

karena adanya perubahan kesadaran hukum masyarakat maupun karena

dorongan dari badan peradilan. Hukum Adat yang sebagian besar tidak

tertulis kemudian mendapatkan tempatnya dalam putusan-putusan

pengadilan formal, sehingga lama kelamaan perkembangan Hukum Adat

tersebut dapat diikuti melalui putusan-putusan pengadilan. Sampai saat ini

Hukum Adat itu masih hidup di beberapa tempat dan tidak jarang
14
menimbulkan masalah, terutama yang berkaitan dengan tanah Ulayat. Hukum

Adat juga yang menyebabkan tidak dapat diunifikasikannya bidang hukum

keluarga di Indonesia karena ia berkaitan dengan budaya masyarakat

setempat. Namun Prof. Soepomo, salah seorang bapak Hukum Adat

Indonesia dalam pidatonya di Washington DC pada tahun 1950 sudah

memperkirakan prinsip-prinsip Hukum Adat akan tetap mendapat tempat

dalam masyarakat Indonesia yang modern, karena mengandung asas-asas

yang universal.

Kedua ; Di samping Hukum Adat, menyebarnya agama Islam ke

Nusantara, membawa datangnya Hukum Islam. Di beberapa daerah yang

penganut Islamnya kuat seperti di Sumatera Barat dan Aceh, masyarakat

menerapkan Hukum Islam dalam bidang perkawinan dan warisan. Dalam

sejarah hukum, Hukum Islam hidup berdampingan dengan Hukum Adat,

Sajuti Thalib (dalam Erman Rajagukguk) yang mengatakan bahwa Hukum

Adat baru berlaku jika ia tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Sajuti

Thalib (dalam Erman Rajagukguk) mengambil contoh peranan hukum Islam di

Minangkabau: “Adat bersendikan Syara’, syara’ bersendikankan Kitabullah.”

Dalam perkembangannya sekarang, Hukum Islam tidak saja mengatur

masalah perkawinan dan warisan tetapi juga meluaskan pengaruhnya ke

bidang hukum ekonomi seperti perbankan, asuransi dan pasar modal.

Undang-Undang Perbankan Indonesia, misalnya, telah menetapkan bahwa

bank tidak saja menjalankan usahanya berdasarkan bunga tetapi juga

dengan cara lainnya. Cara lain tersebut misalnya bagi hasil yang dijalankan

oleh Bank Syariah. Dibidang Tata Negara, perkembangan politik dalam negeri

yang melahirkan otonomi daerah, memberlakukan syariat Islam untuk daerah


15
Aceh yang dituangkan dalam Undangundang Otonomi Khusus Nangro Aceh

Darussalam.

Ketiga ; Kolonialisme Belanda ke kepulauan Nusantara telah

membawa datangnya hukum Nederland yang berasal dari Code Napoleon.

Hukum ini dimasukkan ke dalam sistem Civil Law yang berasal dari Perancis,

kemudian Perancis menggalinya dari hukum Romawi dan mungkin juga dari

Hukum Islam yang berkaitan dengan kontrak. Karakteristik dari Civil Law

bahwa hukum itu adalah undang-undang yang terkodifikasi. Sistem ini

berlainan dengan Common Law yang disusun oleh raja Henrry II untuk

mempersatukan Inggris raya pada abad ke 13. Karakteristik Common Law

adalah bahwa hukum itu lahir dari putusan-putusan hakim. Berdasarkan asas

konkordansi maka hukum di Nederland berlaku bagi penduduk di Hindia

Belanda mulai tahun 1848. Pada waktu itu penduduk Hindia Belanda dibagi

atas tiga golongan: Eropa, Timur Asing, Bumi Putra. Golongan penduduk

bukan Eropa dapat menundukkan diri pada hukum Eropa baik secara

sukarela maupun diam-diam. Kodifikasi hukum Eropa ini terdiri dari Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang-undang

Hukum Dagang (KUHDagang), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHPidana). Dalam perkembangannya berbagai materi dalam KUHPerdata

dan KUHDagang setelah Indonesia merdeka memisahkan diri dalam bentuk

lahirnya undang-undang tersendiri seperti Undang-Undang Pokok Agraria,

Undang-Undang Tenaga Kerja, Undang-Undang Perseroan Terbatas,

Undang-Undang Merk, Undang-undang Rahasia Dagang. Di negeri asalnya

sendiri ketiga kitab undang-undang ini telah mengalami berkali-kali

perubahan, di Indonesia perubahan itu terjadi dengan lahirnya berbagai


16
undang-undang baru yang dulunya diatur dalam KUHPerdata, KUHDagang

dan KUHPidana. Perubahan undang-undang ini juga terjadi oleh karena

adanya keputusan-keputusan pengadilan yang menetapkan penafsiran

terhadap undang-undang tersebut dan akhirnya menjadi yurisprudensi.

Keempat ; Setelah Indonesia merdeka dan mengundang kembali

datangnya modal asing pada tahun 1967, mendorong perdagangan

internasional Indonesia ke pasar dunia, dan berusaha mendapat pinjaman-

pinjaman luar negeri dari negara-negara maju, pengaruh Common Law

secara disadari atau tidak masuk ke Indonesia. Common Law mempengaruhi

hukum Indonesia melalui perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi

internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya, perjanjian antara para

pengusaha, lahirnya institusi-institusi keuangan baru dan pengaruh sarjana

hukum yang mendapat pendidikan di negara-negara Common Law seperti

Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Pertama, datangnya modal asing ke

Indonesia menyebabkan Indonesia menjadi anggota berbagai konvensi

internasional di mana hukum Common Law adalah dominan. Perjanjian yang

terakhir amat mempengaruhi Indonsia dalam bidang hukum Ekonomi adalah

GATT (General Agreement on Tariff and Trade) atau WTO (World Trade

Organisation), TRIMs (Trade Related Invesment Measures) atau peraturan di

bidang investasi yang berhubungan dengan perdagangan dan TRIPs (Trade

Releted Intellectual Property Rights) atau peraturan yang berhubungan

dengan hak milik intelektual, banyak mempengaruhi undang-undang di

bidang hak milik dan investasi di Indonesia. Kedua, datangnya modal asing

yang dalam implementasinya melahirkan antara lain Joint Venture

Agreement, perusahaan-perusahaan waralaba negara-negara maju yang


17
memperkenalkan Indonesia pada Franchise Agreement, berbagai

perusahaan Indonesia yang memerlukan pinjaman jangka pendek membawa

mereka kepada pengenalan Commercial Paper (CP). Kesemuanya itu datang

dari Common Law sistem yang sebelumnya tidak dikenal di Indonesia.

Kedudukan Indonesia yang memerlukan bantuan luar negeri untuk mengatasi

kesulitan-kesulitan ekonomi negara ini menyebabkan juga Indonesia meminta

bantuan lembaga keuangan internasional. Negara-negara maju berpendapat

bahwa pembangunan ekonomi tidak dapat dilaksanakan tanpa pembaharuan

hukum terlebih dahulu yang akan mendukung pembangunan ekonomi

tersebut. Dalam hal ini badan-badan internasional yang didominasi oleh

Common Law secara tidak disadari membawa unsur-unsur sistem hukum

tersebut ke dalam undang-undang nasional Indonesia. “Class Action”

diperkenalkan dalam gugatan perlindungan lingkungan hidup, “Derivative

Action” diperkenalkan dalam gugatan pemegang saham minoritas kepada

direksi dan komisaris PT atas nama perusahaan. Sebelumnya hal-hal

tersebut tidak dikenal dalam hukum Acara Perdata Indonesia yang berasal

dari Civil Law sistem. Sarjana hukum Indonesia yang mendapat pendidikan

master dan doktor di Negara-negara Common Law seperti Amerika Serikat,

Inggris dan Australia mendorong pula secara tidak langsung pengaruh

Common Law dalam undang-undang di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri,

seiring dengan terjadinya globalisasi ekonomi telah berlangsung juga

globalisasi hukum.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas Indonesia menganut

pluralisme hukum: Hukum Adat, Hukum Islam, Civil Law dan Common Law

hidup berdampingan di Indonesia. Dengan pluralisme hukum tersebut, yang


18
sudah diuji dalam sejarah bangsa, hukum dapat mendorong terciptanya

persatuan nasional, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

HUKUM ADAT DAN HUKUM MODERN

Hazairin (rancangan paper academic peraturan daerah Khusus 2005:20 )

mengemukakan 11 ( sebelas ) ciri-ciri dari suatu hukum modern, yaitu :

• Sistem hukum tersebut terdiri dari peratuan-peraturan yang seragam,


baik dari segi isi maupun dari segi pelaksanaannya;
• Sistem hukum tadi bersifat transaksionil, artinya bahwa hak-hak dan
kewajiban-kewajiban timbul dari perjanjian-perjanjian yang tidak
dipengaruhi oleh faktor-faktor usia, kelas, agama, ataupun perbedaan
antara wanita dan pria;
• Sistem hukum yang modern bersifat universalitas; artinya dapat
dilaksanakan secara umum;
• Adanya hirarki peradilan yang tegas;
• Birokratis, artinya melaksanakan prosedur sesuai dengan peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan
• Rasionil;
• Para pelaksana hukum terdiri dari orang-orang yang sudah
berpengalaman;
• Dengan perkembangannya spesialis dalam masyarakat yang
kompleks, maka harus ada penghubung antara bagian-bagian yang
ada sebagai akibat adanya pengkotakan
• Sistem ini mudah dirubah untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan kebutuhan nasyarakat;
• Lembaga-lembaga pelaksana dan penegak hukum adalah lembaga-
lemhaga kenegaraan, oleh karena negaralah yang mempunyai
monopoli kekuasaan;
• Pembedaan yang tegas antara tugas-tugas eksekutif, legislatif dan
yudikatif.

Jika kesebelas ciri tersebut dikaitkan dengan hukum adat, maka jelas ada

ciri / karakteristik hukum adat yang berlawanan. Oleh karena itu sebaiknya tidak

dipertentangkan antara hukum modern dan hukum adat karena hal itu

menunjukkan kita memulai sesuatu yang keliru, sebaiknya kedua hukum tersebut

tetap dengan cirinya. Penyebab kekeliruan adalah ada sementara anggapan atau

pra-anggapan bahwa hukum adat dianut oleh dan berlaku dalam masyarakat

19
tradisional. Sebaliknya hukum modern dikaitkan dengan masyarakat modern

yang diketemukan di negara-negara barat.

Pemahaman hukum adat yang seringkali dikaitkan dengan masyarakat

yang masih tradisional (primitif) bahkan fanatik dengan Von Savigny yang

menyatakan bahwa hukum yang baik adalah bukan hukum yang diciptakan

melainkan hukum yang tumbuh berkembang dan sirna bersama masyarakatnya.”

Oleh karena permasalahannya bukan mempertentangkan antara hukum adat

dan hukum modern, akan tetapi bagaimana menciptakan/membentuk suatu

hukum yang fungsionil sebagai alat pengawasan dan pengendalian sosial ( law

of tool social engineering & law of a tool of social control).

ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM PIDANA ADAT

Selain digunakan istilah hukum pidana adat (HPA), maka beberapa pakar

menggunakan istilah hukum adat pidana (HAP). Bagi yang menggunakan istilah

hukum pidana adat (HPA) berpandangan bahwa genus (pokok kajian, starting

point) pembahasannya ada pada hukum pidana yang dipakai untuk menyoroti

aspek-aspek pidana yang terdapat dalam hukum adat. Sedangkan yang

menggunakan HAP berpandangan sebaliknya bahwa pokok kajian atau starting

point (titik berangkatnya) ada pada Hukum Adat yang seterusnya ditelusuri

aspek-aspek pidana dari hukum adat itu sendiri, dalam hal ini hukum adat

menjadi obyek dan subyek sekaligus dari keseluruhan kerangka disiplin. Prof. Dr.

H. Andi Zainal Abidin Farid, S.H. dalam beberapa tulisannya menggunakan

istilah hukum adat pidana seperti pada bukunya berjudul perbandingan asas-

asas hukum adat pidana Indonesia dengan asas-asas hukum pidana Eropa

Barat dan asas-asas hukum pidana Texas (10 Maret 1996). Demikian pula Prof.
20
Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. ( 1994:24) dalam pidato pengukuhan Guru

Besarnya pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang

menggunakan istilah hukum adat pidana.

Menurut beberapa literatur hukum adat, istilah hukum pidana adat berasal

dari istilah bahasa Belanda adat delicten recht yang diartikan sebagai “hukum

pelanggaran adat” (Hilman Hadikusuma, 1992:230). Menurut Hilman

Hadikusuma (1989:7) bahwa istilah-istilah ini tidak dikenal dalam masyarakat

adat. Masyarakat adat misalnya hanya memakai kata-kata “salah” (Lampung),

atau “sumbang” (Sumatera Selatan) untuk menyatakan perbuatan yang

bertentangan dengan hukum adat. Misalnya suatu perbuatan dikatakan

“sumbang kecil” apabila ia merupakan pelanggaran yang berakibat merugikan

seseorang atau beberapa orang (sekeluarga, sekerabat), dan dikatakan

“sumbang besar” apabila peristiwa atau perbuatan itu merupakan kejahatan yang

berakibat merugikan dan mengganggu keseimbangan masyarakat seluruhnya.

Lebih lanjut Hilman Hadikusuma (1989:8) mengatakan bahwa hukum

pidana adat adalah hukum yang menunjukan peristiwa dan perbuatan yang

harus diselesaikan (dihukum) dikarenakan peristiwa dan perbuatan itu telah

mengganggu keseimbangan masyarakat. Jadi berbeda dengan hukum pidana

barat yang menekankan peristiwa apa yang dapat diancam dengan hukum serta

macam apa hukumannya, dikarenakan peristiwa itu bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

Menurut Van Vollenhoven (dalam Hilman Hadikusuma, 1989:9-10) bahwa

yang dimaksud dengan delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan,

walaupun dalam kenyataan peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan

21
sumbang yang kecil saja. Sebagai contoh kaidah hukum pidana adat dalam kitab

Kuntara Niti (Lampung) yang berbunyi :

“apabila seorang pria mandi/ditempat pemandian wanita sedang ia tahu


ada pangkalan bagi pria, atau sebaliknya wanita yang mandi dipangkalan
pria, maka orang yang melakukan itu dihukum denda 8 rial; ”ngaranat
nyimpang baya” namanya”.

Hilman Hadikusuma (1989:10) menguraikan bahwa yang dimaksud delik

adat itu adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan

kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran

hukum masyarakat bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang

maupun perbuatan penguasa adat sendiri.

Timbulnya reaksi masyarakat bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan

masyarakat kembali. Tetapi oleh karena reaksi masyarakat diberbagai

lingkungan masyarakat adat itu berbeda-beda maka hukum pidana adat

diseluruh Indonesia tidak sama. Di Bali misalnya pria dan wanita boleh saja

mandi telanjang bulat bersama-sama dalam satu tempat pemandian dan tidak

akan timbul reaksi atau koreksi dari masyarakat adat bali. Tetapi jika hal itu

dilakukan ditampat pemandian orang Lampung misalnya, maka akan timbul

reaksi dari masyarakat dan dapat berakibat semua yang mandi telanjang itu dan

kerabatnya dikenakan sangsi hukum adat.

Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus

hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan

perundang-undangan. Andai kata diadakan juga undang-undang yang

menghapusnya, akan percuma juga, malah hukum pidana perundang-undangan

akan kehilangan sumber kekayaannya, oleh karena hukum pidana adat itu lebih

22
dekat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada hukum

perundang-undangan.

Istilah adat delicten recht ini berasal dari Prof. Ter Haar, (dalam

Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1982:81) mendefinisikan bahwa

hukum pelanggaran adat adalah sebagai setiap gangguan terhadap benda

materiil maupun inmateriil kepunyaan orang perorangan atau kelompok sosial.

Dalarn masyarakat adat, dimana terhadap gangguan-gangguan tersebut

menimbulkan reaksi negatif yang menuntut pemulihan kembali dari

keseimbangan kosmis yang terganggu tersebut. Seperti dimaklumi bahwa hukum

pidana adat merupakan hukum yang hidup (living law). Hukum Pidana Adat

dijiwai oleh Pancasila, dijiwai oleh sifat-sifat kekeluargaan yang magis religius,

dimana yang diutamakan bukanlah rasa keadilan perorangan melainkan rasa

keadilan kekeluargaan sehingga cara penyelesaiannya adalah dengan

penyelesaian damai yang membawa kerukunan, keselarasan dan kekeluargaan.

hukum pidana adat tidak bermaksud menunjukan hukum dan hukuman apa yang

harus dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, namun yang menjadi tujuannya adalah

memulihkan kembali. Oleh karena itu hukum pidana adat sebagai terjemahan

meluas dari adat delicten recht jelas merupakan hukum asli bangsa Indonesia

yang di jiwai oleh falsafah Pancasila. Meskipun dijiwai oleh Pancasila, namun

ketentuan hukum pidana adat sulit untuk dapat digunakan sebagai hukum

nasional. Hal ini dikarenakan hukum pidana adat di suatu daerah berbeda

dengan hukum pidana adat di lain daerah, artinya setiap daerah mempunyai

hukum pidana adat yang berbeda. Dengan adanya otonomi daerah, setiap

daerah mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan kebijakan daerah. Hal

ini memungkinkan digunakannya hukum yang sesuai dengan jiwa dari


23
masyarakat daerah yang bersangkutan yaitu hukurn adat termasuk disini adalah

hukum pidana adat termasuk pelaksanaan peradilan adat sesuai Otsus Papua.

Bila ditinjau tentang pendefinisian hukum pelanggaran adat maka ada

baiknya ditinjau padangan baru Bushar Muhammad. Menurut Bushar

Muhammad (1995:61) mendefinisikan bahwa hukum pelanggaran adat adalah

perbuatan sepihak dari seorang atau sekumpulan orang yang mengancam atau

menyinggung kesimbangan dalam kehidupan persekutuan, bersifat materiil

maupun inmateriil terhadap masyarakat seluruhnya berupa kesatuan. Soerjono

Soekanto (1988:83) memperjelas sanksi negatif yang dimaksud dalam

pelanggaran adat itu adalah berupa:

• Penggantian kerugian immateriil dalam berbagai bentuk seperti paksaan

menikahi anak gadis yang telah dicemarkan kegadisannya;

• Bayaran uang adat kepada orang yang terkena korban berupa benda sakral

sakti sebagai pengganti kerugian rohani;

• Pembersihan kampong masyarakat dari segala kotoran atau gaib;

• Menutup malu, permintaan maaf,

• Berbagai bentuk pidana badan sampai pidana mati,

• Pengasingan dari masyarakat.

Ter Haar dalam bukunya asas-asas dan susunan hukum adat terjernahan

K.Ng.Soebakti Poesponoto cetakan ketigabelas (2001:226) memberi penjelasan

tentang adat delicten recht sebagai berikut :

Dalam ketertiban hukum di masyarakat-masyarakat hukum kecil rupa-


rupanya yang dianggap suatu pelanggaran (delict) ialah setiap gangguan
segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan materiel dan immaterieel
orang seorang atau daripada orang-orang banyak yang merupakan satu
kesatuan (segerombolan); tindakan sedemikian itu menimbulkan suatu
reakasi – yang sifatnya besar dan kecilnya ditetapkan oleh hukum adat -
ialah reaksi adat (adatreactie), karena reaksi mana keseimbangan dapat
24
dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran
pelanggaran berupa barang-barang atau uang).

Oleh karena itu penuntutan pembayaran pelanggaran (delictsbetalingen)

itu termasuk tugas dari hukum adat melalui petugas adat (semacam dorsrechter)

untuk mengembalikan keseimbangan" kosmisch", karena memang sebelumnya

ada anggapan bahwa dengan adanya delict itu oleh masyarakat hukum adat

sebagai gangguan keseimbangan (evenwichsverstoring).

Sedangkan menurut Soepomo (dalam Nyoman Serikat Putra Jaya,

2005:33) bahwa didalam hukum adat segala perbuatan yang bertentangan

dengan peraturan hukum adat dan perbuatan illegal dan hukum adat mengenal

pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum jika hukum diperkosa.

Menurut Soepomo (dalam I Gede A.B. Wiranata, 2005:206-207) bahwa

segala perbuatan atau kejadian yang mengganggu kekuatan batin masyarakat,

segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang

menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat

seluruhnya. Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa

perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang

memperkosa dasar susunan masyarakat.

Sedangkan menurut I Gede A.B. Wiranata (2005:207) sendiri bahwa

hukum pelanggaran adat adalah :

• Suatu peristiwa aksi dari para pihak dalam masyarakat

• Aksi itu menimbulkan adanya gangguan keseimbangan

• Gangguan keseimbangan itu menimbulkan reaksi

• Reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanya kembali atas gangguan

keseimbangan kepada keadaan semula.

25
KARAKTERISTIK HUKUM PIDANA ADAT

Di dalam rancangan paper academic peraturan daerah Khusus (perdasus)

ada beberapa karakteristik umum dari hukum pidana adat yaitu (I) Kosmis dan

mengutamakan, (2) Harmoni, (3) Menyeluruh dan menyatu, tidak membedakan

kejahatahn dan pelanggaran, sengaja atau lalai, (4) Tidak bersifat

menyamaratakan pelaku delik, (5) Bersifat terbuka dan fleksibel, hukum adat

tidak menolak perubahan asal tidak bertentangan dengan kesadaran hukum

masyarakat, (6) Setiap delik dianggap sebagai gangguan kosmis, (7) Hukum

pidana adat bersifat konkrit dan visual, terang dan tunai, (8) Tidak berkodifikasi,

(9) Musyawarah dan mufakat. Sedangkan karakteristik hukum pidana adat (HPA)

yang berbeda dengan hukum pidana (HP) adalah:

• HP bercorak intelektualis dan rasionalitas sebaliknya HPA dilatarbelakangi

oleh pemikiran kosmis dan mengutamakan harmoni antara dunia lahir dan

dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara

persekutuan dan teman masyarakat. Delik yang ditujukkan kepada kepada

seorang fungsionaris dipandang lebih berat daripada delik yang ditujukan

kepada orang biasa, sehinga pidananya lebih berat, karena dianggap sebagai

kejahatan terhadap persekutuan hukum, sebaliknya hukurn pidana

menganggap semua orang sama kedudukan hukumnya.

• HPA tidak mengenal prae-exixtence regels, sedangkan HP kenal asas

legalitas;

• HPA kenal pertanggung jawaban pidana kolektif, HP secara individual;

• HPA tidak memerlukan schuldstschappij untuk (penentuan kesalahan)

menentukan klasifikasi delik adat, karena kebanyakan dari masyarakat hukum

adat lndonesia ada diklasifikasikan secara bertingkat-tingkat


26
(standenmaatschappij) orang yang tingkat atas lebih penting dari orang

tingkat bawah ( triwang'sa di Bali), makin tinggi kedudukan orang seorang

dalam masyarakat, makin berat sifat delik yang dilakukan terhadapnya yang

berakibat makin berat pula pidana yang akan dijatuhkan kepada pembuat

delik adat ini.

• HPA tidak mengenal medeplichtigheid dan empat jenis dader;

• HPA tidak mengenal poging, semua delik dianggap mengganggu

keseirnbangan kosmis.

• HPA mengenal asyl, dan HPA tidak mengenal concursus. Di dalam

masyarakat Bugis Makassar dikenal hak asyl ini bahwa seorang pembuat

delik yang menghadap kepala adat/raja untuk minta perlindungan, tidak boleh

dibunuh atau dianiaya atau ditangkap oleh sanak korban kejahatan atau

korban kejahatan. Dalam hal demikian pelaku yang membunuh atau

menganiaya atau menangkap orang di depan raja atau di kediaman raja

dinyatakan nasekkokni wewangeng ratu, sudah dilindungi oleh paying raja.

Orang demikian juga sudah dilindungi sekalipun ia belum masuk di

pekarangan rumah kepala adat atau raja, akan tetapi kopiahnya atau

pakaiannya sudah dilemparkannya masuk ke pekarangan raja. Kalau ia

dibunuh atau dianiaya, maka pelakunya akan dipidana dengan kesalahan

melanggar delik adat "gego pasok", menggoyangkan tiang negara,

memberontak.

• Peradilan adat dilakukan dengan pengaduan atau permintaan.

• Delik adat itu ada apabila ada pelanggaran tata tertib adat;

• Semua delik dinyatakan sebagai mengganggu keseimbangan masyarakat.

semua perbuatan yang mengganggu keseimbangan alam/kosmis tersebut


27
dipandang menyebabkan dishermoniesasi dalam persekutuan masyarakat

hukum adat karenanya menjadi delik adat yang harus diadili berdasarkan

hukum (acara) pidana adat dari masyarakat hukum adat tersebut.

TERJADINYA DELIK ADAT

Menurut Hilman Hadikusuma (1989:15-20) bahwa terjadinya delik adat

kerena tata-tertib adat dilanggar dan keseimbangan masyarakat terganggu,

keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut :

• Tata Tertib Adat Dilanggar.

Menurut Ahmad Dt. Batuah/A.Dt.Madjoindo (dalam Hilman

Hadikusuma, 1989:15) bahwa Tata-tertib adat adalah ketentuan-ketentuan

adat yang bersifat tradisionil yang harus ditaati oleh setiap orang dalam

pergaulan hidup bermasyarakat. Termasuk didalamnya ketentuan-tetentuan

yang bersifat adat sebenarnya adat, adat-istiadat, adat nan diadatkan dan

adat nan teradat, yang meliputi berbagai bidang-bidang yang campur aduk

tidak terpisah-pisah seperti ketentuan tentang tata kemasyarakatan, tata-

kekerabatan, tata-perkawinan, tata-kewarisan, pertanahan, peladangan,

perkebunan, peternakan, lalu-lintas dan lain sebagainya.

Apabila semu ketentuan adat itu ada yang dilanggar, maka terjadilah

delik adat yang berakibat timbulnya reaksi dan koreksi dari petugas hukum

adat dan masyarakat. Apabila rekasi dan koreksi itu tidak ada lagi, dan pihak

yang melanggar itu sendiri tidak pula merasakan bahwa perbuatannya itu

merupakan pelanggaran, maka walaupun menurut ketentuan yang berlaku

peristiwa atau perbuatan itu bersifat pelanggaran, ia tidak lagi merupakan

delik, oleh karena tidak ada lagi reaksi dan koreksi terhadapnya.
28
Hukum adat tidak mengenal sistem hukum yang statis, maka hukum

pidana adat pun tidak statis. Setiap ketentuan hukum adat dapat timbul

berkembang dan berganti dengan ketentuan yang baru. Begitu pula

pelanggaran terhadap hukum adat akan lahir berkembang dan lenyap

dikarenakan rasa keadilan dan kesadaran hukum rakyat berubah.

sebagai contoh dari ketentuan adat Lampung yang dimasakini tidak

berlaku lagi bagi pemuka adat dikarenakan perkembangan zaman. dari

Kuntara Raja Niti (dalam Hilman Hadikusuma 1989:16) bahwa "Apabila ada

(punyimbang) yang menjadi jarahan" atau jadi tabanan, maka ketika ia pulang

ke kampong, ia harus membayar denda sebesar 3 x 24 rial, ditambah satu

kerbau untuk disembelihnya guna hidangan makan minum dalam pertemuan

dengan para punyimbang lain. Ketika pertemuan itu ia bersalaman dengan

para punyimbang dan menyatakan "alangkah tidak senangnyah hidup saya."

Terjadinya delik adat tidak selamanya dikarenakan melanggar

ketentuan adat yang dipertahankan oleh petugas hukum adat, dapat saja

terjadi dikarenakan yang bersangkutan sendiri merasa dirugikan. Sebagai

contoh yang sering terjadi dimasa sekarang di Lampung, dimana sebidang

tanah digugat oleh penduduk asli atas dasar hak kerabat, sedangkan tanah

tersebut sudah dikerjakan dan dimiliki oleh. transmigran berdasarkan

ketentuan pembagian dari kepala kampung. Masalahnya tidak lain adalah

dikarenakan pemuka-pemuka adat bersangkutan melakukan reaksi dan

koreksi terhadap penguasa yang tidak mengikut Sertakan mereka dalam

penyelesaian masalah tanah. Oleh karena menurut hukum adat setiap bidang

tanah yang pernah dibuka Seseorang warga adat, maka untuk selamanya

hak kekerabatannya (hak utama, voorkeursrecht) tetap melekat. Inti


29
masalahnya adalah dikarenakan "mak sapen wawai" (tidak beres

penyelesaiannya), kata orang Lampung.

Dengan demikian delik adat itu akan selalu dapat timbul dikarenakan

masyarakat adat atau warga adatnya, merasa diperlakukan tidak adil, baik

oleh sesama warga adat maupun oleh pihak luar.

• Keseimbangan Masyarakat Terganggu.

Hilman Hadikusuma (1989:17-18) menjelaskan bahwa Keseimbangan

dalam kehidupan masyarakat akan menjadi terganggu dikarenakan peristiwa

yang terjadi bertentangan dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum

masyarakat menurut waktu, tempat dan keadaannya. Keseimbangan itu

dapat dibedakan antara keseimbangan Umum, keseimbangan masyarakat

pada umumnya dan keseimbangan masyarakat kelompok, keseimbangan

kerabat atau keluarga. Jadi terjadinya delik adat ada yang sifatnya

bertentangan dengan rasa keadilan umum, bertentangan dengan azas

kesamaan hak dan kerukunan yang umum dan ada yang hanya bertentangan

dengan hak-hak kerukunan kekerabatan, Kekeluargaan atau perorangan.

Terjadinya pelanggaran adat yang mengganggu keseimbangan umum

misalnya, Di dalam hukum adat Lampung dikatakan:

”Apabila ada orang pindah menetap diam disuatu kampung, kemudian


sejak orang itu ada kampong yang selamanya aman. tentram, tiba-tiba
sering terjadi keributan, dan kalau ada yang mengajukan masalahnya,
maka sipendatang itu dapat dihukum membayar denda 12 rial kepada
setiap punyimbang yang ada dikampung itu. Ini namanya "ngaranat
ngumpul baya" (KRN.108).

"Apabila ada orang yang membuat keributan pada waktu gawei adat
(pesta adat) kecil atau besar, dikarenakan ada dendam sakit hatinya,
dimana ia bertindak sendiri tanpa mengadu kepada hakim, maka orang
itu dapat dihukum denda 3 x 12 rial untuk gawi kecil, 3 x 50 rial untuk
gawi besar, 3 x 24 rial untuk gawi kecil dikampung lain dan

30
mengembalikan semua kerugian biaya yang punya gawi. Ini namanya
"ngaranat nyuwoh baya".( KRN.216 ).

Dalam tata hukum masyarakat hukum kecil harus dianggap sebagai

suatu delik ialah setiap adanya gangguan keseimbangan sepihak, setiap

pelanggaran sepihak terhadap kebendaan dalam hidup yang berwujud atau

tidak berwujud dari orang seorang, dalam bentuk kesatuan atau dari sejumlah

orang (sekelompok). Dengan demikian bukan saja perbuatan menghina

pemuka adat yang hidup merupakan perbuatan yang mengganggu

keseimbangan melainkan juga perbuatan menghina Poyang asal keturunan

yang sudah dikeramatkan merupakan perbuatan yang mengganggu

keseimbangan masyarakat.

LAPANGAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA ADAT

Menurut Hilman Hadikusuma (1989:18-20) bahwa Lapangan berlakunya

hukum pidana adat terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu, karena

tidak ada hukum pidana adat yang dapat berlaku diseluruh wilayah Indonesia.

Namun hukum pidana adat setempat itu masih tetap berlaku selama masyarakat

adat tersebut masih ada, maka selama itu pula hukum pidana adat akan tetap

berlaku, hanya sejauh mana kekuatan berlakunya tergantung pada keadaan

waktu dan tempat.

Hukum pidana adat tetap berlaku walaupun tidak tertulis dalam bentuk

perundang-undangan serta tidak adanya penguasa yang mempertahankan-nya.

Namun masyarakat tetap mempertahankannya karena sifat dan sanksi hukum

serta cara penyelesaiannya sesuai dengan keadaan masyarakat dan

perkembangan zaman.

31
Hukum pidana adat tetap berlaku terhadap anggota-anggota warga

masyarakat adat dan orang-orang diluarnya yang terkait akibat hukumnya.

sebagai contoh yang dialami sendiri oleh Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum

Universitas Lampung dalam tahun 1976, dimana sebagai akibat kecelakaan lalu

lintas seorang anak berumur 6 tahun telah mati digiling mobil di kampung

Langkapura. Supir mobil Colt yang menggiring adalah warga negara keturunan

cina sedangkan anak yang mati warga adat Lampung. Dalam penyelesaian

damai antara dua pihak yang ditangani oleh biro bantuan hukum, para pemuka

adat dari pihak yang dirugikan bersedia menerima uang sejumlah seratus lima

puluh ribu rupiah dari pihak yang merugikan dan diantara mereka dibuat

perjanjian persaudaraan dimana pihak yang merugikan menyerahkan adiknya

sebagai ganti anak yang hilang dan akan selalu membantu dan mengurus

kepentingan keluarga pihak yang dirugikan sebagai mengurus keluarga sendiri.

Walaupun pengadilan adat (inheemsche rechtspraak) sudah tidak ada

lagi, tetapi peradilan adat atau peradiran perdamaian desa tetap hidup dan diakui

oleh undang-undang darurat No. 1 tahun 1951. Sebenarnya sekalipun tidak ada

undang-undang yang akan mengakuinya, namun didalam pergaulan masyarakat

sehari-hari peradilan perdamaian itu tetap berjalan sesuai dengan kesadaran

hukum rakyat dan rasa keadilan yang dihayati rakyat.

Bahwa terhadap perbuatan kejahatan seperti pembunuhan, penganiayaan

dan delik-delik harta benda, rakyat pada umumnya menerima KUHPidana, tetapi

oleh karena kemampuan hukum pidana umum itu terbatas dimeja pengadilan

negeri dan tidak akan dapat melayani setiap kepentingan rasa keadilan

masyarakat, maka masih dibutuhkan adanya upaya-upaya adat untuk dapat

memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu.


32
Sebenarnya jika hakim resmi dapat memerika dan memutuskan kasus-

kasus perkara pidana adat berdasarkan hukum adat dihadapan pengadilan

negeri, masyarakat mungkin akan menyambutnya dengan baik. Tetapi dalam

kondisinya sekarang tentu belum mungkin. Yang jelas belum mungkin oleh

karena walaupun hakim tidak boleh menolak untuk memeriksi perkara, tetapi jika

hakim masih tetap terikat pada aturan-aturan yang prae-existent, begitu pula

dalam cara pemeriksaan dan peradilannya didasarkan pada hukum acara barat

(RlB), maka hasilnya akan berarti hanya menelorkan keputusan bukan

penyelesaian.

Hakim peradilan adat bekerja tanpa pamrih, tanpa upah atau balas jasa,

tetapi bekerja atas dasar sukarela dengan penuh kejujuran dan kebijaksanaan

yang penuh pengabdian guna dapat mewujudkan kerukunan dan keadilan guna

keseimbangan hidup masyarakat. Suatu keadaan yang jauh berbeda dari

kepribadian dan peranan hakim yang berdasarkan jiwa alam fikiran barat.

Dengan demikian lapangan berlakunya hukum pidana adat mempunyai

tempat tersendiri yang jauh berbeda dari lapangan berlakunya hukum pidana

barat. Hukum pidana adat berlaku di lapangan hidup kemasyarakatan yang

bertautan dengan keseimbangan duniawi dan rokhani.

SISTEM HUKUM PIDANA ADAT

Menurut Hilman Hadikusuma (1989:21) bahwa hukum pidana adat tidak

memakai sistim sebagaimana hukum pidana barat. Letak perbedaannya adalah

dikarenakan jiwa dan tujuannya berbeda. Hukum pidana adat dijiwai Pancasila,

dijiwai oleh sifat-sifat kekeluargaan yang magis religieus, dimana yang

diutamakan bukanlah rasa keadilan perorangan tetapi rasa keadilan


33
kekeluargaan, bukan keputusan yang penting dalam mempertimbangkan

masalah, tetapi yang penting adalah penyelesaian yang membawa kerukunan,

keselarasan dan kekeluargaan.

Oleh karenanya hukum pidana adat tidak bermaksud menunjukkan hukum

dan hukuman apa yang harus dijatuhkan kepada sesuatu pelanggaran yang

terjadi, tetapi yang penting adalah bagaimana memulihkan kembali hukum yang

menjadi pincang sebagai akibat terjadinya pelanggaran.

Untuk mengetahui bagaimana sistim yang berlaku didalam hukum pidana

adat, maka ia harus dibandingkan dengan hukum pidana perundang-undangan

sebagai terdapat didalam KUHPidana walaupun hukum pidana adat itu, pada

dasarnya tidak seperti dalam sistim hukum kriminil barat bertujuan untuk

memperbaiki orang yang salah karena melanggar hukum.

Sistem hukum pidana adat tersebut antara lain menurut Hilman

Hadikusuma (1989:21-28) adalah :

• Sistem Terbuka.

Sistem "pelanggaran" yang dianut hukum pidana adat adalah "terbuka"

tidak tertutup seperti hukum pidana barat yang terikat pada Suatu ketentuan

sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 KUHPidana, oleh karena apa yang

dilarang atau dibolehkan menurut hukum adat itu akan selalu diukur dengan

mata rantai lapangan hidup seluruhnya. Segala sesuatu yang terjadi dapat

saja merupakan pelanggaran apabila kejadian itu tidak sesuai atau

mengganggu kehidupan warga masyarakaat adat.

Apabila terjadi peristiwa atau perbuatan yang mengganggu

keseimbangan maka para petugas hukum (jika diminta) akan berusaha

mengembalikan keseimbangan Itu dengan mencari jalan penyelesaian,


34
setetah kesepakatan dapat dicapai. Barulah dapat dilihat norma-norma

hukum adat yang ada atau rnenentukan hukum yang baru untuk memenuhi.

Kesepakatan guna penyelesaian. Keputusan untuk mewujudkan

penyelesaian seringkali bukan saja timbul dari pihak petugas hukum tetapi

juga dari pihak yang merasa berbuat merugikan.

• Perbuatan Salah.

Menurut sistem hukum pidana barat, perbuatan yang salah yang

berakibat dapat dijatuhi hukuman, ditujukan pada orang yang berbuat

melakukan kesalahan, dan kesalahan itu dilihat dari perbuatan yang

dilakukan dengan sengaja (opzet) atau karena kelalaian (culpa).

Hukum pidana adat tidak memakai sistem demikian, tidak melihat

apakah perbuatannya karena dolus atau culpa, tetapi melihat pada akibatnya,

apakah karena akibat itu diperlukan adanya koreksi dan reaksi yang berat

atau yang ringan, apakah hanya cukup dibebankan kepada keluarga, kerabat

dan masyarakat adatnya, atau juga mungkin kedua pihak baik yang berbuat

salah atau juga yang terkena akibatnya.

Menurut sistem hukum pidana barat setiap deilk berarti bertentangan

dengan kepentingan negara (umum), oleh karenanya perbuatan salah harus

dapat dibuktikan salahnya, jika. tidak terbukti maka yang dituduh bersalah

tidak dapat dihukum.

Hukum pidana adat hanya mengenal delik yang bertentangan dengan

kepentingan masyarakat setempat dan atau bertentangan dengan

kepentingan pribadi seseorang. Begitu pula ada delik adat yang memerlukan

adanya pembuktian, tetapi ada pula yang tidak memerlukan pembuktian

35
sama sekali dikarenakan sudah dianggap umum mengetahuinya atau

dikarenakan umum sudah terkena akibat perbuatannya.

Selanjutnya menurut hukum pidana adat selain kesalahan dapat

dibebankan pada orang lain, begitu pula orang lain dapat ikut menanggung

suatu perbuatan salah. Oleh karenanya kadang-kadang jika ada seseorang,

mati terbunuh dan terdapat disuatu kampung mayatnya terbujur, maka

sementara sipembunuh belum dapat diketemukan, maka kampung

bersangkutan harus bertanggung jawab dan mengganti kerugian pada

keluarga penderita

• Pertanggungan Jawab Kesalahan.

Menurut hukum pidana barat seseorang yang dapat dipertanggung

jawabkan melakukan perbuatan salah adalah orang yang berfikiran waras,

sehingga lerhadap orang gila yang melakukan perbuatan salah, tidak dapat

dihukum. Hukum pidana adat tidak membedakan orang waras aiau tidak

waras, yang dilihat adalah akibatnya, oleh karena pihak yang dirugikan dapat

saja menuntut ganti kerugian atau penyelesaian terhadap akibat perbuatan

orang gila pada pihak keluarga/kerabat orang gila yang bersalah, walaupun

cara penyelesaian dan ganti ruginya dapat berlaku lebih ringan dari pada

perbuatan salah orang yang sehat.

Ada kemungkinan anak-anak yang belum berumur delapan tahun atau

orang gila seperti di Bali tidak dapat dijatuhi hukuman mengenai perbuatan

salah yang dapat dimaafkan, kecuali perbuatan salah itu merupakan

perbuatan "sadtaji" yang harus dihukum berat seperti pembakaran, amuk,

meracun orang, menghina raja, perkosaan.

36
Pertanggungan jawab kesalahan yang dilakukan oleh pelakunya dinilai

menurut ukuran kedudukan pelaku itu didalam masyarakat makin tinggi

martabat seseorang didalam masyarakat akan makin berat pula hukuman

yang harus diterimanya, sebagai akibat kesalahan yang diperbuatnya. Ukuran

penilaian martabat ini sangat berpengaruh dikalangan masyarakat yang

susunan kekerabatannya bertingkat, seperti dikalangan masyarakat adat

kasta di Bali, masyarakat kebangsawanan Bugis dan Makasar, masyarakat

tepunyimbangan Lampung.

• Menghakimi Sendiri.

Menurut hukum pidana adat perorangan, keluarga, kerabat yang

menderita kerugian sebagai akibat kesalahan seseorang, dapat bertindak

sendiri menyelesaikan dan menentukan hukuman ganti kerugian dan lain-lain

terhadap pelaku yang telah berbuat salah, tanpa menunggu kerapatan atau

keputusan petugas-petugas hukum adat. Dimasa lampau di tanah Batak

pihak yang menderita akibat kesalahan seseorang dapat langsung

"mambeongkon", menahan sipelaku dan mengikatnya dengan kayu sampai

kerabatnya membayar denda adat. Di Minangkabau berlaku "adat tarikh"

dimana pihak penderita berhak menahan atau mengambil barang sipelaku

atau barang-barang keluarganya sebagai jaminan agar pihak pelaku

membayar ganti kerugian atau denda adat.

Hal yang serupa baru-baru ini terjadi di Kotabumi (Lampung Utara),

dimana pihak keluarga yang menderita akibat ditumbur mobil, mengambil dan

menahan mobil pihak yang bersalah sebagai jaminan agar pihak kepolisian

berusaha menangkap supir yang bersarah itu. Mobil baru kemudian

37
diserahkan pada pihak kepolisian setelah sisupir dapat ditangkap dan

pemuka-pemuka adat mengadakan perundingan untuk mencari penyelesaian.

Selain hak menghakimi sendiri oleh pihak penderita, menurut hukum

pidana adat, apabila perbuatan salah itu mengenai kebendaan, maka pihak

yang terkena berhak menuntut nilai ganti kerugian berdasarkan ukuran nilai

bendanya. Barang-barang biasa akan lebih ringan nilai tuntutan ganti ruginya

dari barang-barang yang bersifat magis-religieus, seperti alat perlengkapan

adat, pusaka warisan, dan lain-lain.

• Membantu Atau Mencoba Berbuat Salah.

Menurut hukum pidana adat tidak dikenal perbuatan yang bersifat

membantu berbuat (medeplichtigheid), atau membujuk melakukan (uitlokking)

atau ikut berbuat (mededaderschap) oleh karena semua perbuatan itu

merupakan rangkaian yang menyeluruh dan siapa saja, bagaimanapun

bentuk dan sifat perbuatan itu, segara sesuatunya dianggap sebagai suatu

kesalahan yang harus diselesaikan apakah dengan hukuman ataukah dengan

ampunan, jika dihukum kesemuanya dihukum, jika diampuni kesemuanya

diampuni, tidak boleh dipisah-pisahkan masalahnya, oleh karena jika

demikian berarti tidak selesai.

Menurut hukum pidana barat sebagaimana terdapat dalam

KUHPidana. ada yang disebut "strafbare poging" atau usaha percobaan yang

dapat dihukum. Hukum pidana adat tidak mengenal sistim demikian. dengan

kata lain apapun bentuk dan sifat percobaan yang telah dilakukan untuk

berbuat salah tidak dapat dihukum, kecuali usaha percobaan itu mengganggu

keseimbangan hukum masyarakat.

38
Jika terjadi misalnya seseorang menembak orang lain tetapi tidak

kena, maka petugas hukum adat akan berusaha mencegah kelanjutan dari

perbuatan itu dengan mendamaikan kedua pihak yang berselisih. Begitu pula

bila kedapatan perbuatan orang memasukkan racun dalam makanan untuk

membunuh seseorang, walaupun pelakunya diketemukan maka ia tidak

dihukum melainkan diusahakan pencegahan agar niatnya yang salah itu tidak

diteruska. cara penyelesaian misalnya kedua pihak yang berselisih

dipertemukan dan didamaikan, sehingga persoalannya menjadi selesai sama

sekali.

• Kesalahan Residif.

Menurut hukum pidana barat seseorang yang telah berkali-kali

melakukan perbuatan salah hanya dapat dijatuhi hukuman atas perbuatan

salahnya yang terakhir. Menurut hukum pidana adat kesemua perbuatan

salah yang telah dilakukan diperhitungkan dan dinilai keseluruhannya, untuk

dapat mempertimbangkan apakah sipelaku masih dapat dimaafkan dan

diampuni perbuatannya ataukah ia perlu diambil tindakan lebih jauh.

Penyelesaian oleh petugas hukum dapat saja diserahkan kepada keluarga

atau kerabat bersangkutan untuk diambil tindakan seperlunya atau jika

kerabat bersangkutan menyerahkan saja pada petugas hukum, maka pelaku

residif itu disingkirkan sama sekali dari pergaulan masyarakat, misalnya

seperti disebut dalam istilah Minangkabau di "buang tingkarang", artinya

dibuang untuk selama-lamanya dari persekutuan hukum adat. Dengan

dijatuhi hukuman buang tingkarang ini maka sipelaku yang bersalah tidak

dibenarkan lagi untuk kembali ke kampungnya dan bergaul dengan kaum

kerabatnya.
39
Kesalahan residif adat yang berakibat dibuang untuk selama- lamanya

dari lingkungan masyarakat, dilakukan terhadap seseorang yang telah

berulang-ulang melakukan perbuatan melanggar hukum, sehingga golongan

masyarakat dan karebat bersangkutan sudah tidak sanggup lagi

memperbaikinya. Tetapi jika kaum kerabat sibersalah itu masih sanggup

memperbaikinya maka sibersalah dapat hanya diselesaikan dengan hukuman

"buang sirih" (Minangkabau) yaitu dibuang untuk beberapa tahun dari

lingkungan kerabat. Misalnya dikarenakan perbuatan zina yang di lakukan

oleh muda-mudi, maka keduanya dikawinkan kemudian disuruh

meninggalkan kampong halaman untuk sementara waktu. Begitu pula

terhadap seseorang yang berulang-ulang suka berhutang dan tidak

membayar, sehingga kerabat ikut serta menanggung hutang itu. Terhadap

seseorang yang bersalah suka berhutang tidak membayar ini dapat dihukum

“buang hutang"(Minangkabau) oleh kerabatnya, ia disuruh pergi dari kaum

kerabatnya sampai ia dapat bertobat dan dapat hidup baik tidak mengganggu

keseimbangan kerabatnya.

• Berat Ringan Hukuman.

Menurut kitab undang-undang hukum pidana bagian ke-3 terdapat

aturan tentang penglenyapan, pengurangan dan penambahan hukuman

(Pasal 44-52), sehingga dengan aturan-aturan tersebut maka Hakim tidak

boleh membuat-buat alasan lain untuk melenyapkan, mengurangkan dan

menambahkan hukuman selain dari aturan yang sudah ada.

Didalam peradilan adat yang pelaksanaannya selalu didasarkan pada

atas kekeluargaan, kedamaian, kerukunan dan rasa keadilan, maka para

hakim adat bebas menyelesaikan sesuatu kasus pidana adat dengan


40
memperhatikan suasana dan kesadaran masyarakat setempat. Ada kalanya

yang menurut hukum adat merupakah kesalahan besar diselesaikan dengan

hukuman yang ringan, tetapi juga ada kalanya yang merupakan kesalahan

kecil diselesaikan dengan hukuman yang berat.

Menurut Muhamad Hoesin (dalam Hilman Hadikusuma, 1989:26) Di

Aceh misalnya perbuatan zina merupakan "fahisyah" atau kejahatan besar,

dimana para petakunya harus dihukum siksa (Had) oleh peradilan adat.

Tetapi apabila para pelaku bersedia kawin maka Keutjhik dan Teungku

Meunasah menyelesaikannya dengan damai. Peribahasa Aceh mengatakan

"nibak mirah blang, bah mirah djuree" (dari pada sawah yang merah lebih

baik kamar yang merah), maksudnya daripada hidup tidak keruan lebih baik

kawin saja.

Perbuatan mencuri pada umumnya merupakan perbuatan yang

mengganggu keseimbangan umum, tetapi jika seorang kedapatan mencuri

beras sedikit untuk makan karena sudah beberapa hari keluarganya tidak

makan nasi, atau mencuri buah-buahan karena disuruh dukun untuk

keperluan pengobatan orang yang sedang menderita sakit, maka hukum adat

dapat memaafkan perbuatan demikian, dimana sibersalah tidak dihukum.

Tetapi sebaliknya walaupun perbuatan mencuri itu hanya di lakukan

terhadap sesuatu barang yang kurang berharga katakanlah mengambil buah

kelapa orang lain, jika yang melakukan pencurian itu adalah penghulu adat

maka perbuatan tersebut merupakan kesalahan besar. Di daerah Lampung

seorang punyimbang (pemuka adat) yang berbuat demikian dikenakan sanksi

hukuman agar meminta maaf kepada sidang “prowatin” (para pemuka adat)

dan membayar biaya adat untuk rnengembalikan kehormatan pribadi dan


41
keluarganya. Di Minangkabau seorang "penghulu andiko" yang membuat

malu kaum kerabatnya tidak akan dapat dipertahankan sebagai kepala

kerabat dan ia harus diganti kedudukannya dengan orang lain.

Permintaan maaf, permohonan ampun dan mengakui kesalahan dapat

menjadi alasan bagi hakim adat untuk meringankan, atau membebaskan

sibersalah dari hukuman atau mengganti hukuman itu dengan pendidikan

budi pekerti keagamaan. Lebih lanjut Muhamad Hoesin (dalam Hilman

Hadikusuma 1989:27) Di Aceh dimasa lampau "Sigeupoh" yaitu orang yang

diampuni dari hukuman mati–hukum bunuh dikirimkan dan ditempatkan pada

Teuku Keudiruen Udjong Aron Lamuga Sagi XXVI mukim untuk dididik agar

sigeupoh dapat kembali menjadi orang yang baik dan berguna bagi

masyarakat dan kerajaan Aceh.

• Hak Mendapat Perlindungan.

Menurut hukum adat yang berlaku dibeberapa daerah terdapat

ketentuan bahwa seorang yang bersalah dapat dilindungi dari ancaman

hukuman dari suatu pihak apabila ia datang meminta perlindungan kepada

Kepala adat, penghulu agama atau raja. Dari H.M Yamin (dalam Hilman

Hadikusuma,1989:27) bahwa Van Vollenhoven menyatakan bahwa "hak asijl"

ini terdapat di Sumatera, Sulawesi, Sumba dan Bali. Dizaman dahulu di

zaman Majapahit menurut penulisan sendang sedati (1463) pencuri yang

tertangkap tangan dengan barang curiannya dapat meminta perlindungan di

tanah perdikan.

Menurut hukum adat Lampung yang hingga kini masih tetap berlaku

apabila teriadi bujang dan gadis belarian untuk melaksanakan perkawinan

dan datang meminta perlindungan kepada kepala adat, maka kepala adat dan
42
tua-tua adat setempat harus melindungi keduanya dan segera

bermusyawarah untuk menyelesaikan kesalahan muda mudi itu secara damai

dengan pihak orang tua gadis dan kerabatnya, pihak gadis tidak berhak

menarik anak gadisnya kembali dari tangan kepala adat, kecuali belarian itu

dilakukan dengan paksaan bukan atas kemauan gadis itu sendiri.

• Kesalahan Didalam Hukum Adat.

Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara "kejahatan" dan

"pelanggaran" Sebagaimana diatur dalam KUHPidana Bab Il dan Bab Ill. Baik

kejahatan ataupun pelanggaran kesemuanya adalah "kesalahan" dan barang

siapa melakukan kesalahan yang menyebabkan keganjilan dan terganggunya

keseimbangan masyarakat maka kesalahan itu harus diselesaikan, diperbaiki

atau dihukum. Begitu pula didalam hukum pidana adat tidak ditekankan

perbuatan kesalahan itu pada adanya unsur kesengajaan atau karena kurang

hati-hati, melainkan yang penting bahwa kesalahan itu sudah terjadi.

Jadi adanya suatu kesalahan yang menyebabkan kerugian bukanlah

syarat untuk menghukum sipelaku agar mengganti kerugian atau

memperbaiki kesalahan itu, melainkan hakim yang harus lebih banyak

memperhatikan ukuran sejauh mana kesalahan itu terjadi dan mengganggu

keseimbangan dan kepentingan masyarakat. Misalnya saja jika A melakukan

kesalahan telah menghilangkan nyawa B sedangkan B oleh masyarakat

diketahui memang penjahat ulung yang sering mengganggu keamanan

kampung, sesungguhnya kesalahan A bukan kesalahan tetapi dianggap

perbuatan yang terpuji. Dalam hal ini hakim adat tidak akan menghukum A

melainkan barangkali jika perlu melakukan sedekah umum untuk memohon

perlindungan tuhan yang maha esa.


43
Diberbagai daerah apa yang merupakan perbuatan kesalahan

tentunya terdapat perbedaan, begitu pula dalam cara memutuskan dan

menyelesaikannya serta hukuman yang ditetapkan berbeda-beda. Tetapi

disana sini terdapat persamaan-persamaan, misalnya tentang kesalahan

yang berlaku ditanah Toraja tentang kesalahan dengan mulut dikenakan

hukuman dasar seekor ayam, kesalahan dengan tangan dikenakan hukuman

dasar seekor kambing dan kesalahan dengan badan seluruhnya dikenakan

hukuman dasar seekor kerbau. Hukuman dasar tersebut dapat ditambah

dengan syarat-syarat lainnya. Hal ini mirip dengan apa yang berlaku di

sumatera selatan dan Lampung, misalnya dikalangan masyarakat adat

Semendo, yang disebut "cempala mulut", "cempala tangan", dan sebagainya.

JENIS DELIK ADAT, SANKSI ADAT DAN PERADILAN ADAT

• Jenis Delik Adat

Soepomo (2003:127) Delik adat yang menjadi kewenangan mengadili

pengadilan adat adalah jenis delik adat yang masih hidup dalam masyarakat

adat meliputi : (a) Delik adat kesusilaan seperti hubungan cinta, seksual suka

sama suka, janji kawin diingkari, zina, incest' perkawinan antar agama,

kumpul kebo. (b) Delik adat harta benda seperti pencurian benda adat, (c)

Delik adat melanggar kepentingan pribadi seperti pengucapan kata-kata

kotor, mencaci orang,memfitnah orang, menipu orang lain atau berbohong

yang menimbulkan kerugian, menuduh tanpa bukti yang jelas, (d) Delik adat

kelalaian atau tak jalankan kewajiban adat, seperti tidak ikuti upacara adat,

tidak hadir rapat adat, tidak bayar iuran untuk kepentingan adat, Bahwa jenis

delik adat selain delik yang tercantum pada gambaran tersebut diatas,
44
memberi gambaran bahwa pengadilan adat dapat memeriksa mengadili, dan

memutuskan jenis delik adat lainnya dengan terlebih dahulu memberitahukan

(melaporkan) hal tersebut kepada aparat penegak hukum terdekat (Polri)

untuk rnendapatkan pengamanan. Delik tersebut tidak tertutup kernungkinan

diproses menurut sistem peradilan pidana dengan tetap dilampirkan

keputusan pengadilan adat untuk dijadikan pertimbangan khusus,

salah satu sifat dari delik adat adalah "standenmaatschappij" yaitu

delik adat yang digolongkan ke dalam bertingkat-tingkat menurut susunan

atau struktur sosial dari masyarakat adat bersangkutan. Contoh di Bali yang

memilih masyarakat berkasta-kasta sebagai pengaruh agama hindu, misal

persetubuhan antara seorang perempuan Brahmana dengan seorang lelaki

dari kasta lebih rendah merupakan delik yang berat, sebab membahayakan

masyarakat.

• Sanksi Pidana Adat

Berkaitan dengan masalah sanksi, menurut G.P. Hoefnagels (dalam

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah) bahwa sanksi dalam hukum

pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan

undang-undang di mulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa

sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim. Namun sanksi dalam hukum

pidana adat berbeda.

Salah satu sifat hukum adat yaitu ada koreksi dan reaksi yang

berwujud : (a) Ganti kerugian immaterial, misalnya paksaan menikah gadis

yang telah cemar kehormatannya, (b) Membayar uang adat kepada pihak

yang dirugikan atau berupa denda suci sebagai ganti kerugian rohani, (c)

Mengadakan selamatan (sedekah, kurban) untuk membersihkan masyarakat


45
dari segala kekotoran ghaib, (d) Memberi penutup malu, permintaan maaf, (e)

Berbagai macam hukuman badan, hingga hukuman mati, (f) Diasingkan

disingkirkan, dibuang dari masyarakat serta menempatkan orangnya di luar

tata hukum.

Terhadap bentuk-bentuk koreksi dan/atau reaksi tersebut pada setiap

masyarakat hukum adat berbeda-beda (tidak ada keseragaman

pengaturannya). A.Zainal Abidin Farid (1997:55) Seperti di beberapa daerah

lain di Indonesia, sebagai contoh di Minangkabau (Sumbar) dikenal tiga

macam sanksi, yaitu : (a) Buang sirih dikenakan kepada seseorang oleh

karena buruk tabiatnya sehingga membuat malu sanaknya, yaitu dikeluarkan

dari lingkungan sanaknya untuk sementara waktu; (b) Buang hutang,

dijatuhkan kepada seorang yang suka meminjam uang atau barang dari

orang lain dan senantiasa tidak membayar hutang-hutangnya sehingga

sanaknya yang menanggung semua hutangnya. Dengan penjatuhan buang

hutang kepada orang itu sanaknya terbebas dari kewajibannya menanggung

hutang-hutangnya; (c) Buang tikarang, dijatuhkan kepada seseorang yang

telah berulang kali rnelakukan kejahatan sehingga dibuang untuk selama-

lamanya, karena sanaknya dan masyarakat tidak sanggup lagi mempunyai

anggota yang begitu jahat.

A.Zainal Abidin Farid (1997:55) Di Sulawesi Selatan dinamakan

'mpaoppangi tanah’ ditutupi oleh tanah, yaitu diusir keluar kampung untuk

selama-lamanya, yang dijatuhkan oleh pengadilan adat karena melakukan

kejahatan berat seperti incest atau telah berulang kali melakukan kejahatan.

Dalam hal ini bukan sanaknya yang menghukum, tetapi hakim. Sanaknya

46
dapat menyangkalinya sebagai anak, sanak yang disebut riattelokamporoang

(dijadikan telur busuk), yang tidak berhak mewaris.

Selanjutnya A.Zainal Abidin Farid (1997:55) menjelaskan bahwa

Sekadar perbandingan di Sulawesi Selatan dikenal juga istilah khusus

berkanaan dengan istilah sanksi pembalasan atau balas dendam oleh pihak

yang ditimpa aib (tomasirik), oleh karena ada perbuatan asusila berat seperti

memperkosa, bermukah (overspel), membawa lari perempuan (mallariang),

atau lari bersama perempuan (silariang), menurut alam pikiran tradisional di

Sulawesi Selatan hal ini bukan balas dendam tetapi tindakan pemulihan

harkat dan martabat dan harga diri dengan jalan membunuh atau melukai

orang yang menimbulkan aib, hal ini dikenal dengan istilah "mappaenteng

sirik” dalam bahasa Bugis, atau "moppaenteng sirik" dalam bahasa Makassar.

hukum adat pidana Bugis Makassar Juga mengenal pidana mati yang disebut

rilabu/nilabu yaitu ditenggelamkan di laut, pidana paling ringan adalah ribuang

pakkek yartu dirampas seluruh harta kekayaannya dan dijadikan budak

kerajaan,sanksi pidana lain ialah ripaoppangi tana yaitu diusir keIuar daerah

untuk selama-lamanya.

Menurut hukum adat pidana di Bali pidana adat dapat juga dijatuhkan

terhadap delik incest yang disebut "gamia gamana" atau yang disebut juga

“samara dudu” terhadap delik ini dapat dijatuhi pidana parisada atau meracu

(bersih desa) atau dalam masyarakat Lombok (suku sasak) dikenal sebagai

delik “bero” di daerah Lampung selatan A. Zainal Abidin Farid (dalam Hilman

Hadikusuma, 1989 : 79-80) menjelaskan bahwa terhadap delik menarik gadis,

menangkap dan memaksanya untuk dikawini menurut Kitab Kuntara Raja Niti

jika sigadis ditarik sibujang melewati tiga depa, maka kesalahan itu disebut
47
tekop jabo. Apabila sigadis bersedia kawin dengan bujang itu, maka sibujang

harus membayar “uang jujur" sebesar dua kali lipat dari nilai kedudukan

sigadis. Jadi bila sigadis berkekdudukan 24 maka sibujang harus membayar

uang jujur sebesar 24.000x 2=48.000,- atau dikonversi menjadi 480.000,-

akan tetapi bila sigadis menolak kawin dengan sibujang, maka dibujang

didenda 72 rial dan seekor kerbau seharga 24 rial. A. Zainal Abidin Farid

(dalam Hilman Hadikusuma 1989:79-30) juga menjelaskan bahwa biaya

sidang prowatin yang disebut bedak luynoh harus dibayar sebesar 24 rial.

Dengan demikan sigadis telah dikembalikan nilai harga dirinya dan dapat

kembali bergaul seperti biasa dengan teman-temannya.

• Peradilan Adat

Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat

hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili

sengketa perdata adat dan perkara pidana diantara warga masyarakat hukum

adat yang bersangkutan. lebih lanjut ditegaskan dalam penjelasan Pasal 51

ayat (1) UU Otsus yang menyatakan dalam ayat ini secara tegas diakui

keberadaan dalam hukum nasional, lembaga peradilan dan pengadilan adat

yang ada di Provinsi Papua sebagai lembaga peradilan perdamaian antara

para warga masyarakat hukum adat di lingkungan masyarakat hukum adat

yang ada Jika ditelusuri lebih jauh bahwa legal spirit dari asas ini adalah

sesuai dengan karakteristik hukum adat yang cenderung mengutamakan

keseimbangan (evenwicht, atau harmoni) kosmis.

Dalam kaitan ini Soepomo (dalam Bushar Muhammad, 2004:62)

menyatakan bahwa setiap putusan adat dimaksudkan untuk memulihkan

keseimbangan yang terganggu karena adanya delik adat (adat delicten).


48
pemulihan tersebut diperlukan karena delik adat itu adalah suatu perbuatan

sepihak dari seseorang atau kumpulan perorangan, mengancam atau

menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan

persekutuan, besifat material atau immaterial terhadap orang seorang atau

terhadap masyarakat berupa kesatuan tindakan atau perbuatan yang

demikian mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya dapat

memulihkan keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan

berbagai jalan atau cara dengan pembayaran adat berupa barang atau

uang, mengadakan selamatan, memotong hewan besar/kecil dan lain-lain.

Sehinga tidak dipentingkan adanya keharusan kalah atau menang dalam

pengadilan adat diantara para pihak yang bersengketa (berperkara). Asas

peradilan perdamaian ini juga mesti sedari awal disadari bahwa di dalam

pengadilan adat tidak dapat dipisahkan dengan tegas antara peradilan untuk

sengekta perdata atau perkara pidana.

Sejalan dengan hal ini perlu kiranya diungkap ketentuan dalam pasal

134 Indische Staatregerling (disingkat I.S) yang mengatur pembedaan hukum

antara golongan Eropa, timur asing dan pribumi menegaskan bahwa

"berpangkal pada perbedaan dalam tatanan hukum Eropa, yakni hukum

publik dan hukum perdata, maka untuk pengadilan-pengadilan yang harus

memperlakukan hukum adat bangsa lndonesia kesukarannya kini ialah

bahwa tatanan hukum adat tidak mengenal perbedaan antara suasana

hukum publik dan suasana hukum peradatan". (Soepomo, 2004: 39).

Selanjutnya difokuskan pada peradilan perdamaian. Apabila ditinjau

tentang model penyelesaian perkara pada zaman Hindia Belanda tercatat

adalah dorpsjustitie" (peradilan desa), sebagaimana diatur dalam Pasal 3 a


49
R.O. (Reglement op de rechtelijke organisatie en het beleid der justitie in

Indonesie ; Reglemen organisasi kehakiman serta kebijaksanaan justisi di

Indonesia) Staatblad Tahun 1847/20 jo. 1848/57; yang belum pernah dicabut.

Menurut Pasal 3 a R.O :

• Semua perkara yang menurut hukum adat termasuk kekuasaan hakim

dari masyarakat hukum kecil-kecil (hakim desa) tetap diadili oleh para

hakim tersebut.

• Ketentuan ayat di muka tidak mengurangi sedikipun hak yang berperkara

untuk setiap waktu mengajukannya kepada hakim-hakim yang dimaksud

Pasal 1, Pasal 2 , Pasal 3 (hakim yang lebih tinggi),

• Hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat (1) mengadili perkara menurut

hukum adat mereka tidak boleh menjatuhkan hukuman.

Ter Haar (dalam Hilman Hadikusuma, 2003:250) memberi patokan

terhadap pertanyaan mendasar dalam memeriksa, mempertimbangkan, dan

mengadili perkara-perkara yang berasal dari hukum adat,yakni:

• Apakah struktur mayarakat adatnya masih tetap dipertahankan ataukah

sudah berubah;

• Apakah kepala adat dan perangkat hukum adatnya rnasih tetap

berperanan sebagai petugas hukum adat;

• Apakah masih sering tejadi penyelesaian perkara dengan keputusan-

keputusan yang serupa;

• Apakah kaidah-kaidah hukum adat yang normal masih dipertahankan atau

sudah bergeser dan berubah;

50
• Apakah hukum adat itu tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1954 serta politik hukum

nasional.

Sebetulnya pernyataan Ter Haar di atas memberi bekal bathin dan

pegangan kepada hakim dalam peradilan tingkat pertama untuk tidak alergi

dengan perkara-perkara yang disebut asalnya perkara adat. Sebab lebih

lanjut Ter Haar ( dalam Hilman Hadikusuma, 2003:250) berpendapat bahwa :

Peradilan menurut hukum adat itu mengandung arti bahwa hakim itu

seterusnya bertanggung jawab membina hukum adat dalam masyarakat dan

apabila tidak ada yurisprudensi atau ketetapan yang sudah ada itu sudah

tidak sesuai lagi, maka hakim harus memutuskan yang menurut

keyakinannya bahwa hal itu berlaku menurut keadaan dan perkembangan

masyarakat, maka kewajiban hakim dalam mengadili menurut hukum adat

berarti memberikan bentuk terhadap sesuatu yang dibutuhkan sebagai

keputusan hukum,berdasarkan sistem hukum, kenyataan sosial dan asas

kemanusiaan:

PENGERTIAN ADAT, MASYARAKAT ADAT, HUKUM ADAT, MASYARAKAT

HUKUM ADAT, ORANG ASLI PAPUA

Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta

dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun temurun (Pasal I

huruf o UU Otsus).

Sementara itu pengertian masyarakat adat adalah warga masyarakat asli

Papua yang hidup dalam wilayah terikat tunduk kepada adat tertentu dengan

rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggota (Pasal 1 huruf p UU Otsus;
51
Pasal 1 angka 11 PP 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua, diikuti pula

pengertian ini dalam Pasal 1 angka 17 peraturan Daerah Provinsi (selanjutnya

disebut perdasi) Papua Nomor 4 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pemilihan

Anggota Majelis Rakyat Papua).

Tinjauan tentang adat dan masyarakat adat tentunya berkenan dengan

hukum adat sebagai pendukung dan pelaksanaan dari hukum adat. Pasal 1 huruf

q UU Otsus menyatakan bahwa hukum adat adalah aturan atau norma tidak

tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan

dipertahankan serta mernpunyai sanksi.

Sedangkan Pasal 1 huruf r UU Otsus menegaskan bahwa masyarakat

hukum adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup

dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu

dengan solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya.

Di samping pengertian secara yuridis formal tentang adat, masyarakat

adat, hukum adat dan masyarakat hukum adat, maka yang tidak kalah

pentingnya dan sangat menentukan untuk menentukan langkah selanjutnya

dalam implementasi UU Otsus, khusus berkaitan juga dengan pelaksanaan

pengadilan adat di Papua adalah batasan pengertian meneganai ”orang asli

Papua”. Pasal 1 huruf t UU Otsus menjelaskan dan memberikan batasan bahwa

orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras melanesia yang

terdiri dari suku – suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan

diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakaat adat Papua.

Pengertian atau batasan orang asli Papua ini diikuti juga rumusannya

yang sama di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang

"Majelis Rakyat Papua" (MRP) Pasal 1 angka 9 bahwa orang asli Papua adalah
52
orang yang berasal dari rumpun ras melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di

Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli

Papua oleh masyarakat adat Papua. Di dalam Pasal 2 Perdasi Papua Nomor 4

Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota MRP dinyatakan bahwa:

Orang asli Papua terdiri atas:

• Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia, suku-suku asli di Provinsi

Papua;

• Orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat

adat di Papua.

HIERARKI PERUNDANGAN

Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierachie (urutan).

Ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih rendah.

Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak

menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan atau

konflik di dalamnya. Jika ternyata ada pertentangan yang terjadi dalam suatu

sistem peraturan perundang-undangan maka salah satu dari keduanya harus

ada yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan.

Oleh karena itu diperlukan asas-asas yang mengatur mengenai

kedudukan masing-masing peraturan perundang-undangan. Setidaknya ada 3

asas (adagium) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan: Asas lex

superior derogat legi inferiori, Asas lex specialis derogate legi generali, dan Asas

lex posteriori derogat legi priori .

Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu peraturan yang lebih tinggi

akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada suatu peraturan
53
yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka yang

digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi tersebut.

Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, dikenal tata urutan sebagai berikut:

Pasa 17 (1) menyebutkan bahwa :


Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
• Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
• Peraturan Pemerintah;
• Peraturan Presiden;
• Peraturan Daerah.
Pasa 17 Ayat (2) menyebutkan bahwa :
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
• Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
provinsi bersama dengan gubernur;
• Peraturan Daerah kabupaten / kota dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah bersama bupati / walikota ,kabupaten / kota
• Peraturan Desa / peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau namalainnya bersama dengan kepala desa atau
namalainnya.

Oleh sebab itu, hukum pidana adat di Provinsi Papua khususnya pada

suku Jouw Warry telah diakui eksistensinya serta dapat diselesaikan melalui

peradilan adat apabila ada perkara pidana di antara masyarakat hukum adat

suku Jouw Warry sebagaimana di atur dalam UU Otsus Papua pada Pasal 51.

Pasal ini kemudian akan dibentuk peraturan daerah khusus ( perdasus) tentang

peradilan adat di provinsi Papua.

Dengan demikian maka, Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tersebut

yang telah di ubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Sederajat dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

54
Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan

Hukum Pidana, serta sederajat dengan undang-undang pidana yang lainnya.

Asas lex specialis derogate legi generali, yaitu pada peraturan yang

sederajat, peraturan yang lebih khusus melumpuhkan peraturan yang umum.

Jadi dalam tingkatan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur

mengenai materi yang sama, jika ada pertentangan diantara keduanya maka

yang digunakan adalah peraturan yang lebih khusus. Oleh karena itu, adanya UU

otsus tersebut merupakan peraturan yang memberikan kekhususan untuk

provinsi Papua, salah satu kekhususan tersebut adalah berlakunya peradilan

adat sebagai peradilan perdamaian diantara masyarakat hukum adat yang

memiliki wewenang memeriksa sengketa perdata adat dan perkara pidana adat.

Asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu pada peraturan yang sederajat,

peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan

yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini

peraturan yang lama tidak berlaku lagi.

Di dalam rancangan paper academic peraturan daerah khusus ( 2005:81-

83) menyebutkan bahwa sejarah pengadilan adat berdasarkan Undang-Undang

Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan sementara untuk

menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan acara Pengadilan Sipil,

yakni pada Pasal I ayat 2 sub b sudah menyatakan “pada saat berangsur-angsur

akan ditentukan oleh Mentri Kehakiman dihapuskan pengadilan adat”. Kaitan

dengan hal itu dalam pasal 39 UU Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan bahwa

“penghapusan pengadilan adat dan swapraja dilakukan oleh pemerintah”. Di

dalam penjelasan Pasal 39 UU Nomor 14 Tahun 1970 memuat Penjelasan

sebagai berikut : “Bardasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951”


55
tentang Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan

susunan kekuasaan dan acara Pengadilan Sipil pasal 1 ayat 2 Mentri Kehakiman

secara berangsur-angsur telah dilakukan penghapusan pengadilan

adat/swapraja di seluruh Propinsi Bali, Propinsi Sulawesi, Lombok, Sumbawa,

Timor, Kalimantan, Jambi dan Maluku. Bahwa yang penting dicatat bahwa

dengan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1966 tentang penghapusan

pengadilan adat/swapraja di Irian Barat dan pembentukan pengadilan Negeri di

Irian Barat. Peraturan Presiden tersebut dengan Undang-undang Nomor: 5

Tahun 1969 telah ditetapkan menjadi Undang-undang. Di dalam Pasal 1 dari

Penpres yang sudah diangkat menjadi Undang-undang tersebut menyatakan

bahwa pelaksanaan penghapusannya diserahkan kepada keputusan bersama

Gubernur Kepala Daerah dan Ketua pengadilan Tinggi Propinsi Irian Barat.

Sebagai pelaksanaan dari amanat ketentuan tersebut telah dikeluarkan

keputusan bersama Gubernur Kepala Daerah propinsi Irian Barat dan Ketua

Pengadilan Tinggi Jayapura

Nomor : 11/GIB/1970
11/IV/1970

tentang pelaksanaan Pengadilan adat/swapradja didaerah tertentu di Propinsi

Irian Barat. Dalam pasal 1 ayat (1) untuk tahap pertama telah dihapus

Pengadilan adat/swapraja sebagai berikut pengadilan swapraja Jayapura,

Lembah Balim, Nabire, Biaq, Manokwari, Sorong, Raja Ampat Fak-fak, Kaimana,

Serui, Bokondini, pengadilan adat di Merauke, Tanah Merah Mindiptana.

Bahwa penghapusan pengadilan adat sebagaimana tersebut dalam Pasal

39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang diubah dengan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 kemudian dicabut oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun

56
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengandung prinsip semua peradilan di

seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan

ditetapkan dengan undang-undang.

Menurut Hilman Hadikusuma (2003:248) bahwa ketentuan ini sekali-sekali

tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan

mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan-

peradilan negara. Selanjutnya ditegaskan dalam hal ini bahwa di samping

peradilan negara tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang

dilakukan oleh bukan peradilan Negara. Penyelesaian perkara di luar pengadilan

atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrage) tetap diperbolehkan.

Dengan demikian menurut Hilman Hadikusuma (2003: 248) bahwa "yang kita

sebut peradilan adat di sini adalah penyelesaian perkara secara damai, bukan

peradilan adat yang dahulu disebut peradilan pribumi (inheemsche rechtspraak)

atau peradilan swapraja (zelfbestuur rechtspraak)."

Dengan demikian di dalam Pasal 51 ayat (2) UU Otsus menegaskan

bahwa pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat

hukum adat yang bersangkutan. Di dalam penjelasannya Pasal 52 ayat (2)

dijelaskan bahwa Pengadilan adat bukan badan peradilan negara, melainkan

lembaga peradilan masyarakat hukum adat. Berdasarkan kenyataan yang ada

susunannya diatur menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat

setempat dan memeriksa serta mengadili sengketa perdata adat dan perkara

pidana adat berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang

bersangkutan. Hal itu antara lain mengenai susunan pengadilannya, siapa yang

bertugas memeriksa dan mengadili sengketa dan perkara yang bersangkutan

57
tata cara pemeriksaan pengambilan keputusan dan pelaksanaannya pengadilan

adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan.

Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa

perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku

pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya. Hal itu termasuk kewenangan

di Iingkungan peradilan negara. Dengan diakuinya peradilan adat dalam undang-

undang ini, akan banyak sengketa perdata dan perkara pidana diantara warga

masyarakat hukum adat di Provinsi Papua yang secara tuntas dapat

diselesaikan sendiri oleh warga yang bersangkutan tanpa melibatkan pengadilan

di lingkungan peradilan negera.

KEDUDUKAN HUKUM PIDANA ADAT DALAM HUKUM NASIONAL

• Dasar Hukum Berlakunya Hukum Pidana Adat

Ada beberapa dasar hukum berlakunya hukum pidana adat di

Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional.

• Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951

Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-

Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,

Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Di dalam Pasal 5

ayat (3) sub (b) yang berbunyi:

Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah
swapraja dan orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada
dan tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang itu dengan
pengertian: bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang
hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada
bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara
dan/ atau denda Rp 500,00 (lima ratus rupiah), yaitu sebagai
58
hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak
diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud
dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum;
bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran
hakim melampaui padanya dengan ancaman kurungan atau denda
yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat
dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara
dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham
hukum tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti
seperti tersebut di atas; dan bahwa suatu perbuatan yang menurut
hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada
bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman
bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.

Dari bunyi ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa sebenarnya

sanksi adat (hukuman adat) merupakan sanksi utama dalam hal

perbuatan yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai perbuatan

yang dapat dipidana, namun tidak ada bandingnya dalam KUHP. Adanya

kata-kata”... sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang

dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum. .." dan seterusnya,

menunjukkan bahwa pidana penjara paling lama tiga bulan dan/atau

denda Rp500,00 (lima ratus rupiah), merupakan pidana pengganti dari

sanksi adat yang tidak dituruti oleh terpidana.

Rumusan Pasal 5 ayat (3) tersebut, juga memberikan pemahaman

bahwa:

• Tentang tindak pidana diukur menurut hukum yang hidup dalam

masyarakat. Tindak pidana demikian itu bila terjadi, maka pidana

adatlah sebagai sanksinya.

• Apabila terpidana adat tidak mengikuti putusan pengadilan adat

tersebut, maka pengadilan negeri setempat dapat memutus

perkaranya berdasar tiga kemungkinan.

59
• Tidak ada bandingnya dalam KUHP,

• Hakim beranggapan bahwa pidana adat melampaui dengan pidana

penjara dan/atau denda seperti tersebut dalam kemungkinan 1,

• Ada bandingnya dalam KUHP

• Bahwa berlaku tidaknya legalitas materiil ditentukan oleh sikap atau

keputusan terpidana untuk mengikuti atau tidak mengikuti putusan

pengadilan adat. Jika putusan pengadilan adat diikuti oleh terpidana,

maka ketika itulah legalisasi materiil berfungsi. Berfungsinya legalisasi

materiil disini merupakan hal yang wajar karena tindak pidana yang

dilakukan pelaku adalah murni bertentangan dengan hukum yang

hidup dalam masyarakat (hukum tidak tertulis).

• Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman di dalam beberapa Pasal juga memberikan dasar pengakuan

hukum pidana adat.

Pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa:

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-


bedakan orang.

Pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa:

Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan


memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.

Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa:

Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan


memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.

Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa :


60
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan, juga memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.

Bahwa mengadili menurut hukum merupakan salah satu asas

mewujudkan negara berdasarkan atas hukum. Setiap putusan hakim

harus mempunyai dasar hukum yang substantif dan prosedural.

Hukum dalam mengadili menurut hukum harus diartikan lebih luas

melebihi pengertian hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum dalam kasus

atau keadaan tertentu meliputi pengertian-pengertian yang mengikat

pihak-pihak, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum.

Bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat. Untuk itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk

mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum, dan

keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menurut Bambang Sutiyoso

(masyos.wordpress.com) bahwa :

Suatu masalah yang secara normatif jelas kepastian hukumnya


belumlah tentu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sebaliknya
sesuatu yang adil belum tentu sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan. Dalam hal ini, patutlah direnungkan pendapat Bismar
Siregar, bahwa hakim harus berani menafsirkan UU agar UU berfungsi
sebagai hukum yang hidup (living law), karena Hakim tidak semata-
mata menegakkan aturan formal, tetapi juga harus menemukan
keadilan yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Senada dengan itu,
Thomas Aquinas mengemukakan bahwa esensi hukum adalah
keadilan, oleh karena itu hukum yang tidak adil bukanlah hukum.

Demikian pula apabila dilihat dari kepala putusan bukanlah demi

kepastian hukum, tetapi berupa kalimat yang berbunyi : “Demi Keadilan

61
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam ajaran Islampun

apabila seseorang memutuskan sesuatu hukuman di antara manusia,

diperintahkan untuk memutuskan dengan adil. Al Qur’an Surat An-Nisa :58

menegaskan : “…dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di

antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…”oleh karena itu,

keadilan harus ditegakkan dan menjadi titik tekan dalam penegakan

hukum tanpa mengabaikan kepastian hukum itu sendiri.

Bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili

dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum

tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya

Berdasarkan ketentuan diatas, maka untuk menyelesaikan

persoalan/kasus kongkrit, diharapkan hakim harus menempuh jalan keluar

yaitu melalui penemuan hukum (Rachtsvinding).

Hakim bukan mulut undang-undang atau mulut hukum positif pada

umumnya. Tetapi hakim adalah mulut kepatutan, keadilan, kepentingan

umum dan ketertiban umum. Apabila penerapan aturan hukum akan

bertentangan, hakim wajib memilih kepatutan, keadilan, kepentingan

umum dan ketertiban umum.

Bahwa selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga

memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili. Karena itu sumber hukum tak tertulis dalam masyarakat perlu

diketahui oleh hakim. Umumnya sumber hukum tidak tertulis itu adalah

hukum adat atau kebiasaan lain dalam masyarakat.


62
• Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Papua, di dalam Pasal 51 menyebutkan bahwa:

• Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkukangan


masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan
memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara
pidana diantara warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan;
• Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan;
• Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata
adat dan perkara pidana sebagai mana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan hukum adat masayarakat hukum adat yang
bersangkutan.
• Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang
berperkara brkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh
pengadilan adat yang memeriksa sebagai mana dimaksud pada
ayat (3) pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta
kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan
peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili
ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan.
• Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidada
penjara atau kurungan;
• Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang
perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (4),menjadi putusan akhir dan
berkekuatan hukum tetap.
• Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana
menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan
pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua
Pengadilan yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala
Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya
peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3
• Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk
dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka
putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat( 6)
menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam
memutuskan perkara yang bersangkutan.

Maksud dari Pasal ini adalah dapat di uraikan sebagai berikut:

sebagaimana yang disebutkan di dalam penjelasan Undang-undang ini

yaitu Ayat (l) Dalam ayat ini secara tegas diakui keberadaan dalam hukum

63
nasional, lembaga peradilan dan pengadilan adat yang ada di Provinsi

Papua, sebagai lembaga peradilan perdamaian antara para warga

masyarakat hukum adat di lingkungan masyarakat hukum adat yang ada.

Ayat (2) Pengadilan adat bukan badan peradilan negara, melainkan

lembaga peradilan masyarakat hukum adat. Berdasarkan kenyataan yang

ada susunannya diatur menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum

adat setempat dan memeriksa serta mengadili sengketa perdata adat dan

perkara pidana adat berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat

yang bersangkutan. Hal itu antara lain mengenai susunan pengadilanya,

siapa yang bertugas memeriksa dan mengadili sengketa dan perkara yang

bersangkutan, tata cara pemeriksaan, pengambilan keputusan dan

pelaksanaanya. Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman

pidana penjara atau kurungan.

Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili

sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang

bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.

Hal itu termasuk kewenangan di lingkungan peradilan negara. Dengan

diakuinya peradilan adat dalam undang-undang ini, akan banyak sangketa

perdata dan perkara pidana diantara warga masyarakar hukum adat di

Provinsi Papua yang secara tuntas dapat diselesaikan sendiri oleh warga

yang bersangkutan tanpa melibatkan pengadilan di lingkungan peradilan

negara.

Ayat (6) Putusan pengadilan adat merupakan putusan yang final

dan berkekuatan hukum tetap dalam hal para pihak yang bersengketa

atau yang berperkara menerimanya. Putusan yang bersangkutan juga


64
dapat membebaskan pelaku dari tuntutan pidana menurut ketentuan

hukum pidana yang berlaku.

Pernyataan persetujuan pelaksanaan putusan dari Ketua

Pengadilan Negeri yang mewilayahinya diperoleh melalui Kepala

Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. Jika Pernyataan persetujuan

pelaksanaan keputusan telah diperoleh maka kejaksaan tidak dapat

melaku kan penyidikan dan penuntutan.

Ayat (8) Dalam hal ketua pengadilan negeri menolak memberikan

pernyataan persetujuan pelaksanaan putusan, maka kepolisian dan

kejaksaan dapat melakukan penyidikan dan penunutan. Dalam hal ini

putusan pengadilan adat yang bersangkutan akan dijadikan bahan

pertimbangan dalam memutuskan perkara yarng diajukan. Dalam ayat ini

dibuka kemungkinan pemeriksaan ulang dalam hal salah satu pihak yang

bersengketa atau berperkara berkeberatan atas putusannya dan

mengajukan sengketa atau perkaranya kepada pengadilan tingkat

pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang. Ayat (3), (4), (5)

dan (7/) dari Pasal 51 ini dinyatakan "cukup jelas".

• Hubungan Hukum Pidana Adat Dengan Hukum Pidana Tertulis

Hukum pidana adat merupakan hukum yang hidup (living law) dan

dijiwai oleh sifat-sifat kekeluargaan yang magis religius, dimana yang

diutamakan bukanlah rasa keadilan perorangan melainkan rasa keadilan

kekeluargaan sehingga cara penyelesaiannya adalah dengan penyelesaian

damai yang membawa kerukunan, keselarasan dan kekeluargaan. Hukum

pidana adat tidak bermaksud menunjukan hukum dan hukuman apa yang

harus dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, namun yang menjadi tujuannya


65
adalah memulihkan kembali hukum yang pincang sebagai akibat terjadinya

ketidak seimbangan.

Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya (2005:54) bahwa hukum pidana

adat tidak mengenal sistem “prae-existente regels”, artinya tidak mengenal

sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu. Sedangkan

sistem KUHPidana berlandaskan pada sistem prae existence regels

(pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu) sebagaimana dalam asas

legalitas yang tertuang dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Hukum pidana adat juga tidak mengenal peraturan statis. Jadi, dalam

hukum pidana adat, delik adat itu tidak pula bersifat statis,ini artinya sesuatu

delik itu tidak sepanjang masa tetap merupakan delik adat. Tiap peraturan

hukum adat timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya

peraturan hukum adat yang baru, sedang peraturan yang baru itu sendiri

berkembang juga dan kemudian akan lenyap juga dengan adanya perubahan

perasaan keadilan rakyat yang dahulu melahirkan peraturan itu. Begitu pula

dengan delik adat lahir, berkembang dan kemudian lenyap. Ini berarti bahwa

perbuatan-perbuatan yang semula merupakan pelanggaran hukum, lambat

laun berubah menjadi tidak lagi melanggar hukum oleh karena hukum yang

dilanggar itu sesuai dengan jalannya perubahan perasaan keadilan rakyat.

Dan perasaan keadilan rakyat ini bergerak maju terus berhubung dengan

perkembangan atau pertumbuhan hidup masyarakat yang selalu

dipengaruhi oleh faktor lahir dan batin.

Dengan demikian maka di dalam hukum Adat, suatu perbuatan yang

tadinya tidak merupakan delik adat, pada suatu waktu dapat dianggap oleh

hakim atau oleh kepala adat sebagai perbuatan yang menentang tata tertib
66
masyarakat sedemikian rupa, sehingga dianggap perlu diambil upaya adat

(adatreaksi) guna memperbaiki hukum.

Sedangkan menurut Fajrimei A. Gofar (2005:11-14) bahwa hukum

pidana nasional sekarang ini yang menganut asas legalitas sebagaimana

diatur dengan jelas dalam KUHP yang berlaku sekarang (Wetboek van

Straftrecht) maupun dalam Rancangan Undang-Undang KUHP (selanjutnya

disingkat RUU KUHP). Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:

Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan


pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan.

Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, secara rinci, berisi dua hal penting,

yaitu: (1) suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam

peraturan perundang-undangan; (2) peraturan perundang-undangan harus

ada sebelum terjadinya tindak pidana (tidak berlaku surut). Asas legalitas

menghendaki bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak

pidana apabila terlebih dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa

perbuatan itu sebagai tindak pidana. Hal ini dikenal dengan asas legalitas

formal (Ahmad Bahiej, 2006:4). Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang menjadi

landasan penegakan hukum pidana di Indonesia, terutama dalam kaitannya

dengan kepastian hukum.

Namun disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan

peninggalan kolonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan

beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Sebagai peraturan

peninggalan Belanda, asas legalitas kemudian menjadi problem dalam

penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat

Indonesia yang heterogen. KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih


67
menyisakan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai

perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur

larangan itu.

Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan

pengadilan adat memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum yang

hidup dalam masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak

diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam praktek di

Indonesia tidak diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1

KUHP, hal ini dapat dilihat dengan berlakunya UU. No. 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa:

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-


bedakan orang.

Kata “hukum” di sini jelas mempunyai makna yang luas, bukan hanya sekedar

peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, namun berlaku juga

hukum yang hidup dalam masyarakat.

Mengadili menurut hukum merupakan salah satu asas mewujudkan

negara berdasarkan atas hukum. Setiap putusan hakim harus mempunyai

dasar hukum yang substantif dan prosedural. Hukum dalam mengadili

menurut hukum harus diartikan lebih luas melebihi pengertian hukum tertulis

dan tidak tertulis. Hukum dalam kasus atau keadaan tertentu meliputi

pengertian-pengertian yang mengikat pihak-pihak, kesusilaan yang baik dan

ketertiban umum. Hal ini dikenal dengan asas legalitas materiel (Ahmad

Bahiej, 2006:4).

Jauh sebelum Indonesia merdeka, eksistensi peradilan adat telah

diakui ketika pendudukan Belanda. Pengakuan peradilan adat ini dituangkan


68
dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah pendudukan Belanda.

Di awal-awal kemerdekaan, peradilan-peradilan adat masih tetap eksis,

sementara KUHP (Wetboek van Strafrecht) diberlakukan untuk mengisi

kekosongan hukum. UUDS 1950 dan UU Nomor 1 Tahun 1951 dianggap

mengukuhkan keberadaan peradilan adat tersebut. Namun, sejak

diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman, peradilan adat dihapuskan. Akibatnya praktis,

eksistensi peradilan adat sudah berakhir melalui UU Nomor 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Namun peradilan adat tersebut kembali diakui keberadaannya, khusus

di provinsi Papua dengan diberlakukannya Undang-undang No. 21 tahun

2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi papua yang terdapat di dalam Bab

XIV tentang kekuasaan peradilan, Pasal 50 menyebutkan bahwa:

• Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan


Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
• Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum
adat tertentu.

Dalam prakteknya, peradilan adat ini menjadikan hukum adat dan

hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar untuk menuntut dan

menghukum seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang dianggap

melanggar hukum adat (pidana adat) dapat diajukan ke pengadilan dan diberi

hukuman.

Selain itu, asas legalitas materiel juga terdapat di dalam Rancangan

Undang-Undang tentang Asas-Asas dan Dasar-Dasar Pokok Tata Hukum

Pidana dan Hukum Pidana Indonesia asas legalitas dinyatakan pada Pasal 5

yang berbunyi:
69
Pengadilan hanya dapat mengkualifikasikan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana, apabila pembuat undang-undang atau hukum tidak
tertulis yang hidup dalam kalangan masyarakat lndonesia dan yang
tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur telah
menetapkan perbuatan itu sebagai tindak pidana dan mengancamnya
dengan pidana.

Selanjutnya, penjelasan khusus Pasal 5 tersebut menentukan bahwa

pasal ini adalah penyempurnaan dari asas nulla poena. Yang menetapkan

sesuatu perbuatan sebagai tindak pidana adalah pembuat undang-undang

dan hukum tidak tertulis. Untuk hukum tidak tertulis berlaku syarat:

1. Hidup dalam kalangan masyarakat Indonesia.

2. Tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.

Demikian juga, hukum yang hidup dalam masyarakat ini dicantumkan

dalam RUU KUHP pada Pasal 1 ayat (3). Otomatis yang dimaksud dalam

RUU KUHP adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkaitan

dengan hukum pidana, misalnya pidana adat dan hukum pidana Islam. Di

Indonesia, dapat dikatakan hukum yang tidak tertulis itu kebanyakan adalah

hukum adat. Dalam konteks RUU KUHP termasuk di situ maksudnya adalah

delik adat.

Aturan mengenai diberlakukannya asas legalitas materiel di Indonesia

bukan merupakan hal yang baru, walaupun KUHP (WvS) hanya mengenal

asas legalitas formal. Dalam UU Nomor 1/Drt./1951 dan UU Nomor 14 Tahun

1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas materiel

merupakan hal yang harus dijunjung tinggi oleh hakim dalam memutuskan

suatu perkara. Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUD Sementara 1950

disebutkan bahwa “tiada sesorang dapat dihukum atau dijatuhi hukuman

kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.

70
maksud ” Kata “hukum” di sini sama halnya dengan pasal 4 ayat 1 UU No.48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu memiliki makna yang luas

dari pada sekedar peraturan perundang-undangan.

• Hukum Pidana Adat Dalam RUU KUHP

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(RUU KUHP) memperluas perumusannya secara materiel, di dalam RUU

KUHP Tahun 2008 hukum pidana adat mendapat pengakuan dengan di

akuinya dalam beberapa Pasal berikut ini.

Pasal 1 RUU KUHP Tahun 2008 menyebutkan bahwa:

• Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan kecuali


perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan
• Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan
analogi
• Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan
• Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat 3 sepanjang sesuai dengan nilai-nilai
pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
masyarakat bangsa-bangsa.

Asas legalitas (nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali,

artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam

perundang-undangan) memang masih tercantum jelas dalam Pasal yang

sama dalam RUU KUHP. Tetapi pada ayat (3) RUU KUHP tegas disebutkan

bahwa ketentuan asas legalitas tadi tidak mengurangi berlakunya hukum

yang hidup dalam masyarakat. Meski belum diatur dalam undang-undang

tertulis, kalau hukum yang hidup (hukum adat) dalam masyarakat sudah

mengaturnya, maka menurut RUU KUHP, seseorang tetap patut dipidana.

71
Menurut Ahmad Bahiej (2006:4) bahwa dengan aturan tersebut

jelaslah bahwa RUU KUHP memberikan tempat bagi hukum adat setempat

sebagai sumber keputusan bagi hakim apabila ternyata ada suatu perbuatan

yang menurut hukum positif Indonesia belum/tidak diatur sebagai tindak

pidana namun menurut masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang patut

dipidana.

Namun hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut harus sesuai

dengan nilai-nilai pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui

oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Menurut Moerdiono (Mulyono, eprints.undip.ac.id) menunjukkan

adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila, Tiga tataran nilai itu adalah

Pertama: Nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap,

yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu. Dari segi kandungan nilainya,

maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu,yang mencakup cita-

cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Kedua: Nilai instrumental, yaitu

suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan

penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya

untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Dari kandungan

nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi,

organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang

menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Ketiga: Nilai praksis, yaitu nilai yang

terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat

melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Dari segi kandungan

nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme

dan realitas.
72
Selain harus sesuai dengan nilai-nilai pancasila maka harus sesuai

dengan Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-

bangsa. Yang dimaksud dengan prinsip- prinsip hukum umum adalah asas

asas yang mendasari sistem hukum modern. sebagai contoh dari prinsip

hukum umum adalah prinsip keadilan, prinsip kepatuhan dan kelayakan,

prinsip kesamaan derajat antara sesama manusia, prinsip itikad baik dan lain

sebagainya.

Penulis dari Soviet, Tunkin (Faruq, fsqcairo.blogspot.com),

menganggap prinsip-prinsip hukum umum sebagai pengulangan ajaran

fundamental hukum Internasional, misalnya, hukum hidup berdampingan

secara damai, yang telah ditetapkan dalam perjanjian dan hukum adat.

Selanjutnya hukum yang hidup juga diakomudir di dalam Pasal 11

RUU KUHP Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa:

• Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan


sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
• Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut
dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan,
harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat.
• Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum,
kecuali ada alasan pembenar

Menurut Nyoman Serikat Jaya (2005:45-46) bahwa menurut wujudnya

atau sifatnya tindak pidana itu adalah perbuatan yang melawan hukum.

Namun, tidak semua perbuatan yang melawan hukum atau yang merugikan

masyarakat diberi Sanksi atau diancam dengan pidana. Dengan demikian,

suatu tindak pidana mansyarakatkan adanya undang-undang atau hukum

yang melarang suatu perbuatan dan sekaligus juga menetapkan ancaman

terhadap perbuatan tersebut.


73
Berbicara mengenai perbuatan melawan hukum tidak bisa lepas dari

ajaran sifat melawan hukum. Ajaran sifat melawan hukum dibedakan menjadi

dua. Pertama: Ajaran sifat melawan hukum formil bahwa suatu perbuatan itu

bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan

dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang. Jadi, menurut ajaran ini

melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-

undang atau hukum tertulis. Kedua: Ajaran sifat melawan hukum materiil

bahwa suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang

terdapat dalam undang-undang atau hukum tertulis saja, tetapi harus dilihat

berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya

perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus

berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan

yang tidak tertulis. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan

bertentangan dengan hukum tidak tertulis termasuk tata susila.

Dengan adanya ajaran sifat melawan hukum materiil, sebenarnya

sudah dapat mengakomudir adanya hukum yang hidup dalam masyarakat,

namun dalam praktek sangat jarang para penegak hukum

mempertimbangkan sifat melawan hukum materiil tersebut. Oleh karena itu, di

dalam pasal 11 ayat 2 selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana

oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum

atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat maka

dinyatakan sebagai tindak pidana.

Sehingga, hal ini menunjukan bahwa keadilan itu lebih utama dari

sekedar kepastian hukum. menurut Ahmad Bahiej (2006:4) bahwa keadilan

yang ingin diwujudkan RUU KUHP adalah keadilan masyarakat, bukan


74
sekedar keadilan yang didasarkan pada perundang-undangan (legal justice).

Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 12 RUU KUHP bahwa “dalam

mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin

mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.

Selain itu, eksistensi hukum pidana adat juga di akomudir dalam

Pasal 67 RUU KUHP tahun 2008 mengenai jenis-jenis pidana tambahan yang

menyebutkan bahwa:

• Pidana tambahan terdiri atas:


• Pencabutan hak-hak tertentu
• Perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan
• Pengumuman putusan hakim
• Pembayaran ganti kerugian
• Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat
• Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana
pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan
bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.
• Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan
atau kewajiban menurut hukum yang hidup atau pencabutan hak
yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak
tercantum dalam perumusan tindak pidana

Dalam Pasal 67 RUU KUHP tahun 2008 ini menjelaskan tentang jenis

sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat yang mempunyai kedudukan atau

berfungsi sebagai sebagai pidana tambahan. Secara umum atau berdasarkan

prinsip umum bahwa pidana tambahan tidak bisa dijatuhkan apabila tidak

tercantum secara tegas dalam rumusan delik. Namun, untuk sanksi berupa

pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum

yang hidup dalam masyarakat, RUU KUHP tahun 2008 juga memberi peluang

untuk diterapkan walaupun tidak dicantumkan secara tegas dalam rumsan

tindak pidana, dengan syarat keadaan daerah di mana tindak pidana

75
dilakukan menghendaki dijatuhkan sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban

adat.

STUDI KASUS

BENTUK DELIK ADAT SUKU JOUW WARRY YANG MASIH HIDUP DAN

BERKEMBANG DI DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT.

• Jenis Delik Hukum Pidana Adat

Jenis-jenis delik adat atau pelanggaran adat yang masih hidup dan

berkembang sekarang ini di dalam kehidupan masyarakat hukum adat suku

Jouw Warry dapat di klasifikasi dan di infentarisir sesuai dengan buku

panduan hukum adat dewan adat suku Jouw Warry (2008:78-87,117-

127,158-166) maupun hasil wawancara dengan Daud Yaukwart (Demta, 3

Februari 2010) selaku ketua dewan adat suku Jouw Warry, Paulus Okobron

(Muris Kecil, 4 Februari 2010) selaku Marar Mataun untuk sub suku Souw,

Bastian Dodop (Ambora, 5 Februari 2010) selaku Mataun Pan untuk sub suku

Warry, serta Yulianus Ondi (Kamdera, 6 Februari 2010) selaku Maram Tamsu

untuk sub suku Tarpi adalah sebagai berikut:

• PELANGGARAN MENGGANGGU KEAMANAN

• Pelanggaran Pembunuhan.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan pembunuhan dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Niyayim, sub suku Warry

menyebut Irarau, dan sub suku Tarpi menyebut Apun. Pelanggaran ini

dapat berlaku kepada siapa saja yang melakukan perbuatan yang

mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, dikenakan denda adat

76
yang bentuk dan nilainya ditentukan oleh Marar Mataun untuk

masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat

sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku

Tarpi. Serta pihak keluarga korban.

Di dalam suku Jouw Warry di kenal dengan istilah kepala ganti

kepala, dan untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat

sebagai proses perdamaian, maka pihak pelaku akan mengganti

kepala dengan menyerahkan anak perempuan ke pihak korban untuk

dinikahi, pernikahan tersebut tanpa biaya mas kawin hingga misalnya

anak lelaki yang terbunuh tersebut telah tergantikan dengan kelahiran

anak pertama, namun apabila melahirkan anak laki-laki lagi maka

pihak korban harus membayar maskawin, karna yang terbunuh telah

digantikan.

Selain menyerahkan anak perempuan, anak laki-laki juga dapat

di serahkan kepada pihak korban untuk menjadi anak mereka. Hal

demikian dilakukan oleh masyarakat adat suku Jouw Warry dengan

maksud sebagai proses perdamaian dan menjalin hubungan

kekeluargaan yang baru.

Pemberian tersebut hanya diberikan kepada pihak korban yang

apabila meninggal bukan karena akibat perbuatan salahnya. Namun

apabila yang meninggal tersebut terbukti salahkemudian meninggal,

maka pihak korban hanya meminta sejumlah uang namanya uang

kepala. Dan juga penyelesaianya sampai ke pengadilan negeri.

77
• Pelanggaran Pencurian.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan pencurian dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Pine, sub suku Warry

menyebut Pin Ti Nip, dan sub suku Tarpi menyebut Panuk.

Pelanggaran ini dapat berlaku kepada siapa saja yang mengambil

barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya dengan

maksud menguasainya, dikenakan denda adat berupa :

• Membayar denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan

Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan

untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk

masyarakat adat sub suku Tarpi, serta pihak keluarga pemilik yang

sah atas barang dimaksud.

• Mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya yang sah.

Untuk masalah pencurian yang dilakukan oleh anak-anak hanya

diberikan nasehat untuk tidak mengulangi lagi, serta untuk barang

yang berharga saja yang biasanya melalui proses peradilan adat.

Namun pencurian tersebut dikecualikan untuk mereka yang

mengambil harta dari hasil warisan milik saudara-saudaranya yang

pada saat pembagian harta tersebut yang bersangkutan tidak ada dan

tidak mendapatkan warisan tersebut, maka yang bersangkutan dapat

mengambil apa saja misalnya mengambil hasil hutan di kebun

saudara-saudaranya, diperbolehkan.

• Pelanggaran Perampasan.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan perampasan dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut E Yerem, sub suku Warry
78
menyebut Eyirem, dan sub suku Tarpi menyebut Nin A’koi Aji.

Pelanggaran ini dapat berlaku kepada siapa saja yang melakukan

upaya pemaksaan untuk menguasai barang orang lain dengan maksud

menguasainya, dikenakan denda adat berupa :

• Membayar denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan

Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan

untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk

masyarakat adat sub suku Tarpi, serta pihak keluarga pemilik yang

sah atas benda dimaksud.

• Mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya yang sah.

Pelanggaran perampasan ini tidak hanya untuk benda tetapi

berlaku untuk tanah juga, perampasan tanah tersebut dengan dalih

kepemilikannya maka akan dilakukan penyelidikan dengan

menanyakan kepada orang-orang tua yang mengetahui sejarah tanah

tersebut, serta bukti-bukti lain. Proses tersebut terkadang hingga

seminggu. Perampasan tanah ini biasanya milik anak yatim piatu.

• Pelanggaran Penganiayaan.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan penganiayaan dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Yeradem, sub suku Warry

menyebut penganiayaan, dan sub suku Tarpi menyebut Arau.

Pelanggaran ini dapat berlaku kepada siapa saja yang melakukan

tindakan penganiayaan terhadap orang lain, dikenakan denda adat

yang bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar Mataun untuk

masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat

79
sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku

Tarpi, serta pihak keluarga korban.

Namun apabila penganiayaan tersebut mengakibatkan

meninggalnya orang tersebut, maka disebut pembunuhan dengan

perlahan-lahan, sehingga dikenakan sanksi pembunuhan.

• Pelanggaran Penipuan.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan penipuan dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Piritire, sub suku Warry

menyebut Wurodini, dan sub suku Tarpi menyebut Awor. Pelanggaran

ini dapat berlaku kepada siapa saja yang melakukan penipuan

terhadap orang lain dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan

dari hal tersebut, dikenakan dendan adat yang bentuk dan nilainya

sesuai putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw,

Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram

Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi, serta pihak keluarga

korban.

• Pelanggaran Perkelahian

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan perkelahian dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Pepekae, sub suku Warry

menyebut Upuko, dan sub suku Tarpi menyebut Tarma. Pelanggaran

ini dapat di kategorikan menjadi 2 yaitu :

• Melakukan perkelahian hingga mengakibatkan terganggunya

ketentraman masyarakat umum, dikenakan denda adat yang

bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar Mataun untuk


80
masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat

adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat

sub suku Tarpi.

• Mencampuri urusan orang lain hingga menyebabkan perkelahian

diantara mereka, dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya

sesuai putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku

Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan

Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi.

Perkelahian ini menurut masyarakat suku Jouw Warry sangat

erat kaitannya dengan orang tuanya, dimana faktor genetika sangat

mempengaruhi. Apakah orang tuanya berbuat salah, melakukan

perkawinan yang dilarang yaitu perempuan yang dinikahinya masih

sedara, atau menikah dengan marga yang tidak boleh dinikahi. Faktor-

faktor tersebut akan menjadi pertimbangan apakah akan dikenakan

denda atau tidak.

Namun ada kasus yang terjadi mengenai pelanggaran

perkelahian ini yaitu pernah terjadi perkelahian antara seorang pria dari

makasar dan seorang pria dari buton. Mereka tinggal di Demta sambil

berdagang. Keduanya berkelahi hingga menggunakan alat tajam.

Kemudian keduanya di panggil oleh Ketua DAS suku Jouw Warry

untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka. Walaupun

hukum adat suku Jouw Warry hanya berlaku untuk warga masyarakat

adat saja namun menurut ketua DAS bahwa mereka berada di wilayah

adat, dibawah tanggung jawabnya. Karena ulang keduanya maka

ketentraman masyarakat terganggu. Keduanya kemudian di denda


81
tangkap babi masing-masing satu ekor babi. Bagaimana caranya.

Kedua orang tersebut kemudian protes karena babi itu haram untuk

orang islam, mreka mengusulkan untuk di ganti sapi saja, namun ketua

DAS tidak setuju, katanya ini aturan adat turun temurun tidak

mengenal sapi. Lebih lanjut menurut ketua DAS bahwa ini sebagai

hukuman atas perbuatan keduanya biar tidak mengulangi lagi.

Akhirnya keduanya membeli babi masyarakat dan di tangkap lalu di

bunuh dan dilakukan upacara perdamaian. Kedua warga yang bertikai

tersebut akhirnya damai dan hidup rukun hingga sekarang.

• Pelanggaran Ilmu Hitam.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan ilmu hitam dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Apiyi, sub suku Warry

menyebut Irarauw, dan sub suku Tarpi menyebut Kadok Tamsu.

Pelanggaran ini dapat berlaku kepada siapa saja yang menggunakan

mantra-mantra (ilmu hitam) dengan maksud untuk mencelakai orang

lain, dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya ditentukan oleh

Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan

untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk

masyarakat adat sub suku Tarpi dan pihak keluarga korban.

Untuk masalah ilmu hitam ini, dengan masuknya agama dan

menjadi keyakinan meraka bahwa ilmu hitam tidak diperbolehkan,

maka sudah jarang bahkan tidak ada lagi yang menggunakan ilmu

hitam tersebut, namun apabila masih ada maka yang bersangkutan di

beri sanksi adat, dulu apabila terbukti maka di ikat kaki tangannya

82
dengan batu dan di tenggelamkan di laut. Namun sekarang hanya di

usir keluar dari kampung bersama seluruh keluarganya. Atau akan

dibalas pula dengan ilmu gaib, hingga yang bersangkutan meninggal.

Cara membuktikannya dari proses penyembuhan dengan

menggunakan ilmu gaib, mendengar informasi dari orang lain,

menanyakan saksi-saksi, menyelidiki lansung, serta menggunakan

sumpah adat denganm menggantungkan daun kelapa yang mudah.

Hingga daun kelapanya kering, apabila dia tidak menggunakan ilmu

hitam maka tidak ada efeknya, namun kalau ada maka yang

bersangkutan pasti meninggal dan kalau dia tidak mau meninggal pasti

akan di lepaskan ilmu hitamnya.

Pernah terjadi kasus yang demikian, dimana masyarakat sudah

gerah dan marah maka orang yang menggunakan ilmu tersebut di

datangi dan di keroyok, dipukul dengan menggunakan kayu maupun

batu. Namun tidak terjadi luka ataupun cedera terhadap orang

tersebut, padahal kalau terjadi untuk orang normal pasti sudah luka

parah bahkan bisa mati. Orang tersebut bersama seluruh keluarganya

di denda adat yaitu diusir keluar kampung.

• Pelanggaran Minuman Keras.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan minuman keras dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Yarim Memau, sub suku

Warry menyebut Yarim Kapim, dan sub suku Tarpi menyebut Dan

tauru. Pelanggaran ini dapat di kategorikan menjadi 2 yaitu :

83
• Memproduksi dan atau memasukkan minuman keras ke dalam

wilayah adat sub suku Souw, dikenakan denda adat berupa :

• Membayar denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan

Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun

Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu

untuk masyarakat adat sub suku Tarpi.

• Seluruh minuman keras tersebut harus dimusnahkan.

• Melakukan pelanggaran adat karena pengaruh minuman keras,

dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan

Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan

untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk

masyarakat adat sub suku Tarpi.

Untuk urusan minuman keras sekarang ini bagi yang mabuk lansung

diserahkan ke kepolisian, dan kalau ada yang memperoduksi secara

lokal melalui pohon kelapa atau pohon lain maka pohon tersebut

lansung di tebang oleh ondoafi bersama polisi dan pihak gereja.

Pernah terjadi pemotongan pohon kelapa yang digunakan untuk

memperoduksi minuman keras lokal yaitu saguer yang dilakukan oleh

pihak adat, kepolisian dan pihak gereja. Pemotongan tersebut terjadi

karena adanya penjualan minuman keras lokal yang mengakibatkan

banyak remaja kampung yang mabuk-mabukan, sehingga keputusan

dari ketua dewan adat suku Jouw Warry untuk memusnahkan semua

pohon kelapa yang dipakai untuk memperoduksi saguer tersebut.

Serta pemuda yang mabuk-mabukan tersebut di masukan dalam

84
penjara selama beberapa haru baru di keluarkan atas persetujuan

ketua dewan adat suku Jouw Warry

• PELANGGARAN MENGGANGGU KETERTIBAN

• Pelanggaran Merusak Barang Milik Orang Lain.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan merusak barang milik

orang lain dalam masyarakat adat sub suku Souw menyebut Onine

Esisi Mi Yekayunggu, sub suku Warry menyebut Esusiy Kanar, dan

sub suku Tarpi menyebut Nin Aru’ Aji. Pelanggaran ini dapat berlaku

kepada siapa saja yang rusaknya barang milik orang lain hingga tidak

dapat lagi digunakan, dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya

sesuai putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw,

Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram

Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi dan pihak keluarga

korban.

Barang-barang tersebut misalnya perahu, rumah ataupun

tanaman

• Pelanggaran Pencemaran Nama Baik.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan pencemaran nama

baik dalam masyarakat adat sub suku Souw menyebut Yadiy, sub suku

Warry menyebut Ana Uyai, dan sub suku Tarpi menyebut Yan Wero

Apuri. Pelanggaran ini dapat berlaku kepada siapa saja yang dapat di

kategorikan menjadi 2 yaitu :

85
• Melakukan pencemaran nama baik terhadap pejabat

pemerintahan adat, dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya

sesuai putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku

Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan

Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi.

• Melakukan pencemaran nama baik orang lain, dikenakan

denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar Matau

untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk

masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk

masyarakat adat sub suku Tarpi, serta pihak keluarga yang di

cemarkan nama baiknya.

Pencemaran nama baik ini misalnya menuduh seseorang

melakukan pelangggaran, memfitnah, atau mengatas namakan ondoafi

atau kepala suku. Namun apabila mengatas namakan untuk kebaikan

misalnya atas nama ondoafi meminta uang dari orang lain untuk biaya

pengobatan di rumah sakit, diperbolehkan namun harus segera di

beritahukan kepada ondoafi tersebut, kalau sebaliknya untuk

kepentingan sendiri maka akan dikenakan sanksi adat.

• Pelanggaran Membuat Keributan.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan membuat keributan

dalam masyarakat adat sub suku Souw menyebut Ana Picu, sub suku

Warry menyebut Ana Tiji, dan sub suku Tarpi menyebut Di Tak Di

Pi’Pi’. Pelanggaran ini dapat dapat berlaku kepada siapa saja yang di

kategorikan menjadi 4 yaitu :

86
• Membuat keributan di depan rumah Marar Mataun untuk

masyarakat adat sub suku Souw dan Mataun Pan untuk

masyarakat adat sub suku Warry, dikenakan denda adat yang

bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar Mataun untuk

masyarakat adat sub suku Souw dan Mataun Pan untuk

masyarakat adat sub suku Warry.

• Membuat keributan, dimana dia mengetahui tua-tua adat sedang

bermusyawarah hingga menyebabkan terganggunya pembicaraan

tua-tua adat tersebut, dikenakan denda adat yang bentuk dan

nilainya seusai putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub

suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry,

dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi.

• Membuat keributan atau mengganggu keamanan dan ketentraman

orang lain atau membuat keributan di tempat ibadah atau di tempat

umum lainnya, dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya

sesuai putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku

Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan

Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi.

• Membuat keributan, di mana atau mengetahui tetangganya sedang

berduka, dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai

putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw,

Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram

Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi.

87
Keributan tersebut berupa berteriak-teriak, atau memutar lagu

dengan keras, atau mengendarai motor dengan mengencangkan gas

atau klakson.

• Pelanggaran Kekerasan dalam Keluarga.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan kekerasan dalam

keluarga dalam masyarakat adat sub suku Souw menyebut Morim

Awer Er, sub suku Warry menyebut Suku Bijini, dan sub suku Tarpi

menyebut Puni-Puni Awrow. Pelanggaran ini dapat di kategorikan

menjadi 3 yaitu :

• suami yang melakukan kekerasan terhadap istrinya di dalam rumah

keluarga istri, dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya

sesuai putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku

Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan

Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi dan pihak

keluarga istrinya.

• suami yang melakukan kekerasan terhadap istrinya hingga

menyebabkan istri lari ke rumah orang tuanya atau ke rumah

saudara laki-lakinya, dikenakan denda adat yang bentuk dan

nilainya sesuai putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub

suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry,

dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi.

• Anak-anak yang melakukan pemukulan terhadap orang tua, atau

saudara dari orang tuanya, dikenakan denda adat yang bentuk dan

nilainya sesuai putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub

88
suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry,

dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi.

Pelanggaran terhadap kekerasan dalam keluarga ini tidak

berlaku untuk anak karena untuk anak itu di anggap sebagai didikan,

karena kalau tidak dipukul kalau sudah kurang ajar maka akan

bertambah berbuat tidak sopan dan tidak menghargai orang yang lebih

tua. Namun apabila terhadap istri maka bisa jadi orang tuanya akan

memintakan cerai. Apabila istrinya meninggal dan yang bersangkutan

belum melunasi mas kawinnya maka akan di minta uang kepala di

taruh di atas peti mayat baru bisa di kubur. Kalau terjadi pertengkaran

karena makanan, dan istrinya menceriterakan ke saudara laki-lakinya

maka saudaranya akan kerumahnya dengan membawah makanan

yang di keluhkan oleh suaminya.

• Pelanggaran Bersaksi Palsu.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan bersaksi palsu dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Tou Taudiren, sub suku

Warry menyebut Arim Wurordini, dan sub suku Tarpi menyebut Pinci

Dapu Tamsu. Pelanggaran ini dapat berlaku kepada siapa saja yang

memberikan kesaksian palsu terhadap sesuatu yang diketahuinya

secara pasti hingga menyebabkan kerugian pada orang lain,

dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar

Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk

masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk

masyarakat adat sub suku Tarpi dan pihak keluarga korban.

89
Saksi palsu ini misalnya mengenai hak atas tanah misalnya

tanah milik anak yatim piatu, biasanya orang yang merasa orang tua

jadi bicaranya sembarangan saja dengan memberikan kesaksian palsu

maka untuk membuktikannya harus di telusuri ulang baru kemudian

kalau bersalah maka yang member kesaksian tersebut di berikan

denda adat.

• Pelanggaran Kelalaian.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan kelalaian dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Senggen Nenjun, sub suku

Warry menyebut En Eydun, dan sub suku Tarpi menyebut Amaitap.

Pelanggaran ini dapat berlaku kepada siapa saja yang kelalainya

mengakibatkan kerugian terhadap orang lain, dikenakan denda adat

yang bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar Mataun untuk

masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat

sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku

Tarpi dan pihak keluarga korban.

Misalnya ada amanah yang di berikan untuk di sampaikan

kepada mata rumah bersangkutan, namun karena lalainya

mengakibatkan terjadinya kerugian atau korban maka yang

bersangkutan akan diberi sansksi adat.

• Pelanggaran Penyangkalan.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan penyangalan dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Siyndun, sub suku Warry

menyebut Arim Piritirdini, dan sub suku Tarpi menyebut Awo’ Di.
90
Pelanggaran ini dapat berlaku kepada siapa saja yang melakukan

penyangkalan terhadap perbuatan yang nyata-nyata telah

diperbuatnya, di mana perbuatan tersebut telah mengakibatkan

kerugian pada orang lain, dikenakan denda adat yang bentuk dan

nilainya sesuai putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku

Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan

Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi dan pihak

keluarga korban.

Penyangkalan maksudnya tidak mau mengatakan sesuatu yang

sebenarnya diketahui.

• PELANGGARAN KESOPANAN DAN KESUSILAAN

• Pelanggaran Berbuat tidak Sopan.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan berbuat tidak sopan

dalam masyarakat adat sub suku Souw menyebut Youngingiriren, sub

suku Warry menyebut Yousijaiein, dan sub suku Tarpi menyebut

Nimpur Wero. Pelanggaran ini dapat berlaku kepada siapa saja yang

melakukan perbuatan tidak sopan di hadapan tua-tua adat, dikenakan

denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar Mataun

untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat

adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub

suku Tarpi.

Pelanggaran ini tidak di bolehkan karena akan menurunkan

derajat dan martabat tua-tua adat. Misalnya lagi ada musyawarah atau

91
rapat adat, maka tidak boleh lewat di depan mereka, dalam acara

penting perempuan maupun anak-anak dilarang melewatinya, kalau

sampai ada yang melewatinya, maka sama saja yang bersangkatan

mengusir mereka, kalau di rumah berarti yang punya rumah telah

mengusir mereka, hal inilah yang akan menurunkan harkat, derajat dan

martabat tua-tua adat tersebut.

Pernah terjadi perbuatan tidak sopan oleh seorang peserta rapat

terhadap ketua dewan adat suku Jouw warry yang pada saat itu sedang

menyampaikan arahan, namun tiba-tiba peserta tersebut berdiri dan

mengatakan bahwa ketua dewan adat suku Jouw Warry tidak pantas

berbicara masalah Suku Jouw Warry. Kemudian ketua DAS tersebut merasa

marah dan pulang kerumahnya lalu di gantung daun kelapa yang masih

muda di pintunya. Setelah itu peserta tersebut mulai sakit-sakitan hingga

sakit parah. Menurut keyakinan masyarakat bahwa apabila daun kelapa

muda tersebut kering maka yang bersangkutan juga kering atau meninggal.

Karena sakitnya sudah parah, maka masyarakat dan tua-tua adat di

kampungnya memikul yang bersangkutan bersama babi yang di iringi dengan

tarian adat ke rumah ketua DAS Jouw Warry untuk meminta maaf. Akhirnya

di maafkan dan yang bersangkutan kembali sehat hingga sekarang.

• Pelanggaran Mengintip.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan mengintip dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Ngengadunggu, sub suku

Warry menyebut Anggaruw, dan sub suku Tarpi menyebut Araksiw.

Pelanggaran ini dapat berlaku kepada siapa saja yang mengintip

seseorang atau sesuatu, di mana dia tidak memiliki hak untuk

mengetahuinya, dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya


92
sesuai putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw,

Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram

Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi.

Misalnya mengintip orang sedang tidur, atau orang lagi mandi,

atau mengintip pembicaraan orang.

• Pelanggaran Menghujat

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan menghujat dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut menghujat, sub suku Warry

menyebut Amici, dan sub suku Tarpi menyebut Pinyi Wero Apu’ Di.

Pelanggaran ini dapat berlaku kepada siapa saja yang menghujat

orang lain, dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai

putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun

Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk

masyarakat adat sub suku Tarpi serta pihak keluarga korban.

Pelanggaran ini selalu menggunakan isyarat-isyarat yang tidak

baik, misalnya berteriak dengan nada ejekan, atau meludahi di dekat

orang tersebut dengan kasar, atau memalingkan wajah saat bertemu

dengan orang bersangkutan

• Pelanggaran Pemerkosaan.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan pemerkosaan dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Umbeidunggu Wakey, sub

suku Warry menyebut Puw Mi Idiy, dan sub suku Tarpi menyebut

Payai. Pelanggaran ini dapat di kategorikan menjadi 4 yaitu :

93
• Laki-laki yang sudah menikah melakukan pemaksaan terhadap

seorang perempuan yang sudah menikah untuk bersetubuh

dengannya, maka akan dikenakan denda adat berupa:

• Membayar denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan

Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun

Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu

untuk masyarakat adat sub suku Tarpi. Serta pihak suami dari

perempuan tersebut.

• Untuk sub suku Souw dan Warry yang bersangkutan juga

membayar denda adat kepada pihak keluarga istrinya yang

bentuk dan nilainya ditetapkan oleh pihak keluarga istrinya.

• Laki-laki yang sudah menikah melakukan pemaksaan terhadap

seorang perempuan yang belum menikah untuk bersetubuh

dengannya, maka akan dikenakan denda adat berupa :

• Membayar denda adat yang bentuk dan nilai sesuai putusan

Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun

Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu

untuk masyarakat adat sub suku Tarpi. Serta pihak keluarga

perempuan tersebut.

• Untuk sub suku Souw dan Warry yang bersangkutan juga

Membayar denda adat kepada pihak keluarga istrinya yang

bentuk dan nilainya ditetapkan oleh pihak keluarga istrinya.

• Laki-laki yang belum menikah dengan sengaja melakukan upaya

pemaksaan terhadap seorang perempuan yang sudah menikah

94
untuk bersetubuh dengannya, maka akan dikenakan denda adat

yang bentuk dan nilainya ditentukan oleh Marar Mataun untuk

masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat

adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat

sub suku Tarpi. Serta pihak suami dari perempuan tersebut.

• Laki-laki yang belum menikah dengan sengaja melakukan upaya

pemaksaan terhadap seorang perempuan yang belum menikah

untuk bersetubuh dengannya, maka akan dikenakan denda adat

yang bentuk dan nilainya ditentukan oleh Marar Mataun untuk

masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat

adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat

sub suku Tarpi. Serta pihak keluarga perempuan tersebut.

Untuk kasus pemerkosaan, selain mendapatkan sanksi adat

berupa denda adat, biasanya yang bersangkutan diserahkan ke pihak

kepolisian untuk diproses lebih lanjut.

Pernah terjadi kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh pemuda

di kampung tersebut, pemerkosa tersebut kemudian diserahkan

lansung oleh ketua dewan adat suku Jouw Warry ke pihak kepolisian

untuk di proses sesuai hukum Nasional.

• Pelanggaran Persetubuhan.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan persetubuhan dalam

masyarakat adat sub suku Souw menyebut Kekaimyine, sub suku

Warry menyebut Akaimin, dan sub suku Tarpi menyebut Panau.

Pelanggaran ini dapat di kategorikan menjadi 4 yaitu :

95
• Laki-laki yang sudah menikah melakukan persetubuhan dengan

perempuan yang sudah menikah karena keinginan bersama,

keduanya dikenakan denda berupa :

• Membayar denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan

Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun

Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu

untuk masyarakat adat sub suku Tarpi. Serta pihak suami dari

perempuan tersebut, dan

• Untuk sub suku Souw dan Warry yang bersangkutan juga

membayar denda adat kepada pihak keluarga istri dari laki-laki

tersebut yang bentuk dan nilainya ditetapkan oleh pihak

keluarga istrinya.

• Laki-laki yang sudah menikah, melakukan persetubuhan dengan

perempuan yang belum menikah karena keinginan bersama hingga

mengakibatkan kehamilan pada perempuan tersebut, keduanya

dikenakan denda berupa :

• Membayar denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan

Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun

Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu

untuk masyarakat adat sub suku Tarpi. Serta pihak keluarga

perempuan tersebut

• Untuk sub suku Souw dan Warry yang bersangkutan juga

membayar denda adat kepada pihak keluarga istri dari laki-laki

tersebut yang bentuk dan nilainya ditetapkan oleh pihak

keluarga istrinya.
96
• Laki-laki yang belum menikah melakukan persetubuhan dengan

perempuan yang sudah menikah karena keinginan bersama,

keduanya dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya

ditentukan oleh Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku

Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan

Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi. Serta pihak

suami dari perempuan tersebut.

• Laki-laki yang belum menikah melakukan persetubuhan dengan

perempuan yang belum menikah karena keinginan bersama,

keduanya dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya

ditentukan oleh Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku

Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan

Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi.

Untuk masalah persetubuhan tersebut jarang terjadi bagi yang

menikah melalui proses adat, karena proses tersebut menggunakan

sumpah dengan mantra-mantra supranatural yang apabila salah satu

melanggar maka akan meningga. Oleh sebab itu apabila seorang

wanita yang telah jandi tidak bisa menikah lagi walaupun masih muda.

Dia boleh menikah hanya dengan saudara laki-laki dari suaminya,

guna memelihara dan menyawangi anak mereka apabila telah memiliki

anak.

Namun untuk gadis bujang yang melakukan maka, keduanya

akan segera dinikahkan, apabila tidak bersediah maka harus

membayar sejumlah denda yang telah ditentukan.

• Pelanggaran Membawa Lari Perempuan.


97
Pelanggaran adat yang berkaitan dengan membawa lari

perempuan dalam masyarakat adat sub suku Souw menyebut

Unggwame Idunggu Wakey, sub suku Warry menyebut Um Bi Idunggu

Wakay, dan sub suku Tarpi menyebut Mupin Ai’ Tawiki. Pelanggaran

ini dapat di kategorikan menjadi 4 yaitu :

• Laki-laki yang sudah menikah melakukan pemaksaan terhadap

seorang perempuan yang sudah menikah dengan cara membawa

lari perempuan tersebut, dikenakan denda adat berupa :

• Membayar denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan

Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun

Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu

untuk masyarakat adat sub suku Tarpi. Serta pihak suami dari

perempuan tersebut.

• Untuk sub suku Souw dan Warry yang bersangkutan juga

membayar denda adat kepada pihak keluarga istri sendiri yang

bentuk dan nilainya ditetapkan oleh pihak keluarga istrinya.

• Laki-laki yang sudah menikah melakukan upaya pemaksaan

terhadap seorang perempuan yang belum menikah dengan cara

membawa lari perempuan tersebut, dikenakan denda adat berupa:

• Membayar denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan

Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun

Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu

untuk masyarakat adat sub suku Tarpi. Serta pihak perempuan

tersebut.

98
• Untuk sub suku Souw dan Warry yang bersangkutan juga

membayar denda adat kepada pihak keluarga istri sendiri yang

bentuk dan nilainya ditetapkan oleh pihak keluarga istrinya.

• Laki-laki yang belum menikah melakukan pemaksaan terhadap

seorang perempuan yang sudah menikah dengan cara membawa

lari perempuan tersebut, dikenakan denda adat yang bentuk dan

nilainya ditentukan oleh Marar Matuan untuk masyarakat adat sub

suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry,

dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi. Serta

pihak suami dari perempuan tersebut.

• Laki-laki yang belum menikah melakukan pemaksaan terhadap

perempuan yang belum menikah dengan cara membawa lari

perempuan tersebut, dikenakan denda adat yang bentuk dan

nilainya ditentukan oleh Marar Mataun untuk masyarakat adat sub

suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry,

dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi. Serta

pihak keluarga perempuan tersebut.

Mengenai pelanggaran membawah lari perempuan ini biasanya

terjadi disaat cinta diantara kedua mendapat pertantangan dari pihak

keluarga, dan apa bila tetap terjadi maka akan mendapatkan denda

adat, namun apabila kedua orang tuanya tidak setuju tapi ada saudara

maupun paman dari perempuan setuju, maka peristiwa membawa lari

perempuan tidak jadi permasalahan adat, dan kemudian yang

bersangkutan dapat menikah.

99
Terdapat beberapa kasus, dimana perempuan gadis yang

dibawah lari oleh pria bujang, namun di setujui oleh saudara

perempuan tersebut. Kemudian mereka di nikahkan atas perlindungan

ketua dewan adat suku Jouw Warry

• PELANGGARAN MENYANGKUT TANAH DAN HASIL HUTAN

• Pelanggaran Memindahkan Batas Tanah.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan memindahkan batas

tanah dalam masyarakat adat sub suku Souw menyebut Kaupwere

Kesan, sub suku Warry menyebut On Ini Kasan Yojunggu, dan sub

suku Tarpi menyebut Dar Di Worekki. Pelanggaran ini dapat berlaku

kepada siapa saja yang memindahkan batas tanahnya pada batas

tanah milik orang lain dengan maksud untuk menguasainya, dikenakan

denda adat berupa :

• Membayar denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar

Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk

masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk

masyarakat adat sub suku Tarpi, serta pihak pemilik tanah yang sah.

• Mengembalikan penguasaan hak atas tanah tersebut kepada

pemiliknya yang sah.

Pelanggaran ini selalu berkaitan dengan mengambil tanah milik

orang lain dengan memindahkan batas tanah yang telah di buat,

namun untuk membuktikannya selalu dengan melihan tanda-tanda

alam misalnya pohon-pohon besar, namun apabila masih terjadi

persengketaan maka ketua adat akan melakukan sidang lansung di

100
tanah yang disengketakan dengan cara sumpah adat, dan mereka

yang berperkara di suruh makan tanah tersebut sebagai simbol.

Apabila salah satunya matu maka yang hiduplah pemilik tanah yang

sah. Namun biasanya sampai pada sumpah adat, yang merasa

bersalah tidak berani.

• Pelanggaran Penebangan Pohon yang Bukan Miliknya.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan penebangan pohon

yang bukan miliknya dalam masyarakat adat sub suku Souw menyebut

On Ene Epat Ja Oudirense, sub suku Warry menyebut Engguw Kanar,

dan sub suku Tarpi menyebut Datetau Dini Kai Ater Aji. Pelanggaran

ini dapat berlaku kepada siapa saja yang melakukan penebangan

pohon sagu, atau pohon lain yang bukan miliknya, dikenakan denda

adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar Mataun untuk

masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat

sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku

Tarpi dan pihak keluarga korban.

Penebangan pohon hanya di bolehkan untuk membangun

rumah atau untuk kayu bakar, atau untuk kepentingan umum misalnya

membangun jembatan atau membuat jalan akan tetapui melalui proses

musyawarah dulu. Larangan ini untuk membatasi penebangan liar dari

luar suku untuk kepentingan komersial. Maka denda yang diberikan

biasanya membayar sejumlah uang yang nominalnya besar maupun

penanaman kembali pohon tersebut berlaku untuk masyqarakat adat

setempat maupun orang lain. Penanaman kembali pohon yang

ditebang biasanya dua kali lipat dari jumlah yang di tebang.


101
Pernah terjadi kasus, ketua dewan adat suku Jouw Warry Daud

Yaukwart memutuskan perkara yang melibatkan pamannya sendiri

dengan menantu dari pamannya tersebut, kasus tersebut berawal dari

pamannya yang marah terhadap menantunya dengan menebang 5

pohon pinang, sehingga dia di siding dengan membayar uang meja 40

ribu dan denda menanam kembali pohon pinang yang sudah ditebang

dua kali lipat, jadinya sepuluh pohon yang harus ditanam.

• PELANGGARAN MENYANGKUT HEWAN DAN PERIKANAN

Pelanggaran Penangkapan dan Perburuan Burung Cenderawasih.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan penangkapan dan

perburuan burung cenderawasih dalam masyarakat adat sub suku

Souw menyebut Tiya Esanjerense, sub suku Warry menyebut Eiy Tija

Mi Asanjam, dan sub suku Tarpi menyebut Sik Dira’di. Pelanggaran ini

dapat berlaku kepada siapa saja yang melakukan penangkapan dan

atau perburuan terhadap burung cenderawasih, dikenakan denda adat

yang bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar Mataun untuk

masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat adat

sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat sub suku

Tarpi.

Larangan ini di buat guna melestarikan burung cenderawasih

dari kepunaan, karena banyak terjadi perburuan dan penangkapan

burung cenderawasih dari luar suku tersebut. Sehingga kalau

kedapatan walaupun bukan orang suku tersebut maka yang

bersangkutan akan tunduk pada hukum adat setempat, biasanya

102
membayar sejumlah uang yang jumlahnya besar dan melepaskan

buruannya.

Pelanggaran Penangkapan Ikan dan Pencemaran Laut.

Pelanggaran adat yang berkaitan dengan penangkapan ikan

dan pencemaran laut dalam masyarakat adat sub suku Souw

menyebut Sumu Enggijen, sub suku Warry menyebut Gupai Wiyndir,

dan sub suku Tarpi menyebut Pip Soso. Pelanggaran ini dapat di

kategorikan menjadi 4 yaitu :

• Melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan

peledak, dikenakan denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai

putusan Marar Mataun untuk masyarakat adat sub suku Souw,

Mataun Pan untuk masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram

Tamsu untuk masyarakat adat sub suku Tarpi.

• Mencelupkan akar tuba dan atau menjaring ikan pada tempat-

tempat khusus sesuai ketetapan adat, dikenakan denda adat yang

bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar Mataun untuk

masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat

adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat

sub suku Tarpi.

• Melakukan kerusakan terhadap terumbu karang, dikenakan denda

adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar Mataun untuk

masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk masyarakat

adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk masyarakat adat

sub suku Tarpi.

103
• Melakukan penangkapan terhadap segala sesuatu makhluk hidup

dalam laut yang dilindungi menurut ketentuan adat, dikenakan

denda adat yang bentuk dan nilainya sesuai putusan Marar Mataun

untuk masyarakat adat sub suku Souw, Mataun Pan untuk

masyarakat adat sub suku Warry, dan Maram Tamsu untuk

masyarakat adat sub suku Tarpi.

Di dalam masyarakat adat suku Jouw Warry selama satu tahun

dilokasi tertentu dilarang mengambil ikan dalam bentuk apapun

larangan ini namanya curupuk. Setelah mencapai satu tahun baru

kemudian di adakan panen bersama, di mana setiap keret telah di

berikan tempat dan batasan untuk mengambil ikan. Prosesnya di awali

dengan pemanggilan ikan dengan menggunakan daun khusus setelah

itu baru di berikan akar tuba (racun alami untuk membunuh ikan)

• Jenis Sanksi Hukum Pidana Adat

Di dalam buku panduan hukum adat dewan adat suku Jouw Warry

(2008:55-57) maupun hasil wawancara dengan Daud Yaukwart (Demta, 3

Februari 2010) selaku ketua dewan adat suku Jouw Warry, Paulus Okobron

(Muris Kecil, 4 Februari 2010) selaku Marar Mataun untuk sub suku Souw,

Bastian Dodop (Ambora, 5 Februari 2010) selaku Mataun Pan untuk sub suku

Warry, serta Yulianus Ondi (Kamdera, 6 Februari 2010) selaku Maram Tamsu

untuk sub suku Tarpi bahwa terjadinya sebuah delik adat di dalam kehidupan

masyarakat Jouw Warry selalu dianggap sebagai gangguan terhadap

keseimbangan sosial dan nilai serta norma adat yang terkandung di dalamnya.

Pandangan yang kurang lebih sama di pahami oleh masyarakat adat di seluruh

Papua. Sehingga menjadi kewajiban bagi pelaku suatu delik adat dan
104
keluarganya untuk mengembalikan keseimbangan tersebut dalam bentuk

membayar denda berupa benda dan atau binatang kepada korban dan

keluarganya.

Benda dan binatang yang digunakan biasanya adalah manik-manik, kapak

batu, gelang batu, gelang dari kulit kerang, babi dan benda lain yang disepakati

bersama. Karena fungsinya sebagai penyeimbang sosial dan mengembalikan

sejumlah nilai adat yang terabaikan tadi, maka benda-benda ini dalam

kedudukannya sebagai alat pembayaran denda adat dianggap memiliki nilai yang

sangat tinggi dan sakral. Karena tanpa adanya benda-benda ini, maka hubungan

sosial menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan sejumlah nilai yang

selama ini di anut oleh masyarakat adat menjadi diabaikan. Dalam banyak hal,

pemberlakuan denda adat ini justru terjadi jalinan hubungan kekerabatan yang

baru antara pihak pelaku dan pihak korban.

Selain babi, saat ini benda-benda yang disebutkan di atas sudah jarang di

temui pada masyarakat Jouw Warry. Sehingga kini benda-benda yang digunakan

untuk membayar sejumlah denda adat lebih banyak diganti dalam bentuk uang

yang minimalnya tidak pernah di tentukan pasti, karena selalu ada proses

negosiasi diantara para pihak, yang berhubungan dengan:

• Kesepakatan atas nominal uang selalu bersifat relatif.

• Nilai uang akan selalu berkembang sesuai dengan perubahan peradaban

manusia

• Nilai dan bentuk denda juga tergantung pada status dan kedudukan sosial

pihak pelaku dan korban

105
• Meski telah terjadi kesepakatan jumlah denda, tapi terkadang masih

mengalami perubahan.

Bentuk denda adat yang lain adalah dengan memberikan seorang anak

perempuan dari keluarga pihak pelaku kepada pihak korban. Pembayaran denda

dalam bentuk ini dianggap sangat tinggi nilainya, karena selain sebagai

penyeimbang sosial, juga menjalin hubungan kekerabatan antara pihak pelaku

dan korban, hal inilah yang dimaksud dengan peradilan perdamaian, yang

awalnya ada permusuhan kemudian berubah menjadi satu kekerabatan atau

keluarga besar. Karena perempuan dianggap dapat memberikan keturunan

sebagai ganti keluarga yang terbunuh. Karena anak yang akan lahir dari

perkawinan antara perempuan dari pihak pelaku dengan laki-laki dari pihak

korban ini akan membawa marga dari pihak laki-laki. Proses perkawinan itu

tanpa adanya pembayaran mas kawin kepada pihak perempuan, namun apabila

perempuan yang sudah menikah tersebut telah melahirkan anak sebagai ganti

teradap korban tersebut, kemudian perempuan tersebut melahirkan anak lagi,

maka pihak laki-laki harus membayar maskawin kepada pihak perempuan.

Bentuk pembayaran denda yang kurang lebih sama dengan memberikan

perempuan untuk dinikahi dengan pihak keluarga korban adalah memberikan

anak laki-laki kepada pihak keluarga korban. Pembayaran denda dalam bentuk

demikian biasanya terjadi untuk delik pembunuhan. Selain itu juga, bentuk sanksi

adat atau denda adat yang lain adalah memberikan sebidang tanah milik pihak

pelaku kepada korban.

Selain itu juga, ada sanksi supranatural dengan kekuatan gaib, yang

biasanya digunakan terhadap pelanggaran ilmu hitam, menghina kepala suku

106
atau tua-tua adat, atau delik pengakuan tanah milik orang lain. Maupun dapat

diberlakukan terhada pejabat yang korupsi atau kejahatan besar lainnya dengan

membunuh dengan menggunakan ilmu gaib.

Peradilan Adat

Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat

hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa

perdata adat dan perkara pidana diantara warga masyarakat hukum adat yang

bersangkutan. lebih lanjut ditegaskan dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU

Otsus yang menyatakan dalam ayat ini secara tegas diakui keberadaan dalam

hukum nasional, lembaga peradilan dan pengadilan adat yang ada di Provinsi

Papua sebagai lembaga peradilan perdamaian antara para warga masyarakat

hukum adat di lingkungan masyarakat hukum adat yang ada Jika ditelusuri lebih

jauh bahwa legal spirit dari asas ini adalah sesuai dengan karakteristik hukum

adat yang cenderung mengutamakan keseimbangan (evenwicht, atau harmoni)

kosmis.

Oleh karena itu di dalam masyarakat hukum adat suku Jouw Warry dalam

mengembalikan atau memulihkan kembali keseimbangan seperti sediakala,

maka yang melakukan ketidak seimbangan atau melanggar aturan-aturan adat

sehingga ketertiban dalam masyarakat hukum adat suku Jouw Warry terganggu,

maka yang bersangkutan akan di beri sanksi atau denda adat melalui peradilan

adat guna mengembalikan keseimbangan dan menegakan tata tertib adat dalam

masyarakat hukum adat suku Jouw Warry guna mewujudkan kedamaian dan

ketentraman sehingga asas perdamain selalu di utamakan dalam menyelesaikan

setiap perkara pidana adat serta suasananya selalu mengutamakan

penyelesaian secara kekeluargaan.


107
Proses untuk mengembalikan keseimbangan dan ketertiban tersebut atau

bentuk peradilan adat dalam masyarakat adat suku Jouw Warry dapat di uraikan

sebagaimana di dalam buku panduan hukum adat dewan adat suku Jouw Warry

(2008:92-94,132-134,171-173) maupun hasil wawancara dengan Daud Yaukwart

(Demta, 3 Februari 2010) selaku ketua dewan adat suku Jouw Warry, Paulus

Okobron (Muris Kecil, 4 Februari 2010) selaku Marar Mataun untuk sub suku

Souw, Bastian Dodop (Ambora, 5 Februari 2010) selaku Mataun Pan untuk sub

suku Warry, serta Yulianus Ondi (Kamdera, 6 Februari 2010) selaku Maram

Tamsu untuk sub suku Tarpi adalah sebagai berikut:

• Tahapan penyelesaian perkara pidana adat

Masyarakat hukum adat suku Jouw Warry dalam hal terjadi ketidak

seimbangan atau tata tertib adat dilanggar maka, penyelesaiannya dapat

dilakukan terlebih dahulu melalui musyawarah secara kekeluargaan. Karena

segala bentuk pertanggung jawaban pidana adat selalu melibatkan keluarga,

sehingga apabila terjadi misalnya perselisihan di antara masyarakat hukum

adat maka selalu diselesaikan melalui musyawarah secara kekeluargaan,

karena sesungguhnya di dalam suku Jouw Warry sendiri merupakan satu

keluarga besar yang terdiri dari sub suku Souw, Warry Maupun Tarpi.

Namun apabila proses tersebut tidak dapat mengembalikan

keseimbangan dalam masyarakat hukum adat tersebut maka penyelesaian

perkara tersebut dapat dilakukan oleh kepala keret yaitu toutou untuk sub

suku Souw, saray-saray untuk sub suku Warry, serta sub suku Tarpi

menyebut dengan nama prikop tamsu

Selanjutnya proses penyelesaian dapat berlanjut kalau penyelesaian

perkara pidana adat tidak mencapai perdamaian di tingkat keret maka


108
perkara tersebut dilanjutkan ke Marar Mataun sebagai pemegang kekuasaan

tertinggi dalam masyarakat adat sub suku Souw, sedangkan sub suku Warry

menyebut dengan nama Mataun Pan, serta Maram Tamsu untuk sub suku

Tarpi.

Serta kalau terjadi ketidakseimbangan dan pelanggaran tata tertib adat

yang dilakukan oleh masyarakat adat antar sub suku dalam suku Jouw Warry

maka yang akan menyelesaikan adalah ketua Dewan Adat Suku Jouw Warry

atau ketua lembaga masyarakat adat Suku Jouw Warry yaitu untuk saat ini di

jabat oleh Daud Yaukwart.

• Pihak yang menyelesaikan perkara pidana adat

Tentunya apabila terjadi perkara pidana diantara masyarakat hukum

adat suku Jouw warri maka penyelesaian pertama melalui musyawarah adat

yang melibatkan pihak-pihak yang berperkara bersama keluarga masing-

masing. Namun apabila berlanjut sampai kepada kepala keret maka pihak-

pihak yang berperkara akan berhadapan dengan kepala keret masing-masing

yaitu toutou untuk sub suku Souw, saray-saray untuk sub suku Warry, dan

prikop tamsu untuk sub suku Tarpi.

Sedangkan pihak-pihak yang akan menyelesaikan setiap perkara

pidana adat apabila perkara tersebut tidak dapat diselesaikan di Keret

masing-masing, maka akan dilakukan oleh kepala suku masing-masing sub

suku dalam suku Jouw Warry yaitu:

Untuk sub suku Souw; pihak-pihak yang akan menyelesaikan perkara

tersebut adalah pihak-pihak yang berperkara, Marar Mataun sebagai hakim

perdamain, Maramtene sebagai penanggung jawab pembimbing dan pendidik

norma-norma adat dalam sub suku Souw, serta Toutou sebagai kepala keret.
109
Untuk sub suku Warry; pihak-pihak yang akan menyelesaikan perkara

tersebut adalah pihak-pihak yang berperkara, Mataun Pan sebagai hakim

perdamain, Ijuni sebagai pelaksana pemerintah adat, Maram sebagai

pembantu Mataun Pan dalam hal menyelesaikan setiap perkara pidana adat

yang terjadi, serta Saray-Saray sebagai kepala keret.

Serta Untuk sub suku Tarpi; pihak-pihak yang akan menyelesaikan

perkara tersebut adalah pihak-pihak yang berperkara, Maram Tamsu sebagai

hakim perdamain tinggi diatas Marai Tamsu, Ijuni sebagai pelaksana

pemerintah adat, Marai Tamsu sebagai pejabat yang bertugas menyelesaikan

masalah dalam masyarakat adat, Pawa’ Tamsu sebagai pejabat yang

mengurusi perekonomian di dalam rumah Maram Tamsu, serta Prikop Tamsu

sebagai kepala keret sekaligus penanggung jawab pembimbing dan pendidik

norma-norma adat dalam sub suku Tarpi.

Serta kalau terjadi ketidakseimbangan dan pelanggaran tata tertib adat

yang dilakukan oleh masyarakat adat antar sub suku dalam suku Jouw Warry

maka pihak-pihak yang akan menyelesaikan adalah pihak-pihak yang

berperkara, ketua Dewan Adat Suku Jouw Warry atau ketua lembaga

masyarakat adat Suku Jouw Warry bersama perangkatnya, beserta ketua-

ketua adat sub suku masing-masing bersama perangkatnya atau Tua-tua

adat asing-masing sub suku dalam suku Jouw Warry.

• Tempat Penyelesaian Perkara Pidana Adat

Dalam hal tempat untuk menyelesaikan perkara pidana adat, maka

tempat yang digunakan adalah :

110
• Apabila penyelesaian perkara pidana adat pada tahapan musyawarah

keluarga, maka dapat menggunakan salah satu rumah dari para pihak

yang bertikai atau tempat tertentu yang disepakati bersama.

• Apabila penyelesaian perkara pidana adat pada tahapan kepala keret,

maka menggunakan rumah Toutou untuk sub suku Souw, saray-saray

untuk sub suku Warry, dan prikop tamsu untuk sub suku Tarpi.

• Apabila penyelesaian perkara pidana adat pada tahapan kepala suku

sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada masing-masing sub suku

dalam suku Jouw Warry, maka menggunakan rumah Marar Mataun untuk

sub suku Souw, sedangkan sub suku Warry menggunakan rumah Mataun

Pan, serta menggunakan rumah Maram Tamsu untuk sub suku Tarpi.

• Apabila penyelesaian perkara pidana adat pada tahapan ketua dewan

adat suku (DAS) Jouw Warry atau ketua lembaga masyarakat adat (LMA)

suku Jouw Warry, maka untuk sementara ini masih menggunakan rumah

ketua DAS/LMA sambil menunggu penyelesaian tempat penyelesaian

perkara/para-para adat/pengadilan adat suku Jouw Warry.

• Tata Cara Penyelesaian Perkara Pidana Adat

Penyelesaian perkara pidana adat pada suku Jouw Warry biasanya

dilakukan oleh ketua-ketua adat pada masing-masing sub suku dalam suku

Jouw Warry, penyelesaian tersebut di upayakan diselesaikan oleh masing-

masing pihak yang berperkara. Namun apabila perkara tersebut sudah

dilimpahkan ke kepala suku dari masing-masing sub suku di dalam suku

Jouw Warry.

Untuk sub suku Souw, apabila perkara tersebut di tangani oleh Marar

Mataun, maka tata caranya sebagai berikut :


111
• Pengaduan perselisihan disampaikan kepada Marar Mataun melalui

Toutou.

• Marar Mataun memerintahkan Maram untuk memanggil para pihak yang

berselisih.

• Setelah mendengar keterangan para pihak yang bertikai dan meminta

pendapat dari Maram dan Toutou, Marar Mataun menjatuhkan hukuman

kepada pihak yang terbukti bersalah.

• Setelah menjatuhkan hukuman, Marar Mataun mewajibkan kepada para

pihak yang berselisih untuk segera berdamai.

Untuk sub suku Warry, apabila perkara tersebut di tangani oleh Mataun

Pan, maka tata caranya sebagai berikut :

• Pengaduan perselisihan disampaikan kepada Mataun Pan melalui Ijuni.

• Setelah menerima pengaduan, mataun pan memerintahkan kepada Ijuni

untuk mengumpulkan Maram dan Saray-Saray, ditambah dengan tokoh-

tokoh adat yang di dalam keret masing-masing.

• Setelah mendengar keterangan dari para pihak dan mendengar pendapat

dari Ijuni, Maram dan saray-saray, maka mataun Pan menjatuhkan

hukuman kepada pihak yang terbukti bersalah.

• Setelah menjatuhkan hukuman, Mataun Pan mewajibkan kepada para

pihak untuk segera berdamai.

Hasil putusan Mataun Pan atas hukuman yang dijatuhkan kepada pihak

yang terbukti bersalah kemudian disosialisasikan oleh ijuni kepada

masyarakat adat secara umum.

112
Untuk sub suku Tarpi, apabila perkara tersebut di tangani oleh Maram

Tamsu, maka tata caranya sebagai berikut :

• Setelah menerima pengaduan atas perselisihan yang terjadi, Maram

Tamsu mengumpulkan aparat adatnya dan tokoh-tokoh masyarakat

lainnya.

• Maram Tamsu kemudian memanggil para pihak untuk didengarkan

keteranganya.

• Setelah mendengar keterangan dan meminta pendapat dari para

perangkat adat, maka Maram Tamsu menjatuhkan hukuman kepada pihak

yang terbukti bersalah.

• Setelah menjatuhkan hukuman, Maram Tamsu berkewajiban

mendamaikan para pihak yang terlibat dalam perselisihan

Namun tata cara tersebut tidak absolut harus melalui prosedur

tersebut, apabila terjadi pelanggaran adat yang dilakukan terhadapnya maka

yang bersangkutan bisa lansung melapor ke ondoafi dan lansung di

selesaikan oleh ondoafi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Andi Zainal. Perbandingan Asas-asas Hukum Adat Pidana Indonesia


dengan.asas-asas Hukum Pidana Eropa Barat dan Asas-asas Hukum Pidana
Texas, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, 1996.

Ali, Achmad. Menguak Realitas Hukum, Kencana Prenada Media Group,Jakarta,


2008.

-------------------------------, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008.

Anwar, Yesmil dan Adang. Pembaharuan Hukum Pidana - Reformasi Hukum


Pidana, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008.

113
Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group.
Semarang 2006.

----------------------------, Kebijakan Hukum Pidana-Perkembangan Penyususnan


Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

Badan Kesatuan Bangsa Provinsi Papua, Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,
Jayapura, 2005.

Bahiej, Ahmad. Selamat Datang KUHP Baru Indonesia (Telaah atas RUU KUHP
Tahun 2004), Yogyakarta, 2006.

Darji, Darmodiharjo, Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta, 2004.

Faruq, Prinsip Hukum Umum/General Principles Of Law/Mabadi ‘Amah Lil Qanun,


fsqcairo.blogspot.com

Gofar, Fajrimei A. Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta, 2005

Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cv.Mandar Maju,


Bandung,2003.

----------------------------, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1998.

Harun M.Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, PT Rineka


Cipta Jakarta 1991.

Jaya, Nyoman Serikat Putra. Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan
Hukum Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Semarang, 2005

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.

Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya: Bandung,


2001.

Milees, dkk, Analisis Data Kualitatif, UI Press: Jakarta, 1992.

Muhammad, Bushar. .Asas-asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Pradnya Paramita.


Jakarta, 2003.

--------------------------,Pokok-pokok Hukum Adat,Pradnya Paramita' Jakarta, 2004.

Mulyono, Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan


Bernegara, eprints.undip.ac.id

Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1988.


114
Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul Halim. Politik Hukum Pidana- Kajian
Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2005.

Program Pasca Sarjana Universitas Hasaniddin, Pedoman Penulisan Tesis Dan


Disertasi, Makassar, 2006.

Rajagukguk, Erman. Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme, www.docjax.com

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia: Jakarta,


1983.

Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada: Jakarta,


1999.

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo, Persada, Jakarta,


2002.

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,2003.

------------------, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, PT Pradnya


Paramita,Jakarta, 2004.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada:


Jakarta. 2003

Sutiyoso, Bambang. Penafsiran Hukum Penegakan Hukum,


masyos.wordpress.com.

Ter Haar, B Bzn, Poesponoto SK.Ng. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta, 2003.

Tim ALDP Dan Suku Jouw Warry, Panduan Hukum Adat Dewan Adat Suku Jouw
Warry, Aliansi Demokrasi Untuk Papua. Jayapura, 2008.

Tim Polda Papua dan Fakultas Hukum Uncen, Rancangan Paper Academic
Peraturan Daerah Khusus ( Perdasus ) Tentang Penyelenggaraan Peradilan
Adat Di Provinsi Papua, Jayapura, 2005

Wiranata, I Gede A.B. Hukm Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa ke Masa,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung,2005.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan


Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan
Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil

115
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang


Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua

Rancangan Undang-Undang tentang Asas-Asas dan Dasar-Dasar Pokok Tata


Hukum Pidana dan Hukum Pidana Indonesia

Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun


2008

116

Anda mungkin juga menyukai