Anda di halaman 1dari 38

SISTEM PERADILAN

DI INDONESIA
OLEH:
Ilhamdi Taufik, S.H., M.H.
PENGANTAR

 Peradilan (R. Subekti)


Segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara untuk
menegakkan hukum dan keadilan
 Pengadilan
Badan / Lembaga yang menyelenggarakan fungsi peradilan
 Kekuasaan Kehakiman (Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan
Kehakiman)
Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 demi terselengaranya negara hukum
Republik Indonesia
Sistem Hukum
Eropa Continental : Menggunakan kita undang-undang
atau undang-undang sebagai sumber hukum utamanya
(Munir Fuady)
Anglo Saxon : Sistem hukum yang didasarkan pada
yurisprudensi, mengutamakan hukum kebiasaan
Kompetensi Pengadilan
 Kompetensi Absolut : Menyangkut pembagian
kekuasaan antara badan-badan peradila untuk
mengadili (attributie van rechtsmacht)
 Kompetensi Relatif : terkait dengan pengadilan mana
yang berwenang mengadili (berkaitan dengan lokasi)
(distributie van rechtsmacht)
KEKUASAAN KEHAKIMAN MENURUT
UUD 1945

 SEBELUM AMANDEMEN:
 MA DAN JAJARAN PERADILAN DI BAWAHNYA
 4 LINGKUNGAN PERADILAN (PASAL 10 AYAT (1) UU NO.14 TAHUN 1970):
 PERADILAN UMUM
 PERADILAN AGAMA
 PERADILAN MILITER
 PERADILAN TATA USAHA NEGARA
 ORGANISATORIS BERPUCUK PADA 2 PIMPINAN:
 TEKNIS YURIDIS – MA
 ORGANISASI, ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN & FINANSIAL – DEPARTEMEN
KEHAKIMAN
SISTEM PERADILAN SETELAH
AMANDEMEN UUD 1945

 SETELAH AMANDEMEN: Pasal 18 UUD 1945


 MA, DAN PENGADILAN DI BAWAHNYA DALAM 4 LINGKUNGAN
PERADILAN
 MK (THE GUARDIAN OF THE CONSTITUTION)
 ORGANISASI, ADMINISTRASI, FINANSIAL PENGADILAN DARI 4
LINGKUNGAN PERADILAN DI BAWAH MA (SATU ATAP – PASAL
21)
 KEDUDUKAN PERADILAN DI BAWAH MA, BERADA DI TIAP
KABUPATEN/KOTA (PENGADILAN TINGKAT PERTAMA) DAN TIAP
IBUKOTA PROPINSI (PENGADILAN TINGKAT DUA/BANDING)
KEKUASAAN KEHAKIMAN

 PENGATURAN:
 UU NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG POKOK-POKOK
KEKUASAAN KEHAKIMAN
 DIRUBAH DGN UU NOMOR 35 TAHUN 1997
 DIGANTI DGN UU NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG
KEKUASAAN KEHAKIMAN
 DIGANTI LAGI DGN UU NOMOR 48 TAHUN 2009
TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN
LINGKUNGAN PERADILAN UMUM

 PENGATURAN:
 UU NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN
UMUM
 UU NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN
ATAS UU NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN
UMUM
 UU NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS UU NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG
PERADILAN UMUM
PERADILAN UMUM

 KEWENANGAN: PASAL 25 AYAT (2) UU KK


 memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
 KEDUDUKAN:
 TINGKAT PERTAMA: IBUKOTA KAB/KOTA (PN)
 TINGKAT BANDING: IBUKOTA PROPINSI (PT)
LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA

 PENGATURAN:
 UU NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN
AGAMA
 UU NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN
ATAS UU NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN
AGAMA
 UU NOMOR 50 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS UU NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG
PERADILAN AGAMA
LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA

 KEWENANGAN: PASAL 25 AYAT (3) UU KK


 memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan
 Pasal 2 (UU NO: 3 THN 2006)
 Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini.
PENGADILAN AGAMA

 KEWENANGAN : Pasal 49 UU NOMOR 3 TAHUN 2006


 Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
 a. perkawinan;
 b. waris;
 c. wasiat;
 d. hibah;
 e. wakaf;
 f. zakat;
 g. infaq;
 h. shadaqah; dan
 i. ekonomi syari'ah.
LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA

 KEDUDUKAN:
 PERADILAN TINGKAT PERTAMA DI IBUKOTA KAB/KOTA - PA
 PERADILAN TINGKAT BANDING DI IBUKOTA PROPINSI - PTA
LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

 KEWENANGAN: PASAL 25 AYAT 4 UU KK


 memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak
pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
 KEDUDUKAN :
 IBUKOTA PROPINSI – PENGADILAN MILITER
 BEBERAPA KOTA BESAR WILAYAH INDONESIA – PENGADILAN
TINGGI MILITER
 PENGATURAN:
 UU NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER
LINGKUNGAN PERADILAN TATA
USAHA NEGARA

 PENGATURAN:
 UU NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN
TATA USAHA NEGARA
 UU NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN
ATAS UU NOMOR 5 TAHUN 1986
 UU NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS UU NOMOR 5 TAHUN 1986
LINGKUNGAN PERADILAN TATA
USAHA NEGARA

 KEWENANGAN:
 memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa
tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
 Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara,
baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(PASAL 1 BUTIR 10 UU NO 51 THN 2009)
PERADILAN TATA USAHA NEGARA

 PASAL 1 BUTIR 9 UU NOMOR 51 THN 2009:


Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
KEDUDUKAN PERADILAN TATA
USAHA NEGARA

 Pasal 6 UU NOMOR 5 TAHUN 1986


 (1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di
kotamadya atau ibukota kabupaten, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten.
 (2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
berkedudukan di ibukota propinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah propinsi.
PERADILAN TATA USAHA NEGARA

 PRAKTIK SAMPAI SAAT INI :


 PENGADILAN TINGKAT PERTAMA DI TIAP IBUKOTA
PROPINSI (PTUN)
 BANDING DI IBUKOTA PROPINSI. SKRG HANYA DI
KOTA BESAR WILAYAH INDONESIA (PT TUN)
 PTUN PADANG
 PTUN PEKANBARU PT TUN
 PTUN MEDAN MEDAN
PERADILAN KHUSUS

 PASAL 27 UUD 1945:


 Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
 PENGADILAN KHUSUS DALAM LINGKUNGAN
PERADILAN UMUM:
 PENGADILAN HAM (UU NOMOR 26 TAHUN 2000)
 PENGADILAN TIPIKOR (UU NOMOR 46 TAHUN 2009)
 PENGADILAN EKONOMI (UU NOMOR 7/DRT/1955)
ASAS-ASAS YG BERLAKU DALAM
SISTEM PERADILAN INDONESIA

 Peradilan dilakukan demi keadilan yang berdasarkan


Ketuhanan Yang Maha Esa
 Peradilan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila
 Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
 Asas kemandirian peradilan/independensi yudisial (kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan bebas dari intervensi pihak
manapun)
 Mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan org
(equality before the law & impartialitas).
ASAS-ASAS YG BERLAKU DALAM
SISTEM PERADILAN INDONESIA

 Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai


hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
 Pengadilan terhadap seseorang hanya berdasarkan uu yang
berlaku
 Pidana hanya dijatuhkan berdasarkan putusan pengadilan
karena org bersalah atas alat bukti yang sah dan keyakinan
hakim
 Upaya paksa hanya berdasarkan peraturan dan perintah yg
sah
ASAS-ASAS YG BERLAKU DALAM
SISTEM PERADILAN INDONESIA

 Presumption of innocence (praduga tidak bersalah-Pasal 8)


 Hak atas ganti rugi dan rehabilitasi
 Larangan menolak perkara dengan alasan hukum tidak
ada atau kurang jelas
 Persidangan dilakukan terbuka untuk umum (kecuali uu
menentukan lain).
 Putusan pengadilan dibacakan dalam sidang yang terbuka
utk umum
 Persidangan harus dengan hadirnya terdakwa
ASAS-ASAS YG BERLAKU DALAM
SISTEM PERADILAN INDONESIA

 Putusan diambil berdasarkan sidang


permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
 Pengadilan wajib saling memberi bantuan utk
kepentingan peradilan
 Perkara koneksitas diadili di peradilan umum kecuali
karena keadaan tertentu berdasarkan putusan MA
diadili di pengadilan militer
 Hak ingkar pihak yang diadili terhadap hakim yang
memeriksa perkaranya.
HAK ATAS BANTUAN HUKUM

 Pasal 68B UU NOMOR: 49 THN 2009 (PERUBAHAN


KEDUA UU PERADILAN UMUM)
 (1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum.
 (2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari
keadilan yang tidak mampu.
 (3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus melampirkan surat keterangan tidak mampu
dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan.
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
UU NOMOR 11 TAHUN 2012

 Pasal 1 butir 1:
 Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses
penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan
hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
 Pasal 1 butir 2:
 Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
USIA ANAK:

 PASAL 1 BUTIR 3:
 Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.
 Pasal 1 butir 4 dan 5 mengatur tentang anak yang
menjadi korban tindak pidana dan anak Di bawah
yang menjadi
18 tahun
saksi perkara tindak pidana
ASAS YG MENDASARI SPP-ANAK

 Pasal 2
 Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
 a. pelindungan;
 b. keadilan;
 c. nondiskriminasi;
 d. kepentingan terbaik bagi Anak;
 e. penghargaan terhadap pendapat Anak;
 f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
 g. pembinaan dan pembimbingan Anak;
 h. proporsional;
 i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
 j. penghindaran pembalasan.
KEADILAN RESTORATIF

 Pasal 5 ayat (1) :Sistem Peradilan Pidana Anak wajib


mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
Pasal 1 butir 6:
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan bukan pembalasan.
DIVERSI:
PENGERTIAN DAN TUJUAN

Pasal 1 butir 7:
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
 Pasal 6 Tujuan Diversi :
 a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
 b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
 c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
 d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
 e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
TAHAPAN DAN SYARAT DIVERSI:

 Pasal 7 ayat (1):


 Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
 Ayat (2):
 Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
 a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;
dan
 b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
PROSES DIVERSI

 Pasal 8 ayat (1) : Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan


melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan
pendekatan Keadilan Restoratif.
 (2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.
 (3) Proses Diversi wajib memperhatikan:
 a. kepentingan korban;
 b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
 c. penghindaran stigma negatif;
 d. penghindaran pembalasan;
 e. keharmonisan masyarakat; dan
 f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
PROSES DIVERSI:

 Pasal 9 ayat (1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan
Diversi harus mempertimbangkan:
 a. kategori tindak pidana;
 b. umur Anak;
 c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
 d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
 Ayat (2) Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban
dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya,
kecuali untuk:
 a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
 b. tindak pidana ringan;
 c. tindak pidana tanpa korban; atau
 d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat
BENTUK KESEPAKATAN DIVERSI

 Pasal 11 : Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk,


antara lain:
a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di
lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga)
bulan; atau
d. pelayanan masyarakat.
BENTUK KESEPAKATAN DIVERSI:
PASAL 10 (TINDAK PIDANA PSL 9)

 (2) Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi
Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk:
 pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
 rehabilitasi medis dan psikososial;
 penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
 keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
 pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
AKIBAT HUKUM KESEPAKATAN
DIVERSI:

 Pasal 12:
 Penyidik menerbitkan penetapan penghentian
penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan
penetapan penghentian penuntutan.
 Pasal 13: Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan
dalam hal:
 a. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau
 b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.
SISTEM PERADILAN PIDANA

 Input II Output
I III IV

 Proses pada tiap bejana mempengaruhi proses pada


bejana lainnya, hingga output SPP
 Dimana tempat advokat dalam sistem tersebut?
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai