Anda di halaman 1dari 41

BAB I

ARTI, SUMBER, dan ASAS HUKUM

A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada pasal 2 menyatakan “Peradilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini”.

Anak kalimat “perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang


ini” dapat ditemukan petunjuknya dalam pasal 49 yang menyatakan Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.

Tugas pengadilan agama bukan sekedar memutus perkara melainkan


menyelesaikan sengketa sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara pihak-pihak
yang bersengketa, tercipta adanya rasa keadilan pada masing-masing pihak yang
berperkara, dan terwujud pula tegaknya hukum dan kebenaran pada perkara yang
diperiksa dan diputus tersebut.

B. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama

Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, S.H., hukum acara perdata adalah
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di
muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain
untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

1
R. Suparmono, S.H., memberikan definisi hukum acara perdata adalah
keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana
mempertahankan, melaksanakan, dan menegakkan hukum perdata materiil melalui
proses peradilan (peradilan negara).

Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, S.H., menyatakan hukum perdata mengatur


tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya
dan pelaksanaan dari putusannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama


adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak di muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan
mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa
serta memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut di
lingkungan Peradilan Agama.

C. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-


Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, Hukum Acara
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Oleh karena itu dapat ditegaskan
bahwa sumber hukum Acara Peradilan Agama antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;


2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa
dan Madura;

2
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974;
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ;
7. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura;
8. Rechtstreglement Buitengewesten (RBg.) untuk luar Jawa dan Madura;
9. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv);
10. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang penggunaan
Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-
masalah di bidang Perkawinan, Perwakafan, dan Kewarisan;
11. Yurisprudensi, yaitu kumpulan yang sistematis dari Putusan Mahkamah
Agung yang di ikuti oleh Hakim lain dalam putusan yang sama;
12. Surat Edaran Mahkamah Agung sepanjang menyangkut Hukum Acara
Perdata.

D. Asas-Asas Hukum Acara Perdata Peradilan Agama

Sebagai landasan Hukum Acara Peradilan Agama, perlu dipedomani asas-asas


Hukum Acara Peradilan Agama sebagai berikut :

1. Peradilan Agama adalah Peradilan Negara (pasal 3 ayat (1) Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 2004, pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
2. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam
(pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989);

3
3. Peradilan Agama menetapkan dan menegakkan hukum berdasarkan keadilan
yang di dasari dari Pancasila (pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004);
4. Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
berdasarkan hukum Islam (pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006);
5. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal 57 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006);
6. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal 57 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989);
7. Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang
(pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal 58 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989);
8. Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar (pasal 4
ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004);
9. Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya
tiga hakim dan salah satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai
anggota, dibantu oleh Panitera Sidang (pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004);
10. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili
(pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004);
11. Beracara dikenakan biaya (pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 145 ayat (4) RBg.);
12. Hakim bersifat menunggu (pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
13. Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.);
14. Persidangan bersifat terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004);

4
15. Hakim mendengar kedua belah pihak (pasal 121 HIR, pasal 145 RBg., pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989);
16. Tidak harus diwakilkan (pasal 123 HIR, pasal 147 RBg.);
17. Hakim wajib mendamaikan para pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg., pasal 39
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974);
18. Hakim membantu para pihak (pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004, pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989);
19. Hakim wajib mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya (pasal 16
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004);
20. Putusan harus disertai alasan (pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004, pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal
184 ayat (1) dan pasal 195 RBg.);
21. Tiap putusan dimulai dengan kalimat “Bissmillahir rahmaanir rahiim” di ikuti
dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 57
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989);
22. Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 20 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004);
23. Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harus
dibuat berita acara (pasal 186 HIR, pasal 96 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989);
24. Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya hukum berupa banding, kasasi
dan peninjauan kembali (pasal 21, 22, dan 23 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004);
25. Pelaksanaan putusan pengadilan wajib menjaga terpeliharanya peri
kemanusiaan dan peri keadilan (pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004).

5
BAB II

TENTANG GUGATAN

A. Pengetian

Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan ia tidak dapat
menyelesaikan sendiri masalahnya itu, dapat mengajukan tuntutan hak kepada
pengadilan untuk menyelesaikannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Tuntutan itu harus mengandung kepentingan hukum, poit d’interet, poit


d’action, geen belang geen actie (tidak ada kepentingan, tidak dapat digugat di muka
pengadilan). Putusan MARI No. 294/K/Sip/1971 tanggal 7 Juli 1971 menyebutkan,
gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.

Gugatan diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan di tempat tinggal


Tergugat (pasal 118 HIR, 142 RBg.), atau jika Penggugat buta huruf, ia dapat
mengajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang akan mencatat atau
menyuruh mencatat Hakim yang ditunjuk, gugatan tersebut dalam Catatan Surat
Gugatan. Catatan Surat Gugatan tersebut ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan atau
Hakim yang ditunjuk itu.

Surat gugatan itu menurut ketentuan pasal 8 Nomor 3 Rv, pada pokoknya
harus memuat :

1. Identitas para pihak. Terdiri dari nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal
serta kedudukan para pihak dalam perkara yang diajukan;
2. Fundamentum petendi atau dasar tuntutan yang terdiri dari :
a. Uraian tentang kejadian atau peristiwa yang menjadi dasar pengajuan
gugatan atau menjelaskan tentang duduk perkaranya sehingga Penggugat
merasa hak dilanggar/dirugikan dan menuntut haknya ke Pengadilan;

6
b. Uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar
yuridis pengajuan gugatan yang harus dibuktikan di Pengadilan.
3. Petitum, yaitu apa yang diminta/dituntut agar di putus oleh Hakim dalam
persidangan. Terdiri dari :
a. Tuntutan pokok atau primer;
b. Tuntutan tambahan, antara lain :
 Tuntutan provisional;
 Tuntutan pembayaran bunga moratoir;
 Tuntutan agar Tergugat di hukum membayar uang paksa (dwangsom);
 Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad;
 Pembebanan biaya perkara.

B. Penghubungan/kumulasi gugatan

Penggabungan/kumulasi gugatan dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :

1. Penggabungan subyektif, yaitu penggabungan para pihak berperkara yang


terdiri lebih dari seorang. Misalnya beberapa orang Penggugat melawan
seorang Tergugat, atau sebaliknya seorang Penggugat melawan beberapa
orang Tergugat;
2. Penggabungan obyektif, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan dalam
satu perkara. Misalnya gugatan cerai diajukan bersama dengan gugatan
penguasaan anak, nafkah istri, dan harta bersama;
3. Intervensi, yaitu ikut sertanya pihak ketiga kedalam proses perkara, terdiri
dari :
a. Voeging, yaitu masuknya pihak ketiga atas kehendak sendiri dengan
bergabung pada salah satu pihak Penggugat atau Tergugat;

7
b. Vrijwaring, yaitu pihak ketiga ditarik oleh Tergugat dengan maksud agar
ia menjadi penanggung bagi Tergugat;
c. Tussenkomst, yaitu pihak ketiga masuk dalam satu proses perkara yang
sedang berjalan untuk membela kepentingannya sendiri.

C. Gugatan Secara Cuma-Cuma (Prodeo)

Pada dasarnya beracara di Pengadilan dalam gugatan perdata, dikenakan biaya


perkara (pasal 121 ayat (4) dan pasal 182 HIR, pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004). Namun dalam hal Penggugat dan Tergugat tidak mampu, ia
dapat mohon kepada Ketua Pengadilan untuk berperkara secara cuma-Cuma, sebelum
perkara pokok diperiksa oleh Pengadilan (pasal 237 HIR, pasal 273 RBg.).
permohonan diajukan dengan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu yang
dibuat oleh Kepala Desa dan diketahui Camat.

D. Upaya Menjamin Hak

Untuk kepentingan Penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya


dikabulkan, undang-undang menyediakan sarana untuk menjamin hak tersebut
dengan penyitaan (arrest, beslag). Sita adalah suatu tindakan hukum oleh Hakim yang
bersifat eksepsional, atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, untuk
mengamankan barang-barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan
di pindah tangankan, dibebani suatu jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pihak
yang menguasai barang-barang tersebut, untuk menjamin agar putusan Hakim
nantinya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hukum Acara Peradilan Agama
mengenal beberapa macam sita yaitu :

 Sita conservatoir;

8
 Sita revindicatoir;
 Sita marital;
 Sita persamaan;
 Sita eksekusi.

Uraian tentang tata cara sita yang meliputi permohonan, pemeriksaan,


pelaksanaan dan hal-hal lain yang berkenaan dengan penyitaan dilakukan dalam
pembahasan tersendiri.

E. Perubahan Gugatan dan Pencabutan Gugatan

Perubahan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. ketentuannya terdapat
dalam Rv pasal 127. Perubahan gugatan diperbolehkan selama tidak merugikan
kepentingan kedua belah pihak, yaitu sepanjang tetap berdasarkan pada hubungan
hukum yang menjadi dasar tuntutan semula dan tidak merubah kejadian materiil yang
menjadi dasar gugatannya.

Pencabutan gugatan yang diatur dalam HIR dan RBg. ketentuannya terdapat
dalam Rv pasal 271 yang menyatakan bahwa pencabutan gugatan dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :

1. Sebelum gugatan diperiksa dalam persidangan, tidak perlu persetujuan dari


pihak Tergugat, karena Tergugat secara langsung belum mengetahui tentang
adanya gugatan/belum tersentuh kepentingannya;
2. Sebelum Tergugat memberi jawaban, juga tidak perlu mendapat persetujuan
Tergugat;
3. Sesudah Tergugat memberi jawaban, pencabutan harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan Tergugat, karena sudah tersentuh kepentingannya.

9
BAB III

KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

A. Kewenangan Absolut dan Relatif

Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa


Belanda ‘competentie’, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan ‘kewenangan’
dan kadang dengan ‘kekuasaan’. Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya
adalah dengan hukum acara. Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama dilingkungan
Peradilan Agama terdapat dua tingkat Pengadilan, yaitu Pengadilan Agama sebagai
pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan
Tingkat Banding.

Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai


dengan pasal 53 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang
tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut. Wewenang relatif
Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau pasal 142 RBg. jo pasal 66 dan
pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedang wewenang
absolut berdasarkan pasal 49b UU Nomor 7 Tahun 1989.

Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat
dilingkungan Peradilan Agama, yaitu :

1. Fungsi kewenangan;
2. Memberi keterangan, pertimbangan;
3. Kewenangan lain berdasarkan undang-undang;
4. Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkat
banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif;
5. Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan.

10
Dalam pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa acara yang
berlaku pada lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
pada lingkungan peradilan umum. Oleh karena itu, landasan untuk menentukan
kewenangan relatif pengadilan agama merujuk pada ketentuan pasal 118 HIR atau
pasal 142 RBg. jo pasal 66 dan pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989. Penentuan
kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke pengadilan agama
mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat (1) HIR
menganut asas bahwa yang berwenang adalah pengadilan ditempat kediaman
tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut “actor sequitur forum rei”, namun ada
beberapa pengecualian yaitu yang tercantum dalam pasal 118 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), yaitu :

1. Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat;
2. Apabila ada tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan ditempat tinggal penggugat;
3. Apabila gugatan mengenai benda yang tidak bergerak, maka gugatan diajukan
kepada peradilan di wilayah hukum dimana barang tersebut terletak;
4. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan
dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta
tersebut.

Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan yang


berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat Pengadilan,
dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat
pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan dilingkungan Peradilan Agama adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan
golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.

11
Pasal 10 UU Nomor 7 Tahun 1970 menetapkan empat jenis lingkungan
peradilan dan masing-masing mempunyai wewenang mengadili bidang tertentu
dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat
banding. Untuk lingkungan peradilan agama menurut Bab I pasal 2 jo Bab III pasal
49 UU Nomor 7 Tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang :

 Perkawinan;
 Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
 Wakaf dan sedekah.

Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu dari hukum perdata yang


menjadi kewenangan absolut peradilan agama adalah bidang hukum keluarga dari
orang-orang yang beragama Islam. Oleh karena itu, menurut Prof. Busthanul Arifin,
Peradilan Agama dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-orang yang
beragama Islam, seperti yang terdapat di beberapa negara lain. Sebagai suatu
peradilan keluarga, yaitu peradilan yang menangani perkara-perkara dibidang Hukum
Keluarga, tentulah jangkauan tugasnya berbeda dengan peradilan umum. Oleh karena
itu, segala syarat yang harus dipenuhi oleh para hakim, panitera dan sekretaris harus
sesuai dengan tugas-tugas yang diemban peradilan agama.

Mengenai bidang perkawinan pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa yang


dimaksud adalah hal-hal yang diatur dalam undang-undang mengenai perkawinan
yang berlaku, pasal 49 ayat (2) yang menjadi kekuasaan mutlak Pengadilan Agama
adalah perkara perkawinan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan
PP Nomor 9 Tahun 1975. Perkara-perkara perkawinan dimaksud adalah :

1. Izin beristri lebih dari seorang;

12
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun dalam hal orangtua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang
seharusnya bertanggungjawab tidak memenuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pecabutan kekuasaan orangtua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orangtuanya padahal tidak ada
penunjukkan wali oleh orangtuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal usul seorang anak;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;

13
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
yang lain.

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal yang memberikan


kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu penetapan
Wali Adlal dan perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.
Kewenangan mengadili perkara bidang Kewarisan, Wasiat, dan Hibah. Menurut pasal
49 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1989, kewenangan pengadilan agama dibidang
kewarisan yang disebut dalam pasal 49 ayat (1) huruf b, adalah mengenai :

1. Penentuan siapa saja yang menjadi ahli waris;


2. Penentuan harta peninggalan;
3. Bagian masing-masing ahli waris;
4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan.

Dalam pasal 2 jo pasal 49 ayat (1) jo penjelasan umum angka 2 alinea ketiga
telah ditentukan bahwa salah satu asas sentral dalam undang-undang ini adalah asas
personalitas keislaman. Oleh karena itu, dengan mengaitkan asas ini dengan
ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf b jo penjelasan umum angka 2 alinea tersebut,
berarti asas personalitas keislaman dalam bidang perdata kewarisan meliputi seluruh
golongan rakyat beragama Islam. Dengan kata lain, dalam hal ini terjadi sengketa
kewarisan bagi setiap orang yang beragama Islam, kewenangan mengadilinya tunduk
dan takluk pada lingkungan peradilan agama, bukan kelingkungan peradilan umum.
Jadi luas jangkauan mengadili lingkungan peradilan agama ditinjau dari subjek pihak
yang berperkara, meliputi seluruh golongan rakyat yang beragama Islam terkecuali.

Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa kewarisan ditinjau dari


sudut Hukum Waris Islam, dapat dilakukan melalui pendekatan pasal 49 ayat (3) jo
penjelasan umum angka 2 alinea keenam. Jadi uraian singkat dari ketentuan pasal

14
tersebut adalah bahwa pokok-pokok hukum waris Islam yang akan diterapkan pada
golongan rakyat yang beragama Islam diperadilan agama terdiri atas :

1. Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli waris,
siapa yang berhak mewaris, siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan
penentuan hak dan kewajiban ahli waris;
2. Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah
yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan;
3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalam Al-
Qur’an, as-Sunnah, dan Ijtihad; dan
4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan.

Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Wakaf dan Sedekah. Pasal 1 ayat (1)
PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik menentukan pengertian
tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagaian harta kekayaan yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Wakaf ini sangat
penting ditnjau dari sudut pelembagaan keagamaan. PP Nomor 28 Tahun 1977
merupakan peraturan perwakafan dalam ajaran Islam yang telah menjadi hukum
positif dan pengaturannya memiliki cakupan yang lengkap. Namun demikian,
permasalahan wakaf juga semakin kompleks, seiring dengan kemajuan dan
perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, jika ada perselisihan tentang perwakafan
tanah milik, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada pengadilan agama sesuai
dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.

15
B. Perihal Eksepsi

Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna tangkisan atau
bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat
terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan
dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas
gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan terhadap pokok perkara
(verweer ten principale). Salah satu eksepsi dalam hukum acara perdata adalah
eksepsi mengenai kewenangan mengadili. Eksepsi kewenangan mengadili diajukan
apabila dianggap pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
Eksepsi kewenangan mengadili dibagi menjadi :

1. Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir)


Kompetensi absolute berkaitan dengan kewenangan absolute 4 (empat)
lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Agama, dan Peradilan Militer) dan Peradilan Khusus (Arbitrase,
Pengadilan Niaga, dan lain-lain). Masing-masing pengadilan mempunyai
yurisdiksi tertentu. Yurisdiksi suatu pengadilan tidak boleh dilanggar oleh
yurisdiksi pengadilan lain. Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exception
declinatoir) diatur dalam pasal 134 HIR dan pasal 132 Rv. Eksepsi
kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat. Pasal 134 HIR
dan pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan absolut dapat
diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung
sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan di
persidangan tingkat pertama (Pengadilan Negeri);
2. Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Competitie)
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan
dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam
pasal 118 HIR, pasal 125 ayat (2) dan pasal 133 HIR yang mengatur bahwa
pengajuan eksepsi kewenangan relatif harus disampaikan pada sidang pertama

16
dan bersamaan pada saat mnegajukan jawaban pertama terhadap materi pokok
perkara. Eksepsi kewenangan relatif hanya dapat diajukan bersama-sama
dengan penyampaian jawaban pertama. Tidak terpenuhinya syarat tersebut,
mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur.

Pengajuan eksepsi kewenangan relatif dapat secara lisan atau berbentuk


tulisan. Pasal 133 HIR memberikan hak kepada tergugat untuk mengajukan eksepsi
kompetensi relatif secara lisan. Hakim yang menolak dan tidak mempertimbangkan
eksepsi lisan, dianggap melanggar tata tertib beracara dan tindakan tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai penyalah gunaan wewenang. Selain secara lisan, eksepsi
kewenangan relatif dapat diajukan dalam bentuk tertulis sebagaimana diatur dalam
pasal 125 ayat (2) Rv jo pasal 121 HIR. Eksepsi berkaitan dengan kompetensi absolut
yang diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban setelah pembacaan
gugatan/permohonan pokok perkara, dan wajib diputus sebelum putusan pokok
perkara. Namun, jika eksepsi menyangkut kewenangan relatif, maka majelis hakim
dapat memutus sebelum maupun bersamaan dengan pokok perkara.

Cara pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), pasal 133,
pasal 134, dan pasal 136 HIR, cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan kapan
eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan berdasarkan pasal-pasal tersebut
terdapat perbedaan cara mengenai saat pengajuan eksepsi, dikaitkan dengan jenis
eksepsi yang bersangkutan.

Pengajuan eksepsi kewenangan absolut diatur dalam pasal 134 HIR dan pasal
132 Rv, dalam kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa eksepsi kewenangan
absolut dapat diajukan tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di
sidang tingkat pertama (PN), dengan kata lain tergugat berhak mengajukannya sejak
proses dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan. Bahkan dapat diajukan pada
tingkat banding dan kasasi. Selanjutnya berdasarkan pasal 132 Rv telah mengatur
sebagai berikut “dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya,

17
maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena
jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang.” Yang dimaksud dalam pasal
ini adalah Hakim secara ex officio wajib menyatakan diri tidak berwenang mengadili
perkara yang diperiksanya, apabila perkara diajukan secara absolut berada diluar
yurisdiksinya atau termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban
tersebut mesti dilakukan secara ex officio meskipun tergugat tidak mengajukan
eksepsi tentang itu.

Cara pengajuan Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie) bentuk


dan saat pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dalam pasal 125 ayat (2) dan
pasal 133 HIR bertitik tolak dari kedua pasal tersebut dapat dijelaskan hal sebagai
berikut :

Bahwa pengajuan eksepsi kompetensi relatif dapat diajukan secara lisan hal
tersebut diatur dalam pasal 133 HIR oleh karenanya PN tidak boleh menolak dan
mengenyampingkannya, dan hakim baru harus menerima dan mencatatnya dalam
berita acara sidang, untuk dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana mestinya. Selain
itu pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dapat diajukan secara tulisan (in
writing) hal tersebut diatur dalam pasal 125 ayat (2) jo pasal 121 HIR. Menurut pasal
121 HIR, tergugat pada hari sidang yang ditentukan diberi hak mengajukan jawaban
tertulis, sedangkan pasal 125 ayat (2) HIR menyatakan dalam surat jawaban tergugat
dapat mengajukan eksepsi kompetensi relatif yang menyatakan perkara yang
disengketakan tidak termasuk kewenangan relatif PN yang bersangkutan. Oleh
karenanya eksepsi itu dikemukakan dalam surat jawaban, berarti pengajuannya
bersama-sama dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari bantahan terhadap
pokok perkara.

Meskipun undang-undang hanya menyebut eksepsi kompetensi mengadili


secara absolut dan relatif, namun masih banyak lagi eksepsi lain yang diakui
keberadaannya dalam praktek hukum dan doktrin hukum, dan sebenarnya keabsahan

18
dan keberadaan eksepsi selain eksepsi kompetensi diakui secara tersirat dalam pasal
136 HIR. Lebih lanjut dibawah ini dibahas mengenai eksepsi prosesual diluar eksepsi
kompetensi. Eksepsi ini terdiri dari berbagai bentuk atau jenis dan yang paling sering
ditemukan dalam praktek antara lain :

Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, dalam hal ini dapat diajukan berbagai
bentuk eksepsi antara lain karena Surat Kuasa bersifat umum, hal ini dapat menjadi
bagian eksepsi karena untuk berperkara dipengadilan harus menggunakan surat kuasa
khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123 HIR. Kemudian eksepsi karena
surat kuasa tidak memenuhi syarat formil sebagaimana yang telah ditentukan oleh
pasal 123 HIR dan SEMA Nomor 1 Tahun 1971 (23 Januari 1971) jo SEMA Nomor
6 Tahun 1994 (14 Oktober 1994), dan eksepsi karena surat kuasa dibuat oleh orang
yang tidak berwenang misalnya surat kuasa yang diberikan oleh komisaris perseroan,
padahal menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan yang dapat mewakili
perseroan didalam maupun diluar peradilan adalah direksi.

Eksepsi Error in Persona, tergugat dapat mengajukan eksepsi ini, apabila


gugatan mengandung cacat error in persona yang disebut juga exception in persona.
Bentuk atau jenis eksepsi ini meliputi peristiwa sebagai berikut :

Eksepsi diskulifikasi atau gemis aanhoedanigheid yaitu eksepsi yang


mengemukakan bahwa penggugat tidak memiliki persona standi in judicio di depan
Pengadilan Negeri karena penggugat bukan orang yang berhak oleh karenanya tidak
mempunyai hak dan kapasitas untuk menggugat. Sebagai contoh apabila yang
mengajukan gugatan atas nama yayasan bukan pengurus. Dalam hal ini tergugat
dapat mengajukan exception in persona, atas alasan diskulifikasi in person, yakni
orang yang mengajukan gugatan bukan orang yang mempunyai kedudukan hukum
untuk menggugat atas nama yayasan.

Keliru pihak yang ditarik sebagai Tergugat, sebagai contoh putusan MA


Nomor 601 K/Sip/1975 tentang seorang pengurus yayasan yang digugat secara

19
pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa yang berkaitan dengan yayasan.
Dalam kasus demikian, orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat, karena
semestinya yang ditarik sebagai Tergugat adalah yayasan. Exceptio plurium litis
consortium, alasan dalam mengajukan eksepsi ini adalah apabila orang yang ditarik
sebagai tergugat tidak lengkap atau orang yang bertindak sebagai penggugat tidak
lengkap, masih ada orang yang harus di ikutsertakan sebagai penggugat atau tergugat,
baru sengketa yang di persoalkan dapat diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh.

Ekseptio Res Judicata atau Nebis In Idem atau disebut juga exceptie van
gewijsde zaak, kasus perkara yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali, apabila
suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan dan terhadapnya telah
dijatuhkan putusan, serta putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap
maka terhadap kasus perkara itu, tidak boleh diajukan gugatan baru untuk
memperkarakannya kembali.

Exceptio Obscuur Libel, yang dimaksud dengan obscuur libel atau surat
gugatan tidak terang isinya atau disebut juga formulasi gugatan tidak jelas, padahal
agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil dalil gugatan harus terang dan jelas
atau tegas (duidelijk). Dalam prakteknya dikenal beberapa bentuk eksepsi gugatan
kabur. Masing-masing bentuk didasarkan pada faktor-faktor tertentu antara lain :

Tidak jelasnya dasar hukum gugatan, posita atau fundamentum petendi tidak
menjelaskan dasar hukum (rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang mendasari
gugatan. Bisa juga, dasar hukum jelas tapi tidak dijelaskan dasar fakta (faktelijke
grond). Dalil gugatan seperti itu tidak memenuhi syarat formil gugatan dengan kata
lain gugatan dianggap tidak jelas dan tidak tertentu (eenduideljke en bepaalde
conclusie). Tidak jelasnya objek sengketa, kekaburan objek sengketa sering terjadi
mengenai tanah terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek gugatan
mengenai tanah, antara lain tidak disebutnya batas-batas objek sengketa, luas tanah

20
berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya letak tanah yang menjadi
objek gugatan, tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang dikuasainya tergugat.

Petitum gugatan tidak jelas dan atau petitum tidak rinci, untuk memahami hal
ini perlu mengambil contoh putusan MA No. 582 K/Sip/1973. Petitum gugatan
meminta menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, menghukum tergugat
supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah tersebut. Namun hak apa yang
dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan sebagai pemilik,
pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya, tidak jelas
tindakan apa yang dihentikan tergugat. MA berpendapat, oleh karena petitum gugatan
tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Eksepsi Hukum Materiil (materiele exceptie) dari pendekatan doktrin terdapat


beberapa macam eksepsi hukum materiil yang cara pengajuannya tunduk pada pasal
136 dan 114 Rv dengan demikian caranya sama dengan eksepsi prosesual. Namun
perlu diketahui jenis-jenis eksepsi materiil sebagai berikut :

1. Exceptio Dilatoria, atau disebut juga dilatoria exceptie yaitu gugatan


penggugat tidak dapat diperiksa karena premature dalam arti gugatan
mengandung sifat atau keadaan premature karena batas waktu untuk
menggugat belum sampai pada waktu yang disepakati atau karena telah dibuat
penundaan pembayaran oleh kreditur. Atau dengan kata lain tertundanya
gugatan disebabkan adanya faktor yang menangguhkan;
2. Exceptio Premtoria, yaitu jenis eksepsi yang dapat menyingkirkan (set aside)
gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Karena apa
yang digugat telah tersingkir umpanya yang digugat bersumber dari perjanjian
yang telah hapus berdasarkan pasal 1381 KUHPerdata. Misalnya
permasalahan yang digugat telah dibayar, dikonsinyasi, dinovasi,
dikompensasi, dan sebagainya. Atau apa yang digugat telah dieksekusi
berdasarkan pasal 224 HIR;

21
3. Exception Temporis (eksepsi daluarsa), menurut pasal 1946 KUHPerdata
daluarsa atau lewat waktu (expiration) selain menjadi dasar hukum untuk
memperoleh sesuatu juga menjadi landasan hukum untuk membebaskan
(release) seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu.
Dan mengenai pengajuannya dapat diajukan disetiap tahapan sedangkan
diperiksanya dan diputus bersama dengan pokok perkara dalam bentuk
putusan akhir;
4. Exceptio non Pecuniae Numeratae, eksepsi yang berisikan sangkalan tergugat
(tertagih), bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak pernah
diterima. Akan tetapi eksepsi ini sangat erat dengan kaitannya dengan
kemampuan atau keberhasilan tergugat membuktikan bahwa uang yang
disebut dalam perjanjian tidak pernah diterima. Apabila tergugat tidak mampu
membuktikan eksepsinya pun ditolak;
5. Exceptio Doli Mali, atau biasa disebut juga exception doli presentis, yaitu
keberatan mengenai penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi eksepsi
yang menyatakan penggugat telah menggunakan tipu daya dalam perbuatan
pernjanjian. Dengan demikian eksepsi ini berkaitan dengan ketentuan pasal
1328 KUHPerdata. Exceptio metus, eksepsi ini mengandung keberatan
terhadap gugatan penggugat yang bersumber dari perjanjian yang
mengandung paksaan (dwang) atau compulsion (dures). Eksepsi ini berkaitan
erat dengan ketentuan pasal 1323 dan 1324 KUHPerdata;
6. Exceptio non Adimpleti Contractus, eksepsi ini dapat diterapkan dalam
gugatan yang bersumber pada perjanjian timbal balik, masing-masing pihak
dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi prestasi secara timbal balik.
Seseorang tidak berhak menggugat apabila dia sendiri tidak memenuhi apa
yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati;
7. Exceptio Domini, eksepsi ini merupakan tangkisan yang diajukan tergugat
terhadap gugatan, yang berisi bantahan yang menyatakan objek barang yang
digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang lain atau milik tergugat;

22
8. Exceptio Litis Pendentis, yaitu eksepsi yang berisikan bantahan bahwa
sengketa yang digugat oleh penggugat sama dengan perkara yang sedang
diperiksa oleh pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-judice yang berarti
gugatan yang diajukan masih tergantung (aanhagig) atau masih berlangsung
atau sedang berjalan pemeriksaannya di pengadilan.

Macam-macam eksepsi/tangkisan dalam hukum acara yaitu :

1. Eksepsi mengenai kekuasaan relatif, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa


PN tidak berwenang mengadili perkara. Diajukan sebelum tergugat menjawab
pokok perkara;
2. Eksepsi mengenai kekuasaan absolute, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa
PN tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut (pasal 143 HIR),
eksepsi mengenai kekuasaan absolute dapat diajukan setiap waktu selama
pemeriksaan perkara berlangsung, bahkan hakim wajib karena jabatannya
(tanpa harus diminta oleh tergugat);
3. Eksepsi Deklinatoir (mengelakkan), hakim tidak berwenang (pasal 133, 134)
jika benar maka gugatan penggugat diputus tidak dapat diterima. Dalam hal
ini penggugat dapat mengajukan gugatan baru pada pengadilan yang
berwenang;
4. Eksepsi Dilatoir (menangguhkan, menunda), contohnya adalah tergugat
menyatakan bahwa gugatan diajukan prematur, belum saatnya. Kalau gugatan
penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, penggugat dapat menggugat
kembali setelah tiba saatnya;
5. Eksepsi Peremptoir (menyudahi, menyelesaikan), contohnya adalah
daluwarsa, jika oleh hakim gugatan tersebut ditolak, maka penggugat tidak
dapat mengajukan gugatan lagi;
6. Eksepsi Diskualifikatoir, yaitu penggugat dianggap tidak mempunyai
kedudukan yang dimaksud dalam gugatan;

23
7. Eksepsi ne bis in idem, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang
sekarang seluruhnya sama dengan perkara yang terdahulu diputus yaitu baik
objeknya, persoalannya maupun pihak-pihaknya yang sama (ne bis in idem).

24
BAB IV

PROSES PERKARA DI PENGADILAN AGAMA

A. Pemeriksaan Perkara

Pemeriksaan perkara di dahului dengan persiapan persidangan yang meliputi


Penetapan Majelis Hakim, Penunjukan Panitera Sidang, Penetapan Hari Sidang.
Sejalan dengan asas Hukum Acara Peradilan Agama bahwa Hakim harus mendengar
keterangan kedua belah pihak, maka Hakim dengan perantara Juru Sita/Juru Sita
Pengganti memanggil kedua belah pihak dengan secara resmi dan patut untuk
menghadap ke persidangan.

Setelah para pihak menghadap ke persidangan, pemeriksaan perkara


dilakukan dalam sebuah persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum (pasal 19
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004). Selanjutnya proses pemeriksaan
perkara dilangsungkan melalui beberapa tahapan yang pada garis besarnya sebagai
berikut :

1. Upaya perdamaian (pasal 130 HIR, pasal 154 RBg.)


Pada permulaan persidangan, sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib
mendamaikan antara para pihak yang berperkara. Jika perdamaian berhasil,
oleh Hakim dibuat Akta Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai
putusan. Jika tidak berhasil dilanjutkan ke tahap berikutnya.
2. Pembacaan surat gugatan (pasal 131 HIR, pasal 155 RBg.)
Sebelum pembacaan gugatan ada beberapa kemungkinan yang dilakukan
Penggugat yaitu :
 Mencabut gugatan;
 Merubah gugatan;
 Mempertahankan gugatan.

25
Jika gugatan di pertahankan, maka gugatan tersebut dibacakan dan diteruskan pada
tahap berikutnya yaitu :

1. Eksepsi (hal ini sudah dibahas di Bab 3)


2. Verweer ten principale (bantahan yang langsung berhubungan dengan pokok
perkara), adalah bantahan langsung yang bertujuan melumpuhkan dalil
gugatan berupa fakta kejadian/peristiwa hukum yang berkenaan dengan
posita, menyingkirkan kekuatan pembuktian dalil gugatan dengan alat bukti
lain yang sah sesuai dengan batas minimum pembuktian dan sebagainya.
3. Pengakuan, jawaban yang membenarkan seluruh atau sebagian dalil gugatan.
Apabila Tergugat dalam jawabannya mengakui dalil gugatan, maka dalil
gugatan dianggap terbukti dan gugatan dapat dikabulkan.
4. Referte, jawaban dengan tidak membantah atau membenarkan gugatan, tetapi
menyerahkan kepada kebijaksanaan Hakim. Tergugat hanya menunggu
putusan Hakim.
5. Rekonpensi atau gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat terhadap
Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan (pasal 132 a dan pasal 132 b
HIR, pasal 157 dan pasal 158 RBg.) Tujuannya adalah :
a. Menggabungkan dua tuntutan yang saling berhubungan;
b. Mempermudah prosedur;
c. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan;
d. Mempersingkat dan menyederhanakan pembuktian;
e. Menghemat biaya.

Syarat-syarat gugatan rekonpensi yaitu :

 Diajukan bersama-sama dengan jawaban. Menurut pendapat lain, sampai


dengan sebelum pembuktian. Rekonpensi tidak dapat diajukan dalam
tingkat banding atau kasasi;
 Diajukan terhadap Penggugat dalam kwalitas yang sama;

26
 Diajukan masih dalam lingkup kewenangan pengadilan yang
bersangkutan;
 Hanya mengenai perkara yang bersifat sengketa kebendaan;
 Bukan mengenai pelaksanaan putusan.

 Penyampaian Replik dari Penggugat

Yaitu tanggapan terhadap jawaban Tergugat, dengan tetap mempertahankan


gugatannya, atau Penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban/bantahan
Tergugat.

 Penyampaian duplik dari Tergugat

Yaitu tanggapan terhadap replik Tergugat, dengan tetap mempertahankan


jawabannya, atau bersikap seperti Penggugat dalam repliknya. Apabila jawab
menjawab dianggap cukup, dan terdapat hal-hal yang tidak disepakati sehingga perlu
dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian.

 Pembuktian

Pembuktian adalah suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim tentang
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara yang dipersengketakan di hadapan
sidang pengadilan. Yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang
dikemukakan oleh para pihak dalam hal yang belum jelas atau yang menjadi
sengketa.

Yang dibebani wajib pembuktian adalah seseorang yang mengaku mempunyai


hak dan seseorang yang membantah hak orang lain, dengan membuktikan adanya hak

27
atau peristiwa yang didalilkan (pasal 163 HIR, pasal 283 RBg., pasal 1865
KUHPerdata).

Tujuan pemnbuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu


peristiwa/kejadian yang diajukan itu merupakan fakta yang benar terjadi, atau
dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para
pihak. Dalam acara perdata yang dicari adalah kebenaran formil, sehingga tidak
secara tegas mensyaratkan adanya keyakinan hakim. Hakim tidak boleh melampaui
batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara.

 Alat-alat bukti

Alat-alat bukti dalam perkara perdata di Peradilan Agama sesuai dengan pasal
164 HIR, pasal 284 RBg. dan pasal 1866 KUHPerdata berupa :

a. Surat, yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang


dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau penyampaian buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian;
b. Akta, adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa menjadi
dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan semula untuk
pembuktian;
c. Akta otentik, adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi
wewenang membuatnya, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan,
baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa
yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan.
Kekuatan pembuktian akta otentik ada 3 macam yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahir, didasarkan atas keadaan yang tampak
lahirnya. Surat yang tampak lahirnya seperti akta dan memenuhi syarat

28
yang ditentukan, dianggap mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang
tidak terbukti sebaliknya;
2. Kekuatan pembuktian formil, membuktikan kebenaran dari pada apa yang
dilihat, didengar dan dilakukan pejabat pembuat akta terutama tanggal dan
tempat akta yang dibuat, serta kebenaran tanda tangan dibawah akta
tersebut;
3. Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan kepastian tentang materi
suatu akta, bahwa pejabat atau para pihak yang membuat akta menyatakan
dan melakukan seperti apa yang dimuat dalam akta.
d. Akta dibawah tangan, yaitu suatu akta yang ditandatangani dan dibuat dengan
maksud dijadikan alat bukti suatu perbuatan hukum tanpa bantuan seorang
pejabat. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan yaitu :
1. Apabila suatu akta dibawah tangan, isi dan tandatangan akta diakui oleh
yang membuatnya, maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian
seperti akta otentik;
2. Apabila tandatangan dalam akta disangkal oleh pihak yang
menandatangani, maka pihak yang mengajukan akta harus berusaha
membuktikan kebenaran tandatangan itu.
e. Surat bukan akta, yaitu surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat
bukti dan belum tentu ditandatangani. Kekuatan pembuktiannya diserahkan
pada pertimbangan hakim. Misalkan buku register, surat-surat rumah tangga,
letter C tanah, dan sebagainya.

 Alat bukti saksi

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan


tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan
pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam
persidangan. Syarat-syarat menjadi saksi yaitu :

29
1. Syarat formil untuk menjadi saksi yaitu :
a. Memberikan keterangan di depan pengadilan;
b. Bukan orang yang dilarang untuk di dengar sebagai saksi (pasal 145 HIR,
pasal 172 RBg);
c. Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri (pasal 146 a ayat (4) HIR,
pasal 174 RBg), menyatakan kesediaannya menjadi saksi;
d. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya.

2. Syarat materiil untuk menjadi saksi yaitu :


a. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa yang dialami,
didengar dan dilihat sendiri oleh saksi. Keterangan saksi yang berdasarkan
orang lain (testimonium de auditu) tidak mempunyai nilai kekuatan
pembuktian;
b. Keterangan yang diberikan saksi harus menyebutkan sebab-sebab ia
mengetahui (pasal 171 ayat (1) HIR, pasal 308 ayat (1) RBg), jadi tidak
cukup hanya keterangan bahwa ia telah tahu. Pendapat atau persangkaan
saksi berdasarkan akal pikiran tidak bernilai sebagai alat bukti (pasal 171
ayat (2) HIR, pasal 308 ayat (2) RBg);
c. Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian satu
dengan yang lain dan alat bukti yang sah (pasal 172 HIR, pasal 309 RBg);
d. Keterangan seorang saksi tanpa dikuatkan alat bukti lain bukan kesaksian
(unu testis nullus testis) (pasal 169 HIR, pasal 306 RBg);

3. Yang tidak boleh menjadi saksi (pasal 145 HIR, pasal 172 RBg) yaitu :
a. Tidak mampu secara absolut :
 Keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan lurus salah satu
pihak;
 Suami istri salah satu pihak meskipun telah bercerai.

30
b. Tidak mampu secara relatif :
 Anak belum berumur 15 tahun;
 Orang gila meskipun terkadang ingatannya terang.

4. Yang boleh mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 146 HIR, pasal 174 RBg)
yaitu :
a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah
satu pihak;
b. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dan saudara laki-laki dan
perempuan dari suami/istri salah satu pihak;
c. Semua orang yang karena martabat, jabatan/hubungan kerja yang sah
diwajibkan menyimpan rahasia.

 Bukti persangkaan

Bukti persangkaan ini diatur pada pasal 173 HIR dan pasal 310 RBg.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal
atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti.
Persangkaan sebagai alat bukti bersifat sementara, tidak bisa berdiri sendiri, tetapi
diambil dari alat bukti lain. Persangkaan ada 2 macam yaitu :

1. Persangkaan berdasarkan undang-undang


Contohnya adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat dianggap tidak
sah menurut undang-undang (pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974);
2. Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan
yang timbul di persidangan.

31
Contohnya adalah adanya 3 (tiga) surat tanda pembayaran (kwitansi) tiga
bulan terakhir berturut-turut, timbul persangkaan angsuran bulan-bulan
sebelumnya telah dibayar lunas.

 Bukti pengakuan

Bukti pengakuan diatur di dalam pasal 174, 175 dan 176 HIR, pasal 311, 312
dan 313 RBg. Pengakuan adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri,
bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Pengakuan dapat
diberikan dimuka hakim di persidangan atau diluar persidangan. Ada 3 (tiga) macam
pengakuan yaitu :

1. Pengakuan murni, yaitu pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai


sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan;
2. Pengakuan dengan kualifikasi, yaitu pengakuan yang disertai dengan
penyangkalan sebagian. Contohnya :
Penggugat menyatakan telah menerima uang sebesar Rp. 5.000.000,- dari
Tergugat, dan Tergugat mengaku telah menerima uang dari Penggugat tetapi
hanya Rp. 3.000.000,-
3. Pengakuan dengan kalsula, yaitu pengakuan disertai dengan keterangan
tambahan yang bersifat membebaskan. Contohnya :
Istri menyatakan suami tidak memberi nafkah selama 3 tahun, suami
mengakui benar tidak memberi nafkah karena istri nusyuz.

 Bukti sumpah

Bukti sumpah diatur di dalam pasal 155 – 158 dan 177 HIR, pasal 182 – 185
dan 314 RBg. Sumpah adalah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu berjanji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa

32
Tuhan dan percaya bahwa jika janji atau keterangan itu tidak benar, maka yang
memberikan keterangan akan dihukum oleh-Nya. Ada 2 macam sumpah yaitu :

1. Sumpah Promissoir, yaitu sumpah untuk melakukan atu tidak melakukan


sesuatu. Dilakukan sebelum memberikan kesaksian. Misalnya sumpah saksi
atau saksi ahli;
2. Sumpah Assertoir atau confirmatoir, yaitu sumpah untuk meneguhkan bahwa
sesuatu hal/peristiwa itu benar demikian atau tidak. Dilakukan sesudah
memberikan kesaksian.

Sumpah sebagai alat bukti (155 HIR, pasal 182 RBg) ada 3 macam yaitu :

1. Sumpah Suppletoir (tambahan/pelengkap), yaitu sumpah yang atas perintah


hakim setelah ada bukti permulaan. Misalnya hanya ada satu saksi (bukti
permulaan) karena belum mencukupi, ditambah dengan sumpah tersebut;
2. Sumpah Aestimatoir (penaksiran), yaitu sumpah atas perintah hakim hanya
kepada penggugat saja, untuk menentukan jumlah uang ganti rugi atau
sejumlah uang tertentu dengan rincian yang dituntutnya;
3. Sumpah Decissoir (pemutus), yaitu sumpah yang dilakukan atas permintaan
salah satu pihak kepada lawannya, jika tidak ada pembuktian apapun dan
dapat dilakukan setiap saat selama proses pemeriksaan di persidangan.
Dengan sumpah ini kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi
pasti. Oleh karena itu sumpah decissoir harus berkenaan dengan hal yang
pokok dan bersifat tuntas atau menentukan serta menyelesaikan sengketa.
Menolak untuk mengucapkan sumpah akan berakibat dikalahkan.

 Saksi ahli

Keterangan saksi ahli (expertise) diatur pada pasal 154 HIR, pasal 181 RBg.,
pasal 215 Rv. Keterangan saksi ahli yaitu keterangan pihak ketiga yang obyektif

33
bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan
hakim sendiri. Tujuannya adalah agar hakim memperoleh kebenaran dan keadilan
pada masalah yang bersangkutan. Syarat-syarat menjadi saksi ahli adalah :

a. Orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi juga tidak boleh didengar
sebagai saksi ahli;
b. Saksi ahli harus memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak
memihak.

Sebelum memberikan keterangan harus bersumpah bahwa ia akan


memberikan pendapat tentang soal-soal yang diperiksa menurut
pengetahuan/keahliannya dengan sebaik-baiknya.

Pemeriksaan setempat diatur pada pasal 153 HIR, pasal 180 RBg dan 211Rv,
yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan
diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim melihat dengan sendiri,
memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa
yang menjadi sengketa.

B. Putusan

Setelah tahapan pembuktian dalam pemeriksaan perkara dilalui, para pihak


diberikan kesempatan untuk mengajukan kesimpulan jika ada. Majelis Hakim
kemudian bermusyawarah untuk merumuskan keputusan. Dari hasil pemeriksaan
perkara di persidangan ada dua macam produk keputusan hakim/pengadilan yaitu
putusan dan penetapan.

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat
negara yang diberi kewenangan untuk itu, diucapkan dipersidangan terbuka untuk

34
umum, bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa antar para pihak,
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (contentious).

Sedangkan penetapan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan terbuka
untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).

Nilai suatu putusan hakim terletak pada pertimbangan hukumnya, apakah


pertimbangan itu baik atau tidak, dikaitkan dengan ketepatan analisis kasus
perkaranya dan kejadian atau peristiwanya berdasarkan fakta hukum. Macam-macam
dari putusan hakim yaitu :

 Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara, ada dua macam yaitu :
1. Putusan Akhir

Putusan akhir yaitu putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan,


baik yang telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang belum/tidak
menempuh semua tahap pemeriksaan. Putusan akhir yang dijatuhkan sebelum
sampai tahap akhir pemeriksaan akhir adalah:

a. Putusan gugur;
b. Putusan Verstek yang diajukan verzet;
c. Putusan tidak menerima;
d. Putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang memeriksa.

2. Putusan Sela

Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses


pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya
pemeriksaan. Putusan sela dilakukan dalam hal:

35
a. Pemeriksaan berpekara cuma-cuma;
b. Pemeriksaan eksepsi tidak berwenang;
c. Sumpah supletoir;
d. Sumpah decissoir;
e. Sumpah penaksir;
f. Pemeriksaan gugatan provisional;
g. Pemeriksaan gugatan insidentil (intervensi)

Beberapa jenis Putusan Sela :

 Putusan Praeparatoir, yaitu putusan sela sebagai persiapan putusan


akhir, tidak berpengaruh terhadap pokok perkara dan putusan akhir.
Menurut HIR/RBg cukup dicatat dalam Berita Acara Persidangan;
 Putusan Interlocutoir, yaitu putusan yang berisi memerintahkan
pembuktian seperti pemeriksaan saksi, pemeriksaan setempat;
 Putusan Insidentil, sehubungan dengan adanya peristiwa misalnya
permohonan prodeo, eksepsi kewenangan, intervensi.

 Dari segi hadir tidaknya para pihak, ada tiga macam yaitu :
1. Putusan Gugur
Yaitu putusan yang menyatakan gugatan karena penggugat tidak hadir
setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dijatuhkan pada sidang pertama
atau sesudahnya sebelum pembacaan gugatan.
2. Putusan Verstek
Yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak hadir dan tidak
mewakilkan kepada orang lain, setelah dipanggil dengan resmi dan patut.
Dapat dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya setelah pembacaan
gugatan sebelum tahap jawaban tergugat.

36
3. Putusan Contradictoir
Yaitu yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri
salah satu pihak atau para pihak. Dalam putusan contradictoir, disyaratkan
baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang.

 Dari segi isinya terhadap gugatan ada empat macam yaitu :


1. Tidak menerima gugatan
Yaitu putusan yang menyatakan hakim tidak menerima gugatan penggugat
atau gugatan penggugat tidak diterima, karena gugatannya tidak
memenuhi syarat hukum formil maupun materiil. Terhadap putusan ini,
penggugat tidak dapat mengajukan banding, tetapi dapat mengajukan
perkara baru.
2. Menolak gugatan penggugat seluruhnya
Yaitu putusan yang dijatuhkan setelah ditempuh semua tahap pemeriksaan
tetapi dalil-dalil gugatan tidak terbukti.
3. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak
menerima selebihnya
Yaitu putusan di mana dalil gugatan ada yang terbukti dan ada yang tidak
terbukti, atau tidak memenuhi syarat-syarat hukum formil maupun
materiil.
 Dalil gugatan yang terbukti tuntutannya dikabulkan;
 Dalil gugatan yang tidak terbukti tuntutannya ditolak;
 Dalil yang tidak memenuhi syarat diputus dengan tidak diterima.
4. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya
Yaitu putusan yang dijatuhkan di mana syarat-syarat gugatan dipenuhi,
dan seluruh dalil gugatan yang mendukung petitum telah terbukti.

37
 Dari segi sifatnya terhadap hukum yang ditimbulkan, ada tiga macam yaitu :
1. Declaratoir
Yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu yang resmi
menurut hukum. Misalnya putusan yang menyatakan sah atau tidaknya
suatu perbuatan hukum atau status hukum, menyatakan boleh tidaknya
suatu perbuatan hukum, dan sebagainya.
2. Constitutif
Yaitu suatu putusan yang menciptakan atau menimbulkan keadaan hukum
baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya putusan
perceraian, pembatalan perkawinan.
3. Condemnatoir
Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu
kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi.
Apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak terhukum
tidak mau melaksanakan isi putusan, maka atas permohonan penggugat,
putusan dapat dilaksanakan dengan paksa oleh pengadilan yang
memutusnya, kecuali dalam putusan serta merta (uitvoerbaar
bijvoorraad).
Putusan condemnatoir dapat berupa penghukuman untuk :
a. Menyerahkan suatu barang;
b. Membayar sejumlah uang;
c. Melakukan suatu perbuatan tertentu;
d. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan;
e. Mengosongkan tanah/rumah.

38
Putusan hakim mempunyai tiga macam kekuatan yaitu :

1. Kekuatan mengikat
Putusan hakim itu mengikat para pihak yang berperkara, para pihak harus
tunduk dan menghormati putusan itu.
2. Kekuatan pembuktian
Dengan putusan hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang
terkandung dalam putusan dan menjadi bukti bagi kebenaran sesuatu yang
termuat di dalamnya.
3. Kekuatan eksekutorial
Yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang telah ditetapkan dalam itu
secara paksa oleh alat-alat negara. Oleh karena itu setiap putusan hakim harus
memuat title eksekutorial yaitu kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kekuatan hukum tetap suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap


apabila terhadap putusan tersebut sampai dengan habisnya masa upaya hukum yang
ditetapkan menurut undang-undang, tidak dimintakan upaya hukum.

C. Upaya Hukum

Setiap putusan hakim, tidak dapat luput dari kekeliruan atau kekhilafan,
bahkan kadang-kadang bersifat memihak. Oleh karena itu putusan hakim
dimungkinkan untuk diperiksa ulang melalui upaya hukum.

Upaya hukum adalah suatu upaya untuk mencegah atau memperbaiki


kekeliruan dalam suatu putusan, karena salah satu pihak atau para pihak merasa
dirugikan kepentingannya dalam memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian

39
hukum menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang. Ada dua macam upaya
hukum yaitu :

1. Upaya hukum biasa, yang terdiri dari :


a. Verzet
Verzet atau perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang
dijatuhkan diluar hadirnya Tergugat (verstek).
b. Banding
Yaitu permohonan supaya perkara yang telah diputus oleh Pengadilan
Tingkat Pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan Tinggi (tingkat banding)
karena merasa tidak puas atas putusan Pengadilan Tingkat Pertama,
menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.
c. Kasasi
Yaitu upaya hukum yang merupakan wewenang Mahkamah Agung untuk
memeriksa kembali putusan dari pengadilan-pengadilan terdahulu,
menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.

2. Upaya hukum luar biasa yang terdiri dari :


 Peninjauan kembali, yaitu peninjauan kembali putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, karena ditemukannya hal-hal baru
(novum) yang dahulu tidak diketahui oleh hakim sehingga apabila hal itu
diketahui maka putusan hakim akan menjadi lain.

 Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet)

Pada asasnya putusan hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara dan
tidak mengikat pihak ketiga. Tetapi tetap ada pihak ketiga yang merasa hak-haknya
dirugikan oleh suatu putusan, ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan itu
(pasal 378 Rv).

40
D. Pelaksanaan Putusan

Pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah realisasi dari kewajiban para pihak
untuk memenuhi prestasi yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut. Pelaksanaan
putusan hakim dapat dilakukan :

1. Secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa;


2. Secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak terhukum tidak
mau melaksanakan secara sukarela.

Putusan yang dapat dimohonkan eksekusi/pelaksanaannya hanyalah putusan


yang bersifat condemnatoir. Ada beberapa jenis pelaksanaan putusan yaitu :

1. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menyerahkan suatu barang;
2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang;
3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu;
4. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menghentikan suatu
perbuatan/keadaan;
5. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan
rumah/tanah;
6. Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang.

41

Anda mungkin juga menyukai