A. Latar Belakang
Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, S.H., hukum acara perdata adalah
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di
muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain
untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
1
R. Suparmono, S.H., memberikan definisi hukum acara perdata adalah
keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana
mempertahankan, melaksanakan, dan menegakkan hukum perdata materiil melalui
proses peradilan (peradilan negara).
2
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974;
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ;
7. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura;
8. Rechtstreglement Buitengewesten (RBg.) untuk luar Jawa dan Madura;
9. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv);
10. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang penggunaan
Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-
masalah di bidang Perkawinan, Perwakafan, dan Kewarisan;
11. Yurisprudensi, yaitu kumpulan yang sistematis dari Putusan Mahkamah
Agung yang di ikuti oleh Hakim lain dalam putusan yang sama;
12. Surat Edaran Mahkamah Agung sepanjang menyangkut Hukum Acara
Perdata.
3
3. Peradilan Agama menetapkan dan menegakkan hukum berdasarkan keadilan
yang di dasari dari Pancasila (pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004);
4. Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
berdasarkan hukum Islam (pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006);
5. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal 57 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006);
6. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal 57 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989);
7. Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang
(pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal 58 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989);
8. Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar (pasal 4
ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004);
9. Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya
tiga hakim dan salah satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai
anggota, dibantu oleh Panitera Sidang (pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004);
10. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili
(pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004);
11. Beracara dikenakan biaya (pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 145 ayat (4) RBg.);
12. Hakim bersifat menunggu (pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006);
13. Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.);
14. Persidangan bersifat terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004);
4
15. Hakim mendengar kedua belah pihak (pasal 121 HIR, pasal 145 RBg., pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989);
16. Tidak harus diwakilkan (pasal 123 HIR, pasal 147 RBg.);
17. Hakim wajib mendamaikan para pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg., pasal 39
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974);
18. Hakim membantu para pihak (pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004, pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989);
19. Hakim wajib mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya (pasal 16
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004);
20. Putusan harus disertai alasan (pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004, pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal
184 ayat (1) dan pasal 195 RBg.);
21. Tiap putusan dimulai dengan kalimat “Bissmillahir rahmaanir rahiim” di ikuti
dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 57
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989);
22. Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 20 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004);
23. Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harus
dibuat berita acara (pasal 186 HIR, pasal 96 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989);
24. Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya hukum berupa banding, kasasi
dan peninjauan kembali (pasal 21, 22, dan 23 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004);
25. Pelaksanaan putusan pengadilan wajib menjaga terpeliharanya peri
kemanusiaan dan peri keadilan (pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004).
5
BAB II
TENTANG GUGATAN
A. Pengetian
Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan ia tidak dapat
menyelesaikan sendiri masalahnya itu, dapat mengajukan tuntutan hak kepada
pengadilan untuk menyelesaikannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Surat gugatan itu menurut ketentuan pasal 8 Nomor 3 Rv, pada pokoknya
harus memuat :
1. Identitas para pihak. Terdiri dari nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal
serta kedudukan para pihak dalam perkara yang diajukan;
2. Fundamentum petendi atau dasar tuntutan yang terdiri dari :
a. Uraian tentang kejadian atau peristiwa yang menjadi dasar pengajuan
gugatan atau menjelaskan tentang duduk perkaranya sehingga Penggugat
merasa hak dilanggar/dirugikan dan menuntut haknya ke Pengadilan;
6
b. Uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar
yuridis pengajuan gugatan yang harus dibuktikan di Pengadilan.
3. Petitum, yaitu apa yang diminta/dituntut agar di putus oleh Hakim dalam
persidangan. Terdiri dari :
a. Tuntutan pokok atau primer;
b. Tuntutan tambahan, antara lain :
Tuntutan provisional;
Tuntutan pembayaran bunga moratoir;
Tuntutan agar Tergugat di hukum membayar uang paksa (dwangsom);
Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad;
Pembebanan biaya perkara.
B. Penghubungan/kumulasi gugatan
7
b. Vrijwaring, yaitu pihak ketiga ditarik oleh Tergugat dengan maksud agar
ia menjadi penanggung bagi Tergugat;
c. Tussenkomst, yaitu pihak ketiga masuk dalam satu proses perkara yang
sedang berjalan untuk membela kepentingannya sendiri.
Sita conservatoir;
8
Sita revindicatoir;
Sita marital;
Sita persamaan;
Sita eksekusi.
Perubahan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. ketentuannya terdapat
dalam Rv pasal 127. Perubahan gugatan diperbolehkan selama tidak merugikan
kepentingan kedua belah pihak, yaitu sepanjang tetap berdasarkan pada hubungan
hukum yang menjadi dasar tuntutan semula dan tidak merubah kejadian materiil yang
menjadi dasar gugatannya.
Pencabutan gugatan yang diatur dalam HIR dan RBg. ketentuannya terdapat
dalam Rv pasal 271 yang menyatakan bahwa pencabutan gugatan dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
9
BAB III
Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat
dilingkungan Peradilan Agama, yaitu :
1. Fungsi kewenangan;
2. Memberi keterangan, pertimbangan;
3. Kewenangan lain berdasarkan undang-undang;
4. Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkat
banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif;
5. Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan.
10
Dalam pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa acara yang
berlaku pada lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
pada lingkungan peradilan umum. Oleh karena itu, landasan untuk menentukan
kewenangan relatif pengadilan agama merujuk pada ketentuan pasal 118 HIR atau
pasal 142 RBg. jo pasal 66 dan pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989. Penentuan
kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke pengadilan agama
mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat (1) HIR
menganut asas bahwa yang berwenang adalah pengadilan ditempat kediaman
tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut “actor sequitur forum rei”, namun ada
beberapa pengecualian yaitu yang tercantum dalam pasal 118 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), yaitu :
1. Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat;
2. Apabila ada tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan ditempat tinggal penggugat;
3. Apabila gugatan mengenai benda yang tidak bergerak, maka gugatan diajukan
kepada peradilan di wilayah hukum dimana barang tersebut terletak;
4. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan
dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta
tersebut.
11
Pasal 10 UU Nomor 7 Tahun 1970 menetapkan empat jenis lingkungan
peradilan dan masing-masing mempunyai wewenang mengadili bidang tertentu
dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat
banding. Untuk lingkungan peradilan agama menurut Bab I pasal 2 jo Bab III pasal
49 UU Nomor 7 Tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang :
Perkawinan;
Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
Wakaf dan sedekah.
12
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun dalam hal orangtua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang
seharusnya bertanggungjawab tidak memenuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pecabutan kekuasaan orangtua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orangtuanya padahal tidak ada
penunjukkan wali oleh orangtuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal usul seorang anak;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
13
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
yang lain.
Dalam pasal 2 jo pasal 49 ayat (1) jo penjelasan umum angka 2 alinea ketiga
telah ditentukan bahwa salah satu asas sentral dalam undang-undang ini adalah asas
personalitas keislaman. Oleh karena itu, dengan mengaitkan asas ini dengan
ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf b jo penjelasan umum angka 2 alinea tersebut,
berarti asas personalitas keislaman dalam bidang perdata kewarisan meliputi seluruh
golongan rakyat beragama Islam. Dengan kata lain, dalam hal ini terjadi sengketa
kewarisan bagi setiap orang yang beragama Islam, kewenangan mengadilinya tunduk
dan takluk pada lingkungan peradilan agama, bukan kelingkungan peradilan umum.
Jadi luas jangkauan mengadili lingkungan peradilan agama ditinjau dari subjek pihak
yang berperkara, meliputi seluruh golongan rakyat yang beragama Islam terkecuali.
14
tersebut adalah bahwa pokok-pokok hukum waris Islam yang akan diterapkan pada
golongan rakyat yang beragama Islam diperadilan agama terdiri atas :
1. Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli waris,
siapa yang berhak mewaris, siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan
penentuan hak dan kewajiban ahli waris;
2. Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah
yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan;
3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalam Al-
Qur’an, as-Sunnah, dan Ijtihad; dan
4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan.
Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Wakaf dan Sedekah. Pasal 1 ayat (1)
PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik menentukan pengertian
tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagaian harta kekayaan yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Wakaf ini sangat
penting ditnjau dari sudut pelembagaan keagamaan. PP Nomor 28 Tahun 1977
merupakan peraturan perwakafan dalam ajaran Islam yang telah menjadi hukum
positif dan pengaturannya memiliki cakupan yang lengkap. Namun demikian,
permasalahan wakaf juga semakin kompleks, seiring dengan kemajuan dan
perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, jika ada perselisihan tentang perwakafan
tanah milik, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada pengadilan agama sesuai
dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
15
B. Perihal Eksepsi
Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna tangkisan atau
bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat
terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan
dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas
gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan terhadap pokok perkara
(verweer ten principale). Salah satu eksepsi dalam hukum acara perdata adalah
eksepsi mengenai kewenangan mengadili. Eksepsi kewenangan mengadili diajukan
apabila dianggap pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
Eksepsi kewenangan mengadili dibagi menjadi :
16
dan bersamaan pada saat mnegajukan jawaban pertama terhadap materi pokok
perkara. Eksepsi kewenangan relatif hanya dapat diajukan bersama-sama
dengan penyampaian jawaban pertama. Tidak terpenuhinya syarat tersebut,
mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur.
Cara pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), pasal 133,
pasal 134, dan pasal 136 HIR, cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan kapan
eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan berdasarkan pasal-pasal tersebut
terdapat perbedaan cara mengenai saat pengajuan eksepsi, dikaitkan dengan jenis
eksepsi yang bersangkutan.
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut diatur dalam pasal 134 HIR dan pasal
132 Rv, dalam kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa eksepsi kewenangan
absolut dapat diajukan tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di
sidang tingkat pertama (PN), dengan kata lain tergugat berhak mengajukannya sejak
proses dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan. Bahkan dapat diajukan pada
tingkat banding dan kasasi. Selanjutnya berdasarkan pasal 132 Rv telah mengatur
sebagai berikut “dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya,
17
maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena
jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang.” Yang dimaksud dalam pasal
ini adalah Hakim secara ex officio wajib menyatakan diri tidak berwenang mengadili
perkara yang diperiksanya, apabila perkara diajukan secara absolut berada diluar
yurisdiksinya atau termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban
tersebut mesti dilakukan secara ex officio meskipun tergugat tidak mengajukan
eksepsi tentang itu.
Bahwa pengajuan eksepsi kompetensi relatif dapat diajukan secara lisan hal
tersebut diatur dalam pasal 133 HIR oleh karenanya PN tidak boleh menolak dan
mengenyampingkannya, dan hakim baru harus menerima dan mencatatnya dalam
berita acara sidang, untuk dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana mestinya. Selain
itu pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dapat diajukan secara tulisan (in
writing) hal tersebut diatur dalam pasal 125 ayat (2) jo pasal 121 HIR. Menurut pasal
121 HIR, tergugat pada hari sidang yang ditentukan diberi hak mengajukan jawaban
tertulis, sedangkan pasal 125 ayat (2) HIR menyatakan dalam surat jawaban tergugat
dapat mengajukan eksepsi kompetensi relatif yang menyatakan perkara yang
disengketakan tidak termasuk kewenangan relatif PN yang bersangkutan. Oleh
karenanya eksepsi itu dikemukakan dalam surat jawaban, berarti pengajuannya
bersama-sama dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari bantahan terhadap
pokok perkara.
18
dan keberadaan eksepsi selain eksepsi kompetensi diakui secara tersirat dalam pasal
136 HIR. Lebih lanjut dibawah ini dibahas mengenai eksepsi prosesual diluar eksepsi
kompetensi. Eksepsi ini terdiri dari berbagai bentuk atau jenis dan yang paling sering
ditemukan dalam praktek antara lain :
Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, dalam hal ini dapat diajukan berbagai
bentuk eksepsi antara lain karena Surat Kuasa bersifat umum, hal ini dapat menjadi
bagian eksepsi karena untuk berperkara dipengadilan harus menggunakan surat kuasa
khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123 HIR. Kemudian eksepsi karena
surat kuasa tidak memenuhi syarat formil sebagaimana yang telah ditentukan oleh
pasal 123 HIR dan SEMA Nomor 1 Tahun 1971 (23 Januari 1971) jo SEMA Nomor
6 Tahun 1994 (14 Oktober 1994), dan eksepsi karena surat kuasa dibuat oleh orang
yang tidak berwenang misalnya surat kuasa yang diberikan oleh komisaris perseroan,
padahal menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan yang dapat mewakili
perseroan didalam maupun diluar peradilan adalah direksi.
19
pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa yang berkaitan dengan yayasan.
Dalam kasus demikian, orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat, karena
semestinya yang ditarik sebagai Tergugat adalah yayasan. Exceptio plurium litis
consortium, alasan dalam mengajukan eksepsi ini adalah apabila orang yang ditarik
sebagai tergugat tidak lengkap atau orang yang bertindak sebagai penggugat tidak
lengkap, masih ada orang yang harus di ikutsertakan sebagai penggugat atau tergugat,
baru sengketa yang di persoalkan dapat diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh.
Ekseptio Res Judicata atau Nebis In Idem atau disebut juga exceptie van
gewijsde zaak, kasus perkara yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali, apabila
suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan dan terhadapnya telah
dijatuhkan putusan, serta putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap
maka terhadap kasus perkara itu, tidak boleh diajukan gugatan baru untuk
memperkarakannya kembali.
Exceptio Obscuur Libel, yang dimaksud dengan obscuur libel atau surat
gugatan tidak terang isinya atau disebut juga formulasi gugatan tidak jelas, padahal
agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil dalil gugatan harus terang dan jelas
atau tegas (duidelijk). Dalam prakteknya dikenal beberapa bentuk eksepsi gugatan
kabur. Masing-masing bentuk didasarkan pada faktor-faktor tertentu antara lain :
Tidak jelasnya dasar hukum gugatan, posita atau fundamentum petendi tidak
menjelaskan dasar hukum (rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang mendasari
gugatan. Bisa juga, dasar hukum jelas tapi tidak dijelaskan dasar fakta (faktelijke
grond). Dalil gugatan seperti itu tidak memenuhi syarat formil gugatan dengan kata
lain gugatan dianggap tidak jelas dan tidak tertentu (eenduideljke en bepaalde
conclusie). Tidak jelasnya objek sengketa, kekaburan objek sengketa sering terjadi
mengenai tanah terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek gugatan
mengenai tanah, antara lain tidak disebutnya batas-batas objek sengketa, luas tanah
20
berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya letak tanah yang menjadi
objek gugatan, tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang dikuasainya tergugat.
Petitum gugatan tidak jelas dan atau petitum tidak rinci, untuk memahami hal
ini perlu mengambil contoh putusan MA No. 582 K/Sip/1973. Petitum gugatan
meminta menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, menghukum tergugat
supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah tersebut. Namun hak apa yang
dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan sebagai pemilik,
pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya, tidak jelas
tindakan apa yang dihentikan tergugat. MA berpendapat, oleh karena petitum gugatan
tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
21
3. Exception Temporis (eksepsi daluarsa), menurut pasal 1946 KUHPerdata
daluarsa atau lewat waktu (expiration) selain menjadi dasar hukum untuk
memperoleh sesuatu juga menjadi landasan hukum untuk membebaskan
(release) seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu.
Dan mengenai pengajuannya dapat diajukan disetiap tahapan sedangkan
diperiksanya dan diputus bersama dengan pokok perkara dalam bentuk
putusan akhir;
4. Exceptio non Pecuniae Numeratae, eksepsi yang berisikan sangkalan tergugat
(tertagih), bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak pernah
diterima. Akan tetapi eksepsi ini sangat erat dengan kaitannya dengan
kemampuan atau keberhasilan tergugat membuktikan bahwa uang yang
disebut dalam perjanjian tidak pernah diterima. Apabila tergugat tidak mampu
membuktikan eksepsinya pun ditolak;
5. Exceptio Doli Mali, atau biasa disebut juga exception doli presentis, yaitu
keberatan mengenai penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi eksepsi
yang menyatakan penggugat telah menggunakan tipu daya dalam perbuatan
pernjanjian. Dengan demikian eksepsi ini berkaitan dengan ketentuan pasal
1328 KUHPerdata. Exceptio metus, eksepsi ini mengandung keberatan
terhadap gugatan penggugat yang bersumber dari perjanjian yang
mengandung paksaan (dwang) atau compulsion (dures). Eksepsi ini berkaitan
erat dengan ketentuan pasal 1323 dan 1324 KUHPerdata;
6. Exceptio non Adimpleti Contractus, eksepsi ini dapat diterapkan dalam
gugatan yang bersumber pada perjanjian timbal balik, masing-masing pihak
dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi prestasi secara timbal balik.
Seseorang tidak berhak menggugat apabila dia sendiri tidak memenuhi apa
yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati;
7. Exceptio Domini, eksepsi ini merupakan tangkisan yang diajukan tergugat
terhadap gugatan, yang berisi bantahan yang menyatakan objek barang yang
digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang lain atau milik tergugat;
22
8. Exceptio Litis Pendentis, yaitu eksepsi yang berisikan bantahan bahwa
sengketa yang digugat oleh penggugat sama dengan perkara yang sedang
diperiksa oleh pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-judice yang berarti
gugatan yang diajukan masih tergantung (aanhagig) atau masih berlangsung
atau sedang berjalan pemeriksaannya di pengadilan.
23
7. Eksepsi ne bis in idem, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang
sekarang seluruhnya sama dengan perkara yang terdahulu diputus yaitu baik
objeknya, persoalannya maupun pihak-pihaknya yang sama (ne bis in idem).
24
BAB IV
A. Pemeriksaan Perkara
25
Jika gugatan di pertahankan, maka gugatan tersebut dibacakan dan diteruskan pada
tahap berikutnya yaitu :
26
Diajukan masih dalam lingkup kewenangan pengadilan yang
bersangkutan;
Hanya mengenai perkara yang bersifat sengketa kebendaan;
Bukan mengenai pelaksanaan putusan.
Pembuktian
Pembuktian adalah suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim tentang
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara yang dipersengketakan di hadapan
sidang pengadilan. Yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang
dikemukakan oleh para pihak dalam hal yang belum jelas atau yang menjadi
sengketa.
27
atau peristiwa yang didalilkan (pasal 163 HIR, pasal 283 RBg., pasal 1865
KUHPerdata).
Alat-alat bukti
Alat-alat bukti dalam perkara perdata di Peradilan Agama sesuai dengan pasal
164 HIR, pasal 284 RBg. dan pasal 1866 KUHPerdata berupa :
28
yang ditentukan, dianggap mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang
tidak terbukti sebaliknya;
2. Kekuatan pembuktian formil, membuktikan kebenaran dari pada apa yang
dilihat, didengar dan dilakukan pejabat pembuat akta terutama tanggal dan
tempat akta yang dibuat, serta kebenaran tanda tangan dibawah akta
tersebut;
3. Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan kepastian tentang materi
suatu akta, bahwa pejabat atau para pihak yang membuat akta menyatakan
dan melakukan seperti apa yang dimuat dalam akta.
d. Akta dibawah tangan, yaitu suatu akta yang ditandatangani dan dibuat dengan
maksud dijadikan alat bukti suatu perbuatan hukum tanpa bantuan seorang
pejabat. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan yaitu :
1. Apabila suatu akta dibawah tangan, isi dan tandatangan akta diakui oleh
yang membuatnya, maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian
seperti akta otentik;
2. Apabila tandatangan dalam akta disangkal oleh pihak yang
menandatangani, maka pihak yang mengajukan akta harus berusaha
membuktikan kebenaran tandatangan itu.
e. Surat bukan akta, yaitu surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat
bukti dan belum tentu ditandatangani. Kekuatan pembuktiannya diserahkan
pada pertimbangan hakim. Misalkan buku register, surat-surat rumah tangga,
letter C tanah, dan sebagainya.
29
1. Syarat formil untuk menjadi saksi yaitu :
a. Memberikan keterangan di depan pengadilan;
b. Bukan orang yang dilarang untuk di dengar sebagai saksi (pasal 145 HIR,
pasal 172 RBg);
c. Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri (pasal 146 a ayat (4) HIR,
pasal 174 RBg), menyatakan kesediaannya menjadi saksi;
d. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya.
3. Yang tidak boleh menjadi saksi (pasal 145 HIR, pasal 172 RBg) yaitu :
a. Tidak mampu secara absolut :
Keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan lurus salah satu
pihak;
Suami istri salah satu pihak meskipun telah bercerai.
30
b. Tidak mampu secara relatif :
Anak belum berumur 15 tahun;
Orang gila meskipun terkadang ingatannya terang.
4. Yang boleh mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 146 HIR, pasal 174 RBg)
yaitu :
a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah
satu pihak;
b. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dan saudara laki-laki dan
perempuan dari suami/istri salah satu pihak;
c. Semua orang yang karena martabat, jabatan/hubungan kerja yang sah
diwajibkan menyimpan rahasia.
Bukti persangkaan
Bukti persangkaan ini diatur pada pasal 173 HIR dan pasal 310 RBg.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal
atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti.
Persangkaan sebagai alat bukti bersifat sementara, tidak bisa berdiri sendiri, tetapi
diambil dari alat bukti lain. Persangkaan ada 2 macam yaitu :
31
Contohnya adalah adanya 3 (tiga) surat tanda pembayaran (kwitansi) tiga
bulan terakhir berturut-turut, timbul persangkaan angsuran bulan-bulan
sebelumnya telah dibayar lunas.
Bukti pengakuan
Bukti pengakuan diatur di dalam pasal 174, 175 dan 176 HIR, pasal 311, 312
dan 313 RBg. Pengakuan adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri,
bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Pengakuan dapat
diberikan dimuka hakim di persidangan atau diluar persidangan. Ada 3 (tiga) macam
pengakuan yaitu :
Bukti sumpah
Bukti sumpah diatur di dalam pasal 155 – 158 dan 177 HIR, pasal 182 – 185
dan 314 RBg. Sumpah adalah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu berjanji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa
32
Tuhan dan percaya bahwa jika janji atau keterangan itu tidak benar, maka yang
memberikan keterangan akan dihukum oleh-Nya. Ada 2 macam sumpah yaitu :
Sumpah sebagai alat bukti (155 HIR, pasal 182 RBg) ada 3 macam yaitu :
Saksi ahli
Keterangan saksi ahli (expertise) diatur pada pasal 154 HIR, pasal 181 RBg.,
pasal 215 Rv. Keterangan saksi ahli yaitu keterangan pihak ketiga yang obyektif
33
bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan
hakim sendiri. Tujuannya adalah agar hakim memperoleh kebenaran dan keadilan
pada masalah yang bersangkutan. Syarat-syarat menjadi saksi ahli adalah :
a. Orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi juga tidak boleh didengar
sebagai saksi ahli;
b. Saksi ahli harus memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak
memihak.
Pemeriksaan setempat diatur pada pasal 153 HIR, pasal 180 RBg dan 211Rv,
yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan
diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim melihat dengan sendiri,
memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa
yang menjadi sengketa.
B. Putusan
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat
negara yang diberi kewenangan untuk itu, diucapkan dipersidangan terbuka untuk
34
umum, bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa antar para pihak,
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (contentious).
Sedangkan penetapan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan terbuka
untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara, ada dua macam yaitu :
1. Putusan Akhir
a. Putusan gugur;
b. Putusan Verstek yang diajukan verzet;
c. Putusan tidak menerima;
d. Putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang memeriksa.
2. Putusan Sela
35
a. Pemeriksaan berpekara cuma-cuma;
b. Pemeriksaan eksepsi tidak berwenang;
c. Sumpah supletoir;
d. Sumpah decissoir;
e. Sumpah penaksir;
f. Pemeriksaan gugatan provisional;
g. Pemeriksaan gugatan insidentil (intervensi)
Dari segi hadir tidaknya para pihak, ada tiga macam yaitu :
1. Putusan Gugur
Yaitu putusan yang menyatakan gugatan karena penggugat tidak hadir
setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dijatuhkan pada sidang pertama
atau sesudahnya sebelum pembacaan gugatan.
2. Putusan Verstek
Yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak hadir dan tidak
mewakilkan kepada orang lain, setelah dipanggil dengan resmi dan patut.
Dapat dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya setelah pembacaan
gugatan sebelum tahap jawaban tergugat.
36
3. Putusan Contradictoir
Yaitu yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri
salah satu pihak atau para pihak. Dalam putusan contradictoir, disyaratkan
baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang.
37
Dari segi sifatnya terhadap hukum yang ditimbulkan, ada tiga macam yaitu :
1. Declaratoir
Yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu yang resmi
menurut hukum. Misalnya putusan yang menyatakan sah atau tidaknya
suatu perbuatan hukum atau status hukum, menyatakan boleh tidaknya
suatu perbuatan hukum, dan sebagainya.
2. Constitutif
Yaitu suatu putusan yang menciptakan atau menimbulkan keadaan hukum
baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya putusan
perceraian, pembatalan perkawinan.
3. Condemnatoir
Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu
kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi.
Apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak terhukum
tidak mau melaksanakan isi putusan, maka atas permohonan penggugat,
putusan dapat dilaksanakan dengan paksa oleh pengadilan yang
memutusnya, kecuali dalam putusan serta merta (uitvoerbaar
bijvoorraad).
Putusan condemnatoir dapat berupa penghukuman untuk :
a. Menyerahkan suatu barang;
b. Membayar sejumlah uang;
c. Melakukan suatu perbuatan tertentu;
d. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan;
e. Mengosongkan tanah/rumah.
38
Putusan hakim mempunyai tiga macam kekuatan yaitu :
1. Kekuatan mengikat
Putusan hakim itu mengikat para pihak yang berperkara, para pihak harus
tunduk dan menghormati putusan itu.
2. Kekuatan pembuktian
Dengan putusan hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang
terkandung dalam putusan dan menjadi bukti bagi kebenaran sesuatu yang
termuat di dalamnya.
3. Kekuatan eksekutorial
Yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang telah ditetapkan dalam itu
secara paksa oleh alat-alat negara. Oleh karena itu setiap putusan hakim harus
memuat title eksekutorial yaitu kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
C. Upaya Hukum
Setiap putusan hakim, tidak dapat luput dari kekeliruan atau kekhilafan,
bahkan kadang-kadang bersifat memihak. Oleh karena itu putusan hakim
dimungkinkan untuk diperiksa ulang melalui upaya hukum.
39
hukum menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang. Ada dua macam upaya
hukum yaitu :
Pada asasnya putusan hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara dan
tidak mengikat pihak ketiga. Tetapi tetap ada pihak ketiga yang merasa hak-haknya
dirugikan oleh suatu putusan, ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan itu
(pasal 378 Rv).
40
D. Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah realisasi dari kewajiban para pihak
untuk memenuhi prestasi yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut. Pelaksanaan
putusan hakim dapat dilakukan :
1. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menyerahkan suatu barang;
2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang;
3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu;
4. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menghentikan suatu
perbuatan/keadaan;
5. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan
rumah/tanah;
6. Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang.
41