Anda di halaman 1dari 8

Nama : Angelic Adia Mentaya

Nim : A.131.20.0123

Tugas

1. Hukum adat di dalam UUD 1945 : pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana
menyebutkan”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” yang berarti bahwa
negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam
system hukum Indonesia. Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA
“Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

2. Hukum adat di dalam konstitusi RIS : pada Pasal 47 Konstitusi RISyang


berbunyi:“Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara haruslah
menjamin hak atas kehidupan rakyat sendiri kepada pelbagai persekutuan
rakyat di dalam lingkungan daerah mereka dan harus pula mengadakan
kemungkinan untuk mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan aturan-
aturan tentang penyusunan itu secara demokratis dalamdaerah-daerah otonom.

3. UUDS 1950 : di Negara kita berlaku Undang-Undang Dasar Sementara


( UUDS ) 1950, di mana di dalam ketentuan Pasal 104 ayat (1) ditentukan:
“Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam
perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan
hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu”.

4. UUD no 1 darurat 1951 : pada pasal pasal 1 ayat (2) “.segala Pengadilan Adat
(Inheemse rechtspraak inrechtstreeksbestuurd gebied), kecuali peradilan
Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian
tersendiri dari peradilan Adat”.

5. dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959 : Dekrit, tanggal 5 Juli 1959, yang
menetapkan pembubaran Konstituante, dan berlakunya kembali UUD 1945,
serta tidak berlakunya lagi UUDS 1950. Kemudian berdasarkan Ketetapan
MPRS Nomor : II/1960, maka Hukum Adat menjadi landasan tata hukum
nasional. Dengan adanya Tap MPRS tersebut, maka sebagaimana dikatakan
Prof. DR. Moh. Koesnoe, SH Hukum Adat berkembang sebagai berikut :
- Bahwa Hukum Adat tidak lagi dinyatakan sebagai hukum golongan yang
lambat laun harus hilang karena perkembangan dan karena tertuang dalam
kodifikasi dan undang-undang, Hukum Adat dengan ketetapan tersebut
merupakan landasan, dasar susunan dan sumber nasional.
- Bahwa pengertian hukum adat tidak akan lagi dapat mengikuti pengertian-
pengertian yang diterima pada waktu sebelum perang dunia kedua dengan
ciri-cirinya yang diketahui pada waktu itu.
- Bahwa akibat perubahan kedudukan kedudukan di atas, yaitu berubah pula
isinya dan berubah pula lingkungan kuasanya atas orang dan ruang.
Hukum Adat tidak lagi dapat dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasaan
daerah-daerah yang dapat dinamakan hukum, tetapi dihubungkan dengan
suatu nilai yang lebih tinggi dan abstrak.
6. Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960) MPRS juga mengeluarkan ketetapan
yang mengakui hukum adat. Dapat dilihat dalam lampiran A Paragraf 1w402
Ketetapan MPRS/No.II/MPRS/1960 :
a. Azas-azas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara
dan berlandaskan pada hukum adat yang tidak menghambat perkembangan
masyrakat adil dan makmur.
b. Di dalam usaha ke arah homogenitas dalam bidang hukum supaya
diperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia
c. Dalam penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan hukum
waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat dan lainnya.

7. UUD no 5 tahun 1960: Undang-undang yang biasa disebut UUPA ini juga
mengakui adanya hukum adat. Pasal yang mengaturnya adalah pasal 3 sampai
pasal 5 UUPA. Misalnya : Pasal 3 UUPA: Dengan mengingat ketentuan-
ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.

8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang


khusus ditujukan untuk mengatur perjanjian bagi hasil tanah pertanian
merupakan salah satu upaya untuk memodernisir hukum adat dengan tujuan
memberikan keadilan dan perlindungan dan kepastian hukum terutama kepada
penyakap dengan cara menuangkannya.
9. UU NO 19 TAHUN 1964 :Undang-undang No 19 tahun 1964, yang
menyatakan sebagai berikut : “ Bahwa peradilan adalah peradilan Negara.
Dengan demikian tidak ada tempat bagi peradilan swapraja dan peradilan
Adat. Apabila peradilan-peradilan itu masih ada, maka selekas mungkin akan
dihapuskan seperti yang secara berangsur-angsur telah dilaksanakan.

10. UU no 5 tahun 1967 : terdapat pada Pasal 17. Pelaksanaan hak-hak


masyarakat, hukum adat dan anggota- anggotanya serta hak-hak perseorangan
untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung
yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan
yang dimaksud dalam Undangundang ini.

11. UU no 14 tahun 1970 : Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 ( Undang-


Undang Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman) khususnya ketentuan
Pasal 23 ayat (1)
Ketentuan ini tidaklah bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis
yang disebut hukum adat melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan
dan penerapan hukum itu, kepada Pengadilan-pengadilan Negara. Dengan
ketentuan bahwa” hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat
sehingga telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan
hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar sehingga turut serta aktif
merealisasikan penyatuan dan kesatuan hukum di seluruh Indonesia.

12. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang diundangkan


pada tanggal 2 Januari 1974 dan mulai berlaku secara effektif pada tanggal 1
Oktober 1975 adalah salah satu undang-undang Nasional kita yang telah
"berhasil" menciptakan pembaharuan hukum dibidang hukum perkawinan,
suatu bidang yang dianggap paling peka dalam sistem hukum kita. Undang-
undang ini lahir dengan segala macam keunikannya dan menimbulkan
berbagai masalah sosial dalam masyarakat Indonesia yang cukup
memusingkan para pengamat kita. Selain itu untuk melihat effektivitasnya
undang-undang ini perlu diadakan penelitian yang seksama, pertama tentang
pelaksanaan ketentuan hukum adat diberbagai daerah dalam pelaksanaan
perkawinan dan taraf sinkronisasi antara hukum adat dengan peraturan-
peraturan yang ada didalam Undang-undang No.l Tahun 1974 dan peraturan
pelaksanaannya.

13. UU No. 11/ 1974 Pasal 3 (1) Air beserta sumber-sumbernya, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seperti dimaksud dalam Pasal 1
angka 3, 4 dan 5 Undang-undang ini dikuasai oleh Negara. (2) Hak menguasai
oleh Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang kepada
Pemerintah untuk: a. Mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan
atau sumber-sumber air; b. Menyusun mengesahkan, dan atau memberi izin
berdasarkan perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata
pengairan; c. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan,
penggunaan, penyediaan air, dan atau sumber-sumber air; d. Mengatur,
mengesahkan dan atau memberi izin pengusahaan air, dan atau sumbersumber
air; e. Menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum dan hubungan-
hubungan hukum antara orang dan atau badan hukum dalam persoalan air dan
atau sumbersumber air; (3) Pelaksanaan atas ketentuan ayat (2) pasal ini tetap
menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional.
Di samping itu Undang-undang ini dapat melimpahkan wewenang tertentu
dari pada Pemerintah tersebut kepada Badan-badan Hukum tertentu, yang
syarat-syaratnya diatur oleh Pemerintah, dengan menghormati hak-hak yang
dimiliki oleh masyarakat hukum adat setempat, ialah masyarakat yang tata
kehidupannya berdasarkan adat, kebiasaan dan keagamaan, termasuk
Lembaga-lembaga masyarakat yang bersifat sosial religius sepanjang hak-hak
itu menurut kenyataan betul-betul masih ada dan pelaksanaannya harus
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang
dicantumkan dalam Undang-undang ini dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional.

14. UU No. 5 1979

Undang – Undang nomor 5 tahun 1979 adalah undang-undang tentang pemerintah


Desa, seharusnya Undang-undang ini mempunyai hubungan yang erat dengan Hukum
Adat, oleh karena itu kebanyakan desa di Indonesia adalah merupakan persekutuan
adat atau yang menjadi pelaksana hukum adat. Karena itu antara desa dengan hukum
adat tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dua hal-hal yang menyinggung hukum
adat, yaitu:
Dalam konsidernya disebutkan bahwa sesuai dengan sifat negara kesatuan Republik
a. Indonesia, maka kedudukan pemerintah desa sejauh mungkin diseragamkan,
dengan mengindahkan keragaman keadaan desa dan ketentuan adat istiadat yang
masih berlaku. Untuk memperkuat pemerintahan desa agar makin mampun
menggearakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan
penyelenggaraan admisnistrasi desa yang semakin luas dan efektif. Disini hanya
disebutkan ketetuan adat istiadat, bukan hukum adat dalam sepanjang ketentua
memperkuat pemerintahan desa.

15. UU No. 4 Tahun 2004


Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (2) yang
dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,
menegasakan badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer peradilan tata usaha negara. Hal
ini bertentangan dengan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Provinsi Papua Pasal 50 ayat (2) yang dimuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135 menegaskan selain kekuasaan
kehakiman diakui adanya peradilan adat dalam masyarakat hukum adat tertentu.
Prinsip penalaran hukumnya menggunakan penalaran derogasi yaitu menolak suatu
aturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tnggi dan terjadi antinomi.
Sehingga diperoleh asas lex spesialis derogat legi generali artinya peraturan
perundang-undangan yang bersifat khusus menyisihkan peraturan perundang-
undangan yang bersifat umum. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2),
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, dengan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua Pasal 50
ayat (2) yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 135. Hal ini menimbulkan adanya pertentangan, Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 24 ayat (2) yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
mahkamah agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.

16.Pengadilan adat tidak terikat dalam hubungan hierarkis dengan badan-badan


peradilan formal di Indonesia. UU 48/2009 tidak mengakui pengadilan adat sebagai
salah satu bagian dari kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman
sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 48/2009 adalah:

Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna


menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.

17. UU No. 16 Tahun 2019


Dalam masyarakat ada perkawinan yang dilaksanakan secara adat. Bentuk
perkawinan secara adat ini adalah adalah suatu perkawinan adat yang dilaksanakan
oleh kedua mempelai dengan tidak pemberkatan di gereja melainkan meminta kepada
petinggi adat /tokoh adat. Perkawinan secara adat saja jelas bertentangan dengan UU
No 16 Tahun 2019. Keabsahan perkawinan yang diatur dalam UU No.16 tahun 2019
yaitu dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa ‘‘perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu’.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa ‘tiap-tiap perkawinan harus
dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku’. Perkawinan adat
ini tidak memiliki akta perkawinannya. Akibatnya perkawinan ini tidak memiliki
bukti sebagai perkawinan sah secara undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai