OLEH :
NIM : 1604551209
KELAS :C
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah 7,5 juta km2 yang terdiri
dari 17.000 pulau besar dan kecil. Penduduknya 212 juta jiwa, terdiri atas lebih
dari 540 suku bangsa dan adat istiadat, bahasa, kesenian serta kepercayaan yang
beraneka ragam. Di Indonesia, secara de jure identitas budaya dan hak komunitas
adat telah diatur di berbagai aturan peraturan perundangan terutama mengenai hak
ulayat dan tanah ulayat dalam masyarakat hukum adat.
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah
hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan peraturan yang tercantum dalam
Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, serta
segala sesuatu dengan mengadakan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.”
Jelaslah hukum yang berlaku atas Bumi, Air, Ruang Angkasa ialah Hukum
Adat dan UUPA ingin mengembalikan marwah dari Hukum Adat tersebut dalam
Pasal 5 UUPA. Demikian pula oleh beberapa pasal-pasal UUPA dipertegas lagi
tentang berlakunya beberapa lembaga adat, seperti tersebut pada Pasal 22 ayat I
UUPA yaitu: “Terjadinya milik menurut Adat diatur dengan Peraturan
Pemerintah”.
Badan-badan hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas
tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada pasal-pasal 2, 3
dan 4 peraturan ini:
Pada pasal ini jelas bahwa pemerintah Indonesia memberikan hak atas
kepemilikan tanah kepada badan-badan hukum yang telah disebutkan pada Pasal 1
PP No.38 Tahun 1963 Pemerintah Indonesia memberikan hak milik tersebut
bukan semata-mata dapat digunakan dengan semena-mena. Yang pengaturannya
diatur pada Pasal 2 ayat 1 PP No.38 Tahun 1963 yang mana disebutkan bahwa :
Badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah yang
dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan
usaha keagamaan dan sosial.
Berkaitan dengan isi dari Pasal 4 PP No.38 Tahun 1963 tersebut badan-
badan keagamaan juga mempunyai hak milik atas tanah yang dipergunakan untuk
kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan keagamaan. Namun
kenyataannya saat ini banyak isu yang berkembang mengenai tanah yang
digunakan untuk kepentingan agama salah satu contohnya mengenai tanah pura di
Bali yang tidak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum yang jelas. Pura-
pura di Bali memiliki dua jenis tanah, yaitu tanah palemahan dan tanah pelaba
pura. Tanah-tanah tersebut satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tanah
palemahan merupakan lokasi bangunan pura dan bangunan penunjangnya berdiri,
sedangkan tanah pelaba pura adalah tanah yang mendukung kebutuhan pura.
Biasanya, tanah pelaba pura berupa tanah pertanian atau perkebunan yang
digarap oleh para penggarap yang ditunjuk oleh desa dan hasil tanah ini yang
membiayai kegiatan upacara di pura. Sayangnya, kepastian dan perlindungan
hukum tanah pelaba pura ini sering bermasalah, terutama menyangkut
kepemilikan oleh desa pakraman dan penetapan batasnya.
Berkenaan dengan status tanah adat di Bali pada kesempatan ini ada baiknya
dikemukakan beberapa keputusan pengadilan berkenaan dengan sengketa yang
diselesaikannya, untuk memberikan gambaran mengenai pandangan yurisprudensi
terhadap tanah adat.
“Lembaga adat yang bersifat magis religius dapat mempunyai hak kebendaan
tertentu berupa tanah, tegal dan sebagainya untuk memelihara kepentingan dan
kelangsungan hidupnya”.
“Tanah tanah plaba pura hanya khusus dipergunakan untuk kepentingan di Pura
saja, tidak boleh dikuasai, dipakai, atau dimiliki sebagai pembagian warisan”.
“Tanah tanah desa dapat dipindahkan haknya kepada orang lain apabila masih
termasuk warga desa yang bersangkutan”.
4. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar, tanggal 11 Juni 1963 No.
11/Pdt/1962 dan Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 9 Pebruari
1967, No. 409/PTD/1966/Pdt., yang isinya :
“Penyerahan ayahan tidak berarti penyerahan hak milik atas tanah melainkan
hanyalah penyerahan kekuasaan untuk mengerjakan dan menghasili”