Anda di halaman 1dari 9

HUKUM ADAT LANJUTAN

OLEH :

NAMA : TJOKORDA ISTRI AGUNG ADINTYA DEVI

NIM : 1604551209

KELAS :C

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2017
Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah 7,5 juta km2 yang terdiri
dari 17.000 pulau besar dan kecil. Penduduknya 212 juta jiwa, terdiri atas lebih
dari 540 suku bangsa dan adat istiadat, bahasa, kesenian serta kepercayaan yang
beraneka ragam. Di Indonesia, secara de jure identitas budaya dan hak komunitas
adat telah diatur di berbagai aturan peraturan perundangan terutama mengenai hak
ulayat dan tanah ulayat dalam masyarakat hukum adat.

Negara Indonesia mengakui dan menghormati keberadaan dari masyarakat


hukum adat itu sendiri. Hal tesebut sudah jelas diatur pada Pasal 18 B ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya
disingkat UUD NRI 1945). Isi dari pasal tersebut sebagai berikut

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum


adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Berarti bahwa satuan pemerintahan di tingkat desa seperti gampong (di


NAD), nagari (di Sumatera Barat), dukuh (di Jawa), desa dan banjar (di Bali) serta
berbagai kelompok masyarakat di berbagai daerah hidup berdasarkan adat dengan
hak-haknya seperti hak ulayat, tetapi dengan satu syarat bahwa kelompok
masyarakat hukum adat itu benar-benar ada dan hidup, bukan dipaksa-paksakan
ada; bukan dihidup-hidupkan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, kelompok
itu harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD.
Selain itu, penetapan itu tentu saja dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip negara kesatuan.

Pembahasan mengenai hak ulayat sebagaimana yang dimaksud pada pasal


18 B UUD NRI 1945 tersebut lebih kepada tanah ulayat. Dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Untuk
selanjutnya disingkat UUPA) sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud
dengan tanah ulayat. Dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat
dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Pada Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah apa yang di
dalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht". Isi selengkapnya
dari Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan


hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Dari ketentuan dalam pasal 3 ini dapat dilihat adanya pengakuan terhadap
hak ulayat namun disertai dengan dua syarat yaitu :

1. Mengenai eksistensinya : bahwa hak ulayat diakui sepanjang


dalam kenyataannya masih ada. Di daerah-daerah dimana hak itu tidak
ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Di daerah-daerah dimana tidak
pernah ada hak ulayat tidak akan dilahirkan hak ulayat baru.
2. Mengenai pelaksanaannya. : bahwa pelaksanaan dari hak ulayat harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih
tinggi.

Definisi tanah ulayat dapat ditemui dalam Pasal 1 Peraturan Menteri


Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat (“Permeneg Agraria No. 5 Tahun 1999”), yang menyebutkan bahwa Tanah
Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan, masyarakat hukum adat adalah
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan.
Selanjutnya, perlindungan kepada hukum adat diberikan dalam Pasal 5 UUPA.
Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa:

“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah
hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan peraturan yang tercantum dalam
Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, serta
segala sesuatu dengan mengadakan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.”

Jelaslah hukum yang berlaku atas Bumi, Air, Ruang Angkasa ialah Hukum
Adat dan UUPA ingin mengembalikan marwah dari Hukum Adat tersebut dalam
Pasal 5 UUPA. Demikian pula oleh beberapa pasal-pasal UUPA dipertegas lagi
tentang berlakunya beberapa lembaga adat, seperti tersebut pada Pasal 22 ayat I
UUPA yaitu: “Terjadinya milik menurut Adat diatur dengan Peraturan
Pemerintah”.

Pasal 56 UUPA kembali menyebutkan ketentuan Hukum Adat, selama


undang-undang mengenai Hak Milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1)
belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat
setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang
memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal
20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-
undang ini. Jelaslah tujuan pasal 56 UUPA ini yaitu mengatur masa transisi
sebelum diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang Hak Milik, sehingga bagaimana
caranya mernperoleh Hak Milik, akan diatur menurut ketetapan yang sudah
pernah ada dalam Hukum Adat setempat.

Kemudian pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang
Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah (selanjutnya disingkat dengan PP
No.38 Tahun 1963) yang ditetapkan oleh Presiden Indonesia menyebutkan bahwa:

Badan-badan hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas
tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada pasal-pasal 2, 3
dan 4 peraturan ini:

a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank


Negara);

b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar


atas Undang-undang No. 79 tahun 1958 (Lembaran-Negara tahun 1958
No. 139);

c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri


Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama;

d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria,


setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

Pada pasal ini jelas bahwa pemerintah Indonesia memberikan hak atas
kepemilikan tanah kepada badan-badan hukum yang telah disebutkan pada Pasal 1
PP No.38 Tahun 1963 Pemerintah Indonesia memberikan hak milik tersebut
bukan semata-mata dapat digunakan dengan semena-mena. Yang pengaturannya
diatur pada Pasal 2 ayat 1 PP No.38 Tahun 1963 yang mana disebutkan bahwa :

Bank Negara dapat mempunyai hak milik atas tanah:

a. untuk tempat bangunan-bangunan yang diperlukan guna menunaikan


tugasnya serta untuk perumahan bagi pegawai-pegawainya;

b. yang berasal dari pembelian dalam pelelangan umum sebagai


ekseklisi dari Bank yang bersangkutan, dengan ketentuan, bahwa jika
Bank sendiri tidak memerlukannya untuk keperluan tersebut pada
huruf a, didalam waktu satu tahun sejak diperolehnya, tanah itu harus
dialihkan kepada pihak lain yang dapat mempunyai hak milik. Untuk
dapat tetap mempunyai hak milik. Untuk dapat tetap mempunyai guna
keperluan tersebut pada huruf a, diperlukan izin Menteri Pertanian
Agraria. Jangka waktu satu tahun tersebut diatas, jika perlu atas
permintaan Bank yang bersangkutan dapat diperpanjang Menteri
Pertanian/Agraria atau penjabat lain yang tunjuknya.

Pasal 3 PP No.38 Tahun 1963 yang menyebutkan bahwa :

Perkumpulan Koperasi Pertanian dapat mempunyai hak milik atas tanah


pertanian yang luasnya tidak lebih dari batas maksimum sebagai ditetapkan
dalam Undang-undang No. 56 Prp tahun 1960 (Lembaran-Negara tahun 1960
No. 174).

Pasal 4 PP No.38 Tahun 1963 yang menyebutkan bahwa :

Badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah yang
dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan
usaha keagamaan dan sosial.

Berkaitan dengan isi dari Pasal 4 PP No.38 Tahun 1963 tersebut badan-
badan keagamaan juga mempunyai hak milik atas tanah yang dipergunakan untuk
kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan keagamaan. Namun
kenyataannya saat ini banyak isu yang berkembang mengenai tanah yang
digunakan untuk kepentingan agama salah satu contohnya mengenai tanah pura di
Bali yang tidak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum yang jelas. Pura-
pura di Bali memiliki dua jenis tanah, yaitu tanah palemahan dan tanah pelaba
pura. Tanah-tanah tersebut satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tanah
palemahan merupakan lokasi bangunan pura dan bangunan penunjangnya berdiri,
sedangkan tanah pelaba pura adalah tanah yang mendukung kebutuhan pura.

Biasanya, tanah pelaba pura berupa tanah pertanian atau perkebunan yang
digarap oleh para penggarap yang ditunjuk oleh desa dan hasil tanah ini yang
membiayai kegiatan upacara di pura. Sayangnya, kepastian dan perlindungan
hukum tanah pelaba pura ini sering bermasalah, terutama menyangkut
kepemilikan oleh desa pakraman dan penetapan batasnya.

Pemerintah dalam hal ini berupaya untuk melindungi dan memberikan


kepastian hukum terkait dengan isu yang berkembang tersebut dengan
menetapkan SK Mendagri No.SK.556/DJA/1986 menyatakan bahwa pura sudah
diakui sebagai badan hukum keagamaan yang dapat menjadi subyek hak milik
atas tanah, sehingga dapat mempunyai tanah dengan sertifikat hak milik.

Berkenaan dengan status tanah adat di Bali pada kesempatan ini ada baiknya
dikemukakan beberapa keputusan pengadilan berkenaan dengan sengketa yang
diselesaikannya, untuk memberikan gambaran mengenai pandangan yurisprudensi
terhadap tanah adat.

1. Putusan Pengadilan Negeri Klungkung tanggal 16 Juli 1973 No.


16/Pdt/1973 dan Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar, tanggal 4 Maret
1974, No. 241/PTD/1973/Pdt., yang isinya :

“Lembaga adat yang bersifat magis religius dapat mempunyai hak kebendaan
tertentu berupa tanah, tegal dan sebagainya untuk memelihara kepentingan dan
kelangsungan hidupnya”.

2. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar, tanggal 21 Agustus 1983 No.


59/pdt.g/1983/PN.Dps., yang isinya :

“Tanah tanah plaba pura hanya khusus dipergunakan untuk kepentingan di Pura
saja, tidak boleh dikuasai, dipakai, atau dimiliki sebagai pembagian warisan”.

3. Putusan Pengadilan Negeri Singaraja tanggal 4 Januasri 1965


No.103/Pdt/1964, yang isinya

“Tanah tanah desa dapat dipindahkan haknya kepada orang lain apabila masih
termasuk warga desa yang bersangkutan”.
4. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar, tanggal 11 Juni 1963 No.
11/Pdt/1962 dan Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 9 Pebruari
1967, No. 409/PTD/1966/Pdt., yang isinya :

“Suatu penyerahan kewajiban ayahan daripada sebidang tanah haruslah beserta


tanahnya, karena setiap kewajiban melekat/tidak dapat dipisahkan dengan
benda/tanah yang menimbulkan kewajiban itu”

5. Putusan Pengadilan tinggi Denpasar, tanggal 19 Juli 1969,


No.63/PTD/1966/Pdt., yang isinya :

“Ayahan ialah kewajiban sebagai pemilik tanah untuk menyumbangkan tenaga


dan lain-lain terhadap banjar dan desa dalam rangka pelaksanaan asas kegoong-
royongan”

“Penyerahan ayahan tidak berarti penyerahan hak milik atas tanah melainkan
hanyalah penyerahan kekuasaan untuk mengerjakan dan menghasili”

6. Putusan Pengadilan Negeri Klungkung tanggal 28 Juli 1966, No.


12/Pdt/1966, dan Putusan Pengadilan tinggi Denpasar, tanggal 19 Januari
1967, No. 421/PTD/1966/Pdt., yang isinya :

“Suatu tanah merupakan tanah ayahan desa apabila memenuhi 3 syarat :

1. Adanya bukti tertulis dan keterangan saksi;

2. Hubungan pemilik tanah sebagai warga dengan orang desa


sekitarnya;

3. Adanya syarat-syarat untuk menempati/memiliki tanah desa


menurut awig-awig desa yang berlaku”.

7. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar, tanggal 2 Juli 1975, No.


44/Pdt/1974., yang isinya :

“Persoalan tanah tanah ayahan desa bukanlah persoalan pewarisan secara


mutlak yang berkaitan dengan hukum kekeluargaan, tetapi sepenuhnya adalah
menyangkut persoalan kedaulatan desa dengan batas-batas kewenangannya”
(Wirta Griadhi, 1985/1986 :12-19)

Anda mungkin juga menyukai