Anda di halaman 1dari 20

USULAN PENELITIAN

KAJIAN YURIDIS PERKAWINAN DI BAWAH UMUR


BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

TJOKORDA ISTRI AGUNG ADINTYA DEVI

1604551209

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... i


PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah .............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................7
1.3. Ruang Lingkup Masalah .............................................................................7
1.4. Orisinalitas Penelitian .................................................................................8
1.5. Tujuan Penelitian ........................................................................................9
a. Tujuan Umum .............................................................................................9
b. Tujuan Khusus ............................................................................................9
1.6. Manfaat Penelitian ......................................................................................9
a. Manfaat Teoritis .........................................................................................9
b. Manfaat Praktis ...........................................................................................9
1.7. Landasan Teoritis .......................................................................................9
1.8. Metode Penelitian
…....................................................................................... 13
a. Jenis Penelitian …..................................................................................... 13
b. Jenis Pendekatan …...................................................................................
15
c. Bahan Hukum/Data …...............................................................................
16
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum/Data …........................................... 16
e. Teknik Analisis ….....................................................................................
16
1.9. Daftar Pustaka
…............................................................................................. 16

ii
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis
kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki, ada daya saling
menarik satu sama lain untuk hidup bersama.1 Hidup bersama ini berakibat sangat
penting didalam masyarakat. Akibat paling dekat adalah bahwa dengan hidup
bersama antara dua orang manusia ini sekedar menyendirikan diri dari anggota-
anggota lain dari masyarakat. Akibat yang lebih jauh adalah bahwa kalau
kemudian ada anak-anak keturunan mereka, dengan anak-anaknya itu mereka
merupakan suatu keluarga tersendiri.2 Keluarga merupakan unsur terkecil dari
masyarakat. Kesejahteraan, ketentraman dan keserasian keluarga besar atau
bangsa sangat bergantung pada kesejahteraan, ketentraman dan keserasian
keluarga.3 Keluarga terbentuk melalui perkawinan. Perkawinan adalah ikatan
antara dua orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga.4

Hukum keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam


menentukan hukum nasional dalam bidang hukum keluarga, oleh karena itu kita
harus melakukan unifikasi hukum yang berkembang dalam masyarakat. Dalam
era globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis dan individualistis.
Kontrol sosial pun semakin lemah, hubungan suami istri semakin renggang,
hubungan orang tua dan anak semakin bergeser dan kesaklaran keluarga semakin
menipis.5 Dalam kehidupan rumah tangga suami istri tumbuh pada keluarga yang
berbeda, yang masing-masing keluarga memiliki tradisi, perilaku dan cara sikap
yang berbeda6,sehingga dalam mengarungi bahtera rumah tangga banyak
menimbulkan akibat hukum. Salah satu yang menjadi konflik yang terjadi dalam
1
R.Wirjono Prodjodikoro, 1984, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, hlm.7
2
Ibid.,hlm.7.
3
Mohammad Zaid, 2002, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, hlm.1
4
Ibid.,hal.1.
5
Soedjito, 1986, Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri, Tiara Wacana,
Yogyakarta, hlm.113.
6
Shalih bin Ahmad Al Ghazali, 2004, Romantika Rumah Tangga, Cendekia Sentra
Muslim, Jakarta,,hal.71.

3
perkawinan anak dibawah umur yang dapat menimbulkan akibat hukum adalah
kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri didalam rumah tangga seperti
penyiksaan terhadap istri atau tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam
relasi hubungan intim dan mengarah pada sistematika, kekuasaan dan kontrol.7

Dalam hal ini pelaku kekerasan berupaya untuk menerapkannya terhadap


istri atau pasangan intimnya melalui penyiksaan secara fisik, emosi sosial, seksual
dan ekonomi. Kenyataan menunjukkan bahwa perlakuan diskriminasi terhadap
wanita diberbagai bidang masih banyak dijumpai, walaupun berbagai aturan
dalam Undang-Undang telah dibuat.8 Dalam perkawinan anak dibawah umur,
dampak yang ditimbulkan akibat perkawinan ini, akibat-akibat yang muncul serta
kasus kekerasan dalam rumah merupakan persoalan yang sangat penting untuk
dibicarakan masyarakat luas, karena membicarakan ini berarti membedah
persoalan kemanusiaan.9

Tujuan perkawinan pada dasarnya memenuhi kebutuhan hidup jasmani


dan rohani manusia juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara
serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya didunia ini, selain itu
untuk mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan keluarga dan masyarakat. 10
Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur hal-hal yang


berkaitan dengan perkawinan menentukan beberapa prinsip, diantaranya
perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu. Disamping itu, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.11 Walaupun dalam Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 telah ditentukan peraturan dan asas atau prinsip mengenai
perkawinan dan segala sesuatu dengan perkawinan, kenyataannya dalam
7
Ibid.,hal.71.
8
Ibid,,hal.71.
9
Ibid.,hal.71.
10
M.Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam (suatu analisis dari UU No.1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta, hlm.26
11
Ibid.

4
masyarakat sering terjadi penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan, misalnya dengan melakukan perkawinan dibawah umur ini.

Salah satu prinsip yang dianut Undang-Undang ini, calon suami istri harus
telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
memperoleh keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Di samping itu,
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Batas umur
yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang
lebih tinggi. Oleh karena itulah Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun
1974 menentukan batas umur untuk kawin bagi pria adalah 19 tahun dan bagi
wanita berusia 16 tahun.
Adanya penetapan umur 16 tahun bagi wanita untuk diizinkan kawin
berarti dipandang sebagai ketentuan dewasa bagi seorang wanita. Dengan
mengacu pada persyaratan ini, jika pihak calon mempelai wanita di bawah umur
16 tahun, maka yang bersangkutan dikategorikan masih di bawah umur dan tidak
cakap untuk bertindak di dalam hukum termasuk melakukan perkawinan. Namun
demikian, ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan mengenai
syarat umur 16 tahun bagi wanita sebenarnya tidak sesuai dengan Undang-
Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-Undang
No.35 Tahun 2014 tersebut, perumusan seseorang yang dikategorikan sebagai
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, sehingga ketentuan dewasa
menurut undang-undang ini adalah 18 tahun.
Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum
melangsungkan pernikahan, menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun
1974 bahwa “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai,“ Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan
bahwa “untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua,” Pasal 7 Undang-

5
Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan “perkawinan hanya diijinkan jika ihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.”
Undang-Undang Perkawinan mengatur batas usia bagi pasangan yang
ingin melangsungkan perkawinan tentu mempunyai beberapa faktor yang
melatarbelakanginya, diantaranya adalah:

a. Agar kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan benar-


benar siap dan matang dari segi fisik, psikis dan mental.12
b. Undang-Undang Perkawinan bermaksud untuk menahan laju perkawinan
yang berdampak langsung pada persoalan demografi sebab tidak
dipungkiri batas usia kawin yang rendah pada perempuan menyebabkan
laju kelahiran yang lebih tinggi dan berakibat pula pada kematian ibu
hamil relatif tinggi.13
c. Perkawinan dibawah umur juga berdampak pada terganggunya si wanita
baik dari sisi luar maupun dari sisi dalam si wanita seperti : kehamilan
prematur, trauma psikologis, kematian ibu, si anak akan kekurangan
pendidikan.
d. Banyak terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada
perkawinan di bawah umur.
e. Melindungi hak anak.

Pernikahan di bawah umur memiliki dampak negatif bagi perempuan dan


anak-anak. Oleh karenanya hukum perkawinan sebagai hukum yang baku
menetapkan ketentuan yang berlaku sebagai mana di sebutkan diatas. Walaupun
begitu, Undang-Undang Perkawinan ini masih memberikan kelonggaran dengan
pengajuan dispensasi nikah kepada pengadilan. Dan ini memberikan kesimpulan
bahwa secara eksplisit, tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah
umur, penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari
pengadilan atau pejabat yang berkompeten.

12
Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta. hlm.8
13
Yusuf Hanafi, 2011, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur, CV. Mandar
Maju, Bandung. hlm.106.

6
Fenomena pernikahan anak di bawah umur bukanlah hal yang baru bagi
masyarakat Indonesia. Ini sudah terjadi sudah sejak zaman dulu baik di kota besar
maupun di daerah pedesaan,yang menjadi alasan penyebabnya antara lain 14:
a. Persoalan ekonomi
b. Rendahnya pendidikan
c. Pemahaman budaya dan nilai agama-agama tertentu
d. Hamil terlebih dahulu sebelum menikah
Jika pada zaman dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur karena
pernikahan di usia matang mengakibatkan anggapan buruk di masyarakat, maka
sekarang Seiring dengan melajunya arus globalisasi yang berkembang dengan
cepat mengubah sikap dan cara pandang masyarakat. Menikah di usia muda
dianggap sesuatu hal yang tak pantas dan dinilai menghancurkan masa depan
perempuan.
Fenomena pernikahan di bawah umur masih saja terjadi di masyarakat
mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pranikah
sering berujung pada pernikahan usia muda. Dan lagi, kultur masyarakat yang
masih menempatkan anak perempuan sebagai warga kelas dua sehingga ingin
mempercepat pekawinannya. Ada beberapa faktor mengapa masyarakat Indonesia
masih menganut kultur yang memandang pernikahan di bawah umur adalah hal
yang wajar, antara lain 15:
a. Pandangan kedewasaan seseorang dilihat dari segi ekonomi, meskipun
usia mereka masih anak-anak
b. Kedewasaan hanya dilihat dari perubahan-perubahan fisiknya saja
c. Terjadinya kehamilan diluar nikah dan menikah adalah solusi yang sering
diambil untuk menutupi aib,
d. Tidak adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran Undang-Undang
Perkawinan,

14
Libertus Jehani, 2008, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya, Forum Sahabat, Jakarta,
hlm.23.

15
Yusuf Hanafi, op.cit. hlm 101.

7
Menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga
negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan
sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang
memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan
rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan
tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan
perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Berikut ini contoh kasus perkawinan dibawah umur yang sempat heboh di
media dan berdampak buruk pada psikologi anak adalah :16

1. Mantan Bupati Garut Aceng Fikri yang saat itu berumur 40 tahun menikahi
seorang perempuan bernama Fany Octora yang belum genap berumur 18 tahun
pada Juli 2012. Pernikahan itu hanya bertahan selama empat hari. Aceng
menceraikan Fany melalui pesan singkat dengan alasan Fany sudah tidak
perawan lagi ketika menikah.
2. Pujiono Cahyo Widianto, atau lebih dikenal sebagai Syekh Puji, adalah
pimpinan pondok pesantren Miftahul Jannah di Semarang, Jawa Tengah, dan
pengusaha bisnis kuningan. Namanya menjadi terkenal setelah ia menikahi
Lutfiana Ulfa pada 2008 yang saat itu baru berumur 12 tahun. Ulfa merupakan
istri kedua Syekh Puji. Pada 24 November 2010, Syekh Puji divonis bersalah
oleh Pengadilan Negeri Semarang dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda
60 juta karena melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. Permohonan
banding Syekh Puji juga ditolak oleh Pengadilan Tinggi Jawa Tengah. Namun,
media mengabarkan kalau Syekh Puji tidak ditahan.
3. Jun adalah yang masih berumur 13 tahun di tahun 2013 silam, ia merupakan
siswi Sekolah Dasar di Kabupaten Bangli, Bali. Suami Jun, Wayan Cidre
(40), ditetapkan sebagai tersangka atas pelanggaran Undang-Undang
Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Jun
melahirkan bayi pada usia kandungan enam bulan. Setelah delapan jam proses

16
Adelia Putri, 2015, “3 Kasus Pernikahan Dini Yang Hebohkan Indonesia”,
URL :Http://Www.Rappler.Com/World/Regions/Asia-Pacific/Indonesia/97293-Kasus-Pernikahan-
Anak-Indonesia. Diakses Pada Jumat, 28 Maret 2018, Pukul 14.00 Wita

8
persalinan normal, bayi dengan berat 600 gram dan panjang 21 cm itu berhasil
dilahirkan. Namun, setelah perawatan intensif di RSUD Bangli, nyawanya tak
tertolong.

Berdasarkan penjelasan diatas maka perkawinan di bawah umur


merupakan perbuatan melanggar Undang-undang, terutama terkait ketentuan
batas umur untuk kawin. Dari perspektif gender, perkawinan di bawah umur
merupakan bentuk ketidakadilan gender yang dialami wanita akibat kuat
berakarnya budaya patriarki pada masyarakat yang menganggap wanita sebagai
barang dan selalu berada di bawah (subordinasi). Perkawinan di bawah umur
merupakan masalah yang pelik dan sensitif. Oleh karena itu penulis membuat
penelitian yang berjudul “Kajian Yuridis Perkawinan Di Bawah Umur
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan ”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka
dari itu ada dua rumusan masalah yang akan penulis angkat sebagai rumusan
masalah dari skripsi ini, yaitu :
1. Bagaimana pengaturan perkawinan di bawah umur dipandang dari hukum
perkawinan di Indonesia?
2. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan terhadap perkawinan di bawah
umur di Indonesia ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah


Agar suatu masalah tidak keluar dari pokok permasalahan, maka dalam
penulisan skripsi ini ruang lingkup masalahnya hanya dibatasi pada :
1. Untuk rumusan masalah yang pertama akan di bahas tentang perkawinan di
bawah umur dipandang dari sistem hukum perkawinan di Indonesia
2. Untuk rumusan masalah yang kedua akan dibahas tentang akibat hukum
yang dapat ditimbulkan terhadap perkawinan di bawah umur di indonesia.
1.4. Orisinalitas Penelitian

9
Penulis menyatakan bahwa sesungguhnya penelitian yang berjudul
“Kajian Yuridis Perkawinan Anak Dibawah Umur Berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan” ini merupakan pemikiran asli penulis. Beberapa penelitian
terdahulu dengan jenis yang sama ada dalam perpustakaan skripsi dan internet
diantaranya :

No. Penulis Dan Tahun Judul Penelitian Rumusan Masalah

1. Fetrhesia Marona Perkawinan Dibawah 1. Apakah faktor-faktor


Fakultas Hukum Universitas Umur Menurut Undang- penyebab perkawinan di
Islam Riau (Skripsi ini terbit Undang No.1 Tahun bawah umur di kecamatan
tahun 2010) 1974 Di Rambah Samo rambah samo kabupaten
Kabupaten Rokan Hulu rokan hulu?
2. Apakah akibat perkawinan
perkawinan di bawah umur di
kecamatan rambah samo
kabupaten rokan hulu?

2. Arya Ananta Wijaya Fakultas Analisis Perkawinan 1. Bagaimanakah perkawinan


Hukum Universitas Mataram Anak Di Bawah Umur anak di bawah umur
(Skripsi tahun 2013) Tinjauan Hukum Islam dipandang dari sistem
Dan Undang-Undang Hukum Islam dan Undang-
Nomor 1 Tahun 1974 Undang Nomor 1 Tahun
(Studi Di Desa 1974 di Desa Gegerung Kec.
Gegerung Kec. Lingsar Lingsar?
Lombok Barat) 2. Apa akibat hukum terhadap
perkawinan anak di bawah
umur di Desa Gegerung Kec.
Lingsar?

10
1.5 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum
1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pembelajaran,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Untuk dapat mengembangkan diri pribadi dalam kehidupan bermasyarakat.

b. Tujuan Khusus
Disamping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara spesifik
diharapkan mampu :

1. Untuk mengetahui tentang perkawinan anak di bawah umur dipandang


dari sistem hukum perkawinan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui tentang akibat hukum yang ditimbulkan terhadap
perkawinan di bawah umur.

1.6. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran


bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum yaitu tentang hukum
perkawinan, terutama tentang batas usia untuk melangsungkan perkawinan.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi


masyarakat, pemerintah, legislatif dan praktisi hukum khususnya yang berkaitan
dengan pengaturan izin perkawinan anak di bawah umur.

1.7. Landasan Teoritis

Berdasarkan contoh kasus yang terjadi maka Undang-Undang Nomor 35


tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

11
perlindungan anak mencegah adanya perkawinan pada usia anak-anak yaitu dalam
Pasal 1 Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak,
menyatakan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Setiap anak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam
Pasal 4 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 menyatakan bahwa “setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi,” Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 35 tahun
2014 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakatnya”
Pasal 11 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 menyatakan bahwa “setiap
anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri”, Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.
23 tahun 2002 menyatakan “setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,
wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan :
a) diskriminasi
b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c) penelantaran
d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e) ketidakadilan
f) perlakuan salah lainnya.
Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab terhadap anak seperti yang tertulis di Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No.
35 tahun 2014 orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak
b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya

12
c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak dan
d) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada
Anak
Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Undang-
Undang Perlindungan Anak sama, walaupun kedua Undang-Undang tersebut
menentukan umur yang berbeda dalam penentuan kedewasaan, tidak
menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur. Hanya saja Undang-undang
Perkawinan tidak mencantumkan sanksi yang tegas dalam hal apabila terjadi
pelanggaran karena perkawinan adalah masalah perdata sehingga apabila
perkawinan di bawah umur terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak
memenuhi syarat dan dapat dibatalkan. Ketentuan ini sebenarnya tidak
menyelesaikan permasalahan dan tidak adil bagi wanita. Bagaimanapun jika
perkawinan sudah berlangsung pasti membawa akibat, dari aspek fisik maupun
psikis.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990
Konsekuensinya, Indonesia harus memajukan serta melindungi kepentingan dan
hak anak sebagai manusia, seperti tertera dalam konvensi tersebut. Dimulai
dengan mendefinisikan pengertian tentang ‘anak’ kepada masyarakat luas, seperti
tercakup dalam Pasal 1 Konvensi Hak Anak, yang mendefinisikan ‘anak’ sebagai:
“…anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali
berdasarkan Undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia
dewasa dicapai lebih awal”. Meski begitu, kecenderungan timbulnya kebingungan
akan masa pemberlakuan definisi tersebut membutuhkan penjelasan lebih lanjut.

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang


Kesejahteraan Anak, dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa anak adalah
“seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin” Ini
berarti anak yang misalnya berumur 17 tahun dan sudah kawin, akan berubah
status secara hukum. Akibatnya ia kehilangan haknya untuk dilindungi sebagai
anak. Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2) tersebut menegaskan bahwa batas umur

13
21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan
kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan
pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas
umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam
Peraturan Perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan
anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu
berdasarkan hukum yang berlaku.

Sedangkan dalam hukum perdata, batasan anak ini dapat dijumpai pada
Pasal 330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan lebih dahulu telah
kawin.” Tapi bagi seseorang yang belum genap berumur 21 (duapuluh satu) tahun
tetapi sudah kawin, meskipun telah bercerai, maka dianggap sudah dewasa dan
bukan dalam kategori anak-anak lagi. Menurut KUHPerdata, bagi mereka yang
belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, maka berada di
bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam Pasal 345
sampai dengan Pasal 358 KUHPerdata.17

Serta Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak


Asasi Manusia menyatakan bahwa “Anak adalah setiap manusia yang berusia di
bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”. Pasal 57 ayat
(1) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan
bahwa “Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik,
diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai
dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan


menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum
melangsungkan perkawinan, menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.1
tahun 1974 bahwa “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
17
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya
Paramitha,Jakarta, hlm. 77.

14
mempelai,“ Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan
“untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur  21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua,” Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan “perkawinan hanya diijinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 tahun”.
Menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga
negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan
sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang
memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan
rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan
tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan
perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Perkawinan di bawah umur merupakan perbuatan melanggar Undang-
undang, terutama terkait ketentuan batas umur untuk kawin. Dari perspektif
gender, perkawinan di bawah umur merupakan bentuk ketidakadilan gender yang
dialami wanita akibat kuat berakarnya budaya patriarki pada masyarakat yang
menganggap wanita sebagai barang dan selalu berada di bawah (subordinasi).
Perkawinan di bawah umur merupakan masalah yang pelik dan sensitif.

1.8. Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini, merupakan penelitian


hukum normatif. Penelitian hukum normatif ialah metode penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.18 Menurut Bambang Sunggono,
penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis atau dogmaig,
karena tidak mengkaji pelaksanaan atau implementasi hukum, penemuan hukum

18.
Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13.

15
dalam perkara pidana maupun perdata, sistemik hukum, taraf sinkronisasi hukum,
perbandingan hukum, dan sejarah hukum.19

Penelitian Yuridis Normatif dapat juga dikatakan sebagai suatu studi


kepustakaan karena yang diteliti dan dikaji adalah Pasal-Pasal dan proses
penerapan Pasal terkait dengan batas usia minimal untuk melakukan perkawinan
serta literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang hendak
diteliti. Metode pendekatan yang digunakan ialah metode Statute aprroach atau
pendekatan Undang-undang yakni pendekatan yang dilakukan dengan cara
menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani.20 Dalam penelitian normatif harus menggunakan
pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral atau tema utama dari suatu
penelitian.21

b. Jenis Pendekatan

Di dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis pendekatan,


yaitu : pendekatan kasus (case approach), pendekatan Fakta (fact approach),
pendekatan frasa (words & pharase approach), pendekatan sejarah (historical
approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach), pendekatan konsep (conseptual
approach), pendekatan analisis (analytical approach), pendekatan filasafat
(philosophical approach).22 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk
skripsi ini digunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konsep (conseptual approach).

19.
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 83.
20.
Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji .op.cit. hlm. 93.
21 .
Johnny Ibrahim, 2005, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Malang, hlm. 248.
22.
Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, hlm.
93.

16
c. Bahan Hukum/Data

Sumber hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan


(library research). Penelitian kepustakaan adalah menggunakan bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer
adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah,
contohnya berbagai Peraturan Perundang-Undangan, putusan Pengadilan, traktat.
Dan sumber bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang isinya membahas
bahan hukum primer, contohnya buku, artikel, serta bahan hukum tersier adalah
bahan-bahan hukum yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, contohnya kamus, buku pegangan.23

Dalam penelitian ini sumber bahan hukum yang dimaksudkan adalah


sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat
karena dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
c. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
d. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
f. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
g. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi
tentang Hak-Hak Anak
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang meliputi antara lain : buku-buku hukum
(literatur), artikel, makalah, thesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum seperti
dokumen dan surat-surat perjanjian yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.

23.
Ashshofa Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Reneka Cipta, Jakarta,
hlm.103.

17
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum/Data

Pengumpulan bahan-bahan hukum diawali dengan kegiatan inventarisasi,


dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum ke dalam suatu
sistem informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan
hukum tersebut. Bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan studi
dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap sumber-sumber bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, selanjutnya dilakukan inventarisasi
bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan atau pengutipan dengan
menggunakan sistem kartu. Masing-Masing kartu diberikan identitas sumber
bahan hukum yang dikutip dan halaman dari sumber kutipan. Di samping itu,
diklasifikasikan menurut sistematika rencana skripsi, sehingga ada kartu untuk
bahan-bahan Bab I, Bab II, dan seterusnya, kecuali untuk bagian penutup.
Kemudian dilakukan kualifikasi fakta dan hukum.

e. Teknik Analisis

Analisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara


analisis kualitatif deskriptif . Analisis kualitatif artinya, menguraikan bahan-bahan
hukum secara bermutu dengan bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis, dan tidak
tumpang tindih serta efektif, sehingga memudahkan interpretasi bahan-bahan
hukum dan pemahaman hasil analisa. deskriptif artinya, analisa dilakukan dengan
menguraikan dan menjelaskan masalah terkait secara detail dari berbagai aspek
sesuai dengan lingkup penelitian. selanjutnya dilakukan penilaian berdasarkan
pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, yakni dengan mengemukakan
doktrin dan asas-asas yang ada terkait dengan permasalahan.

18
1.9 Daftar Pustaka

Buku :

Al Ghazali, Shalih bin Ahmad, 2004, Romantika Rumah Tangga, Cendekia Sentra
Muslim, Jakarta.
Burhan, Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Reneka Cipta, Jakarta.

Hanafi, Yusuf, 2011, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur, CV. Mandar
Maju, Bandung.
Ibrahim, Johnny, 2005, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia, Malang.
Jehani, Libertus, 2008, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya, Forum Sahabat,
Jakarta.
Marzuki, Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta.
Prodjodikoro, R.Wirjono, 1984, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur,
Bandung.
Ramulyo, M.Idris, 1996, Hukum Perkawinan Islam (suatu analisis dari UU No.1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta.
Soedjito, 1986, Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri, Tiara Wacana,
Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rajawali Pers, Jakarta.

Subekti, R., 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramitha,


Jakarta.

Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta.


Sunggono, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

Zaid, Mohammad, 2002, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang


Perkawinan.
Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

19
Website :
Adelia Putri, 2015, “3 Kasus Pernikahan Dini Yang Hebohkan Indonesia”,
URL
:Http://Www.Rappler.Com/World/Regions/Asia-Pacific/Indonesia/97293-
Kasus-Pernikahan-Anak-Indonesia.

20

Anda mungkin juga menyukai