1604551209
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
DAFTAR ISI
ii
PENDAHULUAN
Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis
kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki, ada daya saling
menarik satu sama lain untuk hidup bersama.1 Hidup bersama ini berakibat sangat
penting didalam masyarakat. Akibat paling dekat adalah bahwa dengan hidup
bersama antara dua orang manusia ini sekedar menyendirikan diri dari anggota-
anggota lain dari masyarakat. Akibat yang lebih jauh adalah bahwa kalau
kemudian ada anak-anak keturunan mereka, dengan anak-anaknya itu mereka
merupakan suatu keluarga tersendiri.2 Keluarga merupakan unsur terkecil dari
masyarakat. Kesejahteraan, ketentraman dan keserasian keluarga besar atau
bangsa sangat bergantung pada kesejahteraan, ketentraman dan keserasian
keluarga.3 Keluarga terbentuk melalui perkawinan. Perkawinan adalah ikatan
antara dua orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga.4
3
perkawinan anak dibawah umur yang dapat menimbulkan akibat hukum adalah
kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri didalam rumah tangga seperti
penyiksaan terhadap istri atau tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam
relasi hubungan intim dan mengarah pada sistematika, kekuasaan dan kontrol.7
4
masyarakat sering terjadi penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan, misalnya dengan melakukan perkawinan dibawah umur ini.
Salah satu prinsip yang dianut Undang-Undang ini, calon suami istri harus
telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
memperoleh keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Di samping itu,
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Batas umur
yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang
lebih tinggi. Oleh karena itulah Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun
1974 menentukan batas umur untuk kawin bagi pria adalah 19 tahun dan bagi
wanita berusia 16 tahun.
Adanya penetapan umur 16 tahun bagi wanita untuk diizinkan kawin
berarti dipandang sebagai ketentuan dewasa bagi seorang wanita. Dengan
mengacu pada persyaratan ini, jika pihak calon mempelai wanita di bawah umur
16 tahun, maka yang bersangkutan dikategorikan masih di bawah umur dan tidak
cakap untuk bertindak di dalam hukum termasuk melakukan perkawinan. Namun
demikian, ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan mengenai
syarat umur 16 tahun bagi wanita sebenarnya tidak sesuai dengan Undang-
Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-Undang
No.35 Tahun 2014 tersebut, perumusan seseorang yang dikategorikan sebagai
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, sehingga ketentuan dewasa
menurut undang-undang ini adalah 18 tahun.
Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum
melangsungkan pernikahan, menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun
1974 bahwa “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai,“ Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan
bahwa “untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua,” Pasal 7 Undang-
5
Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan “perkawinan hanya diijinkan jika ihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.”
Undang-Undang Perkawinan mengatur batas usia bagi pasangan yang
ingin melangsungkan perkawinan tentu mempunyai beberapa faktor yang
melatarbelakanginya, diantaranya adalah:
12
Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta. hlm.8
13
Yusuf Hanafi, 2011, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur, CV. Mandar
Maju, Bandung. hlm.106.
6
Fenomena pernikahan anak di bawah umur bukanlah hal yang baru bagi
masyarakat Indonesia. Ini sudah terjadi sudah sejak zaman dulu baik di kota besar
maupun di daerah pedesaan,yang menjadi alasan penyebabnya antara lain 14:
a. Persoalan ekonomi
b. Rendahnya pendidikan
c. Pemahaman budaya dan nilai agama-agama tertentu
d. Hamil terlebih dahulu sebelum menikah
Jika pada zaman dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur karena
pernikahan di usia matang mengakibatkan anggapan buruk di masyarakat, maka
sekarang Seiring dengan melajunya arus globalisasi yang berkembang dengan
cepat mengubah sikap dan cara pandang masyarakat. Menikah di usia muda
dianggap sesuatu hal yang tak pantas dan dinilai menghancurkan masa depan
perempuan.
Fenomena pernikahan di bawah umur masih saja terjadi di masyarakat
mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pranikah
sering berujung pada pernikahan usia muda. Dan lagi, kultur masyarakat yang
masih menempatkan anak perempuan sebagai warga kelas dua sehingga ingin
mempercepat pekawinannya. Ada beberapa faktor mengapa masyarakat Indonesia
masih menganut kultur yang memandang pernikahan di bawah umur adalah hal
yang wajar, antara lain 15:
a. Pandangan kedewasaan seseorang dilihat dari segi ekonomi, meskipun
usia mereka masih anak-anak
b. Kedewasaan hanya dilihat dari perubahan-perubahan fisiknya saja
c. Terjadinya kehamilan diluar nikah dan menikah adalah solusi yang sering
diambil untuk menutupi aib,
d. Tidak adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran Undang-Undang
Perkawinan,
14
Libertus Jehani, 2008, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya, Forum Sahabat, Jakarta,
hlm.23.
15
Yusuf Hanafi, op.cit. hlm 101.
7
Menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga
negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan
sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang
memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan
rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan
tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan
perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Berikut ini contoh kasus perkawinan dibawah umur yang sempat heboh di
media dan berdampak buruk pada psikologi anak adalah :16
1. Mantan Bupati Garut Aceng Fikri yang saat itu berumur 40 tahun menikahi
seorang perempuan bernama Fany Octora yang belum genap berumur 18 tahun
pada Juli 2012. Pernikahan itu hanya bertahan selama empat hari. Aceng
menceraikan Fany melalui pesan singkat dengan alasan Fany sudah tidak
perawan lagi ketika menikah.
2. Pujiono Cahyo Widianto, atau lebih dikenal sebagai Syekh Puji, adalah
pimpinan pondok pesantren Miftahul Jannah di Semarang, Jawa Tengah, dan
pengusaha bisnis kuningan. Namanya menjadi terkenal setelah ia menikahi
Lutfiana Ulfa pada 2008 yang saat itu baru berumur 12 tahun. Ulfa merupakan
istri kedua Syekh Puji. Pada 24 November 2010, Syekh Puji divonis bersalah
oleh Pengadilan Negeri Semarang dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda
60 juta karena melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. Permohonan
banding Syekh Puji juga ditolak oleh Pengadilan Tinggi Jawa Tengah. Namun,
media mengabarkan kalau Syekh Puji tidak ditahan.
3. Jun adalah yang masih berumur 13 tahun di tahun 2013 silam, ia merupakan
siswi Sekolah Dasar di Kabupaten Bangli, Bali. Suami Jun, Wayan Cidre
(40), ditetapkan sebagai tersangka atas pelanggaran Undang-Undang
Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Jun
melahirkan bayi pada usia kandungan enam bulan. Setelah delapan jam proses
16
Adelia Putri, 2015, “3 Kasus Pernikahan Dini Yang Hebohkan Indonesia”,
URL :Http://Www.Rappler.Com/World/Regions/Asia-Pacific/Indonesia/97293-Kasus-Pernikahan-
Anak-Indonesia. Diakses Pada Jumat, 28 Maret 2018, Pukul 14.00 Wita
8
persalinan normal, bayi dengan berat 600 gram dan panjang 21 cm itu berhasil
dilahirkan. Namun, setelah perawatan intensif di RSUD Bangli, nyawanya tak
tertolong.
9
Penulis menyatakan bahwa sesungguhnya penelitian yang berjudul
“Kajian Yuridis Perkawinan Anak Dibawah Umur Berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan” ini merupakan pemikiran asli penulis. Beberapa penelitian
terdahulu dengan jenis yang sama ada dalam perpustakaan skripsi dan internet
diantaranya :
10
1.5 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pembelajaran,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Untuk dapat mengembangkan diri pribadi dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Tujuan Khusus
Disamping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara spesifik
diharapkan mampu :
a. Manfaat Teoritis
b. Manfaat Praktis
11
perlindungan anak mencegah adanya perkawinan pada usia anak-anak yaitu dalam
Pasal 1 Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak,
menyatakan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Setiap anak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam
Pasal 4 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 menyatakan bahwa “setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi,” Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 35 tahun
2014 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakatnya”
Pasal 11 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 menyatakan bahwa “setiap
anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri”, Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.
23 tahun 2002 menyatakan “setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,
wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan :
a) diskriminasi
b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c) penelantaran
d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e) ketidakadilan
f) perlakuan salah lainnya.
Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab terhadap anak seperti yang tertulis di Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No.
35 tahun 2014 orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak
b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya
12
c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak dan
d) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada
Anak
Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Undang-
Undang Perlindungan Anak sama, walaupun kedua Undang-Undang tersebut
menentukan umur yang berbeda dalam penentuan kedewasaan, tidak
menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur. Hanya saja Undang-undang
Perkawinan tidak mencantumkan sanksi yang tegas dalam hal apabila terjadi
pelanggaran karena perkawinan adalah masalah perdata sehingga apabila
perkawinan di bawah umur terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak
memenuhi syarat dan dapat dibatalkan. Ketentuan ini sebenarnya tidak
menyelesaikan permasalahan dan tidak adil bagi wanita. Bagaimanapun jika
perkawinan sudah berlangsung pasti membawa akibat, dari aspek fisik maupun
psikis.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990
Konsekuensinya, Indonesia harus memajukan serta melindungi kepentingan dan
hak anak sebagai manusia, seperti tertera dalam konvensi tersebut. Dimulai
dengan mendefinisikan pengertian tentang ‘anak’ kepada masyarakat luas, seperti
tercakup dalam Pasal 1 Konvensi Hak Anak, yang mendefinisikan ‘anak’ sebagai:
“…anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali
berdasarkan Undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia
dewasa dicapai lebih awal”. Meski begitu, kecenderungan timbulnya kebingungan
akan masa pemberlakuan definisi tersebut membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
13
21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan
kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan
pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas
umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam
Peraturan Perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan
anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu
berdasarkan hukum yang berlaku.
Sedangkan dalam hukum perdata, batasan anak ini dapat dijumpai pada
Pasal 330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan lebih dahulu telah
kawin.” Tapi bagi seseorang yang belum genap berumur 21 (duapuluh satu) tahun
tetapi sudah kawin, meskipun telah bercerai, maka dianggap sudah dewasa dan
bukan dalam kategori anak-anak lagi. Menurut KUHPerdata, bagi mereka yang
belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, maka berada di
bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam Pasal 345
sampai dengan Pasal 358 KUHPerdata.17
14
mempelai,“ Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan
“untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua,” Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan “perkawinan hanya diijinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 tahun”.
Menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga
negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan
sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang
memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan
rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan
tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan
perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Perkawinan di bawah umur merupakan perbuatan melanggar Undang-
undang, terutama terkait ketentuan batas umur untuk kawin. Dari perspektif
gender, perkawinan di bawah umur merupakan bentuk ketidakadilan gender yang
dialami wanita akibat kuat berakarnya budaya patriarki pada masyarakat yang
menganggap wanita sebagai barang dan selalu berada di bawah (subordinasi).
Perkawinan di bawah umur merupakan masalah yang pelik dan sensitif.
a. Jenis Penelitian
18.
Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13.
15
dalam perkara pidana maupun perdata, sistemik hukum, taraf sinkronisasi hukum,
perbandingan hukum, dan sejarah hukum.19
b. Jenis Pendekatan
19.
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 83.
20.
Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji .op.cit. hlm. 93.
21 .
Johnny Ibrahim, 2005, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Malang, hlm. 248.
22.
Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, hlm.
93.
16
c. Bahan Hukum/Data
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat
karena dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
c. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
d. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
f. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
g. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi
tentang Hak-Hak Anak
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang meliputi antara lain : buku-buku hukum
(literatur), artikel, makalah, thesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum seperti
dokumen dan surat-surat perjanjian yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.
23.
Ashshofa Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Reneka Cipta, Jakarta,
hlm.103.
17
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum/Data
e. Teknik Analisis
18
1.9 Daftar Pustaka
Buku :
Al Ghazali, Shalih bin Ahmad, 2004, Romantika Rumah Tangga, Cendekia Sentra
Muslim, Jakarta.
Burhan, Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Reneka Cipta, Jakarta.
Hanafi, Yusuf, 2011, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur, CV. Mandar
Maju, Bandung.
Ibrahim, Johnny, 2005, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia, Malang.
Jehani, Libertus, 2008, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya, Forum Sahabat,
Jakarta.
Marzuki, Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta.
Prodjodikoro, R.Wirjono, 1984, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur,
Bandung.
Ramulyo, M.Idris, 1996, Hukum Perkawinan Islam (suatu analisis dari UU No.1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta.
Soedjito, 1986, Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri, Tiara Wacana,
Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rajawali Pers, Jakarta.
19
Website :
Adelia Putri, 2015, “3 Kasus Pernikahan Dini Yang Hebohkan Indonesia”,
URL
:Http://Www.Rappler.Com/World/Regions/Asia-Pacific/Indonesia/97293-
Kasus-Pernikahan-Anak-Indonesia.
20