Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FIQIH MUNAKAHAN

“MONOGAMI DAN POLIGAMI”

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Putri Widyawati 18130210012

Diana Ayu Permata Sari 18130210098

Alfan Zamzami Nurhaq 18130210197

Kelas 6 Keuangan 1

Dosen Pengampu : A.M.MaqhdumBiahmada,M.Pd

PRODI MANAJEMEN/FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM KADIRI KEDIRI

TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Fiqih Munakah ini. Shalawat dan salam tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tentunya merupakan satu-satunya nabi yang
dapat memberi syafaat kepada umat manusia. Dan mudah-mudahan kita termasuk orang-orang
yang mendapatkan syafaat. Amin

Selanjutnya tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada kepada dosen
pembimbing dan teman-teman yang telah membantu kami menyelesaikan makalah ini, kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini oleh karena itu kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya dan kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari
dosen pembimbing dan teman-teman sekalian. Demikian makalah yang kami susun semoga
dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam memahami apa
itu monogami dan poligami khususnya bagi penulis maupun pembaca.amin.

Kediri, 14 Maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2

DAFTAR ISI..................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................................. 4


B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
C. Tujuan Masalah ................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Monogami dan Poligami ................................................................ 6


B. Pendapat Ulama’ Tentang Monogami Dan Poligami ...………………………7
C. Pandangan Tentang Monogam dan Poligami Dalam Konteks Indonesia ......11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................................... 15
B. Saran ............................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. Indonesia sebagai negara multikultural, yang mana didalamnya
terdapat dan hidup berbagai macam struktur budaya. Setiap budaya tersebut berbeda-beda antara
kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini tercipta dari adanya
keberagaman suku bangsa yang ada dan dimilki oleh Indonesia. Perbedaan budaya ini tentu
membuat suatu bentuk pernikahan yang ada di dalam masyarakatpun memiliki perbedaan, baik
itu proses pernikahan maupun bentuk pernikahannya. Dalam suatu pernikahan yang
dilangsungkan seorang pria dengan wanita tidak lepas pula dari suatu agama yang mengatur
pernikahan tersebut.

Pada saat ini sudah zamannya semakin berkembang dan semakin modern, tentu banyak
hal-hal yang dari dulu ada semakin bertambah menjadi hal yang tidak asing di kalangan
masyarakat. Seperti halnya poligami dan monogami. Hal tersebut merupakan masalah yang
sangat ramai dibicarakan di masyarakat, tentu hal itu memicu adanya banyak informasi tentang
poligami dan monogami. Baik informasi yang didapatkan memang benar faktanya atau hanya
berita yang belum tentu benar. Karena pada dasarnya bagi orang-orang awam masih belum
memahami betul apa itu poligami dan monogami. Hal tersebut membuat masyarakat bingung,
karena informasi yang mereka dapatkan membingungkan. Ada yang memperbolehkan,
mensunnahkan, makruh atau bahkan melarang. Untuk mengatasi hal tersebut, harus ada
sosialiasi, seminar atau hal sebagainya untuk membahas lebih dalam mengenai poligami dan
monogami agar tidak ada kesalahpahaman di semua pihak, baik masyarakat, pemerintah dan para
ulama.

Dengan demikian untuk mendapat sedikit pencerahan, pemakalah kali ini akan
membahas mengenai Poligami dan Monogami.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian monogami dan poligami?
2. Bagaimana pendapat ulama’ tentang monogami dan poligami?
3. Bagaimana pandangan tentang monogami dan poligami dalam konteks Indonesia?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa itu monogami dan poligami
2. Untuk mengetahui bagaimana pendapat ulama’ tentang monogami dan poligami
3. Untuk mnengetahui bagaimana pandangan tentang monogami dan poligami dalam konteks
Indonesia

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Monogami Dan Poligami
a. Monogami

Pernikahan monogami yaitu hanya memiliki satu pasangan hidup,yaitu pernikahan


yang umum atau sering kali kita jumpai. Pernikahan jenis ini juga dapat melahirkan
perasaan cinta dan keikhlasan /kesetiaan. Asas penting lain yang dianut system undang-
undang perkawinan islam di Dunia Islam pada umumnya adalah asas monogami, yakni
asas yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka
waktu tertentu. Namun demikian, tidak sama dengan sistem hukum lain katakanlah
hukum barat yang melarang poligami secara mutlak, hukum islam termasuk hukum
dalam bentuk perundang-undangannya memberi kemungkinan atau tepatnya
membolehkan poligami bagi orang tertentu, dengan alasan tertentu, dalam keadaan
tertentu, dan dengan syarat-syarat yang dimaksudkan ialah bahwa poligami dilakukan
harus atas sepengetahuan istri atau istri-istri yang telah ada, berkemampuan secara
ekonomis dan memperoleh izin dari pengadilan yang berwenang.

b. Poligami

Poligami adalah mengawini beberapa lawan jenis di waktu yang bersamaan.


Menurut Drs. Sidi Ghazalba poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki
dengan perempuan lebih dari seorang. Menurut Mahmud Syaltut, hukum poligami
adalah mubah, selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para istri.
Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk
melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan agar
mencukupkan beristri satu orang saja. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kebolehan
berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan kekhawatiran
akan terjadinya penganiayaan, yaitu penganiayaan terhadap para istri.

Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada
dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.

6
Juga seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40
dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari satu, ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan
tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri
berdasarkan PP No. 10 tahun 1983 Poligaami praktis dilarang.

B. Pendapat Ulama’ Tentang Monogami Dan Poligami

Zamahsyari, dalam kitabnya tafsir Al-Kasysyaf mengatakan, poligami menurut syariat


Islam adalah merupakan suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat, sama halnya
dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa pada bulan
Ramadhan ketika dalam perjalanan. Dasar hukum poligami disebutkan dalam Q. S. An-Nisa’:3.

Artinya: “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-
perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS An-Nisa’:3).

Dalam ayat ini disebutkan bahwa para wali yatim boleh mengawini perempuan yatim
asuhnya, dengan syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia
mengawini perempuan lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ketika ditanya oleh Urwah
bin Al-Zubair ra. Mengenai maksud ayat 3 surah An-Nisa’ tersebut.

Berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 3 bahwasanya Islam tidak mengharuskan seorang laki-
laki untuk menikah dan memiliki istri lebih dari satu. Akan tetapi, seandainya ia ingin
melakuknnya, ia diperbolehkan. Biasanya sistem poligami tidak akan digunakan kecuali dalam
kondisi mendesak saja. Poligami tidak akan ada kecuali jika membludaknnya jumlah
perempuan. Tujuan mengapa harus disyariatkan poligami adalah agar tidak ada satupun
perempuan muslimah di mana pun mereka berada hidup dalam sebuah masyarakat tanpa
memiliki suami. Semuannya bertujuan agar lingkungan tersebut terbebas dari kesesatan dan

7
peremupan ketika mereka mendapatkan posisi sebagai istri kedua tidak akan melakukan hal
yang menyimpang. Sekalipun ia tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi istri yang
pertama. Perempuan tersebut benar-benar telah menggunakan kesempatan emas, bahwasanya
menjadi istri yang kedua lebih baik daripada tidak menikah sama sekali. Sebenarnya poligami
disyariatkan untuk memecahkan berbagai problematika hidup yang dialami oleh kaum
perempuan. Di samping itu, untuk mengatasi berbagai penyimpangan yang terjadi dalam
masyarakat seandainya terdapat jumlah perempuan yang sangat besar. Sistem poligami ini
kebanyakan dapat menjaga kehidupan istri yang pertama dan kedua.

Syekh Muhammad Abduh mengatakan bahwa haram berpoligami, bagi seseorang yang
merasa khawatir akan tidak berlaku adil. Ayat 3 surah An-Nisa’ tersebut dipahami oleh
mayoritas muslimin semenjak masa hidup Rsaulullah sampai kepada masa para
ulama mujtahidih, bahkan para mufassir kontemporer, dapat dirumuskan hukum-hukum sebagai
berikut dan sekaligus sebagai tanggapan terhadap pemohon uji UUP No. 1 Tahun 1974. Maka
secara tidak langsung, ayat 3 surah An-Nisa’ itu memberi isyarat bahwa kemampuan untuk
memberi nafkah dan lain-lain yang diperlukan dalam rumah tangga hendaklah dimiliki oleh
siapa yang hendak berpoligami. Ini merupakan sanggahan kepada pemohon yang mengatakan
bahwa adanya kemampuan sebagai salah satu syarat dibolehkan poligami seperti disebutkan
dalam UUP No. 1 Tahun 1974 pasal 5 ayat (1) huruf b, yaitu: adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, itu merugikan
pemohon khususnya dan umat Islam pada umunya, karena pasal ini merupakan perwujudan dari
kesewenang-wenangan untuk menghambat atau mempersulit pemohon untuk berpoligami.
Syarat kepastian bisa menjamin nafkah jelas tidak ada dalam aturan Islam karena yang
menjamin rezeki istri dan anak itu Tuhan bukan manusia. Ungkapan permohonan dapat
dijawab bahwa kata “‫ ”االتعو لو ا‬yang telah ditafsirkan di atas merupakan dalil Al-Quran tentang
perlu adanya syarat kemampuan memberi nafkah kepada istri-istri dan anak-anak jika hendak
berpoligami.

Hukum poligini itu mubah, tetapi penekanan syariatnya bukan itu. Penekanannya adalah
pada ‘keadilan’. Syariat poligini dalam al-Qur’an terkait dengan tema sentral yaitu
keprihatinan akan nasib para perempuan janda dan anak-anak yatim korban peperangan ketika
itu (ayat QS. Al-Nisa’: 2, 4,5 dan 6). Mubah itu artinya tidak wajib (dianjurkan), tidak

8
haram (dilarang), juga tidak sunnah. Bahwa seorang lelaki ‘yang mampu’ dan dalam
‘kondisi tertentu’ itu boleh mempunyai istri hingga empat orang. Penulis katakan ‘yang
mampu’ karena jika dilihat dari teks ayatnya, jelas memberi penekanan kepada kemampuan
adil dan memberi nafkah. Makna ‘adil’ sendiri dalam konsep poligini meliputi adil dalam
nafkah lahir dan nafkah batin. Sedang berbuat ‘adil’ itu dinyatakan al-Qur’an sangat berat
sekali (al-Nisa’: 129).

Kemudian dalam ‘kondisi tertentu’ membawa maksud bahwa poligami itu tidak bebas,
tetapi hanya sebagai jalan darurat. Hal ini merujuk pada konteks social (asbab al-nuzul)
ayat poligami tersebut diturunkan. Maka dari itu, hanya pada lelaki tertentu yang diberi
permisi untuk berpoligini dan bukan merupakan dispensasi pada setiap lelaki.

Berikut ini akan diuraikan salah satu pendapat para ulama klasik tentang poligami
dalam Islam, yang dibagi kepada para ulama fiqh dan ulama ahli tafsir:
Pendapat Fuqaha :

1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi menginterpretasikan surat al-Nisa [4]: 3 secara berbeda
dengan pendapat umum. Pendapat ini diwakili oleh Abu Bakar Jassas Razi yang
mengatakan dalam Ahkam al-Qur’an, bahwa kata yatim dalam ayat tersebut tidak
berarti anak yang ditinggal mati ayahnya semata, tetapi mencakup janda yang ditinggal
mati suaminya juga.
Poligini dibolehkan tetapi syaratnya harus adil,Namun jika seseorang khawatir
tidak bisa berbuat adil dalam nafkah lahir (sandang, pangan dan papan) dan nafkah
batin (membagi giliran tidur) terhadap istri-istrinya, maka Allah menganjurkan kaum
lelaki untuk menikah dengan satu istri saja. Karena bersikap adil dalam nafkah [lahir-
batin] merupakan kewajiban syar’i yang bersifat dlarurah.
Dan itu sungguh berat sekali. Dlarurah berarti suatu keperluan yang harus
ditunaikan karena ia sangat penting dan pokok. Antara bentuk perlakuan adil
terhadap beberapa istri adalah nafkah lahir yang berkaitan dengan materi (seperti
makanan, tempat tinggal dan pakaian) harus sama. Baik diberikan pada istri merdeka
maupun hamba sahaya, karena semua itu merupakan keperluan- keperluan primer.

9
Suami juga dilarang mengganti kewajiban nafkah batinnya dengan uang. Demikian
pula bagi istrinya, tidak boleh memberikan uang kepada suaminya agar mendapat
jadwal giliran lebih dari istri yang lain.

2. Mazhab Maliki
Dalam kebanyakan buku-buku ulama Malikiyah membahas seputar hukum
poligini hamba sahaya, keharaman beristri lebih dari empat orang serta kewajiban
membagi jadwal giliran terhadap istri-istrinya. Menurut Imam Malik dalam buku Al-
Muwattha’ yang merupakan buku fiqh pertama yang ditulis secara sistematik--
seorang hamba sahaya dalam hal poligami juga sama dengan orang merdeka, mereka
sama-sama dibolehkan mempunyai istri sampai empat orang, karena ayat tersebut
bersifat umum.
Meskipun ketika ini sudah tiada hamba-hamba sahaya, tetapi tetap harus diakui
bahwa pendapat ini progresif daripada pendapat ulama fiqh lain yang sezamannya
dalam mengakui hak-hak seorang hamba sama dengan hak-hak yang merdeka.
Menjadikan pendapat ini berbeda dengan pendapat sebagian besar fuqaha yang
mengatakan bahwa seorang hamba hanya diperbolehkan menikahi dua istri saja, karena
hak-hak hamba sahaya ditetapkan hanya separo dari hak-hak orang merdeka.
Sementara masalah sikap adil, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa kewajiban
bersikap adil di antara para istri sudah menjadi ijma’ ulama yang tidak boleh ditawar-
tawar lagi. Secara umum, dalam masalah ‘keadilan’ di sini menunjukkan bahwa
poligini (baik untuk yang merdeka maupun hamba) dalam pandangan ulama
Malikiyah tak berbeda dengan pendapat sebagian besar ulama lainnya, yakni poligami
dibolehkan tetapi yang menjadi pertimbangan utama adalah tetap harus berlaku adil.

3. Mazhab Syafi`i
Imam Syafi`I tidak membahas poligami secara spesifik dalam buku fiqhnya yang
sangat monumental, yakni al-Umm. Beliau hanya membicarakan perempuan yang
boleh atau tidak boleh dipoligami dan mengenai batasan jumlah istri. Menurut
Imam Syafi`I, perempuan yang tidak boleh dipoligini secara mutlak dalam waktu yang

10
sama adalah kakak beradik, baik ia seorang hamba maupun merdeka, Demikian
juga larangan mengawini antara perempuan dan tantenya.
Sedangkan mengenai jumlah istri yang dibolehkan menurut syariat Islam
adalah terbatas empat orang dan batasan ini hanya berlaku kepada perempuan merdeka
saja. Sementara pada hamba-hamba wanita boleh dipoligami tanpa ada batasan.
Namun, sepanjang kajian ini, Imam Syafi`i sama sekali tidak berbicara tentang
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin berpoligini. Hanya saja,
di dalam satu bab khusus yang bertema ‚Kitab Asyrah al-Nisa`‛, Syafi`i berbicara
tentang masalah bagaimana seharusnya seorang suami mempergauli istrinya
dengan baik, kewajiban dan cara bergilir bagi seorang lelaki yang berpoligini. Syafi`i
juga menegaskan bahwa antara suami dan istri memiliki hak dan kewajiban masing-
masing. Dikatakan juga bahwasanya seorang yang berpoligami harus adil dalam
memberikan jatah kunjungan kepada semua istrinya dengan perhitungan berdasarkan
kuantitas. Tidak ada alasan untuk tidak menggilir seorang istri walau istri tersebut
dalam keadaan sakit parah,dll, kecuali jika istri tersebut menyerahkan jatahnya kepada
istri yang lain. Pandangan ini bisa ditafsirkan membawa kesan kepada keadilan dalam
relasi gender, yaitu antara suami dan istri itu harus saling pengertian, saling
menghormati hak masing-masing dan tidak boleh bertindak kasar kepada salah satu
pasangannya. Memandangkan dunia luar Islam ketika itu masih kental dalam
mengeksploitasi hak-hak perempuan.

C. Pandangan Tentang Monogam dan Poligami Dalam Konteks Indonesia

Pasal 5 ayat (1) huruf A Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yaitu mengenai adanya persetujuan istri-istri bagi suami yang mengajukan izin
poligami, adalah sifat mengatur pelaksanaan kebolehan berpoligami, bukan menutup
kebolehannya. Dalam pandang fikhih poligami diperbolehkan dengan beberapa
persyaratan : Yang menikah adalah laki-laki, jumlahnya hanya dibatasi empat orang
perempuan sesuai denga surat AnNisa ayat 3, dan kesanggupan laki laki untuk dapat berbuat
adil atas cinta, giliran menggaulinya, dan pemberian nafkah.

11
Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri bagi suami yang bermaksud ingin
menikah lagi dengan wanita lain (berpoligami) adalah salah satu syarat untuk mengajukan
permohonan izin berpoligami kepengadilan Agama (pasal 4 ayat (1) dan pasal 5 ayat
(1)huruf a Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Selain persyaratan adanya persetujuan istri, masih tedapat dua persyaratan lagi, yaitu
adanya kepastian bahwa suami yang besangkutan mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isti dan anak-anak mereka dan adanya jaminan bahwa suami akan belaku adil terhadap
istri keperluan hidup istri dan anak-anak mereka dan adanya jaminan bahwa suami
akan berlaku adil terhadap istri istri dan anak anak mereka (Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
c).

Pengadilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari


keadilan bagi yang beragama Islam mengenai perkara Perdata tertentu, berwenang
mengabulkan/mengizinkan atau tidak mengabulkan/tidak mengizinkan permohonan izin
poligami yang diajukan oleh seorang suami (Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No.
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Pasal
49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta Pasal 4
Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ).

Pengadilan Agama akan mmberikan izin kepada seorang suami untuk berpoligami
apabila terbukti bahwa :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidak dapat menlahirkan keturunan.

Diperbolehkan poligami itu hanya karena keadaan kebutuhan yang mendesak. (Undang
undang No.1 thn 1974 tentang perkawinan ) akan halnya akan ketentuan pasal 5 ayat (1)
huruf a Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang berbunyi " Adanya persetujuan dari
istri/istri-istri" sebagai sala satu syarat bagi suami yang ingin mengajukan permohonan izin
poligami ke Pengadilan Agama, para perumus Undang-undang tesebut, khususnya dari
kalangan umat Islam, jelas tidak berbuat sekehendak hati dan tanpa mengindakan

12
ketentuan-ketentuan Al-Qur an khususnya surat AnNisa ayat 3 sebagaimana dituduhkan
sebagian orang. Lahirnya ketentuan pasal tersebut adalah berdasarkan pertimbangan matang
dan mendalam yang mengacu pada " mashlahah al ummah" dan tujuan syariat perkawinan itu
sendiri. Terlebih-lebih lagi mengingat kenyataan tidak sedikit suami yang sewenang-wenang
melakukan perkawinan poligami secara berlebihan dan menyalahgunakan kebolehan yang
diberikan, yang mengakibatkan terlantarnya kepentingan istri dan anak-anak, sesuatu yang
bertentangan dengan prinsip ajaran islam.

Tidak perlu dipungkiri, memang ada sebagian suami mendapatkan kebaikan


(kemaslahatan) dari perkawinan poligaminya. Tetapi tak dapat dipungkiri juga
perkawinan poligami tersebut dapat membawa kerusakan (mafsadat) bagi kehidupan kelu-
arganya, apabila dilakukan tanpa alasan, pertimbangan yang matang, dan pikiran yang
jerni. Berdasarkan cara berfikir hukum Islam, menghindarkan kemungkinan datangnya
kerusakan (mafsadat) haruslah lebih diutamakan dari kemungkinan memperoleh kebaikan
(maslahah). Kaidah fikhiyah menyebutkan : " dar'ul mafaasid muqodimu 'ala-jalbil-mashalih."

Dari ketentuan peraturan perundangan tersebut diatas secara jelas dapat disimpulkan
bahwa hukum tidak memberikan keleluasaan bagi para suami untuk melakukan perkawinan
poligami. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bukan menganut azas monogamy. Seorang suami
hanya dapat menikah lagi dengan wanita lain apabila is lebih daulu memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh undang-undang.

Kalau pemohon mengatakan bahwa persyaratan boleh poligami dengan syarat yag sangat
ketat dalam UUP No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah melanggar hak asasi pemohon, karena
menghambat pemohon untuk beribadah, perlu diketahui oleh pemohon bahwa ibadah itu ada
aturan-aturannya. Pelaksanaan ibadah haji yang merupakan salah satu rukun Islam yang kelima,
disyaratkan bahwa yang wajib melaksanakannya adalah hanya orang-orang yang mampu biaya
dan fisiknya (QS. Ali Imron:97). Dengan demikian, maka syarat yang ketat dalam berpoligami
yang disebutkan dalam UUP No.1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
pemohon.

Kalau pemohon mengatakan bahwa berpoligami itu adalah masalah pribadi dan terkait
dengan kebebasan beragama dan hak asasi, yang karena itu negara tidak boleh intervensi,

13
pandangan seperti ini dapat ditolak karena menunaikan ibadah haji juga adalah urusan pribadi,
tetapii negara /pemerintah intervensi dalam pelaksanaannya demi kemaslahatan bersama warga
negara Indonesia yang melaksanakannya. Demikian pulalah halnya poligami karena akibatnya
banyak menyengsarakan dan menelentarkan anak dan istri, dimana yang demikian itu melanggar
hak asasi istri dan anak, maka pemerintah perlu membuat undang-undang yang dapat mengatur
masalah poligami. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan UUP No. 1 Tahun 1974 sebagai
pedoman dalam pelaksanaan perkawinan demi kemaslahatan warga negaranya. Oleh sebab itu,
sebagai warga negara yang baik harus mematuhi undang-undang dan peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan firman Allah QS An-Nisa’ : 59.

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Muhammad) dan
ulil amri (pemegang kekuasaan) dari kamu.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan tentang syarat-syarat


dibolehkan berpoligami yang menurut pemohon adalah melanggar hak asasinya karena
menghalanginya untuk beribadah, maka dapat dijawab bahwa syarat-syarat dibolehkan
berpoligami yang ditetapkan dalam UUP No. 1 tahun 1974 itu tidak melanggar hak asasi karena
asas perkawinan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami. Kebolehan berpoligami hanya
sebagai alternatif atau karena darurat, seperti telah diuraikan di atas. Kalau seseorang dilarang
untuk berkeluarga /menikah itu melanggar hak asasi karena dapat menyeret kepada perbuatan
zina dan mengembangkan keturunan sehingga tidak dikenakan syarat harus mampu, tetapi
berpoligami tidak dibolehkan secara mutlak. Sudah disyaratkan harus mampu (secara fisik dan
ekonomi) karena sudah ada istri dan dengannya ia sudah terhindar dari perbuatan zina. Sekarang
tidak bisa berlaku adil jika tidak memiliki kemampuan memberi nafkah kepada istri-istri dan
anak-anak. Boleh berpoligami dengan syarat adil, sedangkan sudah mampu belum tentu
seseorang dapat berlaku adil dalam berpoligami.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pernikahan monogami adalah pernikahan dengan satu pasangan/cukup satu istri
sedangakan poligami adalah menikah dengan istri lebih dari satu,bisa dua sampai 4
istri.
Berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 3 bahwasanya Islam tidak mengharuskan seorang
laki-laki untuk menikah dan memiliki istri lebih dari satu. Akan tetapi, seandainya ia
ingin melakuknnya, ia diperbolehkan. Biasanya sistem poligami tidak akan digunakan
kecuali dalam kondisi mendesak saja. Poligami tidak akan ada kecuali jika
membludaknnya jumlah perempuan. Tujuan mengapa harus disyariatkan poligami
adalah agar tidak ada satupun perempuan muslimah di mana pun mereka berada hidup
dalam sebuah masyarakat tanpa memiliki suami.
Hukum poligini itu mubah, tetapi penekanan syariatnya bukan itu.
Penekanannya adalah pada ‘keadilan’.
Pengadilan Agama akan mmberikan izin kepada seorang suami untuk
berpoligami apabila terbukti bahwa :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau tidak dapat disembuhkan

c. Istri tidak dapat menlahirkan keturunan.

Dari ketentuan peraturan perundangan tersebut diatas secara jelas dapat


disimpulkan bahwa hukum tidak memberikan keleluasaan bagi para suami untuk
melakukan perkawinan poligami. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bukan menganut
azas monogamy. Seorang suami hanya dapat menikah lagi dengan wanita lain apabila
istri lebih dahulu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang.
B. Saran
Kami menyadarai bahwa dalam penyusunan makalah ini masih belum adanya
kesempurnaan di dalam pembahasanya, maka dari itulah penulis berharap adanya suatu

15
kritik dan saran yang dapat membangun bagi penulis dalam menyelesaikan makalah
yang akan ditulis berikutnya.
Sebelum dan sesudahnya penulis mohon maaf dalam penulisan masih banyak
kekurangan dan salah penulisan dalam makalah ini. Besar harapan kami makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

AnneAhira.com Content Team. 2012. “Menyikapi Poligami dan Monogami dalam


Islam”,http://www.anneahira.com/monogami-dalam-islam.htm.

Departemen Agama RI., Al-Qur'an dun TernemahannYa, Jakarta : Yayasan Penerjemah


KitabSuci 1988

Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang Undangan claimlingkungan


Peradilan Agama, Cet : III; Jakarta : Yayasan Al- Himah, 1993.

Saiidah,Najmah.2012.“Poligami: Solusi, bukan Problem”,http://groups.yahoo.com/group/daarut-


tauhiid/message/24905. Diakses: Rabu (25/4),pukul 04.59 Wib.

Syarifuddin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet II. Jakarta: Kencana.

17

Anda mungkin juga menyukai