Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu
suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat .
(berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada
suatu saat). Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligami (seorang pria memiliki beberapa istri
sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan
kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligami dan poliandri). Ketiga
bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligami merupakan bentuk yang
paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang
oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligami, karena mereka
menganggap poligami sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita. 1
Islam pada dasarnya memperbolehkan seorang pria beristri lebih dari satu (poligami).
Dan islam juga memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat
sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya. Poligami dalam Islam baik dalam
hukum maupun praktiknya, diterapkan secara bervariasi di tiap-tiap negara dengan mayoritas
penduduk beragama Islam. Di Indonesia sendiri terdapat hukum yang memperketat aturan
poligami untuk pegawai negeri, dan sedang dalam wacana untuk diberlakukan kepada publik
secara umum. Tunisia adalah merupakan contoh negara arab dimana poligini tidak
diperbolehkan.
2. Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan
menjadi isterinya.
Misalnya, menikah dengan kakak dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan ibu
saudara baik sebelah ayah maupun ibu. Tujuan pengharaman ini ialah untuk menjaga
silaturrahim antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah SAW bersabda, yang berarti bahwa :
"Sesungguhnya kalau kamu berbuat yang demikian itu, akibatnya kamu akan memutuskan
silaturrahim di antara sesama kamu." (Hadis riwayat Bukhari & Muslim)
3. Berlaku adil,
sebagaimana yang difirmankan Allah (SWT);
"Kemudian jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu), maka
(kahwinlah dengan) seorang sahaja, atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang kaumiliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan
kezaliman." (QS An-nisa’ ayat 3)
Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan
berpoligami. Maka andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri,
cukuplah tiga orang saja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua saja. Dan
kalau dua itu pun masih khawatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan
seorang saja.
Para mufassirin berpendapat bahawa berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah berarti
hanya adil terhadap para isteri saja, tetapi mengandungi arti berlaku adil secara mutlak. Oleh
karena itu seorang suami hendaklah berlaku adil dalam hal sebagai berikut:
Berlaku adil terhadap dirinya sendiri.
Seorang suami yang selalu sakit-sakitan dan mengalami kesukaran untuk bekerja mencari rezeki,
sudah tentu tidak akan dapat memelihara beberapa orang isteri. Apabila dia tetap berpoligami, ini
berarti dia telah menganiayai dirinya sendiri. Sikap yang demikian adalah tidak adil.
Adil di antara para isteri.
Setiap isteri berhak mendapatkan hak masing-masing dari suaminya, berupa kemesraan
hubungan jiwa, nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan perkara lain-lain nya yang
diwajibkan Allah kepada suami.
Adil di antara isteri-isteri ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah dalam alqur’an pada
surat an-nisa’ ayat 3 dan juga sunnah Rasul. Rasulullah SAW bersabda, yang berarti bahwasanya
: "Barangsiapa yang mempunyai dua isteri, lalu dia cenderung kepada salah seorang di
antaranya dan tidak berlaku adil antara mereka berdua, maka kelak di hari kiamat dia akan
datang dengan keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah." (Hadis riwayat Ahmad bin
Hanbal)
Adil memberikan nafkah.
Dalam soal adil memberikan nafkah ini, hendaklah si suami tidak mengurangi nafkah dari salah
seorang isterinya dengan alasan bahawa si isteri itu kaya atau ada sumber kewangannya, kecuali
kalau si isteri itu rela. Suami memang boleh menganjurkan isterinya untuk membantu dalam soal
nafkah tetapi tanpa paksaan. Memberi nafkah yang lebih kepada seorang isteri dari yang lain-
lainnya diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Misalnya, si isteri tersebut sakit dan
memerlukan biaya rawatan sebagai tambahan.
Prinsip adil ini tidak ada perbezaannya antara gadis dan janda, isteri lama atau isteri baru, isteri
yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik atau yang tidak cantik, yang berpendidikan
tinggi atau yang buta huruf, kaya atau miskin, yang sakit atau yang sihat, yang mandul atau yang
dapat melahirkan. Kesemuanya mempunyai hak yang sama sebagai isteri.
Adil dalam menyediakan tempat tinggal.
Selanjutnya, para ulama telah sepakat mengatakan bahawa suami bertanggungjawab
menyediakan tempat tinggal yang tersendiri untuk tiap-tiap isteri berserta anak-anaknya sesuai
dengan kemampuan suami. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kesejahteraan isteri-isteri,
jangan sampai timbul rasa cemburu atau pertengkaran yang tidak diingini.
Adil dalam giliran.
Demikian juga, isteri berhak mendapat giliran suaminya menginap di rumahnya sama lamanya
dengan waktu menginap di rumah isteri-isteri yang lain. Sekurang-kurangnya si suami mesti
menginap di rumah seorang isteri satu malam suntuk tidak boleh kurang.
Begitu juga pada isteri-isteri yang lain. Walaupun ada di antara mereka yang dalam keadaan
haidh, nifas atau sakit, suami wajib adil dalam soal ini. Sebab, tujuan perkawinan dalam Islam
bukanlah semata-mata untuk mengadakan 'hubungan seks' dengan isteri pada malam giliran itu,
tetapi bermaksud untuk menyempumakan kemesraan, kasih sayang dan kerukunan antara suami
isteri itu sendiri. Hal ini diterangkan Allah dengan firman-Nya;
"Maka sesiapa berbuat kebajikan seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam surat
amalnya)! Dan sesiapa berbuat kejahatan seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam surat
amalnya)."
Anak-anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih
sayang yang adil dari seorang ayah.
Oleh itu, disyaratkan agar setiap suami yang berpoligami tidak membeza-bezakan antara anak si
anu dengan anak si anu. Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah diperhatikan bahawa
nafkah anak yang masih kecil berbeza dengan anak yang sudah besar. Anak-anak perempuan
berbeza pula dengan anak-anak lelaki. Tidak kira dari ibu yang mana, kesemuanya mereka
berhak memiliki kasih sayang serta perhatian yang seksama dari bapa mereka. Jangan sampai
mereka diterlantarkan kerana kecenderungan si bapa pada salah seorang isteri serta anak-
anaknya sahaja.
Keadilan juga sangat dituntut oleh Islam agar dengan demikian si suami terpelihara dari sikap
curang yang dapat merusakkan rumah tangganya. Seterusnya, diharapkan pula dapat memelihara
dari terjadinya cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan rasa dendam di antara
sesama isteri.
Sesungguhnya kalau diperhatikan tuntutan syara’ dalam hal menegakkan keadilan antara para
isteri, nyatalah bahawa sukar sekali didapati orang yang sanggup menegakkan keadilan itu
dengan sewajarnya.
Bersikap adil dalam hal-hal menzahirkan cinta dan kasih sayang terhadap isteri-isteri, adalah satu
tanggungjawab yang sangat berat. Walau bagaimanapun, ia termasuk perkara yang berada dalam
kemampuan manusia. Lain halnya dengan berlaku adil dalam soal kasih sayang, kecenderungan
hati dan perkara-perkara yang manusia tidak berkesanggupan melakukannya, mengikut tabiat
semula jadi manusia.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah difirmankan Allah dalam Alqur’an surat An-nisa’ ayat 129
yang berarti;
"Dan kamu tidak sekali-kali akan sanggup berlaku adil di antara isteri-isteri kamu sekalipun
kamu bersungguh-sungguh (hendak melakukannya); oleh itu janganlah kamu cenderung dengan
melampau-lampau (berat sebelah kepada isteri yang kamu sayangi) sehingga kamu biarkan
isteri yang lain seperti benda yang tergantung (di awang-awang)."
Selanjutnya Siti 'Aisyah (r.a.) menerangkan, bahwa;
Rasulullah SAW selalu berlaku adil dalam mengadakan pembahagian antara isteri-isterinya.
Dan beliau berkata dalam doanya: "Ya Allah, inilah kemampuanku membahagi apa yang ada
dalam milikku. Ya Allah, janganlah aku dimarahi dalam membahagi apa yang menjadi milikku
dan apa yang bukan milikku."
2. POLIANDRI
ُُصنَاتَ ْساء ِمنَُ َو ْال ُمح َ ِلا الن ُْ َاب أ َ ْي َمانُ ُك ُْم َملَك
ُ َِت َما إ ُ ل َعلَ ْي ُك ُْم
َُ للاِ ِكت ُصنِينَُ بِأ َ ْم َوا ِل ُكم ت َ ْبتَغُوُاْ أَن ذَ ِل ُك ُْم َو َراء اما لَ ُكم َوأ ُ ِح ا َُ سافِ ِحينَُ َغي
ِ ْْر ُّمح َ ُم
ن ِب ُِه ا ْست َْمتَ ْعتُم فَ َما ُُن فَآتُوه ا
ُُن ِم ْن ُه ا َ ضةُ أ ُ ُج
ُوره ا َ لَ فَ ِري َُ ض ْيتُم فِي َما َعلَ ْي ُك ُْم ُجنَا
ُ ح َو َ ن ْالفَ ِري
َ ض ُِة بَ ْع ُِد ِمن ِب ُِه ت ََرا ُللاَ ِإ اُ َُ َح ِكيما َع ِليما كَان.
Sabab al-Nuzul
Selain beberapa tipe perkawinan di atas, Fyzee yang mengutip pendapat Abdur Rahim dalam
buku Kasf Al-Gumma, menjelaskan beberapa perkawinan lain yang terjadi pada bangsa Arab
sebelum datangnya islam, sebagai berikut:
1. Bentuk perkawinan yang diberi sanksi oleh islam, yakni seorang meminta kepada orang lain
untuk menikahi saudara perempuan atau budak dengan bayaran tertentu(mirip kawin kontrak)
2. Prostitusi, sudah dikenal. Biasanya dilakukan kepada para pendatang(tamu) ditenda-tenda
dengan cara mengibarkan bendera sebagai tanda memenggil. Jika wanitanya hamil, ia akan
memilih diantara laki-laki yang mengencaninya sebagai bapak-bapak dari anak yang dikandung.
3. Bentuknya semacam kawin kontrak. Dalam perkawinan ini ditentukan waktunya dan
syaratnya. Perkawinan ini akan berakhir apabila waktunya habis berdasarkan syarat yang
ditentukan sebelumnya. Menurut berbagai kalangan, perkawinan semacam ini haram hanyaa saja
Syi’ah Istna Ashari yang masih menghalalkannya.
Ayat ke-24 di atas melarang seorang laki-laki menikahi wanita yang telah bersuami. Dengan
demikian, ayat itu menutup kemungkinan berlakunya perkawinan poliandri dalam Islam. Atau,
dilihat dari sudut pandang perempuan, ini berarti larangan kawin poliandri atau bersuami lebih
dari satu.
2.3 Wanita-wanita Yang Dilarang untuk Didekati
Ada beberapa keadaan dimana seorang wanita tidak boleh dipinang, apalagi dinikahi, yaitu:
a. Wanita yang telah bersuami
Wanita yang telah bersuami tidak boleh dipinang, meskipun dengan syarat akan dinikahi pada
waktu dia telah boleh dikawini. Seperti, “Bila kamu dicerai oleh suamimu saya akan mengawini
kamu.” Atau dengan bahasa sindiran, “Jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan
melindungimu.”
b. Wanita yang sedang menjalani iddah raj‘i
Wanita yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj‘i sama keadaannya dengan
perempuan yang sedang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang, baik dengan
bahasa terus-terang atau bahasa sindiran. Alasannya bahwa perempuan dalam iddah talak raj‘i
statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan.
c. Wanita yang dalam iddah karena kematian suaminya
Wanita yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya tidak boleh dipinang dengan
menggunakan bahasa terus-terang, namun dibolehkan meminangnya dengan bahasa sindiran.
d. Wanita yang telah dipinang orang lain
Wanita yang telah dipinang oleh orang lain tidak boleh dipinang. Hal ini dijelaskan oleh Nabi
Saw.:
ُن ه َُري َْر ُة َ أَبِي َع ْن ُ ِصلاى الناب
ُْ ي ِ َع ُسلا َُم َعلَ ْي ُِه ا
َ ُللا َُ ل قَا
َ ل َو ُ ل يَ ْخ
ُ َ ُُطب ُُ الر ُج ْ أَ ِخي ُِه ِخ.
طبَ ُِة َعلَى ا
.
1. Bahawa wanita itu mempunyai tiga halangan yaitu haid, nifas dan keadaan yang belum
betul-betul sehat selepas melahirkan. Jadi, dalam keadaan begini, Islam mengharuskan
berpoligami sampai empat orang isteri dengan tujuan kalau tiap-tiap isteri ada yang haid,
ada yang nifas dan ada pula yang masih sakit sehabis nifas, maka masih ada satu lagi
yang bebas. Dengan demikian dapatlah menyelamatkan suami daripada terjerumus ke
jurang perzinaan pada saat-saat isteri berhalangan
2. Untuk mendapatkan keturunan kerana isteri mandul tidak dapat melahirkan anak. Atau
kerana isteri sudah terlalu tua dan sudah putus haidnya. Dalam pemilihan bakal isteri,
Islam menyukai wanita yang dapat melahirkan keturunan daripada yang mandul,
walaupun sifat-sifat jasmaniahnya lebih menarik. Ini dijelaskan oleh Rasulullah dengan
sabdanya yang bermaksud, "Perempuan hitam yang mempunyai benih lebih baik dari
wanita-wanita cantik yang mandul."
3. Bahwa kaum lelaki itu mempunyai daya kemampuan seks yang berbeda-beda. Andaikan
suami mempunyai daya seks yang luar biasa, sedangkan isteri tidak dapat
mengimbanginya atau sakit dan masa haidnya terlalu lama, maka poligami adalah
langkah terbaik untuk memelihara serta menyelamatkan suami dari jatuh ke lembah
perzinaan.
4. Dengan poligami diharapkan agar dapat terhindar dari terjadinya perceraian karena isteri
mandul, sakit atau sudah terlalu tua.
5. Akibat peperangan yang biasanya melibatkan kaum lelaki, maka jumlah wanita akan
lebih banyak baik mereka itu masih gadis maupun janda.Dengan adanya poligami
diharapkan janda-janda akibat peperangan itu dapat diselamatkan serta diberi
perlindungan yang sempurna. Begitu juga untuk menghindari banyaknya jumlah gadis-
gadis tua yang tidak dapat merasakan hidup berumahtangga dan berkeluarga.
6. Karena banyaknya kaum lelaki yang berhijrah pergi merantau untuk mencari rezeki. Di
perantauan, mereka mungkin kesepian baik ketika sehat maupun sakit. Maka dalam saat-
saat begini lebih baik berpoligami daripada si suami mengadakan hubungan secara tidak
sah dengan wanita lain.
7. Untuk memberi perlindungan dan penghormatan kepada kaum wanita dari keganasan
serta kebuasan nafsu kaum lelaki yang tidak dapat menahannya. Andaikan poligami tidak
diperbolehkan, kaum lelaki akan menggunakan wanita sebagai alat untuk kesenangannya
semata-mata tanpa dibebani satu tanggungjawab. Akibatnya kaum wanita akan menjadi
simpanan atau pelacur yang tidak dilayani sebagai isteri serta tidak pula mendapatkan hak
perlindungan untuk dirinya.
2. Hikmah Larangan Poliandri
Hikmah utama dalam hal ini adalah untuk menjaga kemurnian keturunan dan kepastian
hukum seorang anak. Anak yang sejak berada dalam kandungan telah memiliki hak, harus
mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Wallahu a’lam.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya bentuk perkawinan poligami itu diperbolehkan dalam agama islam,
demikian juga Undang – Undang perkawinan di Indonesia juga melegalkannya dengan syarat-
syarat dan prosedur yang ada di Indonesia. Poligami juga memiliki sisi negatif yang sering
dilontarkan oleh orang – orang yang menentangnya, namun dibalik itu sebenarnya banyak
hikmah dari berpoligami yang tidak disadari oleh kebanyakan manusia.
Sedangkan poliandri sendiri merupakan bentuk perkawinan yang benar-benar di larang
oleh agama islam. Karena, jika ada seorang perempuan yang menikah dengan seorang lelaki
lebih dari satu orang atau lebih, niscaya dunia akan rusak, keturunan akan terlantarkan, antara
satu suami dengan suami yang lainnya akan saling berebut untuk menghindar dari kewajibannya,
membunuh, bencana merajalela, dan api peperangan akan terys menyala. Bagaimana mungkin
urusan seorang wanita bisa stabil apabila dia dimiliki orang banyak dan bagaimana mungkin
mereka (laki-laki) akan bisa bersama satu perempuann ??.5Oleh sebab itu, bentuk pernikahan
poliandri sangat lah ditentang oleh banyak kalangan, begitu juga Allah dan Rosulullah SAW.
- Lajnah min Ulama’ al-Azhar, Kairo, Hikmat al-Tasyri’ wa falsafatuh, Terjemahan OMIM-
ATM PP.Sidogiri, 2004.
- Tutik, Titik Triwulan,. Trianto., Poligami Perpektif Perikatan Nikah, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, 2007.
- http://wawan-junaidi.blogspot.com/2011/01/Pengertian-Poligami.html
-