Anda di halaman 1dari 15

POLIGAMI DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH :

1. FEBI TIARA RIZKI (1930103117)


2. NABILA HAYUN NURKHOLIS (1930103119)
3. M. MARICHO ALBAROKAH (1930103134)
4. SYAHLAN AIDIL (1930103135)
5. M.SYAHIDALLAH AL MUKARRAM (2020103058)

DOSEN PENGAMPUH :

GIBTIAH,. S.Ag,. M.Ag

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PAEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang dan puji syukur kami
panjatkan kepadanya, serta salawat dan salam kami persembahkan kepada utusan yang mulia
Muhammad SAW, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah dengan judul
“Poligami Dalam Islam”

Dalam penyusunan makalah ini kami memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak,untuk itu kami banyak mengucapkan terima kasih yang sebesar besar nya kepada dosen
dan juga kepada teman teman dan semua pihak yang telah memberi dukungan dan motivasi
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Kami menyadari bahwa
masih ada banyak kekurangan dalam penulisan maupun tata bahasa yang digunakan, untuk itu
penulis meminta kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kami tampung sebagai bahan
untuk perbaikan yang akan datang.

Akhir kata kami ucapkan terimakasih, kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

PALEMBANG, 19 SEPTERMBER 2021

PENULIS
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………..

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH …………………………………………………


B. RUMUSAN MASALAH ……………………………………………………………
C. TUJUAN …………………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN POLIGAMI …………………………………………………………


B. HIKMAH POLIGAMI ………………………………………………………………
C. YANG HARUS DILAKUKAN LAKI-LAKI JIKA INGIN POLIGAMI ………….

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ……………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………….


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Allah berfirman dalam surah An-Nisa 3 :

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak – hak) perempuan yang
yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita – wanita (lain) yang kamu
senangi: 2,3 atau 4. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.

Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang laki-laki beristeri empat orang wanita dalam
waktu yang sama. Penegasan ini dinyatakan dalam bentuk perintah. Akan tetapi, perintah pada
ayat di atas hukumnya tidak dengan sendirinya menyatakan wajib seperti halnya perintah
melakukan sholat atau puasa.1

Perintah poligami tersebut pada pokoknya hukumnya mubah, artinya bebas dilakukan
oleh setiap lelaki muslim selama yang bersangkutan dapat melakukannya dengan adil dan
memberikan kecukupan kepada isteriisterinya. Namun dalam hal ini yang perlu dingat adalah
prinsip murni dalam Islam adalah monogami, yakni perkawinan antara satu laki-laki dengan satu
perempuan, tanpa perceraian2

Salah satu persoalan fiqih munakahat yang sampai saat ini masih ramai menjadi bahan
diskusi adalah persoalan poligami. Membahas persoalan poligami ini pada umumnya hampir
setiap kitab fiqih menyoroti sisi kebolehannya saja, tanpa mengkritisi hakekat dibalik kebolehan
nya tersebut, baik secara historis, sosiologis, maupun antropologis (syafiq hasyim, 2001:161).

1
Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2001), hlm. 18.
2
Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of Islam, Terj., Nur Rachman, Syari’ah Demokratik, (Surabaya:
Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), hlm. 204
Para ulama fiqih konvensional, yaitu para ulama 4 mashab, mencatat bahwa surat An-Nisa ayat 3
adalah mendukung kebolehan poligami maksimal 4 orang. Hanya imam Syafi’i yang
menghubungkan konsep keadilan dalam An-Nisa ayat 3 dan 129. Beliau menyimpulkan bahwa
keadilan yang dituntut surat An-Nisa ayat 3 adalah keadilan yang berhubungan dengan
kebutuhan fisik, karena keadilan batiniah seperti yang tercatat dalam An-Nisa 129, mustahil akan
bisa diwujudkan.

Perbedaan pendapat para ulama menyebabkan banyak khalayak awam yang berbeda
konsep pemahaman dengan pengertian poligami. Banyak yang membolehkan atas dasar
kesenangan semata saja, namun ada pula yang benar benar mengharamkannya karena keegoan.
Sehingga banyak kontroversi.

Dari uaraian diatas kami memilih “poligami” sebagai bahan makalah ini untuk
mengetahui lebih jauh lagi tentang permasalahan poligami yang masih menjadi pro kontra
masyarakat luas.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian Poligami dalam Islam


2. Apa hikmah dari Poligami dalam Islam
3. Apa yang harus dilakukan laki-laki jika ingin poligami

C. TUJUAN

Pemakalah memilih judul “Poligami dalam Islam” agar pembaca dan juga terkhusus
pemateri memahami dan menjadikan pelajran sehari-hari terhadap hidup untuk bagaimana
menyikapi Poligami.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN POLIGAMI

Secara etimologi, kata poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu “polus” yang berarti
banyak dan “gamos” yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka
poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.  Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, poligami yaitu adat seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, dan
poliandri adalah adat seorang perempuan bersuami lebih dari seorang.

Kata-kata poligami terdiri dari kata “Poli” dan “gami” Poli berarti banyak, dan gami
artinya istri, jadi secara terminology Poligami adalah Seorang laki-laki yang memiliki atau
mempunyai lebih dari satu istri. Atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi
paling banyak 4 orang.3

Pengertian poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem perkawinan
yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang
bersamaan. Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari
seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti
perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut
poliandri yang berasal dari kata “polus” yang berarti banyak dan “andros” berarti laki-laki.

Sedangkan dalam Wikipedia disebutkan bahwa dalam antropologi sosial, poligami


merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis
kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan praktik monogami yang hanya
memiliki satu suami atau istri.

Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri
sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan
kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga
bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang
paling umum terjadi.

3
Lihat Slamet Abidin dan H. Aminudin, Op. CI, H.130
Dalam kamus Ilmiah Populer, poligami diartikan sebagai perkawinan antara seorang
dengan dua orang atau lebih (namun cenderung diartikan : perkawinan seorang suami dengan
dua istri atau lebih). Dalam Islam, pengertian poligami disebut Ta’adduz Zaujah. Dari beberapa
definisi diatas, pada intinya poligami adalah perkawinan seorang laki-laki yang memiliki istri
lebih dari satu di waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih dari
seorang dalam waktu yang bersamaan disebut dengan istilah poliandri

Dalam surah An-Nisa ayat 3 berkaitan dengan masalah ini Rasyid Ridha mengatakan
sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi4, sebagai berikut:

Islam memandang poligami lebih banyak membawa risiko daripada manfaatnya, karena
manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak
watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam keluargayang
poligamis. Dengan demikian, pologami itu bisa menjadi sumber konflik dalam berkeluarga, baik
konflik antara suami dan istri dan anak-anak dan istrinya, maupun konflik antara istri beserta
anak-anaknya masing masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut islam adalah
monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat atau watak cemburu, iri
hari, dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa menganggu ketenangan
keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya
diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri mandul, sebab menurut islam anak itu
merupakan salah satudari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia
meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan yang saleh yang
selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan
keterangan medis hasil laboratoris, suami dizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar
mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian
nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.

Suami wajib berperilaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan : pangan, pakaian,
tempat tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan lainnya yang bersifat kebendaan,
tanpa membedakan istri kaya dan istri miskin yang berasal dari keturunan tinggi dengan berasal
dari golongan bawah. Jika masing-masing istri mempunyai anak yang jumlahnya berbeda, tentu
saja dalam hal ini harus menjadi pertimbangan dalam memberikan keadilan.
4
Masyfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum(Jakarta: PT. Gita Karya, 1988), cet, ke 1, h 12
Jika suami khawatiir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka,
maka ia haram untuk melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya
hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri untuk yang keempatnya, bila ia hanya sanggup
memenuhi hak istrinya dua orang, maka ia haram menikahi untuk yang ketiga kalinya, dan
begitu seterusnya.

Berkenaan dengan ketidak adilan suami terhadap istri-istrinya, nabi saw bersabda :

Artinya : “ Barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu memberatkan kepada salah satunya,
maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahunya miring”.

Mengenai adil terhadap istri-istri terhadap masalah cinta dan kasih sayang , Abu Bakar
bin Araby mengatakan bahwa hal ini berada diluar kesanggupan manusia, sebab cinta itu adanya
dalam genggaman Allah swt, yang mampu membolak-balikannya menurut kehendakNya. Begitu
pula dengan hubungan seksual, terkadang suami bergairan dengn istri yang satu, tetapi tidak
bergairah dengan istri lainnya. Dalam hal ini apabila tidak disengaj, ia akan tidak terkena hukum
dosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh karena itu, ia tidak di paksa berlaku adil.5

Dalam kaitan ini, Aisyah r.a berkata :

Artinya : Rasulullah SAW selalu membagi giliran sesame istrinya dengan adil, dan beliau pernah
berdoa : Ya Allah, ini bagianku yang dapat aku kerjakan, Karena itu janganlah engkau
mencelakakan ku tentang apa yang engkau kuasai sedangkan aku tidak menguasainya. Abu daud
berkata : yang dimaksud dengan engkau kuasai tetapi aku tidak menguasai yaitu hati.

Menurut Al-Khatabi hadits tersebut sebagai penguat adanya wajib melakukan pembagian
yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka, dan makruh bersikap berat sebelah dalam
5
Slamet abidin dan H. Aminudin, Op, cit, h 136-137
menggaulinya, yang berarti mengurangi haknya. Tetapi tidak dilarang untuk lebih mencintai
perempuan yang satu daripada yang lainnya, karena masalah cinta berada diluar
kesanggupannya.
B. HIKMAH DARI POLIGAMI

Mengenal hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku
adil) antara lain, sebagai berikut :

1. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul
2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang
tak dapat disembuhkan.
3. Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis
akhlak lainnya.
4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal
dinegaramasyarakat yang jumlah wanita nya jauh lebih banyak dari kaum pria nya,
misal akibat peperangan yang cukup lama.

Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri kebih dari seorang, bahkan
melebihi jumlah yang maksimal yang diizinkan bagi umatnya (yang merupakan khsusyihat bagi
nabi) sebagai berikut :

1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama, Istri Nabi sebanyak 9 orang itu
bisa menjadi sumber informasi bagi umat islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran
nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah
kewanitaan/kerumahtanggaan.
2. Untuk kepentingan politik mempersatuhkan suku-suku bangsa arab dan untuk
menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan nabi dengan Juwariyah,
putri Al-Harits (kepala suku Bani Mustaliq). Demikian pula, perkawinan nabi dengan
Shafiyah (seorang tokoh dari Bani Quraizhoh dan Bani Nazhir)
3. Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan nabi dengan
beberapa janda pahlawan islam yang telah lanjut usia nya, seperti Saudah binti
Zum’ah, Hafshah binti Umar, Zainab binti Khuzaimah , dan Hindun Ummu Salamah.
Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya. Serta
penanggng untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.6

6
Ghazali, Abdur Rahman, Fiqh Munakahat(Jakarta : PRENADAMEDIA GRUP) hal 100-101
C. APA YANG HARUS DILAKUKAN SEORANG LAKI-LAKI YANG INGIN
MENJALANKAN POLIGAMI

Mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki atau prosedur mengenai
tata cara poligami yang diatur dalam islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di
Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut sebagai berikut.

PASAL 56

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan
agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari
pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan Hukum.

PASAL 57

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.


b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

PASAL 58

1. Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2), maka untuk memperoleh izin
pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang dtentukan pada pasal 5
Undang-Undang No.1 tahun 1974, yaitu
a. Adanya persetujuan Istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b peraturan Pemerintah No.9 Tahun
1975, persetujuan Istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan,
tetapi sekalipun telah ada perstujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan perstujuan
lisan istri pada sidang peradilan agama.
3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf A tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri-istrinya sekurang-kurangnya 2
tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hukum.

PASAL 59

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri
lebih dari salah satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2)
dan 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian lain setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama, dan terhadap penetapan ini
isrtri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.7

7
Ghazali, Abdur Rahman, Fiqh Munakahat(Jakarta : PRENADAMEDIA GRUP) hal 98-100
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Allah dan Rasul-Nya tidak pernah melarang poligami, maka penulis sepakat dengan para
ulama yang tidak mengharamkan poligami. Yang harus menjadi acuan kita adalah bahwa semua
ketentuan hukum Allah (hukum Islam) adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Dari sinilah
jelas bahwa disyariatkannya poligami juga demi kemaslahatan manusia. Karena itu, siapa pun
boleh melakukan poligami selama kemaslahatan itu bisa diwujudkan. Namun, jika kemaslahatan
itu tidak bisa terwujud ketika orang melakukan poligami, maka poligami tidak boleh dilakukan.

Persyaratan yang ditentukan oleh al-Quran (seperti keharusan berlaku adil) dan juga
berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh para ulama tentang poligami harus kita pahami sebagai
upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dalam pelaksanaan poligami. Penulis tidak setuju
dengan praktik poligami yang hanya sekedar untuk kesenangan belaka atau untuk
mempermainkan perempuan, seperti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita.
DAFTAR PUSTAKA

 Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, (Bandung: Irsyad Baitus


Salam, 2001)
 Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of Islam, Terj., Nur Rachman, Syari’ah
Demokratik, (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996)
 Lihat Slamet Abidin dan H. Aminudin, Op. CI,
 Masyfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum(Jakarta: PT. Gita Karya, 1988)
 Slamet abidin dan H. Aminudin, Op, cit
 Ghazali, Abdur Rahman, Fiqh Munakahat(Jakarta : PRENADAMEDIA GRUP)

Anda mungkin juga menyukai