Anda di halaman 1dari 30

SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI HUKUM DALAM ISU

PERKAWINAN: POLIGAMI

Makalah untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi dan Antropologi


Hukum Keluarga Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Hj. Mufidah Ch, M Ag

Disusun oleh : Kelompok 4

Misbachul Munir (210201110050)

Dahril Fallah Anshori (210201110060)

Nanda Lia Roiya Maula (210201110182)

Dzia Rahmania (210201110193)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena dengan

Rahmat dan Hidayah- Nya kami bisa menyusun dan menyelesaikan makalah

yang berjudul "SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI HUKUM DALAM ISU

PERKAWINAN: POLIGAMI" sebagai salah satu tugas mata kuliah Sosiologi

dan Antropologi Hukum Keluarga Islam.

Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada junjungan

kita semua yaitu Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan orang

orang yang tetap berdiri tegak diatas sunnah-sunnahnya hingga nanti hari

kiamat.

Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak terutama kepada

dosen pengampu mata kuliah ini yaitu Ibu Prof. Dr. Hj. Mufidah Ch, M Ag yang

telah membimbing kami sehingga dalam pembuatan tugas makalah ini sehingga

kami dapat menyelesaikannya dengan baik dan lancar. Kami juga memohon

kepada Allah SWT, semoga makalah yang telah kami buat ini dapat bermanfaat

bagi pembaca.

Malang, 10 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ......................................................................................... ................ii
BAB I...................................................................................................... ................1
PENDAHULUAN ................................................................................. ................1
A. Latar Belakang ......................................................... ...................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... ................4
C. Tujuan Penulisan......................................................................... ................4
BAB II .................................................................................................... ................5
PEMBAHASAN .................................................................................... ................5
A. Sejarah Poligami Perspektif Sosio Antropologi .........................................5
B. Faktor Budaya Dan Agama Dalam Praktik Poligami ...............................10
C. Implikasi Sosial Dari Poligami ..................................................................12
D. Konflik dalam Poligami..............................................................................17
BAB III .................................................................................................. ..............24
PENUTUP ............................................................................................ ..............24
A. Kesimpulan ................................................................................ ..............24
B. Saran .......................................................................................... ..............25
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan menjadi suatu peristiwa yang wajar terjadi di masyarakat dan


menjadi dambaan bagi seseorang yang telah menginjak dewasa dan berharap
memiliki sebuah keluarga. Melalui lembaga pernikahan itulah, seseorang
berharap bahwa kebutuhan-kebutuhan psikologis tersebut akan terpenuhi.
Sebagaimana dikatakan oleh Muhyidin, lembaga pernikahan merupakan
sebuah lembaga yang terbentuk guna terpenuhinya beberapa tujuan, saIah
satunya adaIah tercapainya ketenangan ruh dan diri. Maksud ketenangan ruh
dan diri di sini tentu saja adalah ketenanganjiwa manusia, yakni mengenai
segala sesuatu yang berkaitan dengaii kebutuhan psikologis manusia. Fakta-
fakta sosial di seputar poligami yang dihimpun dari penelitian dan pengalaman
advokasi menunjukkan bahwa poligami menyimpan banyak masalah
ketidakadilan dan penderitaan banyak pihak. Menurut laporan LBH-APIK
Jakarta, 58 kasus poligami yang didampinginya dari tahun 2001-2003
memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan
anak, ancaman dan teror, serta pengabaian hak seksual istri. Sementara 35
kasus poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas.

Pada salah satu fenomena yang terjadi dalam sebuah pernikahan,


poligami merupakan kalimat yang sejak lama terus menjadi pembahasan dan
perdebatan yang tidak akan pernah habis. Walaupun hal tersebut sudah jelas
dalam Penetapan Perundang-Undangan, dimulai dari UndangUndang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Menteri
Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah,
Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor: D11.2/1/HM.01/982/2009 tanggal 2
Juni 2009 Tentang Asas Pencatatan Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam

1
(KHI). Selain itu, pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dan
Pasal 58 ayat (1) KHI mengatakan suami dalam mengajukan permohonan
untuk beristri lebih dari satu orang, harus memenuhi syarat-syarat seperti
adanya persetujuan dari istri/istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anakanak
mereka. Persetujuan istri/istri-istrinya tidak diperlukan jika istri/istri-istrinya
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan). Seorang suami akan beristri lebih dari seorang, maka suami
wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama di daerah tempat
tinggalnya. (Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Perkawinan dan Pasal 56 ayat (1)
KHI). Dan pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 57
KHI dijelaskan lebih lanjut bahwa Pengadilan Agama hanya akan memberikan
izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu apabila istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan
keturunan.

Realitas poligami memang sering memunculkan reaksi pemikiran sangat


plural dengan berbagai latar kajian dan konklusi berbeda-beda. Seperti riset
Hikmah yang menyimpulkan, praktek poligami memiliki dampak destruktif
daripada yang konsruktif.1 Riset Mukri mengajukan suatu pernyataan bahwa
nas al-Qur’an tentang poligami tidak hanya tentang jumlah istri tetapi
merupakan kritik atas kesewanang-wenangan pelampiasan nafsu.2 Riset
Yusefri mengurai pemikiran poligami menurut Siti Musdah Mulia yang
kontroversial–sebab realitas poligami diklaim haram lighairihi.3 Ada pula riset
yang melihat realitas poligami dari aspek intepretatif ayat, seperti riset

1
Siti Hikmah, “Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan,” Sawwa: Jurnal
Studi Gender 2 (2012): 1–20.
2
Moh Mukri, “Poligami: Antara Teks Dan Konteks Sosial,” Al-Adalah 1 (2017): 201.
3
Mukri.

2
Hendri,4 riset Moqsith5 atau riset Siti Asiyah, dkk.6 Bahkan ada pula yang
menelisik pesan moralitas poligami dari sisi kehidupan nabi Muhammad
seperti riset Ambar7 serta ditelusuri pula hadis-hadis tentang poligami dari
realitas sejarah dan kebahasaannya, sebagaimana riset Rohmansyah.8
Hal ini membuktikan bahwa realitas poligami perlu diurai seluk beluk
geneologis yang mengitarinya termasuk hikmah laten yang ada di dalamnya.
Namun, ada sebagian perempuan non muslim atau pun yang beragama Islam
di tengah masyarakat menganggap poligami melanggar hak asasi manusia
terutama hak-hak kaum perempuan. Riset Thobejane & Flora dalam
kesimpulannya secara tegas menyatakan, praktek poligami menyebabkan
kerugian bagi pihak perempuan, jika dibandingkan dengan praktek
monogami.9 Walaupun demikian, tidak sedikit ada kalangan perempuan Islam
maupun non Islam mempunyai kesimpulan bahwa praktek poligami menurut
Islam yang paling baik dan manusiawi. Hasil riset Alamgir menyatakan bahwa
poligami dalam Islam lebih memihak perempuan dan melindungi mereka dari
degradasi sosial dan nilai-nilai moral yang rendah.7Anggapan-anggapan
negatif tersebut muncul karena adanya beberapa aspek, yaitu: pertama,
kesalahan memahami poligami Nabi Muhammad; kedua, kesalahan
memahami ayat-ayat poligami; ketiga, kesalahan dalam mendefinisikan
poligami; dan keempat, kesalahan pria melakukan poligami, demikian
kesimpulan riset Ahmad.8 Disinyalir juga dalam riset Sunaryo, kontroversi ini
muncul disebabkan oleh tiga motif, yaitu: pertama, problem intepretasi

4
Ali Hendri, “Poligami Perspektif Kitab Al-Tafsir Al-Wasit Li Al-Qur’an Al-Karim,” AlBayan:
Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Tafsir 3 (2018): 51–61.
5
Abd. Moqsith, “Tafsir Atas Poligami Dalam Al-Qur’an,” Karsa: Journal of Social and Islamic
Culture 1 (2015): 133.
6
Siti Asiyah, “Konsep Poligami Dalam Al-Qur’an: Studi Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish
Shihab,” Fikri: Jurnal Kajian Agama,Sosial Dan Budaya 1 (2019): 85–100. 7 Iriani Ambar,
“Menelisik Pesan Moral Di Balik Poligami: Deskripsi Historis Kehidupan Muhammad SAW Dan
Implikasinya Dalam Islam,” Jurnal Al-Maiyyah 1 (2015): 120–34. 8 Rohmansyah, “Analisa
Pendekatan Bahasa Dan Historis Terhadap Poligami Dalam Hadist Nabi,” Kalimah: Jurnal Studi
Agama Dan Pemikiran Islam 1 (2019): 55–70. 9 Tsoaledi Daniel Thobejane dan Takayindisa
Flora, “An Exploration of Polygamous Marriages: A Worldview,” Mediterranean Journal of
Social Sciences 5 (2014).
7
Aurangzaib Alamgir, “Islam and Polygamy: A Case Study in Malaysia,” Procedia: Social and
Behavioral Sciences, 2014.
8
Wahid Syarifuddin Ahmad, “Status Poligami Dalam Hukum Islam: Telaah Atas Berbagai
Kesalahan Memahami Nas Dan Praktik Poligami,” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 1
(2013): 57–70.

3
teksteks keagamaan; kedua, perbedaan perspektif ketika melihat peran dan
fungsi gender di masyarakat; dan ketiga, minimnya kesadaran dan kepatuhan
terhadap aturan-aturan hukum di masyarakat.9
Poligami yang dilakukan seorang suami kadang tidak sesuai dengan
hukum negara maupun hukum agama sehingga mengakibatkan dampak yang
besar bagi istri dan anak-anaknya. Berdasarkan uraian di atas maka dalam
makalah ini akan membahas lebih dalam mengenai bagaimana pandangan
poligami dari sisi sosiologis dan antropologi sehingga tidak hanya sebab
kesalahpahaman Masyarakat terhadap penafsiran ayat maupun hadis tentang
poligami tetapi juga pola pikir yang berkembang dan mengakar pada suatu
lingkungan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah poligami dalam perspektif sosio antropologi?


2. Apa saja faktor faktor sosial dan agama dalam praktik poligami?
3. Bagaimana implikasi sosial terhadap poligami?

4. Apa saja konflik yang terjadi akibat poligami?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejarah poligami dalam perspektif sosio antropologi.


2. Untuk mengetahui faktor-faktor sosial dan agama dalam praktik poligami.
3. Untuk mengetahui implikasi sosial terhadap poligami.
4. Untuk mengetahui konflik yang terjadi akibat poligami.

9
Agus Sunaryo, “Poligami Di Indonesia: Sebuah Analisis Normatif-Sosiologis,” Yin Yang: Jurnal
Studi Gender & Anak 1 (2010): 143.

4
BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Poligami Perspektif Sosio Antropologi


Poligami merupakan dua penggalan kata yang disinyalir saduran dari
bahasa Yunani , yaitu poli (polus) yang bermakna banyak dan gamein (gamos)
yang memiliki arti perkawinan. Jika kedua kata ini digabungkan (poligamein)
akan bermakna perkawinan yang memiliki banyak pasangan.10 Sistem perkawinan
bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang
bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam
waktu yang bersamaan, pada dasarnya disebut poligami.11Menurut tinjauan
Antropologi sosial (Sosio antropologi) poligami memang mempunyai pengertian
seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita atau sebaliknya. Poligami dibagi
menjadi 2 macam yaitu: a) Polyandri yaitu perkawinan antara seorang perempuan
dengan beberapa orang laki-laki. b) Poligini yaitu perkawinan antara laki-laki
dengan beberapa orang perempuan.
Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban
manusia, poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling
banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial yang ditolak dengan berbagai
macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu
dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Ahli-ahli sejarah dan para ilmuwan
antropologi mengemukakan bahwa poligami dalam bentuknya yang beragam telah
ada dalam tahap-tahap awal dari sejarah manusia, dan bahwasannya poligami
muncul pertama kali sebagai akibat dari perbudakan perempuan dan sikap kaum
yang kuat dan kaya yang menjadikan banyak perempuan untuk bersenang-senang,
sebagai pelayan dan sebagai simbol kebesaran dan kemegahan. Pemilikan banyak
perempuan biasanya khusus bagi para raja, para menteri dan pembesar-pembesar,
dan bagi sebagian mereka hal itu hanya semata sebagai perbudakan.12

10
Mardan, Konsepsi al-Qur’an, Kajian Tafsir Tematik Atas Sejumlah Persoalan Masyarakat Seri
2 (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2012), h. 159.
11
Tihami, Sobari Sahrani, Fiqh Munakahat : Kajian Fiqh Lengkap, (Jakarta, Rajawaali Pers,
2013), h. 351
12
Dr. Karam Hilmi Farhat. 2007. “Poligami dalam pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi”.
Jakarta: Darul Haq. Hal: 5.

5
Diketahui menurut para ahli sejarah, bahwa pada awalnya poligami
dilakukan oleh raja- raja pembesar Negara dan orang-orang kaya. Mereka
mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya
dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak
anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian dijadikan
gundik dan sebagainya. Semakin kaya seseorang semakin tinggi kedudukanya,
semakin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami itu adalah
sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana hal ini sudah ada
dan jauh sebelum masehi.13
Dalam kitab suci agama Yahudi dan Nasrani, poligami telah merupakan
jalan hidup yang diterima. Semua Nabi yang disebutkan dalam Talmud, perjanjian
lama, dan Al-Qur‟an, beristri lebih dari seorang, kecuali Yesus/Nabi Isa as.
Bahkan di Arab sebelum Islam telah dipraktekkan poligami tanpa batas.14 Bentuk
poligami ini telah dikenal di antara orang-orang Medes, Babilonia, Abbesinia,
Persia dan Mesir Kuno. Hal ini telah dipraktekkan juga oleh orang-orang Yunani
yang diantaranya seorang istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa
diperjualbelikan secara lazim diantara mereka. Poligami merupakan kebiasaan di
antara suku-suku Bangsa di Afrika, Australia serta Mormon di Amerika. Bahkan
ajaran Hindu di India tidak melarang poligami.15
Poligami dalam sejarah dan kultural juga tidak dapat dipisahkan oleh
budaya Patriarki, yang tidak hanya dianut oleh masyarakat arab pra-Islam dan
suku-suku nomaden di Afrika bagian timur, namun juga merujuk kepada sistem
yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, di mana suami
sebagai kepala rumah tangga memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang
mutlak atas semua anggota keluarganya.16
Poligami telah eksis sejak dulu kala, pada kehidupan manusia di berbagai
kelompok masyarakat seluruh penjuru dunia.17 Bangsa Arab telah berpoligami

13
Aisjah Dahlan, 1969, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet 1. (Jakarta: Jamunu), hlm. 69
14
Abdurrahman I Doi, “Inilah Syari‟ah Islam Terjemahan”, Buku The Islamic Law, Usman
Efendi AS dan Abdul Khaliq Lc, Jakarta: Puataka Panji, 1990, hlm. 207.
15
Abdurrahman I Doi, “Perkawinan dalam Syari‟at Islam”, Syari‟at The Islamic Law, Terj. Basri
Aba Asghary, Wadi Masturi, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 43.
16
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 45.
17
Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996, hlm. 259.

6
bahkan jauh sebelum kedatangan Islam. Di Arab Saudi, arus utama budayanya
memang poligami dan hampir semua laki-laki beristeri lebih dari satu.18 Demikian
pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia selama masa itu. Kitab-kitab
Suci agama-agama Samawi dan buku-buku sejarah menyebutkan bahwa
dikalangan para pemimpin maupun orang-orang awam disetiap bangsa, bahkan
diantara para Nabi sekalipun, poligami bukan merupakan hal yang asing ataupun
tidak disukai.19 Bangsa Arab Jahiliyyah biasa kawin dengan sejumlah perempuan
dan menganggap mereka sebagai harta kekayaan, bahkan dalam sebagian besar
kejadian, poligami itu seolah-olah bukan seperti perkawinan. Karena perempuan-
perempuan itu dapat dibawa, dimiliki dan dijualbelikan sekehendak hati orang
laki-laki.20
Islam lahir di negara Arab dan dengan tegas telah melarang perzinaan dan
bentuk-bentuk lain yang menganggap perempuan bagaikan barang dan hewan
yang dimiliki. Islam tidak mengharamkan poligami secara mutlak, tetapi diberi
batasan dan bersyarat. Dengan adanya batasan jumlah perempuan yang akan
dijadikan istri agar terjadi kemaslahatan keturunan, pranata sosial dan kesiapan
kaum lelaki. Seorang lelaki hanya boleh menikahi maksimal empat orang
perempuan. Tentu saja dengan bersyarat mampu memberi nafkah dan bisa berlaku
adil. Kemaslahatan disini mengandug nilai-nilai sosial yang sangat kuat.21 Maka
apabilia dicermati secara mendalam tampaknya antara ajaran agama seiring
dengan kajian sosiologi yakni untuk kemaslahatan umat. Karena dalam perspektif
sosiologi, agama bagi masyarakat berfungsi sebagai social control sehingga
kehidupan penuh dengan keseimbangan atau keteraturan, jauh dari berbagai
konflik sehingga dapat tercipta masyarakat madani.
Adapun masing-masing agama mempunyai tinjauan berbeda terhadap
poligami. Agama Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa menjelaskan bahwa
tidak terdapat pembatasan secara jelas mengenai poligami, seorang laki-laki dapat
melakukan poligami tanpa ada batasan. Agama Yahudi yang diturunkan kepada

18
Desi Irawati, Poligami dalam Perspektif Sosiologis , Jurnal Himmah Vol. Vlll No. 22, 2007), 22
19
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur‟an, as-Sunah, dan Pendapat Para
Ulama, Bandung: Mizan Media Utama, hlm. 90.
20
Abdurranman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, op cit, hlm. 260
21
Muhammad Rasyid Ridha, “Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar Keberadaan
Wanita”, Terj, Hukuukal Mar‟ah al-Muslimah, Abd. Harris Rifa‟i dan M. Nur Hakim, Surabaya:
Pustaka Progresif, 1992, hlm.78.

7
Nabi Musa membolehkan laki-laki mempunyai istri banyak. Agama Nasrani
dalam praktiknya menganut sistem monogami mutlak dan melarang adanya
poligami.
Dalam agama Islam, para fuqoha' sepakat bahwa hukum melakukan
poligami adalah boleh (mubah).22 Islam membolehkan poligami untuk tujuan
kemaslahatan yang ditetapkan bagi tuntutan kehidupan. Allah SWT telah
mensyari'atkan poligami untuk diterima tanpa keraguan demi kabahagiaan
seorang mukmin di dunia dan di akhirat. Islam tidak menciptakan aturan poligami
dan tidak mewajibkan terhadap kaum muslimin. Dan hukum dibolehkannya telah
di dahului oleh agama- agama Samawi seperti agama Yahudi dan Nasrani. Dalam
sejarah kenabian sekitar abad lima belas sebelum masehi diprediksi bahwa saat itu
hidup Nabi Ibrahim as. dan melakukan praktik poligami dengan mengawini Sarah
dan Hajar.23 Nabi Ya’qub bin Ishak juga melakukan poligami, dengan empat
perempuan, yaitu Rahel, Leya, Balha’, dan Zulfah, dua di antaranya (Rahel dan
Leya) merupakan saudara kandung. Hal tersebut dibolehkan pada saat itu, karena
syariat tidak mengatur tentang hukum boleh tidaknya menikahi dua perempuan
yang bersaudara sekaligus.24 Hal ini berbeda dengan ajaran Nabi Muhammad
SAW yang mengharamkan menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus.25
Kedatangan Islam memberi landasan dan dasar yang kuat untuk mengatur serta
membatasi keburukan dan madharatnya yang terdapat dalam masyarakat yang
melakukan poligami.26
Terdapat beberapa alasan mengenai pernikahan Nabi SAW, diantaranya
penetapan hukum atau pembatalan hukum jahiliah, penghormatan terhadap para
syuhada dan penghormatan kepada sahabatnya. Adapun secara faktor sosial dan
kemanusiaan ialah sebagai tujuan dakwah dan pengembangan agama serta umat
Islam di masa yang akan datang dengan menyelamatkan perempuan dari
kemelaratan hidup atau berbaik hati untuk menolong seorang janda beranak
banyak yang tidak memiliki penghasilan atau penghidupan sama sekali sehingga
22
Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2005, cet. I, hlm. 122.
23
‘Amr bin Muz}far bin Muhammad bin Abi al-Fawaris, Tarikh min al-Waridi, juz I (Cet. I;
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996/1417 H), h. 14.
24
Abdul Mutakabbir, Menapak Jejak Nabi SAW (Yogyakarta: Diandra Kreatif, 2019), 5
25
Lihat QS al-Nisa’/4:23.
26
Musfir aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 39.

8
praktik poligami sesuai yang dipersyaratkan oleh agama dan negara. Nabi SAW
melakukan praktik poligami atas dasar agama dan umat Islam, bukan untuk diri
pribadi dan keluarga terlebih beliau menikahi beberapa perempuan sesuai atas
petunjuk Allah SWT.
Abbas Mahmud al-Aqqad berpendapat bahwa Islam tidak menciptakan
poligami, tidak mewajibkannya dan tidak pula mansunnahkannya. Akan tetapi
Islam mengizinkan poligami itu dalam beberapa kondisi dengan bersyarat
keadilan dan kemampuan.27 Perlu juga digarisbawahi bahwa QS An Nisa' ayat 3
tidak membuat suatu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal
dan dilaksanakan oleh syari'at agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat tersebut
juga tidak mewajibkan poligami dan mengajarkannya, dia hanya berbicara tentang
bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui
saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.28 Maka secara
sosiologis, kebolehan berpoligami sejalan dengan alasan dan pandangan sebagai
berikut:
1. Islam mendapatkan masyarakat Arab yang umumnya melakukan poligami
dengan cara yang sewenang-wenang dan tidak terbatas, karena itu Islam
memperbaiki kedudukan wanita dengan jalan memberi hak kepada mereka
yang mesti dihormati oleh kaum pria.
2. Untuk mengatasi kekecewaan suami karena akibat istrinya mandul atau
menderita sakit lumpuh dan sebagainya.
3. Banyaknya jumlah wanita dari pria dan adanya peperangan yang
mengakibatkan banyak korban, hal mana mengurangi jumlah pria dan
semakin banyak wanita yang tidak bersuami.
4. Tiap-tiap bulan yang lebih kurang selama satu minggu si suami tidak dapat
mendekati istrinya karena keadaan haid, dalam keadaan hamil enam bulan
ke atas dan sesudah melahirkan.29

27
Abdul Ghani „Abud, al-Usrah al-Muslimah wa al-Usrah Mu‟asyarah, Bandung: Pustaka, 1979,
hlm. 102.
28
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟i atas Berbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 200.
29
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandinngan dalam Masalah Perkawinan, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003, cet. I, hlm. 138.

9
5. Wanita sudah umur 50 tahun atau telah lanjut usia dan sedemikian
lemahnya sehingga tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai
seorang istri, memelihara rumah tangga dan kekayaan suaminya.
6. Bila istri telah pergi dari rumah suaminya dan membangkang, sedangkan
si suami merasa sakit untuk memperbaikinya.
7. Bila lelaki itu merasa bahwa dia tidak bisa bekerja tanpa adanya istri
kedua untuk memenuhi hajat syahwatnya yang sangat kuat serta memiliki
harta yang cukup untuk membiayainya, maka sebaiknya ia mengambil
isteri yang lain.30
B. Faktor Budaya Dan Agama Dalam Praktik Poligami
Dalam praktek poligami, faktor budaya dan agama memainkan peran
penting dalam mempengaruhi pandangan masyarakat. Mengamati atau
menganalisa fenomena poligami yang terjadi di masyarakat bisa menggunakan
paradigma naturalistic atau definisi sosial. Melihat poligami dari sudut
pandangan masyarakat yang berimbas pada masyarakat itu sendiri.
Budaya
Budaya sebagai salah satu pembentuk sikap dan perilaku masyarakat
merupakan cara hidup yang berkembang serta dimiliki bersama oleh kelompok
orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam cara hidup tersebut
tentunya terdapat tradisi dan nilai yang berlaku didalamnya. Banyak
masyarakat memiliki tradisi dan nilai-nilai yang mendukung atau menentang
poligami. Dalam beberapa budaya, poligami mungkin dianggap sebagai bagian
dari warisan budaya dan tradisi yang harus dipertahankan. Di lain pihak, nilai-
nilai monogami dapat mendominasi dalam budaya lain, membuat poligami
kurang umum atau bahkan tidak diterima. Akan tetapi Poligami dalam
realitasnya masih diakui secara teologis (agama), politis (negara), dan
masyarakat.31 Itta Musarrofa, dalam disertasinya menulis Menerima dan
Bertahan Hidup Dalam Keluarga Poligami Kyai Pesantren ( Analisis Kritis
Atas Pengalaman Hidup Perempuan dalam Keluarga Poligamis Kyai Pesantren
di Probolinggo Jawa Timur) Hasil temuannya adalah, dari semua catatan yang

30
Abdurrahman I Doi, Perkawinan dalam Syari‟at Islam,..op cit., Hlm. 46.
31
Kurnia Widiastuti Nurus Sa’adah, Vita Fitria, “Poligami dalam Lintas Budaya dan Agama:
Meta-Interpretation Approach,” Asy-Syir’ah 49 (2015).

10
terekam, tidak ada satupun perempuan yang tidak sakit hati ketika dipoligami.
Namun kenyataan dilapangan, para isteri kiai tersebut menjalin hubungan yang
harmonis dengan keluarga poligami mereka. Penerimaan tersebut terjadi
karena proses sosialisasi yang sudah sangat panjang, bahkan tradisi poligami
kiai di daerah tersebut sudah menjadi kepantasan yang mana pelaksanaan
poligami juga di anggap sebagai simbol ketaatan kepada orang tua dan
terangkatnya status social karena diperisteri oleh kiai, Adanya fakta lapangan
tersebut membuktikan bahwasanya budaya masih sangat mempengaruhi cara
pandang seseorang terhadap proses pembentukan masyarakat dalam praktik
poligami, terutama dalam pandangan status sosial bahwasanya status sosial
keluarga kyai adalah termasuk tinggi.
Dalam sejarah budaya, nilai poligami juga dianggap sebagai tolak ukur
penting dalam status sosial di masyarakat dengan anggapan bahwa kekayaan
diukur dengan memiliki banyak keturunan. Adapun cara untuk memperbanyak
keturunan tersebut adalah dengan poligami. Contoh dari budaya ini adalah
dalam sejarah Mesir Kuno, harta benda dan kekayaan sering diukur melalui
banyak keturunan. Sistem ini mengharuskan harta benda dan aset keluarga
diwariskan kepada keturunan pria tertua, yang bertanggung jawab untuk
menjaga kelangsungan hidup keluarga dan kejayaan kerajaan. Budaya
patriarkhi yang sedemikian lama mendominasi dalam masyarakat juga
mempengaruhi praktek poligami.
Agama
Dalam faktor agama masyarakat memandang bahwa agama adalah
sebuah control dalam kehidupannya (safe control of life), tetapi ternyata tidak
selamanya demikian karena bisa saja dengan agama akan memunculkan
konflik karena perbedaan dalam menginterpretasi sebuah ajaran agama,
Poligami jika dilihat dari sudut pandang sosiologisnya adalah hal yang tidak
mengandung kontroversi karena itu sudah jelas ada dalam Islam. Hanya ketika
seseorang melakukan tindakan yang demikian dan tidak sesuai dengan konsep
poligami yang sebenarnya seperti apa dan mengapa harus dilaksanakan, maka
yang demikian ini akan terjadi yang namanya konflik sosial di masyarakat
karena salahpaham terhadap interpretasi ajaran agama. Tidak dapat dipungkiri

11
bahwasanya praktek poligami selalu akan bersinggungan dengan budaya
patriarkisme. Budaya patriarkhisme Islam adalah jenis penafsiran atas Islam
yang banyak dipicu oleh penggunaan model pembacaan yang literal.
Patriarkhisme Islam adalah bentuk penafsiran atas Islam yang dihasilkan
penggabungan secara baca literal dan asumsi social kultural tentang nilai-nilai
pengutamaan kaum laki-laki atas perempuan yang didasarkan pada jenis
kelamin biologis, bukan didasarkan pada kapasitas non fisik yang dimiliki
kedua makhluk Tuhan itu. Patriarkhisme merupakan bukan bagian resmi dari
ajaran Islam, bahkan budaya patriarkhisme ini sangat bertentangan dengan
nilai-nilai dasar Islam.32
Pada dasarnya islam tidak menentang adanya patriarkhisme, akan tetapi
membuat regulasi terhadapnya seperti poligami Pra-Islam tidak terdapat aturan
khusus akan batasan dari jumlah seorang laki-laki untuk berpoligami, setelah
peradaban islam muncul,islam berusaha menekan budaya patriarkhisme yang
mana laki-laki diberi batasan untuk berpoligami. Contoh lain adalah kembali
pada kasus Poligami dikalangan kyai pesantren diatas, bahwasanya peran
agama sangat penting dalam penanaman ideologi yang bisa terakulturasi
menjadi budaya, dimana hal tersebut umum dan boleh dilakukan karena
menurut pandangan islam perempuan yang dipoligami tentunya sebagai wujud
ketaatan kepada ayat Alquran surat an-Nisa ayat 3. Dimana posisi isteri
pertama menjadi terangkat karena dianggap sebagai perempuan yang bisa
berbesar hati dengan berbagi suami kepada wanita lain. Dan secara budaya
isteri muda mempunyai status yang terangkat karena masuk dalam keluarga
besar kiai, yang secara adat mempunyai kedudukan sosial tinggi.
C. Implikasi Sosial Dari Poligami
Persepsi atau argumentasi yang disampaikan oleh masyarakat tentang
praktik hukum poligami. Poligami merupakan satu praktik hukum dan menjadi
sebuah isu hukum di tengah masyarakat. Tanggapan dan respon masyarakat
mengenai permasalahan hukum poligami ini tentu berbeda-beda sesuai dengan
pengalaman yang diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Khusus

32
Dina Agnia, “Kajian Kritis Budaya Patriarkhisme Dalam Agama Dan Keadilan
Perempuan (Studi Ketentuan Poligami Dalam Uu. No. 1 Tahun 1974),” Fikri: Jurnal
Kajian Agama,Sosial Dan Budaya 1 (2016).29.

12
tanggapan atau persepsi masyarakat, beranggapan umum bahwa poligami
dipandang sebagai suatu praktik yang diperbolehkan, dan diakui dalam Islam,
namun begitu pelaksanaannya harus lebih dahulu memenuhi syarat-syarat dan
ketentuan yang ketat.
Poligami dalam Islam dibolehkan dengan syarat yang ketat. Meskipun
dibolehkan, kadang pelakunya tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang
dibebankan dalam hukum berpoligami, sehingga tidak jarang pula
menimbulkan mudarat bagi kedua belah pihak. Hal ini sebagaimana dapat
dipahami dari keterangannya berikut ini.

Poligami memang dibenarkan dalam Islam. Pembolehan poligami dalam


Islam tentu tidak dilaksanakan tanpa ada ketentuan dan syarat yang ketat.
Syarat yang paling utama dipahami dalam hukum poligami ini adalah adil baik
adil dalam pemberian materi seperti nafkah, kasih sayang dan yang lainnya.
Tetapi kenyataannya, praktik poligami kebanyakan justru tidak sesuai yang
diharapkan. Banyak kasus di mana poligami justru membuka peluang
kemudaratan bagi kedua belah pihak terutama pihak perempuan dan juga anak
yang dihasilkan.

Bahwa praktik poligami kebanyakan tidak selaras dengan nilai-nilai


hukum Islam, sebab tidak semua laki-laki yang berpoligami itu melaksanakan
kewajiban dalam poligami. Menurutnya, poligami memiliki syarat yang relatif
ketat dan berat. Adil sebagai syarat utama dalam poligami tidak hanya
dipahami mampu menafkahi secara setara antara satu isteri dengan isteri yang
lain, akan tetapi juga pada giliran, perhatian, kasih sayang dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, poligami idealnya tidak dilakukan oleh orang-orang yang
belum siap. Dia juga menambahkan bahwa poligami harus mendapat izin
isteri, jika tidak maka hubungan suami dengan isteri pertama atau isteri dengan
isteri akan retak dan memunculkan pertengkaran secara terus menerus di
antara keduanya. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa di dalam hal seorang
suami akan beristri lebih dari seorang (poligami), maka wajib mengajukan
permohonan ke pengadilan di daerah tempat tinggalnya.33 Untuk bisa

33
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: kencana prenadamedia group, 2017).

13
mengajukan permohonan ke pengadilan, harus memenuhi syarat-syarat, di
antaranya adalah ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri.34

Dampak Poligami di Masyarakat


Bahwa poligami merupakan isu hukum yang masih memunculkan
polemik di tengah-tengah masyarakat. Polemik poligami ini berkisar pada
problematika dualistik pandangan antara kesetujuan (penerimaan) dengan
ketidaksetujuan (pengingkaran) atas hukum dan praktik poligami, sebab pada
praktiknya, poligami direpresentasikan oleh orang-orang yang tidak cukup
syarat secara hukum, lantaran tidak memenuhi ketentuan yang diajukan di
dalam norma-norma hukum.
Adanya polemik ketidaksetujuan terhadap praktik poligami tersebut
sudah barang tentu lahir karena adanya dampak atau efek negatif dari praktik
tersebut. Adapun dampak yang ditimbulkan dari poligami adalah;
1. Hak nafkah isteri tidak dipenuhi secara baik,
2. Kebutuhan yang bersifat non materil juga tidak dipenuhi,
3. Terabaikannya Hak-Hak Anak. Tidak dipenuhinya hak-hak anak, baik di
dalam bentuk pendidikan, hak nafkah, kasih sayang, perhatian, termasuk
biaya dan kebutuhan anak lainnya.
4. Selain dampak materil seperti nafkah yang tidak dipenuh secara baik,
praktik poligami juga bisa membawa dampak tidak dipenuhinya hakhak
isteri bersifat non materil, seperti kasih sayang dan perhatian.
5. Konflik Keluarga.
Berupa salah satunya polemik keluarga antar kedua pasangan tidak baik,
tidak memiliki relasi yang baik. Karena kurangnya pemahaman tentang
poligami. Padahal dalam setiap pernikahan, sebetulnya bukan hanya
mengikat dua orang saja, tetapi mengikat dan menyatukan dua keluarga
besar sekaligus.
6. Dampak Hukum.
Selain terhadap diri pribadi isteri, anak dan keluarga, praktik poligami yang
dilaksanakan tidak berada dalam payung hukum yang merangkulnya

34
Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: Gama
Media, 2017).

14
menyebabkan dampak hukum bagi isteri adalah tidak memiliki peluang
untuk melakukan gugatan hak terhadap suaminya. Hal ini biasa disebabkan
oleh pernikahan yang kedua atau seterusnya dilaksanakan secara siri,
rahasia, atau tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Berdasarkan ulasan di atas, dapat diketahui bahwa praktik poligami yang
terjadi bisa berdampak negatif terhadap pihak perempuan dan anakanak yang
lahir dari pernikahan tersebut. Hal berbeda ketika perkawinan dengan poligami
itu memenuhi syarat dan ketentuan yang ada dalam norma hukum positif
maupun hukum Islam, maka dampak-dampak negatif di atas tentu tidak akan
muncul. Kecuali pihak suami menyimpang dengan sengaja tidak memenuhi
hak nafkah isteri dan anaknya. Jika pun ini terjadi, maka isteri masih dapat
mengajukan gugatannya pada pengadilan sebab pernikahan secara poligami
yang dilakukannya tercatat di KUA.

Bahwa praktik poligami yang ada saat ini cenderung mendatangkan


mudarat bagi pasangan, terutama pihak wanita dan anak-anak yang dihasilkan.
Ia memandang bahwa syarat adil yang ditetapkan dalam Islam merupakan
kunci utama dibolehkannya poligami, namun kenyataan yang terjadi justru
syarat adil tersebut dikesampingkan. Hal ini sebagaimana bisa dipahami dalam
kutipan berikut:

Pada praktiknya, poligami justru mendatangkan banyak mudarat.


Banyak laki-laki yang melakukan poligami justru tidak siap terhadap syarat-
syarat yang diwajibkan kepadanya terhadap isteri-isterinya, terutama syarat
adil. Syarat adil di sini menurut pemahamannya bukan hanya dalam masalah
nafkah, akan tetapi semua bentuk perlakuan baik, termasuk giliran kepada
isteri. Oleh sebab itu, poligami lebih baik tidak dilakukan sebab membuka
peluang kemudaratan lantaran diragukannya kesiapan di pihak laki-laki.
Adapun ditinjau dari segi positif, poligami juga dapat berdampak baik bagi
objek pelaku yang tidak terdapat atau melakukan hal yang bertolak belakang
dari tujuan poligami:

a. Poligami dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat.


Dalam beberapa kasus, multiple incomes dapat digabungkan untuk

15
mendukung kebutuhan rumah tangga, yang dapat membantu dalam situasi
di mana salah satu pasangan tidak dapat bekerja.
b. Poligami dapat memberikan dukungan emosional dan sosial bagi istri.
Dalam perkawinan poligami, istri dapat saling bergantung satu sama lain
untuk membagi beban pekerjaan rumah tangga dan merawat anak-anak.
c. Poligami dapat memberikan variasi emosional bagi pria. Dalam
perkawinan poligami, pria dapat memiliki lebih dari satu pasangan, yang
dapat memberikan variasi emosional dan keintiman yang mungkin tidak
tersedia dalam perkawinan monogami.
d. Poligami dapat memberikan kepuasan seksual yang lebih besar bagi pria.
Dalam perkawinan poligami, pria dapat memiliki lebih dari satu.
pasangan, yang dapat memberikan kepuasan seksual yang lebih besar
Adapun dalam perspektif sosiologi gender, praktik poligami akan
menimbulkan berbagai bentuk ketidakadilan gender. Ketidakadilan biasanya
berupa pemiskinan perempuan atau marginalisasi perempuan. Hal ini timbul
apabila seorang suami sebagai pencari nafkah melakukan poligami, sementara
pihak istri yang hanya sebagai ibu rumah tangga. Dengan seorang istri,
penghasilan seorang suami mungkin cukup untuk menafkahi istri tersebut.
Namun, dengan melakukan praktik poligami maka gaji yang diterima suami akan
terbagi lagi untuk istri-istri yang lain.13 Misal: seorang suami dengan seorang istri
mempunyai penghasilan Rp1.000.000,- perbulan mungkin cukup untuk
memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Namun apabila seorang suami
tersebut berpoligami, maka tentunya gaji yang sebesar itu mungkin kurang untuk
menafkahi istri-istri dan anak-anaknya. Selain hal di atas, banyak dampak lain
yang akan ditimbulkan dengan adanya praktik poligami, antara lain:

a) Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan


suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya
memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
b) Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami
memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula
dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan

16
menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang
tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan
sehari-hari.
c) Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya
kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual
maupun psikologis.
d) Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah
di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor
pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama).
Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara,
walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka
yang dirugikan adalah pihak perempuan karena perkawinan tersebut
dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala
konsekuensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan
sebagainya.
D. Konflik Dalam Kasus Poligami
Poligami merupakan salah satu isu yang disorot tajam kalangan feminis,
tak terkecuali feminis Islam. Poligami adalah syariat Islam yang merupakan
sunnah Rasulallah SAW, tentunya dengan syarat seorang suami memiliki
kemampuan untuk adil diantara para istri, sebagaimana pada Qur’an-Surat An-
Nissa yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS An-Nisaa’: 3) Berlaku adil
dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, yaitu dengan memberikan kepada
masing-masing istri hak-haknya dalam hal ini adil adalah menyamakan hak
yang ada pada para istri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk
disamakan di dalamnya. Jika tidak mampu berlaku adil, maka sebagaimana
ayat lainnya : "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu

17
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung.." (An-Nisaa': 129) "Jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..." (An-Nisa': 3).
Pada fenomena ini, konflik sangat mudah masuk ke dalam rumah tangga
karena pada kenyataannya lebih banyak orang yang belum bisa menerapkan
keadilan yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh istriistrinya. Salah satu
akibat dari poligami adalah terjadinya konflik marital. Konflik marital dalam
pernikahan poligami merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Adanya
perempuan lain dalam rumah tangga yang juga memiliki status yang sama,
yakni sebagai istri yang berhak memperoleh perlakuan yang sama dari seorang
suami bisa menjadi salah satu sumber yang menyulut terjadinya konflik daIam
pernikahan, khususnya pada pihak istri. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh
Kartono (1992) yang mengatakan bahwa walaupun secara psikologis sifat
poligamis tidak banyak menimbulkan konflik batin pada pihak pria, akan
tetapi secara praktis dalam kehidupan sehari-hari dan dalam lingkungan rumah
tangga, pada umumnya senantiasa menimbulkan banyak protes pada pihak
istri. Hal ini didasarkan pada alasan berikut: (1) harga diri istri yang merasa
dilanggar; (2) dasar egoisme yang sehat daIam mencintai suaminya, sebab ia
tidak ingin dimadu atau dibagi cintanya; dan (3) atas kemurnian relasi
perkawinan.35
Menurut Sadarjoen (2005) marital conflict adalah kondisi disharmoni
dalam pernikahan yang disebabkan sering terjadi perbedaan persepsi dan
harapan. Disharmoni merupakan keadaan kurang selaras yang dialami suami
dan isteri dalam rumah tangga. Persepsi yang berbeda terhadap berbagai
persoalan dan fenomena rumah tangga, menjadikan situasi panas dan dapat
memicu benturan emosi. Situasi rumah tangga menjadi makin kurang kondusif
setelah menemukan kenyataan bahwa harapan yang dibangun selama ini dalam
rumah tangga berbeda dengan kenyataan.36 Pada realitasnya, fenomena
poligami seringkali memberikan dampak negatif bagi suatu keluarga akibat
terjadinya ketidakseimbangan keadilan yang dirasakan baik oleh seorang anak

35
“Konflik Marital Pada Perempuan Dalam Pernikahan Poligami,” Jurnal Psikologi 1, no. 2
(2008).
36
TAZKIYA Journal of Psychology Vol. 4 No. 1 April 2016

18
maupun seorang istri. Beberapa dampak dari konflik marital akibat poligami
diantaranya37:
1. Anak Merasa Kurang Disayang.
Salah satu dampak terjadinya poligami adalah anak kurang mendapatkan
perhatian dan pegangan hidup dari orang tuanya, artinya mereka tidak
mempunyai tempat dan perhatian sebagaimana layaknya anak-anak yang lain
yang orang tuanya selalu kompak. Adanya keadaan demikian disebabkan
karena ayahnya yang berpoligami, sehingga kurangnya waktu untuk bertemu
antara ayah dan anak, maka anak merasa kurang dekat dengan ayahnya dan
kurang mendapatkan kasih sayang seorang ayah. Kurangnya kasih sayang ayah
kepada anaknya, berarti anak akan menderita karena kebutuhan bathinnya
yang tidak terpenuhi. Selain itu, kurangnya perhatian dan kontrol dari ayah
kepada anak-anaknya maka akan menyebabkan anak tumbuh dan berkembang
dengan bebas. Dalam kebebasan ini anak tidak jarang mengalami kemorosotan
moral, karena dalam pergaulannya dengan orang lain yang terpengaruh kepada
hal-hal yang kurang wajar.
2. Tertanamnya Kebencian Pada Diri Anak.
Pada dasarnya tidak ada anak yang benci kepada orang tuanya, begitu
pula orang tua terhadap anaknya. Akan tetapi perubahan sifat tersebut mulai
muncul ketika anak merasa dirinya dan ibunya mulai kehilangan kecintaan
kepada ayahnya yang berpoligami. Walaupun mereka sangat memahami
bahwa poligami dibolehkan dalam islam tapi mereka tidak mau menerima hal
tersebut karena sangat menyakitkan hati dan memberikan beban pada batin si
anak . Apalagi ditambah dengan orang tua yang akhirnya tidak adil, maka
lengkaplah kebencian anak kepada ayahnya. Kekecewaan seorang anak karena
merasa dikhianati akan cintanya dengan ibunya oleh sang ayah, akan
menyebabkan anak tidak simpati, dan tidak menghormati ayah kandungnya
sehingga harus diakui bahwa poligami mempunyai efek yang dapat merubah
seseorang dari sikap baik sampai kepada bersikap yang tidak baik.
3. Tumbuhnya Ketidakpercayaan Pada Diri anak.

37
Bacarita Law Journal Volume 1, Nomor 1. November 2020. Hlm 15 – 27 PISSN: XXXX-
XXXX, E-ISSN: XXXX-XXXX

19
Persoalan yang kemudian muncul sebagai dampak dari poligami adalah
adanya krisis kepercayaan dari keluarga, anak, dan isteri. Apalagi bila
poligami tersebut dilakukan secara sembunyi dari keluarga yang ada.sehingga
ada rasa tidakpercaya terhadap ayah maupun suami.
4. Timbulnya Traumatik Bagi Anak.
Dengan adanya tindakan poligami seorang ayah maka akan memicu
ketidak harmonisan dalam keluarga dan membuat keluarga berantakan,
walaupun tidak sampai cerai. Tapi kemudian akan timbul efek negatif, yaitu
anak-anak menjadi agak trauma terhadap perkawinan dengan pria.dan
berfikiran serta merasa jika kelak nikah nanti akankah memiliki suami atau
istri yang tidak puas dengan satu pasangan dan ingin melakukan praktik
pernikahan poligami.
Terdapat beberapa faktor lain yang menjadi sebab konflik dalam rumah
tangga akibat terjadinya poligami, disamping adanya kenyataan yang tidak
sesuai dengan harapan-harapan pra-pernikahan. Muhyidin (2003)
menyebutkan tiga diantara sebab konflik tersebut antara Iain: (1) faktor
cemburu; (2) faktor perfeksionis; (3) faktor lain, seperti kurang perhatian.
Menurut Muhyidin (2003), terdapat 3 macam konflik, yaitu konflik di atas
permukaan, konflik di bawah permukaan dan konflik terbuka. Konflik di atas
permukaan adalah konflik yang terjadi sebagai akibat dari pertentangan yang
tampak dan bisa diidentifikasi. Konflik di bawah permukaan adalah konflik
yang terjadi sebagai akibat dari pertentangan latent dan sulit untuk
diidentifikasi. Konflik terbuka merupakan konflik yang terjadi sebagai
akumulasi dari konflik di atas permukaan dan konflik di bawah permukaan.
pernikahan poligami memang menjadi suatu pernikahan yang sensitif
dan mudah memicu terjadinya konflik marital, khususnya pada pihak
perempuan yang dipoligami, baik berstatus sebagai istri pertama maupun istri
kedua dan selanjutnya. Konflik tersebut bersinggungan dengan dua faktor
utama, yaitu faktor internaI dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan
bagian yang tak mungkin terlepas dari sebab utama terjadinya konflik, yakni
keinginan perempuan dalam mencintai suaminya tanpa keberadaan 'madu'.
Faktor internal ini bisa menjadi penyulut terjadinya konflik marital ketika

20
dihadapkan dengan faktor lainnya, yaitu faktor eksternal. Faktor eksternal di
sini berhubungan dengan pihak-pihak lain di luar istri, seperti suami, 'madu'
dan orang lain, bisa saudara, keluarga maupun tetangga.38
Di dalam wacana pernikahan pun, Masyarakat KPMSB dan KKST
mempunyai ketaatan tinggi terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Mereka tanpa
ragu yang berdasar pada penggunaan nalar kritis memposisikan hukum
pernikahan tidak lepas dari al-Qur’an dan Hadis. Kedua sumber ini diyakini
memuat segala ketentuan Tuhan secara rinci dan detail tentang realitas
penikahan poligami. Adapun persoalan baru yang muncul dan tidak
mendapatkan kepastian hukum dalam al-Qur’an dan Hadis, maka Masyarakat
KPMSB dan KKST menggunakan ijtihad penentuan hukum yang dilakukan
oleh para ulama’. Akan tetapi, mereka cenderung menggunakan ijitihad ulama’
yang terancang berdasarkan hasil kesepakatan ulama’ (Ijma’). Ijma’ pada
konteks ini diposisikan sebagai sumber hukum penikahan pula setelah al-
Qur’an dan Hadis. Namun menariknya, Masyarakat KPMSB dan KKST masih
mempertimbangkan dimensi budaya mereka sebagai pertimbangan keabsahan
lainnya.
Masyarakat KPMSB dan KKST memahami bahwa ketetapan hukum
“boleh” melakukan tindak poligami terdapat dalam dua ayat pada QS. an- Nisa
ayat 3 dan 129. Pada QS. an-Nisa’ ayat 3 diterangkan bahwa “jika seseorang
takut tidak berbuat adil terhadap perempuan yatim bila hendak mengawininya,
maka hendaknya agar mengawini perempuan yang disenangi bisa berjumlah
dua, tiga atau empat. Akan tetapi, apabila takut tidak berbuat adil cukup
mengawini mereka satu saja atau budak-budak yang dimilikinya”. Memahami
pesan suci ini, Masyarakat KPMSB dan KKST tidak serta merta melakukan
tindakan poligami dalam pernikahannya; terlebih jika didasarkan pada
pertimbangan biologis. Mereka secara tegas dan meyakinkan menyatakan
bahwa ayat ini menunjukan Islam tidak melarang melakukan poligami
berdasarkan nilainilai kemansiaan terutama asas keadilan. Oleh sebab itulah,
ada sebagaian dari mereka cenderung ingin meluruskan dan memberi batasan
poligami yang sudah berkembang di Masyarakat KPMSB dan KKST dengan
38
Jurnal Psikologi, “Konflik Marital Pada Perempuan Dalam Pernikahan Poligami” I, no. 2
(2008).

21
corak oligarkis-patriarkis. Hal ini tidak lepas dari alur sejarah yaitu ketika
penaklukan penjajahan menciptakan perubahan bisnis administratif terutama di
masyarakat Mandar menjadi sistem kekaisaran. 39
Sedangkan di satu sisi, budaya oligarkis-patriarkis di masyarakat
tersebut ternyata mampu membangun pemahaman superior laki-laki terhadap
diri perempuan. Pada konteks inilah akan terjadi pergeseran makna terhadap
pernikahan yang hanya dibatasi oleh relasi seksualitas. Pun demikian
seksualitas menjadi entitas tidak netral (memihak) disebabkan oleh dorongan-
dorongan sistem yang mendominasi kehidupan perempuan. Oleh sebab itu,
Masyarakat KPMSB dan KKST dalam budaya kesehariannya sangat
mendominasi kehidupan perempuan. Dalam sistem budaya oligarkispatriarkis
Masyarakat KPMSB dan KKST inilah poligami tumbuh subur. Nyatanya,
seksualitas perempuan Masyarakat KPMSB dan KKST relatif dieksploitasi
sedemikian rupa untuk kepentingan laki-laki yang cenderung terus
menghegemoni. Posisional inilah yang turut berperan menggeser “kesejajaran”
perempuan ke tempat yang lebih rendah dari laki-laki; bahkan menempatkan
posisi perempuan sebagai “objek” seksualitas semata. Wajar jika perempuan
di masyarakat tersebut seperti boneka bagi laki-laki yang perlu tampil
sempurna tidak ada cacat sedikit pun untuk menjadi objek kepentingan diri
laki-laki. Namun, tidak semua Masyarakat KPMSB dan KKST melakukan
tindakan poligami memiliki makna hegemonik. Ada sebagian yang
melakukannya dengan asas kemanusiaan yang egaliter. Sebagian kalangan
inilah terus menerus menerjemahkan nilai-nilai keagamaan seperti pesan-pesan
keadilan dalam poligami. Pada QS. an-Nisa’ ayat 129 sendiri memang telah
dijelaskan bahwa “manusia sekali-sekali tidak akan dapat berbuat adil
terhadap istri-istri mereka walaupun ia sangat ingin berbuat adil. Karenanya,
ia memang terlalu cenderung kepada orang yang dicintainya dan membiarkan
yang lain terkatungkatung”. Wajar apabila para tokoh agama Masyarakat
KPMSB dan KKST memberikan kerangka bahwa ayat ini menghendaki bahwa
sosok suami perlu berusaha untuk berbuat adil terhadap istri-istrinya.
Walaupun di sisi yang lain, Allah sendiri menyatakan bahwa mereka (para
39
Abd. Karim, “Sibali Parri: Andi Depu Dalam Gerakan Revolusi Di Mandar 1942-1946,” ebar
Science: Jurnal Kajian Sosial & Budaya 2, no. 2 (2018): 15–27.

22
suami) tidak akan bisa berbuat adil walaupun mereka (suami) sangat ingin
berbuat adil. Ibnu Hazm al-Zahiri, seperti dalam kesimpulan riset
Hidayatulloh, menyatakan wajib untuk berlaku adil dalam pernikahan
poligami. Karenanya, Mushthofa al-‘Adawi seperti yang dilukiskan dalam
riset Faisol memiliki pandangan, poligami merupakan tindakan pernikahan
yang disunnahkan.40
Para tokoh agama Masyarakat KPMSB dan KKST sejak dulu hingga
saat ini sepakat mengenai realitas poligami. Beberapa tokoh agama yang
bermazhab Syafi’i ataupun mazhab Hanafi memiliki pemikiran dan persepsi
yang sama. Salah satu pandangan tokoh agama yang beraliran mazhab Syafi’i
memiliki arah yang progresif. Pernyataan yang bahwa suami yang mempunyai
empat istri dan salah satunya ditalak raji’, maka laki-laki itu tidak bisa
melakukan akad nikah dengan perempuan lain. Jika ingin menikah, istri yang
yang ditalak tersebut harus sudah habis masa iddahnya. Akan tetapi, jika suami
mentalak istrinya tersebut talak ba’in, maka ia boleh langsung nikah dengan
perempuan lainnya. Bahkan ia juga boleh nikah dengan saudara perempuan
istrinya –yang ditalak ba’in- sekalipun masih masa iddah sebab suaminya
melalui talak ba’in telah mengakhiri –atau memutuskan- status pernikahan dan
relasi suami istri. Ada pula tokoh agama yang memiliki pandangan berbeda
bahwa seorang suami tidak boleh nikah dengan wanita lain –pada konteks ini
adalah perempuan yang kelima-, sebelum istri yang diceraikan tersebut habis
masa iddahnya. Pola yang ini menurut para tokoh agama tersebut tanpa ada
pembedaan antara istri yang ditalak raji’ atau talak ba’in. Dengan demikian,
masingmasing para tokoh agama di Masyarakat KPMSB dan KKST melalui
dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis memunculkan argumentasi
yang membenarkan dan mengukuhkan poligami. Namun, Imam Syafi’i
membatasi realitas poligami dengan landasan keadilan, seperti yang
disimpulkan dalam riset Rifqi, dkk.41

40
Yufni Faisol, “Konsep Adil Dalam Poligami: Telaah Pemikiran Mushthofa Al-‘Adawi Dalam
Tafsir Al-Tashil Lita’Wil Al-Tanzil,” International Journal Ihya’ Ulum Al-Din 18, no. 1 (2016):
25–47.
41
Muhammad Mualimur Rifqi and et.al, “Keadilan Dalam Poligami Perspektif Madzab Syafi’i,”
Hikmatina: Jurnal Ilmiah Hukum Keluarga Islam 1, no. 2 (2019): 86–92.

23
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Menurut tinjauan Antropologi sosial (Sosio antropologi) poligami
memang mempunyai pengertian seorang laki-laki kawin dengan
banyak wanita atau sebaliknya. Poligami dibagi menjadi 2 macam
yaitu: a) Polyandri yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan
beberapa orang laki-laki. b) Poligini yaitu perkawinan antara laki-laki
dengan beberapa orang perempuan.
2. Poligami merupakan suatu tradisi yang telah dilakukan oleh beberapa
bangsa seperti Yunani, Mesir Kuno, Persia dan Arab. Sebelum Islam
datang, poligami marak dilakukan sebab adanya sistem perbudakan
dan ketidaksetaraan gender dilihat dari perlakuan terhadap kaum
perempuan yang sangat tidak manusiawi dan tak beradab. Salah satu
ajaran Islam ialah mengatur sistem poligami ini dengan batasan
maksimal empat istri. Poligami pada masa Rasulullah SAW justru
dilakukan untuk mengangkat derajat dan nilai kesetaraan terhadap
perempuan-perempuan dan janda saat itu, membantu resesi
kemelaratan yang terjadi serta sebagai tujuan dakwah dan
pengembangan agama serta umat Islam saat itu.
3. Faktor budaya yang mempengaruhi poligami antara lain dapat
terangkatnya status sosial, keyakinan bahwa harta benda dan kekayaan
sering diukur melalui banyak keturunan seperti dalam Mesir Kuno,
dan adanya budaya patriarkhi yang sedemikian lama mendominasi
dalam masyarakat juga mempengaruhi praktek poligami. Adapun
dalam faktor agama ialah dengan adanya edukasi mengenai poligami
dan adanya interpretasi terhadap QS an Nisa' ayat 3 bahwa istri harus
taat kepada suami sekalipun jika itu menyangkut poligami.
4. Implementasi praktik poligami di masyarakat kebanyakan tidak
selaras dengan nilai-nilai hukum Islam sebab tidak semua laki-laki
berpoligami itu melaksanakan kewajiban dalam poligami serta benar-
benar melalui persyaratan yang telah ditetapkan sehingga nilai-nilai

24
sosial kemanusiaan yang menjadi substansi poligami terkikis sedikit
demi sedikit dan membuahkan permasalahan-permasalahan sosial
yang baru. Maka perlu adanya pengawasan secara ketat terhadap
praktik poligami agar sesuai dengan syariat Islam. Adapun dilihat dari
sosiologi gender, poligami memiliki dampak diantaranya timbulnya
perasaan inferior/menyalahkan diri sendiri; adanya ketergantungan secara
ekonomi kepada suami; sering terjadi adanya kekerasan terhadap
perempuan, baik fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis; dan banyaknya
masyarakat menikah tnpa pencatatan di KUA.
5. Dalam poligami, konflik sangat mudah masuk ke dalam rumah tangga
karena pada kenyataannya lebih banyak orang yang belum bisa
menerapkan keadilan sesuai harapan dan cita-cita istri-istrinya. Salah
satu akibat dari poligami adalah terjadinya konflik marital yang sangat
mungkin terjadi. Beberapa dampak dari konflik marital akibat
poligami ialah anak kurang kasih sayang, tertanamnya kebencian pada
diri anak, tumbuhnya ketidakpercayaan pada diri anak, dan timbulnya
traumatik bagi anak.

B. Saran

Makalah ini telah disusun dengan sebaik mungkin serta merujuk pada
beberapa referensi yang telah didapatkan. Namun, tentu saja makalah ini
juga tidak terlepas dari segala kekurangan dan keterbatasan materi.
Diharapkan dengan disusunnya makalah ini dapat menambah keilmuan
serta menjadi referensi. Sehingga, makalah ini akan sempurna seiring
berkembangnya pengetahuan para akademisi.

25
DAFTAR PUSTAKA

“Konflik Marital Pada Perempuan Dalam Pernikahan Poligami.” Jurnal Psikologi 1, no.
2 (2008).
Abdurrahman. Inilah Syari’ah Islam Terjemahan”, Buku The Islamic Law, Usman Efendi
AS dan Abdul Khaliq Lc. Jakarta: Pustaka Panji, 1990.. Karakteristik Hukum Islam
dan Perkawinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Abdurrrahman. Perkawinan dalam Syari’at Islam’, Syari’at The Islamic Law, Terj. Basri
Aba Asghary, Wadi Masturi. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Agnia, Dina. “Kajian Kritis Budaya Patriarkhisme Dalam Agama Dan Keadilan
Perempuan (Studi Ketentuan Poligami Dalam Uu. No. 1 Tahun 1974).” Fikri:
Jurnal Kajian Agama,Sosial Dan Budaya 1 (2016).
Ahmad, Wahid Syarifuddin. “Status Poligami Dalam Hukum Islam: Telaah Atas
Berbagai Kesalahan Memahami Nas Dan Praktik Poligami.” AlAhwal: Jurnal
Hukum Keluarga Islam 1 (2013): 57–70.
Aj-Jahrani, Musfir. Poligami dari Berbagai Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Al-Habsyi, Muhammad Bagir. Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an, as-Sunah, dan
Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan Media Utama, n.d.
Ambar, Iriani. “Menelisik Pesan Moral Di Balik Poligami: Deskripsi Historis Kehidupan
Muhammad SAW Dan Implikasinya Dalam Islam.” Jurnal Al-Maiyyah 1 (2015):
120–34.
Asiyah, Siti. “Konsep Poligami Dalam Al-Qur’an: Studi Tafsir Al-Misbah Karya M.
Quraish Shihab.” Fikri: Jurnal Kajian Agama,Sosial Dan Budaya 1 (2019): 85–
100.
Aurangzaib Alamgir. “Islam and Polygamy: A Case Study in Malaysia.” Procedia:
Social and Behavioral Sciences, 2014.
Faisol, Yufni. “Konsep Adil Dalam Poligami: Telaah Pemikiran Mushthofa Al-‘Adawi
Dalam Tafsir Al-Tashil Lita’Wil Al-Tanzil.” International Journal Ihya’ Ulum Al-
Din 18, no. 1 (2016): 25–47.
Faqih, Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim. Hukum Perkawinan Islam.
Yogyakarta: Gama Media, 2017.
Farhat, Karam Hilmi. Poligami dalam pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi. Jakarta:
Darul Haq, 2007.
Ghani, Abdul. Al-Usrah al-Muskimah wa al-Usrah Mu’asyarah. Bandung: Pustaka,
1979.
Hendri, Ali. “Poligami Perspektif Kitab Al-Tafsir Al-Wasit Li Al-Qur’an Al-
Karim.” Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Tafsir 3 (2018): 51–61.
Hikmah, Siti. “Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan.”
Sawwa: Jurnal Studi Gender 2 (2012): 1–20.
Hosen, Ibrahim. “Fiqih Perbandinngan dalam Masalah Perkawinan.” In 1, 138. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2003.
Karim, Abd. “Sibali Parri: Andi Depu Dalam Gerakan Revolusi Di Mandar
1942-1946.” ebar Science: Jurnal Kajian Sosial & Budaya 2, no. 2 (2018): 15–27.

26
Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: kencana prenadamedia group,
2017.
Moqsith, Abd. “Tafsir Atas Poligami Dalam Al-Qur’an.” Karsa: Journal of Social and
Islamic Culture 1 (2015): 133.
Mubarok, Jaih. “Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia.” In 1, 122. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2005.
Muhammad Mualimur Rifqi and et.al. “Keadilan Dalam Poligami Perspektif Madzab
Syafi’i.” Hikmatina: Jurnal Ilmiah Hukum Keluarga Islam 1, no. 2 (2019): 86–92.
Mukri, Moh. “Poligami: Antara Teks Dan Konteks Sosial.” Al-Adalah 1 (2017): 201.
Nurus Sa’adah, Vita Fitria, Kurnia Widiastuti. “Poligami dalam Lintas Budaya dan
Agama: Meta-Interpretation Approach.” Asy-Syir’ah 49 (2015).
Psikologi, Jurnal. “Konflik Marital Pada Perempuan Dalam Pernikahan Poligami” I, no.
2 (2008).
Ridha, Muhammad Rasyid. Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar
Keberadaan Wanita Terj, Hukuukal Mar‟ah al-Muslimah, Abd. Harris Rifa‟i dan
M. Nur Hakim. Surabaya: Pustaka Progresif, 1992.
Rohmansyah. “Analisa Pendekatan Bahasa Dan Historis Terhadap Poligami Dalam
Hadist Nabi.” Kalimah: Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam 1 (2019): 55–70.
Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1998.
Sunaryo, Agus. “Poligami Di Indonesia: Sebuah Analisis NormatifSosiologis.” Yin
Yang: Jurnal Studi Gender & Anak 1 (2010): 143.
Thobejane, Tsoaledi Daniel, dan Takayindisa Flora. “An Exploration of Polygamous
Marriages: A Worldview.” Mediterranean Journal of Social Sciences 5 (2014).

27

Anda mungkin juga menyukai