Anda di halaman 1dari 26

Makalah Gender dan Hukum

“Kesetaraan Gender dalam Perkawinan Dan Hukum Waris Menurut Alquran, Hadis, dan
Undang- Undang”

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


Mahlil, M.Sos.

Disusun Oleh :
KELOMPOK 4
Annisa Natasha (202013020)
Sakinah Fitri (202013006)
Yola (201913023)

FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
T.A. 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘’Kesetaraan Gender
dalam Pernikahan dan Hukum Waris menurut Alquran, Hadis, dan Undang- Undang” ini
tepat pada waktunya.

Tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Mahlil,
M.Sos pada mata kuliah Hukum Acara Perdata selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mahlil, M.Sos selaku Dosen pada Mata
Kuliah Gender dan Hukum yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Lhokseumawe, 06 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4
C. Tujuan Pembahasan Masalah......................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
A. Kesetaraan gender dalam perkawinaan menurut Alquran, hadis, dan undang-undang.........5
1. Kesetaraan gender dalam perkawinaan menurut Alquran dan hadis..................................5
2. Kesetaraan Gender dalam Perkawinan menurut Undang - Undang..................................13
B. Kesetaraan gender dalam hukum waris menurut Alquran, hadis, dan undang-undang.......16
1. Kesetaraan gender dalam waris menurut Alquran...............................................................16
2. Kesetaraan gender dalam waris menurut hadis....................................................................18
3. Kesetaraan gender dalam waris menurut Undang-Undang.................................................21
BAB III.....................................................................................................................................................24
KESIMPULAN........................................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................25

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata gender berarti sex, jenis kelamin yang berasal dari bahasa Inggris. Pengertian
gender adalah pemahaman terhadap perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari sudut
pandang nilai dan tingkah laku, sehingga gender sebagai suatu konsep kultural yang
membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan. Paradigma gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-
laki dan perempuan, yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan
perkembangan zaman. Istilah gender ini pertama kali tidak dimaksudkan sebagai sebuah
pemikiran atas kesetaraan fungsi, tetapi dikemukakan oleh para ilmuan sosial untuk menjelaskan
perbedaan laki-laki dan perempuan mempunyai sifat bawaan (ciptaan Tuhan) dan bentukan
budaya (konstruksi social) . Dengan demikian, gender meskipun bermakna jenis kelamin berbeda
dengan sex, karena sex bermakna jenis kelamin dari sudut pandang fisik seperti postur tubuh,
tingkah laku yang bersifat kodrati dan bentuk fisik lainnya.1

Makna kesetaraan pada saat ini sering merujuk pada hak dan kewajiban antara laki-laki
dan perempuan. Pembahasan kesetaraan seringkali menjadi derivasi dari pembahasan feminisme,
kesetaraan gender dan emansipasi. Kata yang terakhir sudah lama didengungkan di Indonesia
sebagai gerakan untuk memberikan posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan dan di sisi
lain sebagai “support” bagi perempuan lainnya yang masih termarjinalkan. Bagi masyarakat
Indonesia, tokoh perempuan Raden Ajeng Kartini, Raden Dewi Sartika merupakan sosok
pahlawan yang berusaha memperjuangkan eksistensi perempuan dalam budaya, pendidikan,
hukum dan segi kehidupan lainnya.

Penerapan pengaturan persamaan syarat usia perkawinan sebagai perwujudan kesetaraan


gender terkait perkawinan bawah umur berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan masih tidak
sesuai harapan. Semakin meningkatnya angka perkawinan bawah umur dan permohonan

1
Herien Puspitawati, “Pengelan Konsep Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender”,Makalah disampaikan
di IPB Bogor Bulan Maret Tahun 2012, hlm. 7, 12, 14. Fadlan, “Islam, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender
dalam al-Quran”, dalam Jurnal KARSA, vol. 9, No. 2, hal. 107.

3
dispensasi kawin khususnya oleh anak perempuan merupakan hasil dari penerapan aturan
tersebut, yang dapat dikatakan gagal mencapai tujuannya. Stigma dan pandangan masyarakat
yang menganggap kedudukan perempuan serta kurangnya sosialisasi dari pemerintah mengenai
perubahan syarat usia minimum perkawinan juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya
permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama.

Akibat hukum dari penerapan pengaturan syarat usia perkawinan sebagai perwujudan
kesetaraan gender terhadap upaya meminimalisir perkawinan bawah umur di Indonesia ialah
berakibat pada terlanggarnya hak-hak anak. Tingginya angka perkawinan bawah umur oleh anak
perempuan merupakan bentuk ketidaksetaraan gender karena hak-hak perempuan sebagai anak
tidak sepenuhnya terpenuhi seperti halnya anak laki-laki. Dari perbandingan dengan beberapa
negara terkait penerapan syarat usia minimum perkawinan, dapat dilihat bahwa persamaan syarat
usia minimum perkawinan tidak serta merta dapat meminimalisir perkawinan bawah umur dan
menyelesaikan permasalahan terlanggarnya hak-hak anak khususnya bagi anak perempuan.
Walaupun ketentuan mengenai dispensasi kawin dihapuskan, akan berdampak pada
kemungkinan meningkatnya kehamilan di luar nikah pada usia dini dan perkawinan informal
atau yang biasa disebut perkawinan di bawah tangan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kesetaraan Gender dalam Perkawinan Menurut Alquran, Hadis, dan
Undang- Undang?
2. Bagaimana Kesetaraan Gender dalam Hukum waris Menurut Alquran, Hadis, dan
Undang- Undang?

C. Tujuan Pembahasan Masalah


1. Untuk Mengetahui Kesetaraan gender dalam perkawinan berdasarkan Alquran,
Hadis, dan Undang- Undang.
2. Untuk Mengetahui Kesetaraan gender dalam hukum waris berdasarkan Alquran,
Hadis, dan Undang- Undang.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kesetaraan gender dalam perkawinaan menurut Alquran, hadis, dan undang-


undang
1. Kesetaraan gender dalam perkawinaan menurut Alquran dan hadis
Pada prinsipnya perkawinan dalam Islam membawa norma-norma yang
mendukung terciptanya suasana damai, sejahtera, adil dan setara dalam keluarga.
Akan tetapi karena pengaruh interpretasi ajaran yang kurang proporsional, maka tidak
jarang terjadi beberapa rumusan ajaran Islam yang barkaitan dengan perkawinan tidak
membela kepentingan (menyudutkan) peran perempuan. Dalam perspektif Islam,
Perkawinan merupakan sebuah kontrak antara dua orang pasangan yang terdiri dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam posisi yang setara. Seorang
perempuan sebagai pihak yang sederajat dengan laki-laki dapat menetapkan syarat-
syarat yang diinginkan sebagaimana juga laki-laki. Keseimbangan dan kesetaraan
dalam sebuah perkawinan, sesungguhnya sudah dimulai pada masa pra-nikah, yang
oleh Islam disebut dengan “sekufu”. Ditetapkannya “sekufu” yang berarti seimbang
dan setara sebagai salah satu syarat untuk melangsungkan pernikahan
mengindikasikan bahwa sesungguhnya modal penting dalam mewujudkan motif ideal
perkawinan dengan realitas perkawinan yang dijalani oleh suami dan isteri (laki-laki
dan perempuan) adalah tergantung pada adanya kesetaraan2. Pada pembahasan
berikut akan dijelaskan kajian kritis terhadap kesetaraan hak dan kewajiban antara
suami dan isteri yaitu:
a. Kesetaraan dalam menentukan pilihan pasangan
Hak ijbâr yang dimiliki orang tua atau wali dalam perspektif Islam
sesungguhnya tidaklah hak mutlak seperti hak veto yang keputusannya tidak
boleh diganggu gugat, jika sedemikian itu yang menjadi pemahaman terhadap hak
dan kewenangan seorang wali mujbir, tentulah akan bertentangan dengan prinsip
‘kemerdekaan’ dan kebebasan berkehendak bagi perempuan, padahal prinsip ini
2
Sri Suhandjati Sukri, (Ed.), Bias Jender dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal.
15.

5
sungguh sungguh sangat diperhatikan dan dujunjung tinggi dalam Islam, dalam
hal ini juga termasuk dalam hal memilih jodoh.
Interpretasi yang kurang proporsional terhadap “hak ijbâr” ini merupakan
salah satu pintu yang membuka peluang kepada orang tua atau wali untuk berlaku
sewenang-wenang terhadap anak perempuan yang akan menikah. Adapun alasan
yang lazim dikemukakan orang tua untuk mempergunakan hak tersebut dengan
argumentasi dalam rangka memberikan yang terbaik untuk anak perempuannya.
Imam Syafi’i sebagai salah satu imam mazhab yang berpendapat adanya hak ijbâr
bagi wali (orang tua), menjelaskan bahwa adanya hak ijbâr tersebut dimaksudkan
untuk memberi kesempatan kepada wali untuk berbuat yang terbaik dan peduli,
terhadap masa depan anaknya, termasuk dengan memilihkan jodohnya. Oleh
karenanya menurut Imam Syafi’i hak ijbâr tetap memiliki rambu-rambu yang
cukup tegas, terutama untuk kebahagiaan dan kemaslahatan masa depan
perkawinan anaknya.
Tentang hak ijbâr ini, cukup relevan untuk dicermati suatu kasus yang
terjadi pada masa Nabi, sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadis riwayat
‘A’isyah r.a., bahwa seorang gadis datang mengadu kepadanya perihal ayahnya
yang memaksa kawin dengan seorang lelaki yang tidak ia sukai. Setelah
disampaikan kepada Rasulullah, maka Rasulullah memutuskan untuk
mengembalikan urusan perkawinan itu kepada anak gadis tadi. Ibnu Taimiyah
juga sependapat dengan para ulama yang tidak memperbolehkan bapak memaksa
anak gadisnya yang sudah dewasa untuk menikah tanpa persetujuan anak
gadisnya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Asghar Ali Engineer yang
mengatakan, bahwa di dalam al-Qur’an perempuan setara dengan laki-laki dalam
kemampuan mental dan moralnya, sehingga masing-masing memiliki hak
independen yang sama dalam menentukan pasangannya. Dalam konteks ini dia
mendasarkan pada ayat al-Quar’an, surat al-Ahzab ayat 353:

3
Departemen Agama, AL- Hikmah Al-Qur’an dan terjemahannya, (Bandung:Al-Hikmah Qur’an, 2010),
hal. 420.

6
ِ ‫ت َو ْال ٰخ ِش ِع ْينَ َو ْال ٰخ ِش ٰع‬
‫ت‬ ِ ‫صبِ ٰر‬ ّ ٰ ‫صبِ ِر ْينَ َوال‬
ّ ٰ ‫ت َوال‬ ِ ‫ص ِد ٰق‬
ّ ٰ ‫ص ِدقِ ْينَ َوال‬ّ ٰ ‫ت َوال‬ِ ‫ت َو ْال ٰقنِتِ ْينَ َو ْال ٰقنِ ٰت‬
ِ ‫ت َو ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُمْؤ ِم ٰن‬ِ ٰ‫اِ َّن ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َو ْال ُم ْسلِم‬
ً‫ت اَ َع َّد هّٰللا ُ لَهُ ْم َّم ْغفِ َرة‬ ّ ٰ ‫الذ ِك ِر ْينَ هّٰللا َ َكثِ ْيرًا و‬
ّ ٰ ‫ت َو‬ ۤ
ِ ‫َّالذ ِك ٰر‬ ِ ‫ت َو ْال ٰحفِ ِظ ْينَ فُرُوْ َجهُ ْم َو ْال ٰحفِ ٰظ‬ ّ ٰ ‫ت َوالص َّۤا ِٕى ِم ْينَ َوال‬
ِ ٰ‫ص ِٕىم‬ ِ ‫َصد ِّٰق‬
َ ‫َص ِّدقِ ْينَ َو ْال ُمت‬
َ ‫َو ْال ُمت‬
‫َّواَجْ رًا َع ِظ ْي ًما‬

Artinya: Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan


mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan
perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki
dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
menurut pendapat Asghar tentang surat al-Ahzab ayat 35, bahwa
kesetaraan laki-laki dan perempuan yang disebutkan al-Qur’an meliputi pula
kesetaraan lakilaki dan perempuan dalam kontrak perkawinan. Seorang
perempuan sebagai pihak yang sederajat dengan laki-laki, yang dapat menetapkan
syaratsyarat yang diinginkannya sebagaimana juga laki-laki. 4
b. Kesetaraan dalam Fungsi dan Peran.
Kesetaraan dalam Fungsi dan Peran. Perempuan dalam statusnya sebagi
isteri dan ibu dari anak-anak mempunyai hak yang cukup urgen dan mendasar
dalam kehidupan ruman tangganya, yakni hak untuk memperoleh jaminan
kesejahteraan yang dalam terminology fikih dikenal dengan nafkah. Hal ini
berkaitan dengan fungsi dan peran berat yang dipikul perempuan atau isteri
sebagai pelaku reproduksi (mengandung, melahirkan, menyusui/merawat anak),
yang tidak bisa dialihperankan kepada laki-laki atau suami. Di samping itu masih
ada tugas-tugas kerumahtanggaan (mengelola rumah tangga, melayani suami)
yang menjadi tanggungan isteri.
Masdar memandang hak isteri untuk mendapatkan nafkah dan jaminan
kesejahteraan dari suami, di samping karena secara normatif telah disebutkan
dalam nas (al-Qur’an dan Hadis), juga karena isteri mempunyai peran dan
tanggung jawab yang cukup besar dalam reproduksi dan pengelolaan rumah
4
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid II, terjemahan Imam Ghazali Said & Ahmad Zaidun, (Jakarta
Pustaka Amani, 2007), hal. 409.

7
tangga. Dengan demikian adalah tidak adil jika perempuan atau isteri dibebani
pula dengan masalah pembiayaan hidup (untuk keperluan makan, tempat tinggal,
pakaian, kesehatan, dan sebagainya), maka sudah selayaknya suami memikul
tanggung jawab tersebut. Nafkah atau belanja yang harus diberikan suami kepada
isteri antara lain adalah untuk memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal,
pembantu rumah tangga, pengobatan (kesehatan).
Mazhab Hanafî berpendapat bahwa kewajiban nafkah suami meliputi
makanan daging, sayur mayur, buahbuahan, minyak zaitun dan samin serta segala
kebutuhan yang diperlukan sehari-hari dan sesuai dengan keadaan (standar)
umum. Berbeda dengan mazhab Hanafî, mazhab Syafi’î menetapkan jumlah
nafkah bukan diukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi disesuaikan dengan
kemampuan suami.5
c. Kesetaraan dalam menikmati hubungan seksual
Dalam soal hubungan seks suami isteri, pandangan tentang status
keduanya dipengaruhi oleh konsep dasar perkawinan itu sendiri. Jika sebuah
perkawinan didefinisikan sebagai aqad tamlik (kontrak pemilikan), yakni bahwa
dengan pernikahan seorang suami telah melakukan kontrak pembelian perangkat
seks (bud’u) sebagai alat melanjutkan keturunan, dari pihak perempuan yang
dinikahinya. Dalam konsep pernikahan yang seperti ini, pihak laki-laki adalah
pemilik sekaligus penguasa perangkat seks yang ada pada tubuh isteri. Dengan
begitu, kapan, di mana, dan bagaimana hubungan seks dilakukan, sepenuhnya
tergantung kepada pihak suami, dan isteri tidak punya pilihan lain kecuali
melayani.
Akan tetapi, jika perkawinan didefinisikan sebagai akad ibâhah (kontrak
untuk membolehkan sesuatu dalam hal ini alat seks yang semula dilarang), artinya
dengan perkawinan itu alat seks perempuan tetap merupakan milik perempuan
yang dinikahi, hanya saja kini alat tersebut sudah menjadi halal untuk dinikmati
oleh seseorang yang telah menjadi suaminya. Dengan demikian, kapan hubungan
seks akan dilaksanakan, dengan cara bagaimana dilakukan, tidak semata-mata

5
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Alquran, (Jakarta, Paramadina, 1999), hal. 34-
35.

8
tergantung kepada kehendak suami, melainkan atas kehendak bersama dari kedua
belah pihak, yakni suami dan isteri, baik waktu maupun caranya.
Nafkah bagi isteri tidak hanya sebatas nafkah lahiriyah (makan, pakaian,
tempat tinggal, jaminan kesehatan dan lain-lain), tetapi meliputi juga nafkah batin
(menggauli, berhubungan seks, bisa juga perhatian dan kasih sayang). Kisah
Usman bin Ma’dum adalah merupakan momentum sejarah betapa pentingnya
kesetaraan dalam pemuasan seksual6. Usman bin Ma’dum sebagaimana
dikisahkan dalam sejarah adalah seorang suami yang berlebihan dalam beribadah,
sehingga mengharamkan tidur pada malam hari dengan isterinya. Bahkan dia
sendiri ingin mengebiri alat kelaminnya supaya konsentrasi dalam beribadah.
Maka ketika isterinya yang bernama Basila mengadukan perihal tersebut kepada
Nabi Muhammad SAW. Kemudian Nabi memanggil Usman bin Ma’dum lalu
berkata: Celaka engkau wahai Usman! Aku Perintahkan supaya engkau
meninggalkan sikap yang keliru itu. Pulanglah berbukalah (puasa) dan pergaulilah
isterimu seperti biasa.
d. Kesetaraan dalam Menentukan Rekayasa Genetika
Menurut Syaikh Mahmûd Syaltut, untuk mementukan siapa yang berhak
memutuskan untuk melakukan rekayasa genetika ini setidaknya ada empat
pendapat. Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh al-Ghazali dari kalangan
mazhab Syafi’i, mengatakan bahwa yang berhak memutuskan untuk punya anak
(lagi) atau tidak adalah suami/ayah. Konsekuensinya, jika suami menghendaki
anak, isteri tidak berhak apa-apa selain menuruti kemauannya. Pendapat seperti
ini diadasarkan pada (QS. al-Baqarah ayat 233)yang menyebut anak sebagai milik
bapak.
Kedua, pendapat yang banyak dianut oleh ulama Hanafiah mengatakan
bahwa yang berhak menentukan apakah akan mempunyai anak atau tidak adalah
keduanya, suami dan isteri. Dasarnya adalah bahwa soal anak tidak mungkin
terwujud tanpa partisipasi dari kedua belah pihak. Asal usulnya pun berakar dari
sperma suami dan ovum isteri. Hadis Rasulullah yang mewajibkan anak untuk

6
Husein Muhammad, Pandangan Islam tentang seksualitas, dikutip dari Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqh
‘alâ Mazâhib al-Arba’ah, IV, (Istanbul: Dar ad-Da’wah, 2019), hal. 1-3.

9
melipat gandakan baktinya kepada kedua orang tua, bahkan terutama ibu, bisa
menguatkan pendapat ini. Dengan demikian untuk memutuskan apakah akan
punya anak atau tidak, harus didasarkan pada kehendak dan persetujuan bersama
anatara suami dan isteri.
Ketiga, bahwa menentukan keturunan bukan hanya hak suami isteri,
melainkan juga umat/masyarakat dengan penekanan kepada keputusan suami
isteri. Kalangan ulama Hambali dan sebagian ulama Syafi’iyah menganut
pendapat seperti ini. Artinya, kebutuhan akan kemaslahatan masyarakat perlu
diperhitungkan bagi pasangan suami isteri untuk menentukan apakah akan
menempuh rekayasa genetika.
Keempat, yang banyak dianut oleh ahli hadis, hampir sama dengan
pendapat ketiga, tetapi dengan lebih menekankan kepada pertimbangan
kemaslahatan umat/masyarakat. Artinya, meskipun pasangan suami isteri
menghendaki atau tidak keturunan/anak akan tetapi apabila kemaslahatan umum
memutuskan lain, maka yang harus prioritaskan adalah kemaslahatan umum
tersebut.
e. Kesetaraan dalam Pengasuhan Anak
Sebagai implikasi dari peran ganda yang diperankan oleh seorang isteri,
selanjutnya muncul pertanyaan mendasar yaitu; siapa yang berkewajiban penuh
dalam perawatan anak? Apakah seorang isteri (ibu), yang dalam pandangan
stereotype adalah makhluk domestik, sehingga urusan rumah tangga termasuk
merawat anak adalah kewajibannya; atau ada pada suami (ayah), yang secara
normatif dipandang al-Qur’an sebagai pemilik anak; dan atau kedua-duanya,
sebagai tanggung jawab kolektif di dalam rumah tangga.
Imam malik berpendapat, kewajiban menyusui anak bagi ibu lebih
merupakan kewajiban moral (panggilan hati nurani) dari pada kewajiban formal
(legal). Artinya kalau ibu tidak mau melakukanya, suami atau pengadilan
sekalipun tidak berhak untuk memaksanya. Senada dengan imam Malik, para
ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan sebagian pengikut
Maliki berpendapat, bahwa menyusui anak oleh sang ibu itu hanya bersifat
mandub (sebaiknya). Oleh karena itu yang menjadi stressing point di sini adalah,

10
bahwa beban perawatan anak dibebankan secara kolektif antara ibu dan ayah.
Jangan sampai satu pihak merasa lebih diberatkan daripada yang lainnya. Ibu
karena secara kodrati mempunyai kemampuan untuk menyusui, maka tugas itu
dapat diambil alih oleh ibu, sementara ayah harus mengambil alih tugas-tugas
perawatan yang lain. Jadi tidak semua dikerjakan oleh ibu sementara ayah tidak
mau tahu dengan alasan apapun.
Dampak positif dari prinsip kesetaraan adalah terbukanya kesempatan bagi
perempuan (isteri) untuk mengembangkan potensinya lewat kiprahnya dalam
kehidupan sosial. Apakah di bidang sosial, ekonomi, keagamaan, politik, budaya
dan bidang-bidang lainnya. Sehingga budaya (mitos) yang mengatakan bahwa
perempuan adalah makhluk domestik yang hanya dalam dinding rumahnya,
bahkan tidak jarang hanya sebatas ruang-ruang dapur dan kamar tidurnya akan
mendapat pencerahan.7
f. Hak dalam Memutuskan Perkawinan (Talaq/cerai)
Untuk mencapai tarap perceraian, sepasang suami-isteri harus melewati
tahapan-tahapan rekonsiliasi dan arbitrasi. Sehingga keputusan perceraian betul-
betul melewati seleksi objektivitas yang cukup ketat. Bukan sebuah keputusan
yang tergesa-gesa, apalagi dalam kondisi yang masih emosional. Menurut Masdar
Farid Mas’udi ada beberapa tahapan-tahapan rekonsiliasi sebagai berikut.
Pertama, masing-masing dianjurkan berintropeksi untuk melihat kelemahannya
sendiri dan pada saat yang sama mengakui kelebihan pihak lain (pasangannya).
Kalau dipandang perlu, pada masa intropeksi ini bisa dilakukan dengan pisah
ranjang sementara (al-tahjîr fî al-madhâji’) antara suami dan isteri. Kedua, Jika
langkah intropeksi dan rekonsiliasi seperti yang pertama tidak membuahkan hasil,
maka dianjurkan menempuh tahapan kedua yakni arbitrasi. Yakni masing-masing
pihak dianjurkan mencari jalan islah, pemulihan hubungan damai, kalau perlu
dengan melibatkan atau menunjuk penengah dari masing-masing pihak. Ketiga,
Jika langkah arbitrasi juga belum berhasil, al-Qur’an sendiri mengatakan untuk
terus berikhtiar, sebisa mungkin ditempuh jalan rekosnsiliasi dan arbitrasi terus

7
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmy wa Adilatuhu, (Damaskus: Dar al- Fikr, 1989), hal. 699.

11
dan terus. Jika sudah betul-betul buntu, barulah diputuskan untuk mengadakan
perceraian.
Dalam sudut pandang fiqih, perceraian atau talaq adalah hak laki-laki. Hal
itu didasarkan pada firman Allah dalam QS. al-Thalaq ayat 1 yang artinya:

Wahai Nabi, jika kamu hendak menjatuhkan talak kepada istriistrimu maka
jatuhkanlah talak itu ketika mereka sedang dalam keadaan suci yang tidak
dicampuri. Tepatkanlah hitungan masa idah dan bertakwalah kepada Tuhanmu.
Jangan izinkan istri-istri yang kamu jatuhi talak itu keluar dari tempat mereka
ditalak. Jangan izinkan mereka keluar kecuali jika melakukan perbuatan keji
yang sangat nyata. Ketentuan- ketentuan itu merupakan hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah untuk para hamba-Nya. Barangsiapa yang melanggar
ketentuan Allah maka sesungguhnya ia telah menzalimi diri sendiri. Kamu, hai
orang yang melanggar, tidak mengetahui barangkali Allah akan mewujudkan
sesuatu yang tidak diperkirakan, sesudah talak itu, sehingga kedua pasangan
suami-istri itu kembali saling mencintai.” (QS. al-Thalaq [65]: 1)8

Dalam lintasan sejarah perkembangan hukum Islam tentang talak, ditemukan


nuktah merah bahwa hak talak bukan hak mutlak bagi laki-laki (suami) ansich.
Segera setelah mengentaskan kaum perempuan dari status objek mutlak
keputusan laki-laki, Islam telah memberikan kepadanya hak untuk mengambil
keputusan dari dirinya sendiri, termasuk di dalamnya hak untuk menceraikan
suami. Hak inilah yang dalam hukum Islam dikenal dengan istilah khulu’, yang
secara harfiyah berarti ‘melepas’. Artinya, jika seorang isteri sudah tidak cocok
lagi dengan suaminya, maka dia dapat meminta pengadilan untuk
menceraikannya.

2. Kesetaraan Gender dalam Perkawinan menurut Undang - Undang

8
Departemen Agama, AL- Hikmah Al-Qur’an dan terjemahannya, (Bandung:Al-Hikmah Qur’an, 2010),
hal. 558.

12
Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 yang selanjutnya disebut UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah. Perkawinan di Indonesia semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, termasuk di dalamnya mengenai syaratsyarat
yang harus dipenuhi untuk berlangsungnya suatu perkawinan, yaitu syarat
mengenai usia minimum perkawinan. Syarat usia minimum perkawinan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu
pada Pasal 7 ayat (1) bahwa perkawinan itu hanya diizinkan jika pihak lakilaki
telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Perbedaan syarat usia minimum dalam undang-undang tersebut tentunya


bertentangan dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD
Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Ketentuan mengenai syarat usia minimum bagi perempuan tersebut juga
bertentangan dengan Pasal 28 B ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, karena berdasarkan
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 junto Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Anak menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5
Tahun 2019 adalah seseorang yang belum berusia 19 tahun atau belum pernah
kawin menurut peraturan perundang-undangan.

Penentuan batas usia minimum perkawinan antara laki-laki dan


perempuan juga mencerminkan ketidaksetaraan gender atau perlakuan berbeda
berdasarkan perbedaan jenis kelamin dan gender. Ketentuan tersebut telah

13
mengakibatkan kerugian konstitusional baik nyata maupun konstitusional
khususnya terhadap anak perempuan, dikarenakan perkawinan di bawah usia 18
tahun yang telah menikah mengakibatkan ia tidak lagi dianggap sebagai seorang
anak. Berkaitan dengan perbedaan usia tersebut, pada praktiknya kebanyakan
perkawinan bawah umur terjadi pada perempuan, karena ini ketidaksetaraan
gender muncul antara laki-laki dan perempuan. 9
Remaja perempuan yang
berpendidikan rendah lebih berisiko 5,4 kali melakukan perkawinan pada usia
dini dibandingkan remaja perempuan yang berpendidikan tinggi.

Perbedaan jenis kelamin bukanlah menjadi Perbedaan jenis kelamin


bukanlah menjadi alasan untuk memperlakukan laki-laki secara berbeda dalam
kehidupan bermasyarakat maupun secara hukum. Kesetaraan gender tidak hanya
harus diwujudkan dalam kehidupan secara sosial, namun juga dalam hukum atau
peraturan 1 Sonny Dewi Judiasih (et.al), “Sustainable Development Goals and
Elimination Children’s Marriage Practice in Indonesia”, Jurnal Notariil, Vol 4 No.
1, 2019, hlm 52 2 Eka Yuli Handayani, “Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Pernikahan Usia Dini Pada Remaja Putri di Kecamatan Tambusai Utara
Kabupaten Rokan Hulu”, Jurnal Maternity and Neonatal, Vol 1 No. 5, 2014, hlm
309 3 ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Volume 5, Nomor 1,
Desember 2021 , Desember 2020 PISSN: 2614-3542 EISSN: 2614-3550
perundang-undangan. Indonesia sebagai salah satu negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengadopsi salah satu program dari PBB yakni
Transforming Our World : The 2030 Agenda for Sustainable Development atau
yang selanjutnya disebut dengan Sustainable Development Goals sebagai salah
satu wujud untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia,
melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Tujuan kelima dari agenda Sustainable Development Goals tersebut ialah


mengenai “Tercapainya Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan serta
Anak Perempuan” yang mana salah satu targetnya yaitu penghapusan praktik
9
Sonny Dewi Judiasih (et.al), “sustainable Development Goals and Elimination Children’s Marriage
Practice in Indonesia”, Jurnal Nataril, Vol 4 No.1, 2019, hal.52.

14
perkawinan anak, dini dan paksa pada perempuan.3 Pelaksanaan dari tujuan dan
target tersebut kemudian direalisasikan melalui terbitnya revisi atau perubahan
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yakni Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan atau selanjutnya disebut Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan. Terbitnya Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan ini hanya mengubah satu pasal yakni Pasal 7
mengenai syarat usia minimum perkawinan. Syarat usia minimum bagi
perempuan yang semula 16 tahun diubah menjadi sama dengan laki-laki yakni 19
tahun. Hal ini dapat dikatakan merupakan suatu perwujudan kesetaraan gender
melalui persamaan usia minimum perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Munculnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan ini
tentunya dengan harapan dapat menekan hingga menghapus angka perkawinan
bawah umur di Indonesia, namun yang terjadi malah sebaliknya. Pada praktiknya,
setelah diterbitkannya undang-undang ini, angka perkawinan bawah umur serta
permohonan dispensasi kawin di Indonesia malah semakin meningkat dibanding
sebelumnya.

Kekhawatiran akan naiknya angka perkawinan bawah umur tersebut juga


muncul berkaitan pihak mana yang terbanyak mengajukan dispensasi usia
perkawinan, pihak laki-laki atau perempuan. Masyarakat telah membentuk stigma
bahwa laki-laki memiliki kesempatan dan peluang yang lebih besar dalam segala
bidang dan aspek pembangunan serta sosial dibandingkan perempuan yang
dianggap hanya memiliki peran dalam kehidupan domestik atau rumah tangga.
Terkait dengan hal tersebut, maka peneliti mengkaji masalah penerapan
pengaturan persamaan syarat usia perkawinan sebagai perwujudan kesetaraan
gender terkait perkawinan bawah umur berdasarkan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan akibat hukum dari penerapan pengaturan syarat usia perkawinan
sebagai perwujudan kesetaraan gender terhadap upaya meminimalisir perkawinan
bawah umur di Indonesia.

15
B. Kesetaraan gender dalam hukum waris menurut Alquran, hadis, dan undang-
undang
1. Kesetaraan gender dalam waris menurut Alquran
Secara individual, Islam memandang laki-laki mempunyai kedudukan yang sama.
Keduanya diciptakan untuk beribadah, dan atas dasar amal kebaikan pula keduanya akan
mendapatkan jaminan kebaikan di akhirat. Perbedaan sikap (hukum) Islam terhadap lakilaki
dan perempuan tidak dimaksudkan sebagai sebuah diskriminasi dan tidak pula dimaksudkan
untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya.10

Pemberian hak waris oleh Islam terhadap perempuan merupakan revolusi hukum perdata
saat itu. Ayat waris pada Al-Quran surat al-Nisâ’ ayat 7 merupakan tonggak bersejarah yang
memberikan kesetaraan terhadap laki-laki dan perempuan, bahwa keduanya mempunyai hak
yang sama untuk menikmati harta warisan.Akses kaum perempuan terhadap peralihan
properti ini kemudian diatur dengan memberkan batasan terhadap anak laki-laki yang
mendapatkan hak dua kali anak perempuan. Ketentuan ini berlaku juga terhadap ayah dan
ibu, di mana ayah mendapatkan dua kali bagian ibu seperti dalam kasus Umaryatain yang
diselesaikan oleh Umar ibn Khatab. Demikian pula ketentuan ini berlaku bagi saudara, jika
saudara kandung terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Ketentuan perbandingan hak waris laki-laki mempunyai dua kali bagian perempuan juga
ditegaskan dalam Buku III KHI Pasal 176 yang menyatakan: “Anak perempuan bila hanya
seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama
mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-
laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan”.

Dengan demikian, tidak ada perubahan mendasar dalam hukum waris Islam dengan
hukum waris Islam Indonesia yang terdapat pada KHI. Ketentuan hak waris dua berbanding
satu antara laki-laki dan perempuan dalam QS. al-Nisâ’ [4] ayat 11 masih dipertahankan
dalam norma hukum waris di Indonesia.

10
Nasruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999),
hal.23.

16
Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, Munawir Sjadzali (1925-2004 M) adalah
cendikiawan muslim yang berusaha memberikan penafsiran radikal terhadap ketentuan
warismengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan. Salah satu alasan yang dikemukakan
oleh Sjadzali, karena hak waris 2 berbanding 1 sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat
Indonesia baik secara langsung maupun tidak. Sjadzali juga memberikan ilustrasi kebiasaan
orang tua di masyarakat Indonesia yang lebih banyak mengedepankan anak laki-lakinya,
sehingga dengan biaya sekolah yang lebih banyak yang diterima oleh anak laki-laki,
tampaknya akan mencerminkan ketidakadilan apabila anak laki-laki tetap memperoleh 2 kali
bagian anak perempuan. Sjadzali juga memperhatikan terhadap praktek hailah yang
dilakukan oleh banyak ulama dengan membagi kekayaan kepada putra-putrinya sebagai
hibah, masing-masing mendapat bagian yang sama tanpa diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin.

Meskipun secara secara tekstual nash Alquran menegaskan bahwa lelaki berbanding dua
kali bagian perempuan, namun demikian tidak sedikit putusan Pengadilan telah
memposisikan adanya kesetaraan hak waris antara laki-laki dan perempuan. Mukhtar
Zamzami (Hakim Agung) dalam disertasinya menjelaskan bahwa terdapat putusan
Pengadilan Agama yang memberikan nilai kesetaraan terhadap hak anak laki-laki dan anak
perempuan. Zamzami menyebutkan tiga putusan fenomenal yang menjadi pelopor kesetaraan
hak waris adalah putusan Pengadilan Agama Makasar Nomor: 338/Pdt.G/1998/PA.Upg,
putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor: 30/Pdt. G/2000/PA.Mks dan putusan
Pengadilan Agama Medan Nomor: 92/Pdt.G/2009/PA.Mdn. Ketiga putusan tersebut secara
eksplisit memberikan hak waris bagi anak laki-laki dan anak perempuan dengan sama besar.

Upaya kesetaraan dalam putusan pengadilan juga ditunjukkan oleh sikap Mahkamah
Agung dengan mendudukkan anak perempuan sama seperti halnya anak laki yang dapat
menghijab saudara pewaris (laki-laki atau perempuan). Majalah Peradilan Agama yang saat
ini merupakan referensi hukum bagi para hakim di lingkungan peradilan agama, telah
menunjuk putusan Mahkamah Agung 86K/AG/1994 tanggal 20 Juli 1995 menjadi bagian
sejarah hukum waris di Indonesia karena telah menghilangkan hak waris saudara dengan
kehadiran anak perempuan. Sikap Mahkamah Agung tersebut jelas bertentangan dengan fikih
empat mazhab. Karena ke empat mazhab sunni cenderung mengedepankan tekstual asbâb al-

17
nuzûl surat al-Nisâ’ [4] ayat 11-12, di mana kedudukan saudara laki-laki menjadi ‘ashabah,
menghabiskan sisa harta waris setelah diambil oleh anak perempuan dan istri.

2. Kesetaraan gender dalam waris menurut hadis


Undang-undang Al-Quran dan hukum waris Islam paling baik dilihat mulai dari latar
belakang hukum adat suku Arab pra Islam, yaitu, praktik warisan adat orang Arab nomaden yang
tinggal di Hijaz sebelum kebangkitan Islam. Pada bab ini, penulis mencoba memberikan model
perkembangan sosiologis-historis hukum waris Islam. Noel J. Coulson sebagaimana dikutip oleh
David S. Power, menggambarkan hukum waris Islam sebagai perpanjangan yang tidak linier dari
apa yang disebut hukum adat suku di Arab pra-Islam. Hukum warisan proto-Islam hampir tidak
dapat dilihat sebagai perpanjangan dari praktik warisan adat orang Arab nomaden di Arab pra-
Islam, di antaranya properti dimiliki secara kolektif dan diserahkan sesuai dengan prinsip
senioritas. Sulit untuk menentukan dengan tepat praktik pewarisan apa yang dilakukan oleh
11

orang-orang Arab yang menetap di Hijaz, karena seperti yang dinyatakan, sumber-sumbernya
tidak dapat diandalkan dan cenderung menekankan hukum nomaden.12

Hukum dianggap tidak berkembang sebagai fenomena sejarah yang terkait erat dengan
evolusi masyarakat dan sejarah hukum, dalam pengertian barat, tidak ada. Pandangan ini telah
ditentang pada abad ke-20 oleh para sarjana barat yang telah berusaha untuk menunjukkan
bahwa teori klasik hukum Islam adalah produk dari proses sejarah yang kompleks yang
berlangsung dalam kurun waktu tiga abad dan, lebih jauh bahwa pertumbuhan awal hukum Islam
adalah terkait erat dengan perkembangan sosial, politik dan ekonomi kontemporer. Di bidang
kewarisan, tidak ada yang melakukan lebih banyak untuk mempromosikan pemahaman
sosiologis-historis tentang hukum selain Noel J. Coulson. Meskipun Coulson tidak pernah
mengartikulasikan penjelasan yang terpadu dan komprehensif tentang evolusi sejarah hukum
pewarisan Islam dari zaman pra-Islam hingga zaman modern.

Secara historis, evolusi sejarah hukum waris Islam dapat dilihat dengan latar belakang
hukum adat suku Arab pra-Islam, yaitu praktik pembagian harta waris oleh orang Arab yang

11
David. S. Power, The Islamic Inheritance System: A Socio-Historical Approach, (Arab and Islamic Law
Series Graham and Trotman, 1990), hal. 13.
12
Ibid, hal. 15

18
nomaden tinggal di Hijaz sebelum kebangkitan Islam. Masyarakat suku ini patrilineal dalam
strukturnya dan patriarkal dalam etosnya. Suku individu dibentuk dari laki-laki dewasa yang
ditelusuri keturunan mereka dari nenek moyang yang sama melalui mata rantai khusus laki-laki.
13
Tubuh suku terikat oleh aturan tak tertulis yang telah berkembang sebagai manifestasi dari jiwa
dan karakternya. Aturanaturan ini berfungsi untuk mengkonsolidasikan kekuatan militer suku
dan untuk mempertahankan warisannya dengan membatasi hak warisan kepada kerabat laki-laki
dari almarhum, diatur dalam urutan hierarki, dengan putra dan keturunan mereka di urutan
pertama dalam urutan prioritas.

Selanjutnya, menjelang abad kebangkitan Islam, struktur sosial masyarakat Hijaz


mengalami transformasi secara radikal, terutama di wilayah Mekkah dan Madinah. Di mana
keluarga inti menggantikan suku, sebagai unit dasar masyarakat. Dari perubahan historis ini, Al-
Qur’an melahirkan aturan kewarisan baru yang menekankan ikatan yang ada antara suami dan
istrinya serta antara orang tua dan anak; Aturan ini juga memiliki tujuan khusus untuk
meningkatkan status hukum perempuan dalam keluarga inti. Maka, dengan undang-undang
pewarisan, Al-Qur'an datang sebagai reformasi hukum adat suku di Arab pra-Islam.
Dari paparan tersebut, secara Sosio-Historis dapat disimpulkan bahwa turunnya ayat
tetang kewarisan Islam tidak muncul begitu saja, namun sebagai respon Islam pada tradisi dan
masalah yang ada pada masyarakat sebelum Islam. K 14etentuan ini tidak bisa bersifat umum
karena ketentuan ini tidak dapat memberikan kebenaran bahwa teks tersebut dikatakan jelas.
Benar atau salah ketetapan harus dapat diukur sejauh mana mampu memberikan gambaran nilai
sebuah keadilan dan kesetaraan sebagai sebuah prinsip yang muhkam dan universal.

Ketentuan bahwa konsep pembagian waris 2:1 melawan konsep keadilan dan kesetaraan,
ada beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti:
1. Membandingkan dengan realitas sosial yang terjadi sebelumnya, perempuan yang waktu itu
tidak diberikan hak atas harta waris bahkan hanya menjadi objek untuk diwariskan. Dari sini kita
dapat mengetahui bahwa, ditetapkannya syariat mengenai pemberian hak waris kepada para

13
Lilik Andaryuni, “Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Turki dan Somalia”, Hikmah: Journal of
Islamic Studies, vol. 14, no.1 (2018): hal. 160.
14
Syahrur, “Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah”, terj. Sahiron
Syamsudin Prinsip dan Dasar Hermenutika Hukum Islam Kontemporer, hal. 147.

19
perempuan sangatlah adil. Dengan memberikan hak waris kepada perempuan, berarti Islam
menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam hal mewarisi
harta pusaka.
2. Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa secara kuantitas terjadi perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, maka perlu melihat setting sosial yang ada dalam kehidupan
keluarga pada waktu itu, bahwa beban untuk mencari dan memberi nafkah sepenuhnya
ditanggung oleh laki-laki.

Pendapat Muhammad Syahrur bahwa, apabila merujuk pada ayat waris nampaknya
berpendapat bahwa pembagian warisan masih meninggalkan berbagai masalah yang belum
menemukan solusi. Dalam teori limitnya syahrur mengungkapkan bahwa ada ketentuan dalam
menjalankan syariat Allah, ada batas maksimum dan ketentuan batas minimumnya. Artinya
hukum Allah bersifat elastis. Musdah Mulia, memberikan pandangan dan melakukan
rekontektualisasi ayat waris yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Misalnya
dalam kasus pembagian harta waris, diberikan keluarga terdekat pewaris. Misalnya perlu
diperhatikan dalam konteks ketidakadilan pada kasus, anak perempuan yag merawat orang
tuanya ketika sakit dan sehat mendapatkan bagian lebih sedikit dari pada anak laki-laki.

Adapun dasar yang menyatakan bahwa laki-laki mempunyai tugas dan tanggung jawab
yang berlebih jika dibandingkan perempuan sehingga berpengaruh pada besar kecilnya perolehan
harta waris menjadi pemikiran yang salah untuk sekarang ini. Karena jika dilihat dari aspek.
Sosio-Historis saat pertamakali wahyu diturunkan dengan keadaan sosial saat ini jauhlah
berbeda. Pada zaman sekarang ini perempuan, banyak dijumpai perempuan bekerja untuk
memenuhi nafkah dan menjadi tulang punggung keluarga dan hal tersebut tidak terlihat pada
zaman Arab Pra-Islam. Menurut pendapat Musdah, ayat yang berbunyi “ li aż-żakari mislu
hāżihi alunṡayain” merupakan sebuah kasus tertentu mengenai pembagian harta waris bukan
merupakan hukum yang bersifat tetap akan tetapi akan terus bergerak mengikuti zaman dengan
berbagai kasus yang terjadi.

20
Ayat waris tersebut merupakan sebuah tanggapan pada kondisi Sosiologis-Historis
masyarakat Arab pada waktu itu. Pada saat itu, perempuan tidak mempunyai hak waris bahkan
merupakan barang waris bagi laki-laki terdekatnya. Ayat waris memberi kesadaran pada
masyarakat Arab bahwa perempuan bukanlah menjadi objek waris belaka melainkan subjek
waris seperti halnya laki-laki yang berhak menjadi ahli waris dan diwarisi. Sehingga ayat tetang
waris ini sebagai sebuah usaha dalam melakukan perbaikan pada posisi perempuan yang ada
dalam masyarakat dengan menyesuaikan keadaan sosial masyarakat sesuai dengan zamannya.

3. Kesetaraan gender dalam waris menurut Undang-Undang


Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata, saat ini pengaturan mengenai
waris masih berbeda-beda bagi berbagai golongan penduduk indonesia antara lain golongan
keturunan eropa (barat), golongan penduduk asli, golongan keturunan tionghoa dan golongan
timur asing bukan tionghoa. Adapun aturan hukum yang berbeda-beda yang mengatur hukum
waris yakni hukum waris adat, hukum waris islam sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum
Islan dan hukum waris barat sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata).15

Dalam perkembangan penerapan hukum oleh Hakim dalam berbagai putusan pengadilan
memberikan perlindungan terhadap perempuan agar tidak mengalami diskriminasi dan memiliki
hak warisan dengan bagian yang sama dengan laki-laki, hal ini sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 17 yang
berbunyi:”Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun
administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan
hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar”. Adapun Mahkamah Agung telah mengeluarkan
beberapa putusan yang mempertimbangkan hak laki-laki dan perempuan dalam pembagian
warisan dengan bagian (porsi) yang adil sebagai berikut:

Melalui Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 tanggal 23 Oktober 1961 dalam perkara Langtewas
dkk melawan Benih Ginting terkait dengan sengketa kewarisan dalam adat Karo yang sangat
kuat menganut paham patrilineal (garis keturunan Ayah), Mahkamah Agung menyatakan bahwa
mahkamah Agung atas rasa peri kemanusiaan dan keadilan umum serta atas hakikat persamaan
15
A. Pitlo, 1979, Hukum waris menurut kitab undang-undang Hukum perdata, terj. M. Isa Arief, Intermasa:
Jakarta, hal. 10.

21
hak antara wanita dan priamenganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, jadi juga
di TanahKaro bahwa seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris dan
berhakmenerima bagian dari harta warisan orang tuanya.

Pertimbangan hukum yang senada dijumpai puladalam putusan Mahkamah Agung dalam
perkara sengketa kewarisan dalam hukum adat Batak Mandailing yang juga menganut paham
patrilinialisme. Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 415 K/SIP/1970 tanggal 16 Juni 1971
dalam perkara Usman dkk melawan Marah Iman Nasution dkk menyatakan bahwa hukum Adat
di daerah Tapanuli kini telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak
perempuan dan laki-laki. Dalam perkara lain menyangkut kewarisan yangberlaku pada hukum
adat yang secara tegas juga menganut paham patrilineal,yaitu Bali, dalam Putusan Nomor 4766
K/Pdt/1998 tanggal 16 November 1999,Mahkamah Agung kembali menggariskan kaidah hukum
bahwa perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris walaupun sistem pewarisan
di Bali sendiri menganut system pewarisan mayorat laki-laki.

Putusan Mahkamah Agung terkait hak yang sama antara laki-laki dan perempuan di atas
kemudian secara konsisten diterapkan dalam berbagai putusan Mahkamah Agung berikutnya
yaitu putusan Nomor 1048K/Pdt/2012 tanggal 26 September 2012. Perkara ini terkait pembagian
waris adat Rote Ndao Nusa Tenggara Timur. Putusan ini kemudian dimasukan ke dalam salah
satu putusan penting (landmark decision) Mahkamah Agung di Laporan TahunanTahun 2012.
Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa alasan-alasan kasasi tersebut di
atas, dapat dibenarkan, Judex Facti/Pengadilan Tinggi Kupang yang membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Rote Ndao salah dalam menerapkan hukum karena pertimbangan Pengadilan
Tinggi Kupang tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku, yaitu Pasal 17 Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI No. 179 K/Sip/1961 tanggal 11 November 1961 yang menyatakan bahwa hak waris
perempuan disamakan dengan laki- laki. Artinya, hukum adat yang tidak sesuai dengan
perkembangan hukum dalam masyarakat, seperti hukum adat yang tidak mengakui hak
perempuan setara dengan kedudukan laki-laki, tidak dapat lagi dipertahankan. Penyetaraan hak
waris perempuan kembali diputuskan Mahkamah Agung pada tahun 147 K/Pdt/2017 tanggal 18
April 2017. Dalam perkara ini Mahkamah Agung memutus perkara waris terkait adat Tionghoa.

22
Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan. 16
Bahwa dalam rangka kesetaraan
gender, hak wanita dan pria adalah sama dalam hukum, maka adil dan patut harta benda
sipeninggal waris harus dibagi sama oleh ahli waris tanpa membedakan pria dan wanita terlebih
lagi hukum adat Tionghoa yang tidak tertulis dan harus menyesuaikan dengan perkembangan
zaman. Bahwa ialah tidak adil memposisikan anak laki-laki tertua sebagai satu-satunya penerima
warisan orang tuanya terhadap harta benda tetap, sementara anak perempuan hanya mendapat
perhiasan. Sikap serupa kembali diputus Mahkamah Agungpada tanggal 19 Juni 2017 yaitu
dalam putusan No. 573 K/Pdt/2017 terkait pembagian waris dalam adat Batak dan putusan
No.1130 K/Pdt/2017 tanggal 10 Juli 2017 terkait pembagian waris dalam adat Manggarai Nusa
Tenggara Timur.

Pandangan hukum yang berpihak pada kesetaraan dan keadilan gender sebagaimana termuat
di dalam berbagai putusan di atas kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung melalui fungsi
pengaturan atau legislasi dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum pada tanggal
4 Agustus 2017. 17
Mahkamah Agung menerbitkan Yurisprudensi dengan Nomor Katalog
3/Yur/Pdt/2018 dengan kaidah hukum. Atas dasar persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan, perempuan mempunyai hak atas warisan orang tuanya atau suaminya sehingga
mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan untuk memperoleh
warisan dan mendapatkan warisan dengan bagian (porsi) yangsama dengan laki-laki.

Jadi, perempuan memiliki hak warisan dengan bagian (porsi) yang sama dengan laki-laki
demi tercapainya keadilan. Jika anda sebagai perempuan mengalami diskiriminasidalam
pembagian harta warisan, maka anda dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh warisan dan
mendapatkan warisan dengan bagian (porsi) yangsama dengan laki-laki.

16
Ibid hal. 12.
17
Lips, Hillary M, A New Psychology of Women; Gender Culture, and Ethnicity, Second
Edition (New York: Mc Graw Hill, 2003) hal. 6-7.

23
BAB III

KESIMPULAN
Dalam perspektif hukum, perbedaan usia perkawinan dibatasi oleh usia yaitu laki- laki 19
tahun dan perempuan 16 tahun, sebagaimana tersebut dalam UndangUndang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Seiring dengan kesetaraan gender, sehingga usia perkawinan seharusnya
tidak lagi dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Harus ditentukan suatu batasan umur yang
sama. Mengingat perkawinan juga mempunyai akibat hukum yang luas di dalam hubungan
hukum antara suami dan isteri yang mengandung nilai-nilai agama dan moral. Dengan
perkawinan tersebut akan timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti : kewajiban
untuk bertempat tinggal yang sama, saling setia satu sama lain, kewajiban untuk memberi
nafkah, hak waris dan sebagainya.

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, sampailah pada tahap kesimpulan bahwadalam


pandangan Islam, kedudukan laki-laki dan perempuan secara individual adalah sama, keduanya
berhak melakukan perbuatan kebaikan dan atas kebaikan itu pula akan dinilai sebagai hasil akhir
(di yawm al-qiyâmah). Perbedaan hak dan kewajiban dalam Islam tidak dimaksudkan sebagai
perbedaan yang akan melebihkan satu dengan yang lainnya. Adapun ijtihad berkenaan dengan
hukum waris yang diperlihatkan oleh pemikir muslim di Indonesia dan putusan Pengadilan
cenderung berusaha untuk membawa perubahan terhadap hak perempuan atas harta waris orang
tuanya. Hazairin berusaha mempersamakan hak waris antara cucu dari keturunan laki-laki dan
cucu dari keturunan perempuan sedangkan Sjadzali berusaha mempersamakan hak laki-laki dan
perempuan berdasarkan ijtihad kemanusiaannya. Terdapat beberapa putusan Pengadilan Agama
berusaha memberikan hak yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan, dan terdapat
putusan Mahkamah Agung RI yang menggariskan tentang kedudukan anak perempuan yang
menghijab anak laki-laki dan perempuan.

24
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. (2004) Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia (Edisi
6, Cet. 11). Jakarta: PT.Gravindo Persada.

Darmabrata, Wahyono. (2002). Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia (Cet. 1).
Jakarta: Rizkita.

Eka Yuli Handayani, “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pernikahan Usia Dini Pada
Remaja Putri di Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten Rokan Hulu”, Jurnal Maternity
and Neonatal. Vol 1 No. 5. 2014.

Kartasapoetra, G. dan Roekasih, NY.E. (1982). Hukum Pengantar Ilmu Hukum (Cet.1).
Bandung: CV. Armico.

Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan. PP No.9 Tahun 1975, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3050.

Puspitawati, Herien. (2012). “Pengelan Konsep Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender,”
Makalah disampaikan di IPB Bogor.

Qardlâwî, Yûsuf. (1994). al-Ijtihâd al-Mu‘ashshirah bayna al-Indibâth wa al-Infirâth. Kairo:


Dâr al-Tawzi‘ wa al-Nashr al-Islâmiyyah.

R. Subekti. (2003). Pokok-pokok Hukum Perdata (Cet. 31). Jakarta: PT. Inter Media.

Shirin Heidari, Thomas F. Babor, Paole De Castro, Sera Tort, and Mirjam Curno, “Sex and
Gender Equity in Research: Rationale for the SAGER Guidelines and Recommended
Use”, Research Integrity and Peer Review. Vol 1 No 2. 2016.

Soekanto, Soerjono. (2010). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soepomo. (1989). Bab-bab tentang Hukum Adat. Bandung: University.

Sonny Dewi Judiasih, Luh Putu Sudini, Betty Rubiati, Deviana Yuanitasari, Hazar
Kusumayanti, dan Elycia Feronia Salim, “Sustainable Development Goals and
Elimination Children’s Marriage Practice in Indonesia”, Jurnal Notariil. Vol 4 No. 1.
2019.

25

Anda mungkin juga menyukai