Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KONSEP PERWALIAN PERNIKAHAN ANAK DI LUAR NIKAH


MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG

Dosen Pengampu :
Yuspika Purba, S.H., M.H.

Disusun Oleh :
Cintia Devi
Dhini Aulia
Nur Taulina Limbong
Katerina Semimawati Gulo
Ririn Nur Aisyah
Surya Putri Nazrina

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SIMALUNGUN


PEMATANG SIANTAR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “Konsep Perwalian
Pernikahan Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang” dengan sebaik -
baiknya.

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Dosen Pendidik, Ibu Yuspika Purba, S.H., M.H.,
selaku dosen mata kuliah hukum islam. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada teman
teman seperjuangan yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian makalah ini.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari segi
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan
rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat kepada kami
dan teman-teman sekalian dalam proses pembelajaran.

Pematang Siantar, 20 Oktober 2023

Tim Penulis,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... ii


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 4
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 5
1.3. Tujuan Makalah................................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 6
2.1. Pengertian Pernikahan dan Dasar Hukumnya...................................................................... 6
2.2. Hukum Perkawinan .......................................................................................................... 6
2.3. Tujuan Pernikahan dan Hikmahnya ................................................................................. 8
2.4. Status-Status Anak ......................................................................................................... 10
2.5. Hubungan Nasab Anak di Luar Nikah ........................................................................... 11
2.6. Aturan Perwalian Anak di Luar Nikah Menurut Undang-Undang ................................ 12
2.7. Aturan Perwalian Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Islam ..................................... 13
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 15
3.1. Kesimpulan..................................................................................................................... 15
3.2. Saran ............................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pernikahan adalah salah satu kebutuhan alami bagi setiap manusia. Adapun juga yang
memahami bahwa pernikahan adalah anjuran maupun kewajiban. Meskipun begitu, pernikahan
merupakan kenyamanan hakiki bagi pria dan wanita secara bersamaan, di mana seorang wanita
dapat menemukan seorang laki-laki yang bertanggung jawab yang mampu memberinya nafkah
lahir dan batin sehingga ia selalu merasa nyaman bersamanya. Sementara, si laki-laki, ia dapat
menemukan dan merasakan istrinya adalah surga hidupnya, seakan-akan istrinya itu adalah
bagaikan genangan air yang tiada habis di tengah-tengah padang pasir yang luas1.
Pernikahan pun dimaksudkan untuk mencegah hal-hal seperti zina dapat terhindarkan. Hal
ini sesuai dengan hadist :

“Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, melainkan yang ketiga dari mereka
adalah setan.” (HR. At Tirmidzi)
Sebagian besar masyarakat masih banyak yang menyalahgunakan perkawinan dengan
menodai makna dan tujuan dari perkawinan itu sendiri dengan melakukan zina atau berhubungan
seks di luar nikah yang berakibat rusaknya sebuah perkawinan sehingga menimbulkan
permasalahan yang disebut perkawinan wanita hamil di luar nikah yang kemudian menimbulkan
permasalahan baru yaitu status anak mereka, yang mana dapat menimbulkan perselisihan dalam
lingkungan masyarakat pada umumnya ataupun para ahli hukum mengenai status anak tersebut
sah atau tidak sahnya perkawinan tersebut dilaksanakan.
Lahirnya seorang anak di luar perkawinan akan menimbulkan banyak problematika bagi
anak tersebut di kemudian hari. Kelahiran seorang anak tidak hanya dirasakan oleh keluarga yang
bersangkutan tetapi juga masyarakat dan negara, di mana suatu kelahiran harus dilaporkan yang
nantinya akan dibuat suatu akta kelahiran untuk membuktikan bahwa anak tersebut lahir sebagai
anak yang sah, dan dalam pembuatan akta tersebut harus disertakan surat nikah kedua orang
tuanya. Sehingga jika kedua orang tuanya itu tidak mempunyai surat nikah, karena perkawinan

1
Abdul Hamid ibn’ Mu’tadzim, Panduan Lengkap Menikah Islami, Maroon, 2008, hlm 3
4
mereka tidak tercatat dalam Kantor Urusan Agama (KUA). Maka anak yang lahir dari perkawinan
yang tidak tercatat tersebut merupakan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.

1.2. Rumusan Masalah


1. Seberapa penting pernikahan dalam islam?
2. Bagaimana pengaturan perwalian pernikahan anak di luar nikah menurut hukum islam dan
undang-undang?
3. Bagaimana tinjauan hukum islam dan undang undang terhadap konsep perwalian pernikahan
anak di luar nikah?

1.3. Tujuan Makalah


1. Untuk mengetahui bagaimana hukum islam dan undang undang mengatur perwalian pada
pernikahan anak di luar nikah
2. Untuk menjadi pembelajaran bagi para mahasiswa bahwa pernikahan adalah jalan untuk
membangun keluarga yang baik dan menghindarkan segala mudarat yang tidak diinginkan
3. Memberikan wawasan baru terhadap para mahasiwa tentang konsep perwalian pernikahan
anak di luar nikah.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Pernikahan dan Dasar Hukumnya


Secara etimologis perkawinan dalam bahasa Arab berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini
tang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyaj terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadis Nabi. Al-Nikah mempunyai arti Al-Wath’i, Al-Dhommu, Al-Tadakhul, Al-jam’u atau ibarat
‘an al-wath aqd yang berarti bersetubuh, hubungan badan, berkumpul, jima’ dan akad.2
Pernikahan dalam arti luas adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
serorang perempuan untuk hidup berketurunan, yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat
islam3. Pengertian perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Nomor
1 Tahun 1974) tentang Perkawinan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

2.2. Hukum Perkawinan


Hukum nikah itu pada dasarnya bisa berubah sesuai dengan keadaan pelakunya. Secara
rinci hukum pernikahan adalah sebagai berikut:
1. Wajib
Nikah hukumnya wajib bagi yang mampu dan nafsunya telah mendesak, serta takut
terjerumus dalam lembah perzinaan. Menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib, maka
jalan yang terbaik adalah menikah. Ulama Malikiyah mengatakan bahwa menikah itu wajib bagi
orang yang menyukai dan takut dirinya akan terjerumus ke jurang perzinaan manakala ia tidak
menikah, sedangkan berpuasa ia tidak sanggup. Selanjutnya Malikiyah memberikan beberapa
kriteria tentang wajibnya menikah bagi seseorang yaitu:
a) Apabila takut dirinya akan terjerumus ke dalam lembah perzinaan;
b) Untuk mengekangnya tidak mampu berpuasa, atau mampu berpuasa tetapi tidak mampu
mengekang nafsu;
c) Tidak mampu menyatukan kekayaan umat manusia.4

2
Mardani, Hukum Perkawinan Islam: di Dunia Islam Modern, (Yokyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 4
3
Abd. Shomad, Hukum Islam, Jakarta: Kencana, cetakan 2, 2012), hal 180
4
Ibid.
6
Sedangkan ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa menikah hukumnya wajib bagi
seseorang dengan syarat sebagai berikut:
a) yakin apabila tidak menikah akan terjerumus dalam lembah perzinaan;
b) tidak mampu berpuasa untuk mengekang nafsu seksual;
c) tidak mampu menyatukan kekayaan umat;
d) mampu memberikan mahar dan memberi nafkah.5
2. Sunnah
Bagi orang yang mau menikah dan nafsunya kuat, tetapi mampu mengendalikan diri dari
perzinaan, maka hukum menikah baginya sunnah. Menikah baginya lebih utama daripada berdiam
diri menekuni ibadah, karena menjalani hidup sebagai pendeta (anti nikah) sama tidak dibenarkan
dalam islam.6
Baik ulama Hanafiah maupun ulama Hanabilah, mereka sependapat bahwa menikah itu
sunnah bagi orang yang menyukainya, tetapi tidak takut terjerumus dalam lembah perzinaan. Bagi
ulama Malikiyah berpendapat bahwa menikah itu sunnah bagi yang kurang menyukainya, tetapi
menginginkan keturunan karena mampu melakukan kewajiban dengan memberi rezeki yang halal
serta mampu melakukan hubungan seksual. Sedangkan ulama Syafi’yah menganggap bahwa
menikah itu sunnah bagi orang yang melakukan dengan niat mendapat ketenangan jiwa dan
melanjutkan keturunan.
3. Haram
Bagi orang yang tidak menginginkan-nya karena tidak mampu memberi nafkah, baik
nafkah lahir maupun nafkah batin kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak, atau dia
mempunyai keyakinan bahwa menikah ia akan keluar dari Islam, maka hukum menikah itu adalah
haram.
4. Makruh
Hukum menikah menjadi makruh bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu
memberi nafkah kepada istrinya walaupun tidak merugikannya karena ia kaya dan tidak
mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga bertambah makruh hukumnya jika karena lemah
syahwat itu ia berhenti dari melakukan suatu ibadah atau suatu menuntut ilmu. Para ulama dari

5
Ibid, hal.136.
6
Lihat, Tihami Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 19-20; Bandingkan
dengan Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan
Talak, (Jakarta, Amzah, 2009) , hal. 39.
7
kalangan Malikiyah mengatakan bahwa menikah itu hukumnya makruh bagi seseorang yang tidak
memiliki keinginan dan takut kalau tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada istrinya.
Adapun ulama dari kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa menikah itu hukumnya makruh bagi
orang-orang yang mempunyai kekhawatiran tidak mampu memberikan kewajiban pada istrinya.
5. Mubah
Bagi laki-laki yang tidak terdesak alasan-alasan yang mewajibkan segera nikah, atau
alasan-alasan yang menyebabkan ia harus menikah, maka hukumnya mubah. Ulama Hambali
mengatakan bahwa mubah hukumnya, bagi orang-orang yang tidak mempunyai keinginan untuk
menikah.

2.3. Tujuan Pernikahan dan Hikmahnya


Tujuan pernikahan dalam islam terbilang banyak. Adapun salah satu tujuan menikah antara
lain agar dapat membangun keluarga sesuai syariat islam dan cara untuk memperoleh keturunan
yang beriman serta menjadi jalan untuk membuka pintu rezeki. Melansir pada halaman Kemenag,
secara umum, tujuan pernikahan menurut islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria
terhadap wanita atau sebaliknya) dalam tujuan mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuatu
dengan ketentuan-ketentuan agama islam. Selain itu, berikut adalah tujuan menikah dalam islam,
diantaranya :
1. Untuk memperoleh kebahagian dan ketenangan hidup (sakinah).
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah Ar Rum ayat 31 yang berbunyi :

“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepadanya-Nya serta dirikanlah shalat
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. ”
2. Membina rasa cinta dan kasih sayang.
3. Memenuhi kebutuhan seksual yang telah diridhai oleh Allah SWT dan sah
4. Melaksanakan perintah Allah SWT.
5. Mengikuti sunah Rasulullah SAW

8
6. Untuk memperoleh keturunan yang sah. Sebagaimana tercantum dalam surah Al-kahf ayat
46 yang berbunyi :

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-
menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
7. Selanjutnya, melansir pada buku Fiqh Keluarga Terlengkap yang ditulis oleh Rizem Aizid,
tujuan dari menikah ialah bentuk dari fitrah manusia. Salah satu fitrah manusia ialah
diciptakam secara berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Maka, tujuan dari
penciptaan berpasang-pasangan tersebut adalah agar keduanya dapat menikah dan hidup
bersama.
Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh baik bagi pelakunya
sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah pernikahan adalah:
1. Nikah adalah jalan yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan
naluri seks dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari yang
melihat yang haram dan perasaan yang tenang menikmati barang yang berharga;
2. Nikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak
keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat
diperhatikan sekali;
3. Naluri ke-bapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup
dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta, dan sayang
yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang;
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap
rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia
akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya
sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar
jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. Juga dapat mendorong usaha
mengekploitasi kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup
manusia;

9
5. Pembagian tugas, di mana yang satu mengurusi rumah tangga, sedangkan yang lain
bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam
menangani tugas-tugasnya;
6. Perkawinan, dapat membuahkan, di antaranya: tali kekeluargaan, memperteguh
kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat, yang
memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling
menunjang lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.

2.4. Status-Status Anak


A. Anak yang Sah
Pasal 99 KHI (Kompilasi Hukum Islam) menyatakan bahwa anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang kriteria
anak sah (anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang
dicantumkan dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami istri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
c. Juga dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang tercantum dalam
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa “anak yang lahir diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Di sisi lain, Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia Menurut
Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (hal.127), menyatakan bahwa meskipun perkawinan
belum tercatat, namun anak yang lahir dari perkawinan yang sah secara agama tetap dianggap
sebagai anak yang sah secara keagamaan karena dilahirkan dari akad nikah yang sah.

B. Anak Lahir di Luar Nikah


Adapun anak di luar nikah atau kawin merupakan istilah yang merujuk pada pasal 43 ayat
(1) UU perkawinan, yang menyatakan bahwa:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.”
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, telah terjadi perubahan makna dalam
pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menegaskan bahwa anak

10
luar kawin tidak hanya punya hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, tapi juga punya
hubungan perdata dengan ayah dan/atau keluarga ayahnya selama dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum bahwa laki-laki tersebut
adalah ayah dari anak luar kawin tersebut.
Jika disimpulkan anak di luar kawin memiliki setidaknya dua pengertian. Pertama, anak
yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Kedua, anak yang dibenihkan di luar
perkawinan tapi dilahirkan setelah orang tuanya melakukan perkawinan, namun tidak diakui oleh
ayah dan/atau ibunya.
Selanjutnya berikut anak- anak yang termasuk anak yang lahir di luar nikah antara lain:
1) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah
dengan pria yang menghamilinya;
2) Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih;
3) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang di li’an (diingkari) oleh suaminya;
4) Anak yang dilahirkan dari seorang perempuan, kelahiran tersebut diketahui dan
dikehendaki oleh salah satu atau kedua ibu dan ayahnya, hanya saja salah satu atau
keduanya masih terikat dengan pernikahan lain.
5) Anak yang lahir dari seorang perempuan dalam masa iddah perceraian, tetapi anak itu hasil
hubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya.
6) Anak yang lahir dari seorang perempuan yang ditinggal suaminya lebih dari 300 hari, anak
tersebut tidak diakui suaminya sebagai anak yang sah.
7) Anak yang dilahirkan oleh orang tuanya akibat ketentuan agama tidak dapat nikah.
8) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka),
disangka suami ternyata bukan;
9) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan
seperti menikah dengan saudara kandung atau saudara sepersusuan.
10) Angka 8 dan 9 di atas dalam hukum Islam disebut anak subhat yang apabila diakui oleh
bapak subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan kepadanya.

2.5. Hubungan Nasab Anak di Luar Nikah


Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukan, dinyatakan bahwa
anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga

11
ibunya saja. Hal demikian secara hukum anak tersebut sama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada
ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah bapak alami (genetik) tersebut merupakan laki-
laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu.
Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang antara beban yang
diletakkan di pundak pihak ibu saja, tanpa menghubungkannya dengan laki-laki yang menjadi ayah
genetik anak tersebut, namun ketentuan demikian dinilai menjunjung tinggi keluhuran lembaga
perkawinan, sekaligus menghindari pencemaran terhadap lembaga perkawinan.
Namun, Anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan bapaknya, yaitu
dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar nikah. Pasal 280 dan Pasal 281 KUHPerdata
menegaskan bahwasanya dengan pengakuan terhadap anak diluar nikah, timbullah hubungan
perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya. Pengakuan terhadap anak diluar nikah dapat
dilakukan dengan suatu akta otentik, apabila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu
pelaksanaan pernikahan.7
Secara istilah, nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai
salah satu akibat dari perkawinan yang sah atau situasi khusus. Jadi, anak di luar nikah hanya
memiliki hubungan keluarga dengan ibunya.

2.6. Aturan Perwalian Anak di Luar Nikah Menurut Undang-Undang


Menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan tidak dengan ayahnya. Oleh karena itu, anak yang lahir di luar nikah tidak memiliki
wali nikah dari pihak ayah. Status anak yang lahir di luar nikah dinasabkan pada ibunya saja. Hak
kewarisan hanya timbul antara anak dan ibu.
Namun, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Pasal 43 ayat
(1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang ayat tersebut dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya.

7
Effendi Perangin. Hukum Waris. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.28.
12
2.7. Aturan Perwalian Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Islam
Dalam perspektif hukum Islam, anak yang lahir di luar pernikahan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibu kandung dan keluarga ibunya. Anak tersebut tidak berhak atas hak
waris dan hak nafkah dari ayah biologisnya.
Anak di luar nikah disebut juga sebagai anak hasil zina atau anak li'an. Zina dapat diartikan
sebagai hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan.
Dari empat madzhab yakni Hanafi, Malikiy, Syafi’i, dan Hambali yang mana telah sepakat
bahwa anak hasil zina tidak memiliki nasab dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya.
Artinya, anak tersebut tidak memiliki ayah secara hukum, meskipun pihak laki-laki mengaku
bahwa dia itu anaknya. Karena tidak memiliki hubungan nasab, maka ayah biologis dari anak yang
dilahirkan di luar nikah tidak bisa menjadi wali nikah untuk anaknya tersebut.

2.7.1. Wali Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Islam


Hukum Islam menetapkan bahwa hubungan seksual di luar nikah, baik yang dilakukan oleh
orang yang sudah maupun belum pernah menikah, tetap dinamakan zina. Anak yang dilahirkan
akibat perzinaan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya yang melahirkannya.
Wali anak di luar nikah secara etimologis dipahami dengan dua arti yaitu :
1. Wali sebagai orang yang menjadi penjamin dalam pengurusan dan pengasuhan
anak.
Apabila wali sebagai orang yang menjadi penjamin dalam pengasuhan anak, maka sesuai
dengan yang diterangkan sebelumnya, bahwa orang yang berhak mengasuh anak di luar nikah
adalah ibu kandung dan keluarga ibunya. Sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut:
"Dari Amr bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah SAW telah
menetapkan pada anak dari suami-istri yang telah melakukan zina mewarisi ibunya dan ibunya
mewarisinya dan siapa yang menuduh istrinya berzina (tanpa bukti) dijilid 80 kali." (HR. Ahmad)
Dalam riwayat hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah menyatakan nasab anak hasil zina
sebagai berikut:
"Untuk keluarga ibunya yang masih ada, baik dia wanita merdeka maupun budak." (HR. Abu
Dawud)

13
Selaras dengan hadits tersebut, Amir Syarifuddin dalam Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia (2009: 36) menyebutkan bahwa anak di luar nikah memiliki akibat hukum sebagai
berikut:
 Tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, melainkan mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya. Ayahnya tidak ada kewajiban memberi nafkah kepada anak tersebut, tapi
secara biologis adalah anaknya. Jadi, hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi,
bukan secara hukum.
 Tidak saling mewarisi harta dengan ayahnya, karena hubungan nasab merupakan salah satu
penyebab mendapat warisan.
 Ayah tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah. Apabila anak di luar nikah kebetulan
seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, dia tidak berhak dinikahkan oleh
ayah biologisnya.
2. Wali sebagai pengasuh pengantin pada waktu menikah.
Sementara itu, wali pada waktu menikah merupakan salah satu rukun perkawinan yang
wajib dipenuhi. Syarat menjadi wali nikah adalah ayah kandung atau laki-laki dari pihak keluarga
ayah kandung yang bisa disandarkan nasabnya.
Terkait dengan anak di luar nikah, karena tidak memiliki hubungan nasab, maka ayah
biologis dari anak tersebut tidak bisa menjadi wali nikah untuk anak biologisnya. Sehingga, wali
dari anak di luar nikah beralih kepada wali hakim. Hal ini disandarkan pada hadits berikut:
"Sultan (hakim) adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali." (HR. Abu Dawud, At-
Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Wali hakim yang dimaksud dapat diwakilkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama ataupun
penghulu dan petugas pencatat nikah. Dengan demikian, wali anak di luar nikah apabila dia
perempuan dan akan menikah, dapat diwakili dengan wali hakim.

14
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa :
Kedudukan anak luar nikah menurut Hukum Islam, hanya mempunyai hubungan hukum
dengan ibunya. Hubungan hukum antara anak di luar nikah dengan ibu sama kuatnya hubungan
hukum antara anak sah dengan bapaknya. Dalam hukum Islam tidak mengenal adanya pengakuan
anak oleh ayah biologisnya.
Sedangkan kedudukan anak luar nikah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yakni anak yang lahir diluar perkawinan diakui/tidak oleh orang tuanya, maka dengan adanya
keturunan diluar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan
ayah/ibu yang membenihkannya. Akan tetapi setelah ada pengakuan (erkenning), terbit suatu
pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan
orang tua yang mengakuinya.
Aturan perwalian nikah anak di luar nikah menurut UU menyatakan bahwa anak yang lahir
di luar nikah tidak memiliki wali nikah dari pihak ayah. Status anak yang lahir di luar nikah
dinasabkan pada ibunya saja. Begitu pula aturan perwalian nikah anak di luar nikah menurut
hukum islam, bahwa anak yang lahir di luar nikah karena tidak memiliki hubungan nasab, maka
ayah biologis dari anak tersebut tidak bisa menjadi wali nikah untuk anak biologisnya. Sehingga,
wali dari anak di luar nikah beralih kepada wali hakim

3.2. Saran
Dalam penyusunan makalah ini kami kelompok penulis menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran
dan komentar yang membangun sehingga dapat menjadi pembelajaran bagi kami untuk lebih baik
lagi di masa mendatang.

15
DAFTAR PUSTAKA
Mawardi, M. 2020. Konsep Perwalian Pernikahan Anak Zina dalam Tatanan Hukum Islam dan
Undang-Undang. Jurnal IAIN Bengkulu : 134-139. https://ejournal.iainbengkulu.ac.id
Rohilati,S.A.S. 2020. Analisis Penetapan Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Kelas I B
Tanggamus (Studi Penetapan Hakim Nomor:008/Pdt.P/2018/Tgm dan
0012/Pdt.P/2019/Tgm). Tesis UIN Raden Intan Lampung.
http://repository.radenintan.ac.id/10771/3/BAB%20II.pdf
Latif, Abd. (2013). Status Nasab Anak Luar Nikah dan Warisannya ditinjau Menurut Peraturan
Perundang-Undangan dan Hukum Islam. Diakses pada 20 Oktober 2023. Dari
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/status-nasab-anak-luar-
nikah-dan-warisannya-oleh-abd-latif-sh-mh-24
Website :
Cariustadz.id. (2023). Hal yang Paling Penting dari Pernikahan dalam Ajaran Islam. Diakses
pada 21 Oktober 2023. Dari https://cariustadz.id/artikel/detail/hal-yang-paling-penting-
dari-pernikahan-dalam-ajaran-islam
Detik.com. (2023, 20 Januari). 7 Tujuan Menikah dalam Islam, Kamu Udah Siap?. Diakses pada
22 Oktober 2023. Dari https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6541520/7-tujuan-
menikah-dalam-islam-kamu-udah-
siap#:~:text=Melansir%20pada%20halaman%20Kemenag%2C%20secara,dengan%20ket
entuan%2Dketentuan%20agama%20Islam.
Kumparan.com. (2022, 9 November). Pengertian Pernikahan Menurut Bahasa dan Istilah yang
Lengkap. Diakses pada 19 Oktober 2022. Dari https://kumparan.com/berita-
terkini/pengertian-pernikahan-menurut-bahasa-dan-istilah-yang-lengkap-1zDJiQrtUva
Hukumonline.com. (2020, 6 Februari). Pengertian Anak Sah dan Anak Luar Kawin. Diakses pada
22 Oktober 2023. Dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengertian-anak-sah-dan-
anak-luar-kawin-lt5e3beae140382/
Orami.co.id. (2023, 3 Agustus). Ayat Alquran tentang Zina. Diakses pada 21 Oktober 2023. Dari
https://www.orami.co.id/magazine/ayat-alquran-tentang-zina?page=all
Pa-tigaraksa.go.id. (2023, 21 Juli). Perlindungan Terhadap Hak Anak Akibat Perkawinan Kontrak
Dihubungkan dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Diakses pada 19 Oktober 2023. Dari
https://pa-tigaraksa.go.id/perlindungan-terhadap-hak-anak-akibat-perkawinan-kontrak-
dihubungkan-dengan-pasal-8-undang-undang-nomor-23-tahun-2002-tentang-
perlindungan-anak/
Pa-mojokerto.go.id. (2020, 16 April). Penetapan Asal Usul Anak Dan Akibat Hukumnya dalam
Hukum Positif. Diakses pada 19 Oktober 2023. http://www.new.pa-mojokerto.go.id/surve-
kepuasan/263-penetapan-asal-usul-anak-dan-akibat-hukumnya-dalam-hukum-positif
Surakata.go.id. Awali Nikah dan Hak Kewarisan Anak Luar Nikah dalam Persoektif Hukum Islam.
Diakses pada 19 Oktober 2023. Dari
http://pa-surakarta.go.id/index.php?Itemid=101&catid=267&id=549%3Awali-nikah-dan-
hak-kewarisan-anak-luar-nikah-dalam-perspektif-hukum-
islam&option=com_content&view=article
Hukumonline.com. (2023, 16 Maret). Siapa yang Menjadi Wali Nikah bagi Anak Luar Kawin.
Diakses pada 19 Oktober 2023. Dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/wali-nikah-
anak-luar-kawin-lt5edeb379dfec7/
Sumut.kemenkumham.go.id. (2012, 28 Februari). Kedudukan Anak Luar Nikah Pasca Putusan
MK Nomor 46/PUU-VIII/2010. Diakses pada 19 Oktober 2023. Dari
https://sumut.kemenkumham.go.id/berita-kanwil/berita-utama/kedudukan-anak-luar-
nikah-pasca-putusan-mk-nomor-46puu-viii2010

Anda mungkin juga menyukai