Anda di halaman 1dari 9

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“NIKAH SIRI”

Disusun oleh :

RISMAN BARKAH 2001043

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI

LATIFAH MUBAROKIYAH

2020/2021
1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-
Nya sehingga pembuatan makalah dengan judul “NIKAH SIRI” ini dapat terselesaikan
dengan lancar. Makalah ini disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Islam dengan dosen pengajar Dr. Wawan Kusnawan.,M.Si.

Tak ada gading yang tak retak, maka penulis menyadari bahwa makalah ini tentunya

masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu atas saran dari berbagai pihak sangat diharapkan

yang bersifat membangun dan berguna untuk pembenahan dan penyempurnaan serta

memotivasi penulis dalam penulisan karya ilmiah selanjutnya.

Ciamis, Oktober 2020

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan
perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya
untuk dapat hidup bersama, atau secara logis membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan
tujuan menciptakan suatu keluarga/rumah tangga yang rukun, sejahtera, bahagia dan abadi.
Pernikahan merupakan suatu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri
secara halal dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat
menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan
dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan oleh
Allah SWT kepada hambanya.

Nikah Siri merupakan istilah yang berkembang di masyarakat yang berarti nikah di
bawah tangan; yaitu sebuah proses pernikahan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang
berlaku dalam Islam, seperti adanya wali, saksi dan ijab qabul, hanya saja tidak dilakukan
pencatatan pada kantor urusan Agama (KUA) sebagai petugas resmi dari kantor
Kementerian Agama bagi mereka yang melakukan perkawinannya menurut agama Islam,
dan pada kantor sipil bagi yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan
kepercayaan selain agama Islam. Tanpa adanya pencatatan maka secara tidak langsung
pemerintah belum mengakui adanya ikatan resmi ini, sehingga ada hal-hal yang berkenaan
dengan hak anak dan istri yang tidak dapat terpenuhi. Oleh karenanya, penelitian ini ingin
mengkaji bagaimana Islam memandang nikah siri setelah terlihat akibat negatif yang
ditimbulkannya.

B. TUJUAN
Tujuan penyusunan makalah dengan topik “Pernikahan Siri” ini adalah:

1. Sebagai salah satu syarat dalam memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam.
2. Untuk mengajak pembaca dalam memahami makna pernikahan siri.
3. Untuk mengajak pembaca dalam memahami peraturan pernikahan yang benar.

3
4. Untuk mengajak pembaca dalam memahami fenomena pernikahan siri di Indonesia.
5. Sebagai bahan diskusi bersama dalam meningkatkan pengetahuan.

C. MANFAAT
Manfaat yang diperoleh oleh pembaca dan penyusun melalui makalah ini adalah:
1. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman bagi pembaca tentang pernikahan
siri.
2. Sebagai media untuk menyampaikan kemampuan penyusun dalam memaparkan
topik pernikahan siri.
3. Untuk memudahkan pembaca dalam memperoleh informasi.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI NIKAH SIRI

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menikah siri adalah pernikahan yang hanya
disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan
Agama (KUA), namun sah menurut agama Islam. Secara etimologi, kata siri berasal dari
bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata
dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Dalam Kamus Al-Munawwir ditemukan pula kata-
kata yang mengacu pada kata siri, diantaranya:

 assaru yang berarti rahasia,


 asarroyu yang berarti secara rahasia, sembunyi-sembunyi, dan
 siron yang berarti dengan diam-diam.

Kata siri kemudian digabung dengan kata nikah, menjadi nikah siri, sehingga dapat
dijelaskan bahwa pernikahan dilakukan secara diam-diam atau tersembunyi. Makna diam-
diam dan tersembunyi ini menimbulkan dua pemahaman, yaitu:

 pernikahan diam-diam tanpa pengumuman kepada masyarakat umum,


atau
 pernikahan yang tidak tercatat di lembaga negara.

Dalam pernikahan siri tidak ada acara resepsi dan semua pihak yang terkait (baik wali,
saksi, maupun kedua mempelai) sepakat untuk merahasiakannya. Nikah siri memenuhi
semua syarat dan ketentuan suatu pernikahan dalam agama Islam, namun tidak tercatat di
Kantor Urusan Agama (KUA) atau catatan sipil lainnya sehingga nikah siri disebut juga
nikah “di bawah tangan”. Salah satu dampak negatif dari nikah siri adalah pembuktian yang
sulit ketika diperlukan. Untuk memastikan kepastian sebuah pernikahan siri, seseorang
harus menemui para saksi dan meminta keterangan mereka tentang pernikahan itu.

Peraturan pemerintah yang mengatur hal-hal tentang pencatatan pernikahan memiliki


tujuan yang baik, oleh sebab itu wajib dilakukan. Hal ini berkaitan dengan penegakan hak
dan kewajiban istri/suami/anak, baik dalam hal nafkah, warisan, keturunan, dan sebagainya

5
secara hukum negara. Walaupun terlambat, sebaiknya pernikahan siri tetap dicatatkan di
KUA, walaupun pencatatan tersebut bukan syarat mutlak suatu pernikahan dalam ajaran
agama Islam.

Persyaratan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pernikahan menurut agama


Islam (dan mayoritas ulama) adalah:

 adanya calon suami dan istri,


 adanya mahar,
 adanya ijab kabul,
 adanya wali dari pihak perempuan, dan
 adanya saksi-saksi, serta
 calon istri harus seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria
lain, tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena kematian
atau perceraian, tidak hamil, dan tidak pula termasuk mereka yang terlarang
dinikahi seperti keponakan atau bibi,
 mayoritas ulama berpendapat adanya izin orangtua atau wali merupakan
salah satu syarat sahnya akad nikah, namun sebagian ulama juga
membantahnya.

B. UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR NIKAH SIRI


Tidak ada peraturan yang mengatur pernikahan siri secara resmi. Tidak ada undang-
undang yang mengatur pernikahan siri. Tidak ada pengadilan yang akan membenarkan
pernikahan siri. Tidak ada KUA yang akan mengesahkan pernikahan siri.
Tidak ada satupun peraturan yang membenarkan dan meresmikan nikah siri, maka
pernikahan siri berada di luar tanggung jawab lembaga-lembaga terkait. Pembuat
peraturannya adalah manusia yang bersangkutan demi keuntungan/kesenangan pribadi,
misalnya karena takut dikatakan zina. Pernikahan tersebut tidak akan mengandung tanggung
jawab secara hukum. Pernikahan siri adalah pernikahan yang tidak tercantum dalam UU No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Di Indonesia. Tidak ada perlindungan hukum yang dapat
membantu jika terjadi konflik.

6
C. NIKAH SIRI DALAM SUDUT PANDANG ANTROPOLOGI

Fenomena nikah siri yang dipraktikkan sebagian masyarakat Indonesia dipengaruhi


oleh budaya feodalistik dalam sejarah peradaban negeri ini. Pada masa kerajaan, seorang
raja akan dianggap berwibawa dan berkuasa jika memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan
memiliki banyak istri. Raja yang rata-rata beristri banyak sebenarnya tidak lepas dari
pengaruh penaklukan oleh kerajaan itu di wilayah lain. Para istri itu biasanya berasal dari
setiap wilayah yang berhasil ditaklukkan dan hal ini sangat mempengaruhi kewibawaan raja
yang bersangkutan, bahwa raja yang memiliki istri banyak akan disegani.

Budaya feodalistik zaman kerajaan tersebut sampai saat ini masih mempengaruhi
kehidupan masyarakat Indonesia sehingga tidak mengherankan jika seorang laki-laki bisa
memiliki istri lebih dari satu. Namun, masyarakat saat ini memilih mengambil segi
praktisnya, yakni dengan nikah siri atau tanpa mencatatkan pernikahan ke lembaga yang
berwenang. Hal ini justru menunjukkan sikap lelaki yang tidak gentleman (tidak
berwibawa). Pernikahan siri menciptakan celah untuk berbuat tidak adil, karena nikah siri
menuntut pelakunya bertanggungjawab hanya kepada Tuhan. Jika memang seorang laki-laki
berani mempertanggungjawabkan pernikahannya pada Tuhan, harus mau
mempertanggungjawabkan pernikahannya kepada manusia.

Terangkatnya istilah “nikah siri” ke permukaan yang telah menjadi fenomena dan
bentuk pernikahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia, seiring dengan
bangkitnya pemikiran progresif tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang
beriringan dengan aksi perlindungan terhadap HAM dan hak-hak asasi perempuan.
Alasannya, bahwa perlunya pernikahan dicatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) atau
Kantor Catatan Sipil (KCS), karena selain asas legalitas atas pengakuan ikatan suami istri
serta jaminan perlindungan anak-anak mereka, juga karena banyaknya perempuan (istri) dan
anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Selain itu, karena pergaulan masyarakat saat ini yang semakin mengglobal, seakan
tanpa batas, baik antar regional, nasional, maupun internasional yang sangat memungkinkan
terjadinya berbagai bentuk interaksi sosial, termasuk hubungan pernikahan, sehingga
memerlukan perlindungan hukum yang lebih tegas, supaya hak dan kewajiban di antara
mereka dapat terselenggara secara pasti, adil, dan bijak. Kondisi ini berbeda dengan zaman
dahulu, dimana jumlah penduduk masih sedikit, hubungan antara wilayah masih sangat

7
terbatas, serta nilai-nilai kejujuran dan niat baik masih dijunjung tinggi. Berbeda dengan
zaman sekarang, nilai-nilai tersebut semakin terkikis, sehingga seringkali terjadi
tindakan manipulasi dan rekayasa yang menimbulkan konflik dalam pernikahan.

Oleh karena itu, pencatatan pernikahan adalah tindakan mencegah, menahan, dan
memperbaiki (preventif, refresif, dan rehabilitatif) untuk mencegah terjadi manipulasi dan
dapat menjadi alat bukti otentik seandainya terjadi sengketa dalam pernikahan. Sementara
masalah “nikah siri” di sebagian masyarakat Indonesia sudah membudaya dengan berbagai
alasan, terutama hanya mengaitkan keabsahan legalitas pernikahannya pada unsur ajaran
agama semata, yakni terpenuhi unsur rukun dan syarat pernikahan, tanpa
mempertimbangkan unsur-unsur lain yang ditimbulkan dari akibat pernikahan tersebut.
Alasan pernikahan dianggap sah (legal) dalam ajaran Islam, apabila rukun dan syaratnya
terpenuhi, sementara masalah pencatatan pernikahan hanya sebagai administrasi yang dibuat
oleh negara. Namun pandangan negara, tindakan tersebut tidak sah (illegal), karena
negara memiliki kewajiban melindungi hak dan kepentingan warganya. Jika selama ini yang
menjadi alasan adalah biaya administrasi birokrasi yang mahal, beberapa pembuktian
menemukan banyak pelaku nikah siri adalah penguasa dan pengusaha.

Undang-undang yang mengatur pernikahan siri sudah sepantasnya dibuat karena


negara berwenang mengatur manusia yang hidup di dalam wilayahnya walaupun mengenai
wilayah pribadi setiap individu masyarakatnya, namun tetap dalam batasan-batasan tertentu.

8
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Masyarakat Indonesia yang heterogen membuat pernikahan siri sebagai solusi/jalan


keluar terbaik dalam mengatasi pernikahan yang dibatasi oleh keadaan. Kebudayaan
menikah siri dibuat-buat demi kepuasaan/kebutuhan manusia secara pribadi dan ragawi.
Masyarakat mengada-ada peraturan sah pernikahan siri demi kepuasan egonya. Pernikahan
siri bukanlah solusi untuk menghalalkan suatu hubungan. Tidak ada peraturan dan agama
manapun yang mengijinkan pernikahan siri. Nikah siri tidak sepantasnya dilakukan karena
kerugian terbanyak ada pada pihak perempuan. Oleh sebab itu harus dicegah sebelum
merajalela dan dianggap sebagai keputusan terbaik oleh masyarakat yang belum memahami
makna pernikahan.

Undang-undang yang mengatur pernikahan sudah ada. Maka, sebagai solusi untuk
mencegah merajalelanya pernikahan siri, perlu dibuat undang-undang yang mengatur pelaku
nikah siri, dimana mayoritas pelaku utamanya adalah pihak pria. Jika memang dilarang dan
peraturannya jelas menyalahkan perbuatan nikah siri, maka masyarakat tidak akan berani
melakukan nikah siri karena perbuatan tersebut sudah dianggap sebagai bentuk pelanggaran
dan pelakunya pasti dihukum. Hal ini akan berdampak pada masyarakat Indonesia yang
semakin cerdas dan teratur karena memiliki keluarga yang sehat, jelas, dan rukun.

Masyarakat yang sehat, jelas, dan rukun akan membawa Indonesia menjadi negara
yang lebih maju karena keadaannya mampu memotivasi masyarakat untuk menjadi manusia
yang lebih baik dan taat pada peraturan. Peraturan membuat suatu budaya pantas untuk
berkembang dan menjadi budaya massa yang populer.

Anda mungkin juga menyukai