Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

NIKAH SIRRI
DOSEN PENGAMPU : MUAMMAR S.H., M.H.

KELAS : HUKUM PERKAWINAN ( 3A )


DISUSUN OLEH :
1. ZILA NABILA ( 220510204 )
2. MARISA LUMBAN GAOL ( 220510276 )
3. JUNITA SARI ( 220510056 )
4. ARIANI ZEGA ( 220510231 )
FAKULTAS HUKUM
PRODI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
T.A 2022/2023

1
KATA PENGHANTAR

Kami mengucap terima kasih kepada Allah SWT yang telah membantu
dalam penyelesaikan tugas menyusun makalah berjudul "Nikah Sirri ".
Tugas ini adalah bagian dari tugas kelompok Mata Kuliah Hukum
Perkawinan.

Kami mengusahakan semaksimal dalam pembuatan makalah ini mudah


dipahami dan kami mempergunakan penjelasan yang relevan dengan
literatur.

Kami menghormati kritik dan saran pembaca jika ada ketidakpaduan


dalam makalah ini, Jadi kedepannya kami dapat meperbaiki dan membuat
menjadi lebih baik di masa depan.

Penulis

2
DAFTAR ISI

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia,
baik lahiriah maupun bathiniyah Dalam hal yang lain,agama Islam sangat memahami
kehidupan manusia, sehingga tidak membiarkan begitu saja aktivitas mereka. Sebagai
Zoon Politicon yang berarti makhluk sosial dimana membutuhkan teman untuk
mencapai suatu tujuan. Ini juga disebut sebagai mu'amalah dalam agama Islam, yang
mengatur kehidupan sosial. Keluarga adalah gambaran kecil kehidupan sosial yang
memenuhi keinginan manusia tanpa menghilangkan kebutuhannya, karena Islam
mendorong pembentukan keluarga dan mengajak orang untuk hidup bersama
keluarga. Menikah adalah fitrah manusia yang membawa seseorang ke kebahagiaan
dan posisi yang mulia di sisi Allah. Orang yang akan menikah pasti ingin memiliki
keluarga yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan

Berbagai ungkapan dalam Al-Qur'an dan Hadis menunjukkan anjuran agama Islam
untuk melangsungkan pernikahan, di antaranya:

‫َوِم ن ُك ِّل َش ْى ٍء َخ َلْقَنا َز ْو َج ْيِن َلَع َّلُك ْم َتَذَّك ُروَن‬

Dan Kami membuat segala sesuatu berpasang-pasangan supaya


kamu mengingat kebesaran Allah. (Ad-Dzariyyat:49)

‫ٰٓيَاُّيَها الَّناُس اَّتُقْو ا َر َّبُك ُم اَّلِذ ْي َخ َلَقُك ْم ِّم ْن َّنْفٍس َّواِحَدٍة َّو َخ َلَق ِم ْنَها َز ْو َجَها َو َبَّث ِم ْنُهَم ا ِر َج ااًل َك ِثْيًرا َّوِنَس ۤا ًء ۚ َو اَّتُقوا َهّٰللا اَّلِذ ْي‬
‫َتَس ۤا َء ُلْو َن ِبٖه َو اَاْلْر َح اَم ۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َع َلْيُك ْم َرِقْيًبا‬

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan yang menciptakan kamu dari


seorang diri dan isterinya dari padanya; dari keduanya Allah menciptakan banyak
anak laki-laki dan perempuan. Bertakwalah juga kepada Tuhan yang dengan nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain dan menjaga hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu mengawasi dan menjaga Anda. (Qur'an, Surat An-Nisa': 1)

"Wahai pemuda, Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka


menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum

4
(puasa), karena puasa itu dapat membentengi dirinya." (Hadis-hadis Bukhari, Muslim,
Tirmidzi, dan lain-lain).

Dari ayat di atas, dapat disimpulkan secara singkat bahwa perkawinan adalah
kebutuhan yang alamiah dari manusia untuk mempunyai keturunan. Salah satu
sunnatuloh makhluk adalah menikah dan memiliki keluarga, yang umum baik untuk
hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Islam menyuruh orang menikah sebagai cara
terhormat untuk membentuk keluarga. Dengan menikah, manusia dapat membangun
keluarga yang bahagia dan sejahtera untuk mengisi dan memakmurkan dunia ini
dengan tuntunan dan ajaran Allah SWT. Jika seseorang memenuhi kebutuhan
biologisnya tanpa menikah, dia telah rela melepaskan dirinya dari kemanusiaannya
sebagai makhluk yang tertinggi dan terjerumus ke dalam kehidupan hewani yang
lebih rendah.

Pernikahan dianggap sebagai mitsaqon ghalidhan atau ikatan kuat untuk mengikuti
perintah Allah dan melaksanakannya sebagai ibadah, Oleh karena itu, wajib dan harus
dilakukan bagi masyarakat yang muslim sesuai dengan hukum Islam sendiri.Oleh
sebab itu harus dilindungi oleh hukum negara sesuai dengan hukum yang berlaku agar
perkawinan tersebut memiliki kekuatan hukum. Karena waktu yang lama, upaya yang
dilakukan untuk memperteguh tujuan pernikahan tidak dapat dianggap remeh.
Menurut UU Perkawinan Pasal 2 Ayat 2 dan PP No 9 Pasal 2 Ayat 2, secara garis
besar, keberadaan perkawinan yang tidak dicatatkan berarti seorang laki-laki dan
perempuan telah membiarkan hidup bersama di luar perkawinan. Hal ini sangat
merugikan bagi pihak yang terlibat (terutama perempuan), terutama jika mereka
memiliki anak.

Zawaj as-sirri, yang berarti pernikahan rahasia, adalah asal dari istilah Arab "Ikah
Sirri." Dua jenis pernikahan sirri yang paling umum diketahui orang adalah
pernikahan tanpa wali.
1. dilakukan secara rahasia karena wali perempuan tidak setuju, menganggap
pernikahan tanpa wali tidak sah, atau hanya untuk memenuhi hasratnya.
2. Pernikahan yang sah secara agama, tetapi tidak diumumkan atau dicatat oleh
lembaga yang berwenang.

5
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini berfokus pada penelitian kepustakaan, yaitu mencari teori dan konsep
yang mendasari penelitian. Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif dan
penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif mengungkapkan suatu permasalahan atau
keadaan dan peristiwa yang nyata sehingga hanya menyajikan fakta kebenaran (fact
finding). Penelitian ini dimulai dengan fakta empiris untuk mendapatkan pemahaman
yang objektif, faktual, dan lengkap tentang masalah yang dibahas.

Penulis menggunakan bahan pustaka, atau bahan sekunder, dalam penelitian ini untuk
melihat hal – hal mengenai nikah sirri. Selain itu juga menggunakan data sekunder
dan menggunakan metode penelitian deskriptif untuk melihat nikah sirri.

BAB II
PEMBAHASAN

6
1. Perkawinan dari Pandangan Hukum Positif Indonesia
KUH Perdata tidak menjelaskan apa itu perkawinan. Dengan berlaku pada tanggal 1
Oktober 1975, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
"undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan
perdata" hanya dalam Pasal 26, yang menunjukkan bahwa UU Perdata memandang
perkawinan semata-mata sebagai perjanjian perdata tanpa mempertimbangkan agama
yang dianut oleh para pihak (calon mempelai).

Pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang ditetapkan pada


tanggal 1 Oktober 1975, mendefinisikan "Perkawinan sebagai ikatan lahir bathin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa." Ini berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Dalam Undang-Undang Perkawinan, pasal 2 ayat 2 juga menyatakan , "Perkawinan


adalah sah apabila dilakukan secara hukum agama atau kepercayaan masing-masing.
Selain itu, pasal tersebut menyatakan, "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut aturan
perundang – undangan yang berlaku."

2. Pandangan Hukum Islam mengenai Nikah Siri

Istilah "sirri" bersumber dari bahasa Arab yaitu "sirrun", yang memiliki arti
"rahasia". Oleh sebab itu, pernikahan sirri diartikan sebagai pernikahan yang
berlangsung rahasia. berbeda dengan pernikahan biasa yang dilakukan secara terbuka.
Nikah siri mempunyai arti yaitu "bentuk pernikahan yang dilakukan menurut hukum
agama ataupun secara adat istiadat, tetapi tidak diumumkan di hadapan khalyak ramai
serta tidak dicatatkan oleh lembaga yang berwenang."

Pernikahan diatur dalam hukum Islam sesuai dengan perintah yang ditemukan dalam
Al-Qur'an dan al-Hadist, yang dikenal sebagai fiqh munakahat. Sangat sedikit kitab
fiqh klasik yang membahas permaslahan nikah siri. karena pernikahan yang biasa
(jahri) adalah yang paling sering pada masa nabi Muhammad SAW. Dianjurkan untuk
melakukan suatu perayaan pernikahan (walimatul "urs") dan berbagi kegembiraan itu

7
dengan orang banyak karena pernikahan ialah ikatan serius dan momen yang sangat
sakral dalam hidup seseorang. Sama perihalnya dengan teman-teman, kerabat, dan
bagi orang yang kurang mampu.

Dalam walimah, disunnahkan untuk mengundang orang-orang saleh, baik miskin atau
kaya, dan merayakannya setelah tiga hari perayaan pernikahan. Diperbolehkan untuk
menghidangkan apa pun yang halal. Jika hanya orang kaya yang diundang dan tidak
mengundang orang miskin, walimah akan menjadi haram. Para ulama beropini bahwa
seseorang boleh tidak menghadiri pernikahan dengan adanya alasan yang diatur oleh
hukum Islam itu sendiri. Namun, ada juga beberapa orang yang menikah diam-diam,
tanpa diketahui oleh orang – orang disebut nikah sirri. Suatu alasan yang tidak
diajarkan di dalam hukum Islam sendiri. Para ulama dan imam mazhab sangat
menolak hal ini karena mereka pikir itu melanggar aturan dan tidak sah untuk
menikah .

Menurut Syaikh Siapul Muaidah, jumhur ulama mengatakan bahwa pernikahan tidak
sah kecuali diumumkan secara terang-terangan atau dihadiri oleh wali dan saksi saat
akad nikah berlangsung. Ini berlaku bahkan ketika pernikahan dilakukan secara
sederhana.Pasangan suami-istri dapat menghindari kemudratan dengan
mengumumkan pernikahan. Pernikahan yang sengaja dirahasiakan dapat membuat
masyarakat berpikir tentang hal-hal yang negatif, seperti kumpul kebo,
perselingkuhan, perzinahan, dan sebagainya.

Nikah siri dikenal setelah pemerintahan yang mewajibkan pencatatan administratif.


Nikah siri dianggap sebagai siri karena mereka tidak mencatat nikah. Nikah siri
mungkin tidak dikenal apabila pemerintahan tidak menetapkan peraturan yang
mewajibkan pencatatan nikah. dan hanya ada satu kesepakatan yang dapat
menyelesaikan permaslahan harta gono gini, hadhanah (hak asuh), dan lain – lain.

Istilah nikah siri atau nikah rahasia memang sudah terkenal pada kalangan ulama.
Akan tetapi, nikah siri pada saat dahulu berbeda dengan nikah siri saat ini. Pada
awalnya, yang dimaksud dengan "nikah siri" ialah pernikahan yang memenuhi syarat-
syarat syari'at dan tidak diinformasikan kepada khalayak ramai atau publik atau
dengan sebutan lain, tiada walimah al-qadr.

Karena ada banyak ulama dan beberapa masyarakat yang berargumen bahwa nikah
siri lebih baik daripada perzinahan, para ulama terus memperdebatkan hukum nikah

8
siri. Melihat berbagai contoh, nikah siri tampaknya lebih banyak merugikan
daripada menguntungkan.

3. Pandangan Hukum Positif Indonesia Tentang Nikah Siri


Secara literasi, kata "nikah" dengan "sirri" bersumber dari bahasa Arab, terdiri dari
2 kosa kata, "nikah" dengan "sirri". Kata "nikah" sering dipergunakan untuk arti
bersetubuh (wathi), juga untuk arti akad nikah, dan "sirri" sering dipergunakan yang
berarti rahasia.

Dengan demikian, beralih dari arti etimologisnya, nikah sirri dapat diartikan sebagai
pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Ini disebut sebagai pernikahan yang
dirahasiakan karena prosesi pernikahan ini sengaja disembunyikan dari publik
dengan berbagai alasan dan biasanya dihadiri hanya oleh anggota keluarga terdekat.
Ada tiga (tiga) model nikah sirri yang ada di masyarakat, yaitu:
1. Pernikahan ini tidak dimeriahkan seperti resepsi walimatul ursy yang
dilakukan secara terbuka untuk umum.
2. Pernikahan antara pria dan wanita yang masih di bawah umur menurut
undang-undang. Pernikahan ini dilakukan di hadapan petugas negara dan
dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, tetapi hanya dihadiri oleh anggota
keluarga terdekat mereka. Ini tidak diumumkan di resepsi walimatul ursy.
3. Pernikahan antara seroang pria dan seroang wanita yang sudah cukup umur
menurut undang-undang, tetapi mereka sengaja melakukannya di bawah
tangan, atau nikah siri, dan karena berbagai alasan tidak didaftarkan di KUA

Nikah siri dianggap sebagai perkawinan yang tidak memiliki asas hukum di bawah
undang-undang Indonesia. Karena melihat pada UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan, Pasal 2 Ayat (1 dan 2) dan Pasal 4 KHI, yang menyatakan bahwa:
(1) Perkawinan sah hanya jika dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan
yang bersangkutan.
(2) Setiap perkawinan harus dicatat menurut aturan perundang-undang yang
berlaku.
Pada pasal 5 KHI, ayat (1 dan 2) menmberitahukan setiap perkawinan harus dicatat
untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat yang beragama Islam. Ayat
(2) juga memberitahu pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat

9
Nikah, yang diatur dalam UU No.22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954 jo UU
No. 1/1974.
Malahan, masalah pencatatan perkawinan ke KUA disebutkan dalam pasal 2 ayat
(2) jo. KHI pasal 5 ayat (ayat 1 dan 2) dimana sebagai syarat sahnya perkawinan
dalam hukum positif Indonesia, tidak hanya berkaitan dengan hubungan
administrasi. Berdasarkan Pasal 81 Konstitusi, upacara keagamaan tidak boleh
dilaksanakan sebelum adanya bukti kepada pejabat agama mereka bahwa
perkawinan telah berlangsung di hadapan Pegawai Catatan Sipil.
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menyatakan kembali pernyataan di atas
sebagai pelaksanaan UU Perkawinan pasal 3 ayat (1, 2 dan 3) yang menyatakan
bahwa

(1) setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan wajib memberitahukan


Pegawai Pencatat di tempat perkawinan yang akan terlaksana.

(2) Pengumuman dalam ayat (1) harus dilakukan sekurangnya 10 (sepuluh) hari kerja
sebelum perkawinan berlangsung.

(3) Pengecualian dari jangka waktu yang disebutkan di atas dapat dilakukan.

Perkawinan harus dilakukan sah secara hukum agama, tetapi juga harus dicatat oleh
pencatat nikah untuk menjadi perkawinan tersebut sah juga secara hukum negara.

Perkawinan yang tidak mempunyai kekuatan hukum dapat berperngaruh pada hak-hak
pelayanan publik oleh lemabaga yang berwenang bagi pelakunya dari segi yuridis.
Mereka tidak diberikan perlindungan dan pelayanan hukum oleh lembaga yang
berwenang sebagaimana seharusnya. Perkawinan tidak diakui dalam daftar
kependudukan, bagi anak-anak mereka tidak dapat memperoleh akte kelahiran dan
lain sebagainya. Maka,pernikahan sirri hanya memberikan madharat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Sedangkan perkawinan yang tercatat
memiliki banyak dampak yang positif bagi masyarakat dan bangsa.

Pernikahan secara siri mengalami dampak dilihat dari segi hukum dan sosial yang
sangat negatif, diantaranya :

1. Dari segi hukum:

a) tidak dianggap isteri sah;

10
b) Jika suami meninggal, isterinya tidak berhak akan nafkah dan warisan suami;
c) Jika perceraian terjadi, isterinya tidak berhak akan harta gono-gini karena
perkawinan tidak pernah terjadi secara hukum.

2. Dilihat dari segi Sosial


Perkawinan siri atau perkawinan dibawah tangan atau pernikahan rahasia
dianggap sebagai isteri simpanan atau tinggal serumah dengan laki-laki tidak
adanya ikatan perkawinan, yang sulit bagi isteri untuk bersosialisasil. Anak di
luar ikatan perkawinan tidak boleh diakui.
Maka dari itu, anak luar kawin tidak diakui. Ada dua kelompok anak luar
kawin menurut KUH Perdata:
1. Anak luar kawin yang di akui ;
2. Anak luar kawin yang tidak diakui

Anak denga tiadanya pengakuan oleh ibu atau bapaknya tidak boleh mewarisi
harta orang tuanya.. Sebaliknya, anak luar kawin diakui sah oleh ibunya atau
bapaknya mendapat akibat hukum dalam hal pewarisan. Dengan adanya
pengakuan, mengakibatkan adanya hubungan keperdataan antara anak luar
kawin yang diakui dengan orang tua yang telah mengakuinya.
Berdasakan UU Perkawinan dan KHI, anak yang lahir akibat perkawinan yang
sah dianggap anak yang sah. Ini berlaku untuk anak yang lahir dari
perkawinan dengan usia kandungan kurang dari enam bulan sejak menikah
resmi. Diatur di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974,
• Pasal 42
menyatakan bahwa "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah."
• Pasal 43
menyatakan bahwa "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya."
• Pasal 44
menyatakan bahwa "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat diberikan akta kelahiran
melalui pencatatan kelahiran. Tetapi , hanya nama ibu yang dicantumkan pada

11
akta kelahirannya. Jika ingin tercantumkan nama ayahnya di akta kelahiran,
harus ada penetapan pengadilan yang menyatakan bahwa ayahnya mengakui
anak tersebut.
Hubungan ayah-anak menjadi tidak kuat karena status si anak tidak jelas di
muka hukum. Akibatnya, ayahnya dapat menyangkal anak kandungnya pada
suatu saat.

4. Simpulan
Mengenai perkawinan sirri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menetapkan
pencatatan perkawinan berdasarkan syarat (formil) yang harus dipenuhi saat
menikah di Negara Indonesia selain memenuhi ketentuan hukum agama dan
keyakinan masing-masing (materil). Maka dari itu , didalam Hukum Islam
tiada pencatatan perkawinan, sehingga perkawinan siri tidak sah secara
hukum.
Karena hukum perkawinan sirri, isteri dianggap sebagai isteri tidak sah. Lalu ,
isteri tidak berhak akan nafkah suaminya dan hak warisan jika suaminya suatu
saat meninggal dunia, dan begitu pun dengan hak akan harta gono-gini jika
terjadinya perceraian. Hal itu terjadi karena di dalam hukum terdapat
bahwasannya perkawinan tersebu tidak pernah terjadi. Kemudian akibat
hukum anak yang lahir dari perkawinan siri hanya memiliki hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak hanya memiliki hak
dan kewajiban dinafkahi dan warisan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Jika
ayahnya meninggal dunia atau tidak memiliki akta kelahiran, anak itu juga
tidak boleh mendapatkan warisan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bacaan

12
Ali, Z. (2009), Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Farid, M. (2009). Problem Nikah Keluarga, penerbitan oleh Gema Insani Press di
Jakarta.

Hadikusuma, H. Haem, N. H. (2011). Hukum Perkawinan Indonesia menurut


Undang-Undang, Hukum Adat, dan Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju. Lihat
Perkawinan Illegal, dari Penghulu Liar hingga Perselingkuhan.

Hasan, M. A. (2013). Jakarta: Hikmah. Pedoman untuk Hidup Rumah Tangga Islam
Prenada Media, Jakarta.

Jayadi, A. (2012). Fenomena Nikah Siri Perspektif Makna Pelaku Siri. Surabaya:
Putra Media Nusantara.

Ali, Z. (2009), Metode Penelitian Hukum, diterbitkan oleh Sinar Grafika di Jakarta.

Farid (2009). Problem Nikah Keluarga, diterbitkan di Jakarta oleh Gema Insani Press.

Hadikusuma & Haem (2011). Hukum Perkawinan di Indonesia diatur oleh Konstitusi,
Hukum Adat, dan Hukum Agama. Berbicara tentang Perkawinan Illegal di Bandung,
dari Penghulu Liar hingga Perselingkuhan.

Hasan, M. A. (2013). Hikmah: Pedoman untuk Hidup Rumah Tangga Islam. Jakarta:
Prenada Media.

2. Perundang – undangan di Indonesia

1. KUH Perdata.
2. KHI
3. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
5. Undang-undang Perlindungan Anak

3. Sumber yang diakses

https://ejournal.undip.ac.idndex.php/notarius/article/download/28897/16735
https://aik.umj.ac.id/wp-content/uploads/2021/09/Fatwa-13_Hukum-Nikah-Sirri.pdf

13
14
15
16

Anda mungkin juga menyukai