Disusun oleh:
Kelompok 11
1. Nurul Hikmah
2. Elida Hannum
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................................i
Daftar Isi........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................1
C. Tujuan Masalah.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2
A. Pengertian Pernikahan....................................................................................................2
B. Dasar Hukum Pernikahan...............................................................................................2
C. Tujuan Pernikahan .........................................................................................................4
D. Hikmah Pernikahan ........................................................................................................
E. Rukun dan Syarat Pernikahan.........................................................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................................10
A. Kesimpulan.....................................................................................................................10
B. Saran...............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan dalam fiqih berbahasa arab ada dua kata, yaitu nikah dan zawaj.
Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti
bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Secara bahasa nikah adalah hubungan intim dan mengumpuli. Sedangkan arti
nikah menurut istilah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat
diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan suatu
hubungan kelamin antara keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup
keluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai
Allah SWT.
Menurut ulama Syafi’iyah adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah
atau zawj yang menyimpan arti wati’ (hubungan intim). Artinya dengan pernikahan
seseorang dapat memiliki atau dapat kesenangan dari pasangannya.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama
dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya untuk
mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara
suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum pernikahan
masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang
menurut perundang-undangan yang berlaku.
2
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisa’ : 3)
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki-laki yang sudah mampu untuk
melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam
memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah.
Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat
tertentu.
Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf ayat 189 berbunyi :
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya,
isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa
waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah,
Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh,
tentulah kami termaasuk orang-orang yang bersyukur"”.
Sehingga pernikahan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar suami istri dan
anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah),
pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah).
b) Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda, “Wahai
para pemuda, barangsiapa dioantara kalian memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu
dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak
memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali
baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).
“Nikahilah wanita yang sangat cinta dan subur. Karena aku akan berbangga dengan
kalian dihadapan umat yang lain” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
3
C. Tujuan Pernikahan
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan
cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan
berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang
telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
4
tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah
wajib.
D. Hikmah Pernikahan
5
rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak, dan menciptakan
suasana yang menyenangkan. Supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya
dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.
Adapun hikmah yang lain dalam pernikahannya itu yaitu :
1) Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan
berketurunan.
2) Mampu
3) menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang
syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
4) Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan
bencrengkramah dengan pacarannya.
5) Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan
yang diciptakan.
Dalam perkawinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Hal itu adalah syarat dan
rukun yang harus dipenuhi. Adapun syarat dan rukun merupakan perbuatan hukum yang
sangat dominan menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tertentu dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang
harus diadakan. Diantaranya adalah persetujuan para pihak. Menurut hukum Islam akad
(perjanjian) yang didasarkan pada kesukarelaan kedua belah pihak calon suami isteri.
Karena pihak wanita tidak langsung melaksanakan hak ijab (penawaran tanggung jawab),
disyaratkan izin atau meminta persetujuan sebelum perkawinan dilangsungkan, adanya
syarat ini berarti bahwa tidak boleh ada pihak ketiga (yang melaksanakan ijab) memaksa
kemauannya tanpa persetujuan yang punya diri (calon wanita pengantin bersangkutan). Di
masa lampau banyak gadis yang merana kawin paksa dibawah umur.
6
b. Syarat calon istri
1. Islam
2. Baligh
3. Bukan perempuan mahram dengan calon suami Seperti yang telah dijelaskan dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa’ 23 “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-
anakmu yang perempuan,saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang
menyusui kamu, saudara-saudara sesusuan, ibu-ibu isterimu (mertua) ank-anak
isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu, dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi
bila kamu belum menyampuri isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak
berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawina) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. Dari ayat tersebut kita dapat memilih bahwa pada ayat
tersebut terbagi menjadi tiga hal: karena ada hubungan nasab (larangan ini untuk
selama lamanya), larangan perkawinan karena ada hubungan musaharah
(perkawinan), larangan perkawinan karena susuan.
4. Bukan seorang khunsa (diragukan jenis kelaminnya/ mempunyai kelamin ganda)
5. Bukan dalam ihram haji atau umrah
6. Tidak dalam iddah
7. Bukan isteri orang
8. Dalam pasal 7 UUP di Indonesia usia calon istri minimal 16 tahun
c. Syarat Wali
1. Islam, bukan kafir dan murtad
2. Lelaki
3. Baligh
4. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
5. Bukan dalam ihram haji atau unrah
6. Tidak fasik
7. Tidak cacat akal pikiran
8. Merdeka
9. Adil
d. Syarat Saksi
1. Sekurang-kurangnya dua orang
2. Islam
3. Berakal
4. Baligh
5. Laki-laki
6. Memahami kandungan lafal ijab dan qabul
7. Dapat melihat, mendengar dan bercakap
8. Adil
9. Merdeka
7
Jika yang menjadi saksi itu anak-anak atau orang gila atau orang bisu, atau
yang sedang mabuk, maka perkawinan tidak sah, sebab mereka dipandang seperti
tidak ada. Bagi orang yang buta, tuli atau bisu bisa menjadi saksi asalkan mereka
benarbenar mampu mengenali dan membedakan suara-suara pelaku- pelaku akad,
secara yakin dan pasti.
e. Syarat Ijab
1. Pernikahan ini hendaklah tepat
2. Tidak boleh menggunakan sindiran
3. Diucapkan wali atau wakilnya
4. Tidak dikatakan dengan tempo waktu seperti mut’ah (nikah kontrak)
5. Tidak dikatakan taklit (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafadzkan)
6. Harus dilafalkan dengan jelas
f. Syarat Kabul
1. Ucapan mestilah seperti ucapan ijab
2. Diucapkan setelah ijab tanpa terputus sesaat pun.
3. Tidak berkata sindiran
4. Dilafalkan oleh calon suaminya
5. Tidak dikatakan dengan tempo waktu seperti mut’ah
6. Tidak dikatakan taklit (tiada sebutan prasyaratsewaktu ijab dilafadzkan
7. Menyebut nama calon isteri
8. Harus dilafalkan dengan jelas
2) Rukun Pernikahan
a. Calon Isteri
Calon mempelai wanita, yang dalam hal ini isteri tersebut boleh dinikahi dan
sah secara syar’i karena tidak ada penyebab-penyebab tertentu yang menjadikan
pernikahan terlarang atau dilarang.
b. Calon Suami
Calon mempelai pria yang dalam hal ini harus memenuhi syarat yang ada
diatas.
c. Wali
Wali ialah ayah dari mempelai wanita. Mengenai wali bagi calon mempelai
wanita ini terbagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh)
Karena perkawinan itu tidak sah tanpa ada izin dari walinya. Hal ini dikarenakan
ada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. “Telah menceritakan Muhammad
bin Katsir, telah mengkabarkan kepada kita sufyan, telah menceritakan kepada kita
ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Azzuhri dari Urwah dari Aisyah, Aisyah
berkata: Rasulullah telah bersabda “Siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari
walinya, maka nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali).
8
Menurut Imam Nawawi seperti yang telah dinukil oleh imam Mawardi apabila
seorang wanita tersebut tidak mempunyai wali dan orang yang dapat menjadi
hakim maka ada tiga cara:
1. Dia tetap tidak dapat menikahkan dirinya tanpa adanya wali.
2. Ia boleh menikahkan dirinya sendiri karena darurat.
3. Dia menyuruh kepada seorang untuk menjadi wali bagi dirinya, dan diceritakan
dari Imam Asyayis bagi mereka yang tidak ada wali baginya harus mengangkat
seorang wali (hakim) yang ahli dan mujtahid.
Imam Syafi’i pernah menyatakan, “Apabila dalam suatu rombongan (dalam
perjalanan jauh) ada seorang perempuan yang tidak ada walinya, lalu ia
memperwalikan seseorang laki-laki untuk menikahkannya, maka yang demikian itu
diperbolehkan. Hal ini dapat disamakan dengan memperwalikan seseorang hakim
(penguasa Negara atau pejabat yang mewakilinya) dikala tidak terdapat seorang
wali nikah yang sah.”
Dan apabila terjadi perpisahan antara wali nasab dengan wanita yang akan
dinikahinya, izin wali nasab itu dapat diganti dengan izin wali hakim. Wali
menurut hukum Islam terbagi menjadi dua. Wali nasab yaitu anggota keluarga laki-
laki calon pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon
pengantin wanita. Wali nasab ini digolongkan menjadi dua yaitu wali mujbir (wali
yang berhak menikahkan orang yang diwalikan tanpa meminta izin pendapat
wanita)dan wali nasab biasa (wali yang tidak memiliki kewenangan untuk
memaksa menikahkan tanpa persetujuan wanita). Wali hakim adalah penguasa atau
wakil penguasa dalam bidang perkawinan.
4. Dua orang saksi
Menurut juhur ulama’ perkawinan yang tidak dihdiri oleh para saksi yang
menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain,
perkawinannya tetap tidak sah. Karena saksi merupakana syarat sahnya
pernikahan, bahwa Imam Syafi’i menyatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu
termasuk rukun.
Rasulullah bersabda : Telah menceritakan Muhammad bin Qadamah bin
“Ayun, menceritakan Abu ‘Ubaidah al-Haddad dari Yunus dan Israil dari Abi Ishaq
dari Abi Bardah dari Abi Musa, sesungguhnya Rasulullah telah bersabda “Tidak
sah perkawinan kecuali dengan wali”
5. Sighat (Ijab Qobul)
Pengucapan: sigat (yakni pengucapan “ijab” yang mengandung menyerahkan
dari pihak wali si perempuan, dan “qabul” yang mengandung penerimaan dari
pihak wali calon suami).
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara seorang
laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan suatu hubungan kelamin antara
keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup keluarga yang diliputi rasa kasih
sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah SWT. Dasar hukum pernikahan
banyak tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits, dan pernikahan merupakan Sunnah
Rasulullah. Hikmah dalam pernikahan yaitu : Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia
dengan jalan berkembang biak dan berketurunan, mampu menjaga suami istri terjerumus
dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu
yang diharamkan, mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk
dan bencrengkramah dengan pacarannya, mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.
Tujuan pernikahan : Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi, untuk
Membentengi Ahlak Yang Luhur, untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami, untuk
Meningkatkan Ibadah Kepada Allah, untuk Mencari Keturunan Yang Shalih. syarat dan rukun
merupakan perbuatan hukum yang sangat dominan menyangkut sah atau tidaknya perbuatan
tertentu dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung yang sama dalam hal bahwa
keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Rukun pernikahan ada lima yaitu, calon
suami, calon itri, wali nikah, saksi dan sighat (Ijab dan Qobul).
3.2 Saran
Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik
disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki
segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.
10
DAFTAR PUSTAKA
11