Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
RIFKY IZZULHAQ MARZA (210510059)
MUHAMMAD ZULFIQRI (210510189)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah sentiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kekompok untuk mata kuliah
Hukum Perkawinan, dengan judul "Syarat-syarat perkawinan."

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang
kami miliki. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan masukan yang
bersifat konstruktif dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan pendidikan.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I...................................................................................................................1

PENDAHULUAN...............................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3 Tujuan Masalah.........................................................................................2

BAB II.................................................................................................................3

PEMBAHASAN.................................................................................................3

2.1 Pengertian Perkawinan..............................................................................3

2.2 Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam...............................................4

2.3 Syarat Perkawinan Menurut Negara..........................................................5

2.4 Dampak Perkawinan Usia Dini...............................................................10

BAB III..............................................................................................................12

PENUTUP.........................................................................................................12

KESIMPULAN..................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Agama Islam memandang pernikahan merupakan perjanjian yang sakral,
bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan
atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan
hukum yang harus dilakukan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.

Dan manusia itu tidak akan berkembang tanpa adanya pernikahan. Sebab,
pernikahan akan menyebabkan manusia mempunyai keturunan. Pernikahan atau
perkawinan itu merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki–laki
dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan
bahagia. Pernikahan dilaksanakan dengan maksud agar manusia mempunyai
keluarga yang sah untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di
bawah ridha Allah SWT. Hal ini sudah banyak dijelaskan di dalam Al-Qur’an:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-


orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Nuur/24 : 32).

Tujuan dari pernikahan sendiri tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan


biologis, akan tetapi yakni menaati perintah Allah dan Rasul-Nya bernilai
ibadah yaitu membina keluarga sejahtera yang mendatangkan kemaslahatan
bagi para pelaku perkawinan, anak keturunan juga kerabat. Perkawinan sebagai

1
suatu ikatan yang kokoh, dituntut untuk membuat kemaslahatan bagi
masyarakat juga bangsa pada umumnya.

Secara umum, hampir seluruh agama memiliki pendapat bahwa


pernikahan atau perkawinan adalah hal yang cukup penting. Tidak aneh jika
agama lain memiliki pedoman sebagai tuntunan kepada para pemeluknya, agar
pernikahan yang mereka lakukan dapat mencapai tujuan ideal seperti
diharapkan. Pernikahan merupakan naluri yang berlaku pada semua makhluk-
Nya, baik pada manusia, maupun hewan. Oleh karena itu, di dalam hukum
perkawinan yang diatur menurut hukum islam menjadi sudut pandang penulis
untuk mengkaji pengertian perkawinan, rukun nikah, syarat perkawinan
menurut hukum islam, hukum pernikahan atau perkawinan dalam islam,
pencatatan perkawinan dan hak keperdataan istri dan anak.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sahnya suatu perkawinan?


2. Apa yang terjadi jika menikah dibawah usia yang ditetapkan dari syarat sah
perkawinan?

1.3 Tujuan Masalah

1. Agar mengetahui tentang syarat sah nya pernikahan sebelum kita


melakukan pernikahan
2. Untuk mengetahui dampak apa yang terjadi dari perkawinan dibawah usia
yang di tentukan

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perkawinan

Dalam Al-qur’an dan Hadis Nabi Muhammad juga dalam kehidupan


sehari-hari orang Arab, sering memakai kata nikah dan zawaj yang artinya
adalah pernikahan atau perkawinan menurut literatur fiqh berbahasa arab.
Menurut Islam perkawinan adalah perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk
membentuk keluarga yang kekal, saling menyantuni, saling mengasihi, aman
tenteram, bahagia dan kekal antara seorang laki-laki dan perempuan yang
disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Selain itu, perkawinan juga diatur
dalam hukum Islam harus dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara
kedua belah pihak.

Menurut Abu Zahrah perkawinan dapat menghalalkan hubungan biologis


antara laki-laki dan perempuan, dengan adanya perkawinan ini maka laki-laki
dan perempuan mempunyai kewajiban dan haknya yang harus saling dipenuhi
satu sama lainnya sesuai syariat Islam.

Perkawinan berasal dari kata dasar “kawin” yang mempunyai makna


bertemunya alat kelamin laki-laki dan alat kelamin wanita yang keduanya sudah
memiliki aturan hukum yang sah dan halal sehingga dapat memperbanyak
keturunan. Seperti yang dituliskan dtuliskan dalam Firman Allah SWT :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya,dan dijadikan-Nya diantara mu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum ayat 21).

3
2.2 Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam

Syarat merupakan dasar yang harus dipenuhi untuk menentukan sah atau
tidaknya. Seperti halnya syarat dalam perkawinan juga harus dipenuhi karena
akan menimbulkan kewajiban dan hak suami istri untuk menjalin kehidupan
rumah tangga kedepannya. Syarat ini harus dipatuhi oleh kedua mempelai dan
keluarga mempelai. Apabila ada syarat yang tidak ada maka akad akan rusak.
Syarat nikah ada tiga yaitu : adanya persaksian, bukan mahrom dan adanya
akad nikah.

Akad nikah merupakan hal pokok yang mengharuskan adanya saksi yang
hukumnya sah menurut syariat. Saksi dalam pernikahan bertujuan untuk
mengingat agar tidak lupa di kemudian hari.

Selanjutnya, Syarat keharusan nikah maksudnya syarat-syarat yang


menimbulkan keberlangsungan dan kontinuitas pernikahan dan tidak ada
pilihan bagi salah satunya untuk menghindarinya. Jika salah satu dari syarat
tersebut cacat, rusaklah akad. Para Fuqaha’ mempersyaratkan keharusan akad
nikah dengan beberapa syarat.

Adapun syarat dalam akad nikah harus memenuhi beberapa syarat,


yaitu :

a. Orang yang menjadi wali adalah orang yang tidak ada atau kurang
keahlian salah satu dari pihak orang tua atau anak.
b. Wanita baligh dan berakal, menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali,
adapun hak wali dalam akad ada dua syarat, yaitu suami harus sekufu atau
tidak lebih rendah kondisinya dari wanita, dan mahar akad sebesar mahar
mitsil atau kurtang dari mahar mitsil apabila wali ridho.
c. Tidak adanya penipuan dari masing-masing pihak.
d. Tidak ada cacat sehingga dari pihak suami yang memperbolehkan faskh
seperti penyakit kritis berbahaya.

4
2.3 Syarat Perkawinan Menurut Negara

Dalam Bab I Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditegaskan


bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari rumusan di atas, jelas bahwa
faktor agama merupakan dasar pertama sahnya perkawinan. Hukum masing-
masing agama dan kepercayaan itulah yang menentukan sah atau tidaknya suatu
perkawinan. Dalam penjelasan terhadap Pasal 2 ayat (1) ini dinyatakan bahwa:
“tidak ada perkawinan di luar hukum masingmasing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Setiap orang dari bangsa Indonesia, termasuk orang Islam
yang hendak melangsungkan perkawinan, harus mematuhi ketentuan
perkawinan dari agamanya. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk
kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri.

Pasal 2 ayat (1) ini dengan tegas membela kepentingan rakyat yang
beragama, supaya mereka melangsungkan perkawinan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya dalam Undang-undang
Perkawinan ditentukan bahwa untuk sahnya suatu perkawinan, di samping
harus mengikuti ketentuan-ketentuan agama, para pihak yang akan
melangsungkan perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan
dalam Undang-undang Perkawinan beserta penjelasannya.

Dalam Hukum Islam suatu perkawinan dapat dilaksanakan apabila


memenuhi Rukun dan Syarat perkawinan. Yang dimaksud dengan rukun
perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah
satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedang yang dimaksud
dengan syarat ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak
termasuk hakekat dari perkawinan itu sendiri. Jika salah satu syarat tidak
dipenuhi maka akibatnya perkawinan tidak sah. Adapun yang termasuk dalam
rukun perkawinan yaitu:

5
a. Pihak-pihak yang akan melaksanakan perkawinan ialah calon mempelai
pria dan wanita
b. Wali dari calon mempelai wanita
c. Dua orang saksi
d. Aqad nikah

Kepastian hukum merupakan indikator bahwa sesuatu undang-undang


termasuk dalam kategori sebagai hukum yang baik, kenyataan yang terjadi
mengenai sahnya perkawinan telah menimbulkan multi tafsir dikalangan para
ahli maupun masyarakat, khususnya dikalangan umat Islam. Hal ini tampak
pada pernyataan anggota masyarakat yang menyatakan bahwa “nikah sirri
sebagai pernikahan yang sah menurut agama walau tidak dicatatkan”. Dari
pernyataan tersebut minimal ada dua hal yang bisa dikritisi yaitu:

Pertama, pengertian sah menurut agama. Perkawinan sah menurut agama


merujuk pada pengertian sahnya perkawinan menurut ketentuan Hukum Islam,
tetapi tidak mengikuti kaedah-kaedah hukum sebagaimana diatur dalam UU
No. 1 Tahun 1974 khususnya yang berkaitan dengan syarat-syarat perkawinan
jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Terntang Pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974, sehingga nikah sirri juga dikenal sebagai bentuk perkawinan
dibawah tangan.

Kedua, tidak dicatatkan. Pernikahan sirri tidak dicatatkan karena memang


kategorinya adalah sebagai perkawinan dibawah tangan, dan pencatatan
perkawinan memang tidak mensahkan suatu perkawinan karena hanya
merupakan tindakan administrasi belaka, yang mensahkan perkawinan apabila
perkawinan dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat perkawinan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Rumusan pengertian perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 1


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 di atas dengan jelas dapat dinyatakan

6
bahwa suatu perkawinan merupakan suatu perjanjian yang terjadi karena
adanya kesepakatan. Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Syarat sahnya perjanjian. Perkawinan adalah sebuah ikatan, maka


perkawinan merupakan hubungan hukum yang lahir dari perjanjian, dan harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan, cakap, hal
tertentu dan kausanya halal (Pasal 1320 KUHPerdata).

Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perkawinan harus


memenuhi persyaratan adanya persetujuan (kesepakatan) antara calon
mempelai (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019). Kemudian
untuk mengikat perjanjian atau untuk memberikan persetujuan atau kesepakatan
harus memenuhi syarat cakap untuk membuat perjanjian, artinya kemampuan
bertanggungjawab.

Dalam Undang-Undang tersebut, batas minimal umur perkawinan bagi


wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu
19 (sembilan belas) tahun (Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang
perkawinan). Batas usia tersebut dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik sehingga tidak berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang
sehat dan berkualitas.

Pertimbangan UU Nomor 16 tahun 2019 terkait kenaikan batas umur


yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin antara
lain bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi
tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar
anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil
anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.

Diharapkan, dengan perubahan usia tersebut akan mengakibatkan laju


kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak.
Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan

7
tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan
akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.

Dalam ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945, dicantumkan bahwa setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta Negara
menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun,
ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada
anak wanita, karena dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak didefinisikan, bahwa anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Menurut J. Satrio dinyatakan secara tegas bahwa kata “secara sah”


diartikan “memenuhi syarat-syarat untuk sahnya perjanjian.

Syarat sahnya perkawinan diatur dalam Undang-undang no.16 Tahun


2019 pasal:

 PASAL 6

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.


2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

8
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.

 PASAL 7

1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai


umur 19 (sembilan belas) tahun.
2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak
wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat
mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
3. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan
melangsungkan perkawinan.
4. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua
calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat
(4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

9
 PASAL 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;


b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.

2.4 Dampak Perkawinan Usia Dini

Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan


usia muda adalah: a) Keinginan untuksegera mendapatkantambahananggota
keluarga, b) Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu
muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya, c) Sifat kolot
orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan
orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda
hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.

Dampak perkawinan usia muda akan menimbulkan hak dan kewajiban di


antara kedua belah pihak, baik dalam hubungannya dengan mereka sendiri,
terhadap anak-anak, maupun terhadap keluarga mereka masing-masing.
Dampak yang ditimbulkan akibat perkawinan usia dini antara lain:

10
1. Dampak terhadap suami istri, tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan
suami istrti yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa
memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri.
Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental
mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi,
2. Dampak terhadap anak-anaknya, masyarakat yang telah melangsungkan
perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan membawa dampak.
Selain berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada
usia muda, perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya.
Karena bagi wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah usia 20
tahun, bila hamil akan mengalami gangguan-gangguan pada kandungannya
dan banyak juga dari mereka yang melahirkan anak,
3. Dampak terhadap masing-masing keluarga, selain berdampak pada pasangan
suami-istri dan anak-anaknya perkawinan di usia muda juga akan membawa
dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan di antara
anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang
tuanya masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga
mereka tidak bahagia dan akhirnya yang terjadi adalah perceraian. Hal ini
akan mengakibatkan bertambahnya biaya hidup mereka dan yang paling
parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan di antara kedua belah-pihak.

11
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari makalah yang kami buat ini adalah agar kita
semua mengetahui persyaratan - persyaratan yang harus kita lengkapi untuk kita
menikah agar kita bisa diakui secara sah baik dari agama maupun dari negara
itu sendiri,dan sebelum usia yang di tentukan untuk menikah,kita harus punya
kesiapan dari segala faktor dan apa dampak kedepan harinya dari perkawinan
dibawah usia.

Menikah itu bukan ajang balap siap cepat tapi menikah itu adalah
kesiapan diri kita dari segala faktor terutama mental dan finansial,ingat faktor
utama dari masalah rumah tangga kebanyakan dari segi ekonomi,dan menikah
bukan ajang untuk kita berlomba-lomba membuat banyak keturunan,dan ingat
istri bukan lah mesin pencetak anak,anak adalah amanah yang di titipkan
kepada kita nanti selaku orang tua.

12
DAFTAR PUSTAKA

Subekti, Trusto. "Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Perjanjian." Jurnal
Dinamika Hukum 10.3 (2010): 329-338.
Demak, Rizky Perdana Kiay. "Rukun Dan Syarat Perkawinan Menurut Hukum
Islam Di Indonesia." Lex Privatum 6.6 (2018).
Musyafah, Aisyah Ayu. "Perkawinan Dalam Perspektif Filosofis Hukum
Islam." Crepido 2.2 (2020): 111-122.
Yulianti, Rina. "Dampak yang ditimbulkan akibat perkawinan usia dini." Jurnal
Pamator: Jurnal Ilmiah Universitas Trunojoyo 3.1 (2010).

13

Anda mungkin juga menyukai