Anda di halaman 1dari 6

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/344552231

Ilmu Hukum dan Basis Sosial Hukum

Article · October 2020

CITATIONS READS
0 2,744

1 author:

Kornelius Benuf
Universitas Diponegoro
37 PUBLICATIONS   67 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Tugas Kuliah View project

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEAMANAN DATA KONSUMEN DALAM BISNIS FINANCIAL TECHNOLOGY (FINTECH) DI INDONESIA View project

All content following this page was uploaded by Kornelius Benuf on 09 October 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Ilmu Hukum dan Basis Sosial Hukum

Kornelius Benuf/11000120410094
Tugas Sosiologi Hukum

Perkembangan pemikiran dalam ilmu hukum mempengaruhi pelaksanaan atau praktek hukum
karena ilmu hukum tergolong ilmu normologik praktikal. Abad ke-20 muncul aliran Sociological
Jurisprudence (1912) yang berusaha menolak pemahaman hukum yang hanya dari aspek formal-
positivistik. Sociological Jurisprudence merupakan salah satu bentuk perwujudan kesatuan Ilmu
Hukum dengan basis sosialnya (termasuk ilmu-ilmu sosial) yang kemudian dapat berakibat dalam
sistem penegakan hukum, melalui peradilan, yaitu hakim dalam memutus perkara. Problematiknya
akan muncul terkait dengan kemerdekaan hakim dalam memutus perkara. Sistem peradilan
bersifat authopoietic, tetapi juga harus melihat aspek-aspek lingkungan sosialnya. Di sinilah
pentingnya seorang hakim untuk selalu memperhatikan aspek socilogik dari Ilmu Hukum yang
digunakannya. Hakim harus memahami aliran Socilogical Jurisprudence dengan baik sehingga
hukum yang hidup, aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya mendapat tempat dalam
pertimbangan hakim untuk menghasilkan putusan yang tidak hanya memenuhi prinsip keadilan
formal (formal justice) tetapi juga keadilan substansial (substantial justice) bahwa keadilan
masyarakat (social justice) dalam penegakan hukum nasional ". Hukum yang diwakili oleh
Pengadilan dan diwakili lagi oleh hakim, berfungsi sebagai pengintegrasi (Law as an Integrative
Mechanism). Harry C. Bredemeier mengatakan bahwa di pengadilan, hakim melakukan proses
mekanisme integrasi dengan cara memanfaatkan berbagai masukan (input) berupa sub sistem
budaya, sub sistem politik dan sub sistem ekonomi sebagai bahan pertimbangan dalam
menyelesaikan perkara.

Perkembangan state of the art dari Ilmu Hukum


Perkembangan Ilmu dan Ilmu Hukum Sampai Abad 19.
Auguste Comte (1798-1857) membagi tahapan ilmu pengetahuan dalam tiga tahap, yaitu: teologis,
metafisis dan positivistis. Sejak memasuki positivisme, ilmu pengetahua berkembang sangat cepat.
Karena ia mengibaskan cara orang mengusahakannya dengan mengandalkan asumsi-asumsi yang
tidak bisa diamati dan diuji secara laboratories. Baru setelah orang membuang keinginan untuk
mencari sebab-sebab dan kekuatan pertama (causa prima) dan melihat di sekelilingnya, ilmu
pengetahuan mejadi efektif. Comte sebagai Bapak Sosiologi menamakan sosiologi sebagai "fisika
masyarakat". Abad ke-19, "sains & teknologi" disebut dalam satu tarikan nafas. Ilmu Pengetahuan
mulai ditransformasi ke dalam sistem produksi. Positivisme menjadi aliran yang dominan. Ilmu
Hukum juga tidak ketinggalan turut menggunakan model positivisme tersebut. Contoh yang sangat
mencolok adalah Hans Kelsen dengan Reine Rechtslehre. Hukum adalah susunan logis dari
peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu tempat tertentu dan ilmu hukum adalah ilmu
pengetahuan tentang peraturan-peraturan itu. Kelsen mencoba mengangkat Ilmu Hukum agar bisa
sejajar dengan positivisme ilmu-ilmu tentang alam pada waktu itu. Sekalipun menggunakan
positivisme analitis, tetapi Hans Kelsen menolak ilmu hukum disamakan dengan ilmu-ilmu
tentang alam. Kendatipun abad ke-19 didominasi oleh aliran positivism, namun dijumpai pula
kehidupan teori “arus bawah", atau teori alternatif yaitu Aliran Sejarah dari Puchta dan Savigny.
Mereka menolak faham-Kelsenian yang memisahkan sistem hukum dari masyarakatnya. Kalimat
mereka yang terkenal adalah bahwa "hukum tidak dibuat, melainkan tumbuh berkembang dan
lenyap bersama-sama dengan masyarakat". Sederetan teoritisi positivisme yang terkenal di
antaranya adalah John Austin dan H.L.A Hart. Mereka menjadikan tugas ilmiahnya sebagai
pemberi legitimasi terhadap hukum positif dan memulai suatu teori yang mendasar, dimulai dari
hakekat peraturan hukum dan bedanya dengan peraturan dalam masyarakat yang lain (social
norms). Abad ke-19 merupakan era positivisme. Sejak itu hukum menjadi institusi yang dinstinct,
baik substansi, metodologi atau administrasi ". Đalam hal substansi, hukum mengandalkan
peraturan yang ia produksi sendiri yaitu legislated rules. Tidak ada peraturan lain kecuali
diproduksi institusi hukum yamg dibuat khusus membentuk peraturan. Perubahan inu memicu
lahirny sejumlah peraturan yang dibuat secara khusus dan sengaja (purposeful) oleh mesin hukum
modern. Perhatian ilmu hukum menjadi tentang peraturam atau hukum positof semata.
Perkembangan Kajian Ilmu Hukum Setelah Abad ke-19
Studi hukum yang memasuki abad ke-20 diawali dengan perkembangan atau perubahan yang
sangat menarik, yaitu "studi ilmu hukum mulai ditarik keluar dari batasbatas ranah perundang-
undangan". Muncul aliran Sociological Jurisprudence oleh Roscoe Pound (1912). Pound
mengajukan gagasan tentang suatu studi hukum yang juga memperhatikan efek sosial dari
bekerjanya hukum. Studi tentang hukum tidak bisa dibatasi hanya tentang studi logis terhadap
peraturan-peraturan hukum dan penerapannya melainkan juga akibat yang ditimbulkan terhadap
masyarakat. Perkembangan periodesasi filsafat hukum: a. hukum alam; b. positivisme hukum; c.
utilitarianisme d. mazhab sejarah e. Sociological Jurisprudence f. realisme hukum; g.
freirechslehre, Sociological Jurisprudence muncul sebagai perkembangan baru dalam Filsafat
Hukum yang keberadaanya setelah Mazhab Sejarah. Mazhab Sejarah muncul sebagai reaksi
penolakan terhadap aliran positivisme (yang mendapat dukungan dari aliran utilitarianisme).
Ketegangan yang tajam antara dua mazhab, yaitu antara Mazhab (aliran) Positivisme dengan
Mazhab Sejarah yang dipelopori oleh Frederich Carl Von Savigny kemudian diredakan oleh
mazhab Sociological Jurisprudence dengan mencoba mensintesakan faham-faham yang
berkembang pada kedua mazhab tersebut. Tokoh-tokoh yang berada di balik mazhab ini adalah
Eugen Erlich dan Roscoe Pound). Intisari dari mazhab ini bahwa hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Rumusan tersebut menunjukkan
kompromi yang cermat antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi
adanya kepastian hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peran
masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum. 1) Pound kemudian menemukan
konsep "hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering),
Berbeda dengan Aliran Sejarah yang menyatakan bahwa hukum bukan diciptakan, melainkam
ditemukan, maka komsep social engineering by law mempercayai bahwa hukum bisa diciptakan
untuk mendorong dan menciptakan perubahan. Pound di Amerika, ia dikenal sebagai pemikir
perubahan dam pemikir utama aliran ini. Ia berpandangan luas, tetapi lebih mengutamakan tujuan-
tujuan praktis, yaitu dengan: Membahas dampak sosial yang nyata dari peran dan pemberlakuan
doktrin-doktrin hukum; 2) Mengajukan studi sosiologis berkenaan dengan studi hukum untuk
menyiapkan perundang-undangan; karena hukum dianggap sebagai lembaga sosial yang dapat
diperbaiki oleh usaha-usaha sosial yang bijaksana untuk menemukan cara-cara terbaik; 3)
Mengembangkan efektivitas studi tentang cara membuat peraturan yang lebih menekankan pada
tujuan sosial untuk dicapai oleh / secara hukum, dan bukan pada sanksi. 4) melakukan studi sejarah
hukum sosiologis tentang dampak sosial yang ditimbulkan oleh doktrin hukum dan cara
mengembangkannya; 5) Membela pelaksanaan hukum yang adil, dengan mendesak agar ajaran-
ajaran hukum harus dianggap sebagai petunjuk pada hasil yang adil bagi masyarakat. 6)
Mengusahakan efektifnya pencapaian tujuan hukum. Satjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa
perkembangan baru dalam studi hukum di ke-20 memberi isyarat bahwa ada yang kurang benar
dalam cara-cara orag belajar hukum selama ini, yaitu dengan membatasi diri dalam ranah hukum
perundangundangan. Perkembangan dalam studi hukum akan terus berlanjut dan tidak hanya
berhenti sampai “sociological movement in law". Studi sosiologis terhadap hukum yang
menumbangkan analytical positivism hanya eksemplar saja atau hanya merupakan simbol saja dari
dorongan melakukan "studi terhadap hukum secara benar". Di belakang studi sosiologis terhadap
hukum masih berderet yang lain seperti antropologi, psikologi dan ekonomi.
Perspektif Sosial Terhadap Hukum dan Integrasi Ilmu Hukum dengan Basis Sosialnya
(termasuk ilmu-ilmu sosial)
Perspektif sosial terhadap Ilmu Hukum Terdapat tiga perspektif dalam memahami hukum, yaitu
perspektif filosofis, normatif dan sosiologis. Perspektif filosofis memandang hukum sebagai nilai-
nilai, ide kebenaran dan keadilan. Perspektif normatif memandang hukum sebagai seperangkat-
norma, kaidah yang tersusun secara sistematis dan logis, sedangkan dalam perspektif sosial,
hukum dimaknai sebagai gejala sosial, institusi sosial yang berinteraksi dengan institusi sosial lain
dalam sistem sosial yang lebih luas. Ilmu hukum tergolong ke dalam kelompok ilmu praktis yang
normologis atau ilmu normatif. Sebagai warga dari ilmu praktikal, ilmu hukum yang berfungsi
untuk mengubah keadaan atau-menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkrit, Dalam
memerankan fungsi tersebut, ia harus terbuka untuk dipengaruhi oleh komunitas di luar Ilmu
Hukum dan nilai-nilai manusiawi. Bersedia menjadi medan tempat bertemu dan ber interaksinya
berbagai ilmu untuk melahirkan konvergensi. Pada tataran teoretik ditemukan Sociology of Law
Hukum sedangkan pada tataran filsafati ada Sociological Jurisprudence. Sama-sama memakai
kaca mata sosial, maka keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Sociological
Jurisprudence merupakan bukti keharusan hukum untuk menyatu dengan masyarakat yang
diaturnya. Bentuk akhir hukum modern tersebut meyakinkan terjadi perkembangan komponen
institusi: nilai, kaidah, peran dan organisasi. Puncaknya hukum modern berkualitas "formal
rasional" tampil dalam bentuk kodifikasi. Roberto M. Unger menyatakan bahwa hukum modern
muncul dalam konteks masyarakat liberal. la muncul sebagai sistem "Rule of Law" yang
memisahkan dirinya sebagai institusi modern yang otonom. Proses transformasi sosial, ekonomi
sosial baru pada saat itu, yang banyak-mendorong timbulnya lebih besar yaitu suatu tatanan yang
kapitalistis. Menjadikan hukum mempunyai komitmen sistem hukum yang disebut yang oleh
Unger boleh sebagai tata hukum atau sistem hukum yang sebenarnya ("the legal order" atau "the
legal system"). Definisi dari-tatanan komitmen tersebut, adalah golongan borjouis. Dirincinya ke
dalam sifat-sifat: a. Bersifat publik; b. Positif; c. Umum d. Otonom Otonomi tersebut dirincinya
ke dalam aspek-aspek substantif, institusional, metodologis dan pekerjaan (okupasional).
Selanjutnya Weber menyatakan bahwa hukum modem memberi kontribusi kepada kapitalisme
karena hukum itu. segalanya dapat diperhitungkan (dapat dihitung). Hanya melalui sistem hukum
dengan rasionalitas formal yang logis dan otonom dengan peraturan-peraturan yang universal dan
umum, dapat memberi jaminan terhadap kepastian hukum yang dibutuhkan ". Sebagaimana telah
berlaku di muka, hukum modem yang bersifat publik, positif, umum dan otonom tersebut telah
mendapatkan reaksi yang diterima terutama oleh mahzab atau aliran lain.
Kesatuan Ilmu Hukum dengan Basis Sosial (Struktur Sosial dan Ilmu-Ilmu Sosial)
Dalam bangunan hukum, hukum formal yang berupa peraturan semata hanyalah tulang yang
menjadi keranga(sketch, skeleton), sedangkan masyarakat adalah dagingnya. Unsur-unsur
bangunan hukum, yaitu: 1. Sistem peraturan itu sendiri 2. Segi ideologis nya 3. Segi manusianya
4. Segi kemasyarakatan nya (struktur sosial) 5. Segi fasilitas-fasilitas fisiknya Hukum tidak hadir
dalam sosok yang abstrak, melainkan sebagai sesuatu yang seharusnya mewujud dalam bentuk
“kerangka, darah dan daging” lengkap dengan pakaian dan atributnya, oleh karenanya unsur-unsur
tersebut harus dikaji secara lengkap. Pada saat hukum dijalankan terjadilah interaksi antara hukum
dan perilaku masyarakat yang menggunakannya. Sosiologi hukum berbicara makna sosial hukum.
Makna sosial diberikan kepada hukum melalui kontak-kontak dengan lingkungan sosial di mana
hukum itu diterapkan. Sosiologi hukum mengatakan bahwa peraturan hukum tidak dapat
memaksakan agar isi peraturan dijalankan secara mutlak, melainkan dalam banyak hal dikalahkan
oleh struktur sosial di mana hukum itu di jalankan. Penelitian Daniel S.Lev menunjukkan
bagaimana pengertian hukum, prosedur hukum, di Jawa dikalahkan oleh pola harmoni, menjaga
perasaan, dan sebagainya. Dalam hal ini struktur sosial menjadi faktor penentu dalam hukum dan
masyarakat pun sebenarnya turut membentuk hukum dengan memberi makna sosial kepadanya.
Struktur sosial diartikan sebagai bentuk pengorganisasian suatu kehidupan sosial, yaitu bagaimana
ia menentukan hubungan antara lembaga-lembaga dalam masyarakat, bagaimana ia menyusun
pelapisan sosialnya. Lebih khususnya adalah perangkat nilainilai yang berlaku serta sikap maupun
pola hubungan di antara anggota masyarakat. William J. Chambliss mengemukakan bahwa hukum
suatu bangsa tidak dapat ditransfer begitu saja kepada bangsa lain. Karena hukum itu memiliki
struktur sosialnya sendiri yang berbeda. Menurut Durkheim dalam The Divion of Labor in Society
bahwa hukum merupakan indikator atau petunjuk atau indeks dari adanya suatu masyarakat.
Masyarakat itu mengikat oleh karena para anggotanya menyukai sesama anggota masyarakat itu,
berbicara dengan bahasa yang sama, berpikir, dan bertingkah laku sama. Masyarakat mengikat
karena adanya solidaritas di antara anggotanya. Terdapat solidaritas mekanis yang mendasarkan
terwujudnya masyarakat pada rasa keterikatan dan rasa persatuan di antara anggota-anggotanya.
Perbedaan pendapat dan penyimpangan tingkah laku merupakan bertentangan dengan solidaritas.
Sedangkan, solidaritas organis, terwujudnya masyarakat didasarkan pada kebebasan para
anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan dan untuk berhubungan antara satu dengan
yang lain, karena sifat sosial manusia maka kebebasan demikian ini tidak menyebabkan musnah
nya manusia. Dalam konsep ini, hukum sebagai moral sosial pada hakikatnya adalah suatu ekspresi
solidaritas sosial yang berkembang di dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan
solidaritas. Tidak ada masyakat yan dapat tegak dan eksis tapa slidaritas. Bentuk masyarakat
tersebut berhubungan erat dengan hukm yang mengaturnya. Pada masyarakat denga soldaritas
mekanis, hukum yang berlaku adalah hukum yang bersifat represif, yaitu hukum yang bekerja
dengan cara meberian sanksi pidana kepada anggota masyarakat yang melangar hukum dengan
tuan agar para anggota masyarakat mempunyai keseragaman dalam tindakannya. Pada masyaraka
soiidaritas organis, hukum yang berlaku adalah hukum yang bersifat resitutif, yaitu hukm yang
bekerja dengan cara menyediakan sarana untuk memlihkan keadaan menjadi seperti semula,
bilamana terjadi ganguan dalam hubungan diantara anggota masyarakat. Hukum tersebut sesuai
karena masyarakatnya mendasarka diri pada kebebasan para anggotanya.

Daftar Pustaka
Suteki, Desain Hukum Di Ruang Sosial, 1st edn (Yogyakarta: Thafa Media, 2013)

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai