Anda di halaman 1dari 26

PENGHALANG PERNIKAHAN DAN

PEMBATALAN PERNIKAHAN
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak dan Muamalah
Dosen Pengampu : Dra Sri Susanti, MA

Oleh :
Kelompok 4 / 3 B
Cici Andri Widiasari 18631709
Lina Desi Utami 18631699
Rahma Tri Fany 18631675
Dila Restiani 18631658

PRODI SI KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan cukup baik
dan tepat pada waktunya yaitu “PENGHALANG PERNIKAHAN DAN PEMBATALAN
PERNIKAHAN” .
Adapun makalah ini kami susun atas dasar kelengkapan tugas mata kuliah Akhlak dan
Muamalah. Kami sampaikan terima kasih kepada Ibu Dra Sri Susanti, MA selaku dosen
pengampu mata kuliah Akhlak dan Muamalah di Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan makalah ini, semua yang telah memberi informasi yang kami tidak sebut satu per
satu.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan di dalamnya, maka untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif dari para pembaca dalam kesempurnaan laporan ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Sekali lagi kami sampaikan terima kasih.

Ponorogo, 18 Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................... ii


Daftar Isi ............................................................................................................................ iii
Bab 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
C. Tujuan .................................................................................................................. 2
Bab 2 Pembahasan
PENGHALANG PERNIKAHAN
A. Pengertian Penghalang Pernikahan ..................................................................... 3
B. Penghalang Perkawinan ....................................................................................... 4
PEMBATALAN PERNIKAHAN
A. Pengertian Pembatalan Penikahan ...................................................................... 13
B. Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Pembatalan Pernikahan Atau Fasakh .... 17
C. Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Pernikahan ......................... 18
D. Alasan-alasan Pembatalan Pernikahan ................................................................ 19
E. Akibat Pembatalan Pernikahan ............................................................................ 19
F. Tata cara Pembatalan Pernikahan ....................................................................... 20
Bab 3 Penutup
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 22
B. Saran .................................................................................................................... 22
Daftar Pustaka .................................................................................................................... 23

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia adalah mahluk sosial, semenjak dilahirkan manusia tidak bisa lepas
dengan orang lain. Sepanjang perjalanan hidupnya seorang manusia selalu hidup
bersama dengan orang lain dalam suatu pergaulan hidup. hal tersebut adalah untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat
rohani.
Pada umumnya, bagi seorang pria dan wanita yang sudah dewasa akan memiliki
keinginan untuk hidup bersama dengan yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup
bersama antara pria dan wanita dalam suatu ikatan dengan memenuhi syarat-syarat
tertentu disebut perkawinan. Hidup bersama dilakukan untuk membentuk keluarga
dalam ikatan perkawinan yang sah sesuai dengan norma Agama dan aturan yang
berlaku.
Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan
dan memperoleh ketenangan serta kebahagiaan dalam hidup, dengan jalan perkawinan
yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat. Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci.
perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan pihak-pihak yang bersangkutan, yang
dicerminkan dalam adanya peminangan sebelum perkawinan dan ijab-kabul dalam akad
nikah yang dipersaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki. Hak antara
suami istri juga diatur, demikian pula hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-
anaknya. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri diatur pula bagaimana cara
mengatasinya.
Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting karena hukum
perkawinan mengatur tata cara kehidupan keluarga yang merupakan inti kehidupan
masyarakat. Hukum perkawinan merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajib
ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al Quran dan
Sunnah Rosul. 1
Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974. kemudian bagi orang yang beragama

1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press, 1990, halaman 1.
1
Islam berlaku juga Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
sebagai pelengkap dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja yang menjadi penghalang pernikahan ?
2. Apa saja yang menjadi pembatalan pernikahan ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui penghalang pernikahan.
2. Untuk mengetahui pembatalan pernikahan.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

PENGHALANG PERNIKAHAN
A. PENGERTIAN PENGHALANG PERNIKAHAN
Pada dasarnya laki-laki adalah pasangan bagi wanita. Allah menciptakan tumbuh-
tumbuhan, binatang maupun manusia secara berpasangan-pasangan. Dalam surat Yasin
ayat 36 disebutkan:
(36 :‫سبحان الذى خلق الزاواج كلها مما تنبت الراض ومن انفسهم ومما ل يعلمون )يس‬
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik
dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dariapa yang tidak
meeka ketahui”.
(49 :‫ومن كل شى خلقنا زاوجين لعللكّم تذكرون )الذارايات‬
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah”.

Namun demikian, menurut hukum Islam tidak setiap laki-laki dibolehkan kawin
dengan setiap perempuan. Ada di antara perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh laki-
laki tertentu karena antara keduanya terdapat penghalang perkawinan yang dalam fiqh
munakahat disebut dengan mawani’ an-nikah.
Dimaksud dengan penghalang perkawinan atau mawani’ an-nikah yaitu hal-hal,
pertalian-pertalian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
menghalangi terjadinya perkawinan dan diharamkan melakukan akad nikah antara
keduanya.
Ibnu Rusyd membagi penghalang perkawinan menurut hukum Islam menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Mawani’ muabbadah (‫ = )موانببع مؤبببدة‬penghalang perkawinan yang bersifat
selamanya
2. Mawani’ gaeru muabbadah (‫ =)موانببع غيببر مؤبببدة‬penghalang perkawinan yang
bersifat sementara.
Ada juga yang menyebut dengan istilah mahram muabbad (haram bersifat selamanya)
dan mahram muaqqat (haram untuk sementara waktu). Dimaksud dengan penghalang
perkawinan yang bersifat selamanya ialah sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun

3
laki-laki dan perempuan tidak boleh melakukan perkawinan. Adapun yang dimaksud
dengan penghalang perkawinan yang bersifat sementara ialah larangan kawin antara
laki-laki dan perempuan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu; suatu saat
apabila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah maka tidak lagi dilarang.
Lebih lanjut Mawani’ muabbadah, dibagi lagi kepada: yang disepakati dan yang
diperselisihkan. Adapun yang disepakati ada tiga, yaitu:
1. Karena hubungan nasab
2. Karena hubungan musaharah, dan
3. Karena hubungan persusuan
Sedangkan yang diperselisihkan ialah:
1. Penghalang karena zina
2. Penghalang karena sumpah li’an
Mawani’ gaeru muabbadah ada 9, yaitu:
1. mani’u al-‘adad (penghalang karena bilangan isteri);
2. mani’u al-jam’u (penghalang karena permaduan);
3. mani’u ar-riqqi (penghalang karena perbudakan);
4. mani’u al-kufri (penghalang karena kekufuran);
5. mani’u al-ihram (penghalang karena sedang ihram);
6. mani’u al-marad (penghalang karena sakit,;
7. mani’u al-iddah (penghalang karena menjalankan iddah);
8. mani’u tatliqu salasan (penghalang karena talak tiga), dan
9. mani’u az-zaujiyyah (penghalang karena ikatan perkawinan).

B. PENGHALANG PERKAWINAN
Perempuan yang haram dikawini untuk selamanya
1. Haram dikawini untuk selamanya dan disepakti oleh semua ulama
Haram dikawini untuk selamanya dan disepakti oleh semua ulama ada
tiga macam yaitu karena ada hubungan nasab, karena ada hubugan
persemendaan (musaharah), dan karena ada hubungan persusuan (rada’).
Mereka itu adalah para wanita sebagaimana yang disebutkan dalam firman
Allah surat an-Nisa’ ayat 22-23.

4
a. Karena ada hubungan nasab.
Wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan nasab ialah:
1) Al-ummahaat (ibu kandung), termasuk al-ummahat ialah ibunya
ibu (nenek) dst ke atas.
2) Al-banaat (anak perempuan kandung), termasuk al-banaat ialah
cucu perempuan dst ke bawah
3) Al-Akhawaat (saudara perempuan), baik saudari perempuan
sekandung, seayah, amupun seibu
4) Al-‘ammaat (saudari perempuannya ayah), baik sekandung, seayah,
maupun seibu
5) Al-khaalaat (saudari perempuannya ibu), baik sekandung, seayah,
maupun seibu
6) Banaatul akhi (anak perempuannya saudara laki-laki/keponakan
dari saudara laki-laki)
7) Banaatul ukhti (anak perempuannya saudari perempuan/keponakan
dari saudari perempuan).
b. Karena ada hubungan musaharah.
Adapun perempuan yang diharamkan karena ada hubungan musaharah
(persemendaan) ialah:
1) Zaujatu al-abi (isteri ayah/ibu tiri). Para fuqaha sepakat bahwa
semata-mata akad (sekalipun belum terjadi hubungan seksual
antara ayah dengan isterinya) sudah mengakibatkan keharaman
menikahi ibu tiri.
2) Zaujatu al-ibni (steri anak/menantu). Para fuqaha sepakat bahwa
semata-mata akad sudah mengakibatkan keharaman menikahi
menantu
3) Ummu zaujiyyati (ibunya itseri/ibu mertua):
4) Bintu az-Zaujah (anak perempuannya isteri/anak tiri:
c. Karena ada hubungan persusuan (rada’ah).
Rasulullah menjelaskan lebih lanjut dalam hadis yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari Muskim dari Ibnu Abbas yang artinya: “Menjadi haram
karena hubungan susuan apa yang menjadi haram karena hubungan

5
nasab”. Atas dasar ini maka wanita yang diharamkan di nikahi karena
hubungan susuan ialah:
1) Ibu susuan, yaitu wanita yang menyusuinya, karena ia telah
menyusuinya maka dianggap sebagai ibu dari yang menyusu.
Masuk ke dalam ibu susun ini ialah nenek susuan, yaitu ibunya ibu
yang menyusui ataupun ibunya suami ibu yang menyusui dst ke
atas.
2) Anak susuan. Termasuk dalam anak susuan ialah anak yang
disusukan olehnya, anak yang disusukan anak perempuan, dst. ke
bawah
3) Saudara susuan. Termasuk dalam saudara susuan yaitu yang
dilahirkan ibu susuan, yang disusukan oleh ibu susuan, yang
dilahirkan istri ayah susuan, dst.
4) Bibi susuan. Termasuk dari bibi susuan sudari dari ibu susuan,
saudari dari suami ibu susuan.
Penghalang perkawinan karena susuan ini hendaknya diperhatikan
sungguh-sungguh, hal ini karena di kampung-kampung masih sering
terjadi seorang ibu tidak hanya menyusui anaknya, terkadang anak
tetangganya yang diitipkan kepadanya, Jangan sampai terjadi seseorang
tidak mengetahui saudara sesusuannya sehingga kelak antara keduanya
kawin yang sebenarnya perkawinan antara keduanya tidak dibenarkan
menurut hukum Islam. Demikian juga mengenai penyelenggaraan Bank
ASI yang ada di beberapa tempat perlu mendapat perhatian dan ditangani
dengan memperhatikan aspek hokum Islam mengenai rada’ah, sehingga
tidak sampai terjadi seseorang mengawini saudara sesusuannya atau
seseorang menikahi bibi susuan, ibu susuan, dst.

2. Penghalang perkawinan yang bersifat selamanya tetapi masih


diperselisihkan oleh para fuqaha
a. Mani’u az-Zina (Penghalang perkawinan karena perbuatan zina).
Dimaksud dengan mani’u az-zina di sini ialah bahwa perbuatan
zina itu menjadi penghalang bagi perkawinan, sehingga diharamkan

6
orang yang bersih dari zina mengawini wanita pezina. Dasar hukumnya
ialah firman Allah surat an-Nur ayat 3
Maksud dari surat an-Nur ayat 3 ialah tidak pantas orang yang
beriman kawin dengan wanita yang berzina, demikian pula sebaliknya.
Para ulama berbeda pendapat tentang haram atau tidaknya laki-laki
mu’min mengawini wanita pezina. Penyebab perbedaan pendapat dalam
masalah ini ialah apakah larangan dalam ayat 3 surat an-Nisa di atas
sebagai celaan atau menunjukkan keharaman. Lebih lanjut, apakah lafadz
dzalika dalam firman Allah di atas (wa hurima dzalika) itu menunjuk
kepada zina atau nikah. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa bahwa ayat 3
surat an-Nisa’ itu menunjukkan dzam (celaan) bukan mengharamkan. Hal
ini harus dihubungkan dengan hadits yang menerangkan bahwa seorang
sahabat menghadap Nabi dan mengemukakan bahwa isterinya tidak
menolak tangan laki-laki lain yang memegangnya , kemudian Nabi
memerintahkan agar isteri yang demikian itu dicerai saja. Sahabat
menjawab bahwa ia masih mencintainya. Kemudin Nabi menyuruh agar
isteri yang demikian itu tetap dipelihara……
b. Mani’u Li’an (Penghalang perkawinan karena sumpah li’an).
Sumpah li’an yaitu sumpah yang dilakkan oleh suami terhadap
isterinya karena suami menuduh isterinya berbuat zina dengan laki-laki
lain atau suami mengingkari kehamilan isteri dari perbuatannya. Tuduhan
zina atau pengingkaran kehamilan itu dilakukan dengan cara suami
mengucaqpkan empat kali dan sumpah/peraksian dan sumpah yang
kelima disertai sumpah bahwa tuduhnnya itu benar, suami bersedia
menerima laknat Allah kalau jika tuduhannya itu bohong. Atas tuduhan
suaminya itu, isteri dapat terbebas dari sanksi pidana zina apabila ia mau
bersumpah empat kali bahwa tuduhan suaminya itu bohong dan
sumpahnya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima
murka Allah jika tuduhan suaminya itu benar.
Setelah terjadi prosesi mula’anah (saling meli’an) antara suami
isteri, maka terputuslah perkawinan mereka. Setelah putus perkawinan
itu apakah suami yang telah meli’an isterinya itu masih mungkin kembali
kepada isterinya dengan akad perkawinan yang baru, terdapat perbedaan

7
pendapat di kalangan ulama. Jumhur fuqaha, di antaranya imam Malik,
imam asy-Syafi’I, as-Sauri, berpendapat bahwa percerian antara
keduanya bersifat selamanya sehingga antara keduanya tidak
diperbolehkan kawin untuk selamanya. Mereka beralasan dengan hadis
Nabi:
‫فرق راسول ا صلعم بين المتلعنين وقال حسبكّما على ا احدكما كاذب لسبيل‬
“Rasulullah saw telah menceraikan di antara dua orang yang
saling meli’an dan bersabda “perhitunganmu diserahkan kepada Allah,
salah seorang di antaramu adalah pembohong, tidak ada jalan cara
untukmu kembali keadanya”.
Sementara itu imam Abu Hanifah berpendapat bahwa antara
keduanya bisa kembali membangu perkawinan apabila salah seorang di
antara keduanya mencabut sumpah li’annya.

Perempuan yang haram dikawini untuk sementara waktu


Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perempuan yang diharamkan untuk
sementara waktu ada 6 . Akan tetapi tidak semua harus dijelaskan karena yang dulu
dilarang, sekarang sudah tidak ada lagi wujudnya, seperti perbudakan.
1. Penghalang perkawinan karena bilangan isteri
Dalam keadaan tertentu dan dengan syarat-syarat yang berat dibolehkan
seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, yaitu dua, tiga, dan maksimal
empat orang. Apabila seorang laki-laki sudah beristeri empat orang, maka
tidak diperbolehkan untuk menambah isteri lagi. Dengan demikian yang
dimaksud dengan penghalang perkawinan karena jumlah isteri ialah ketika
seorang laki-laki sudah beristeri empat orang maka perempuan yang manapun
haram untuk dijadikan isteri yang kelima, karena batas maksimal poligami
adalah empat orang istri.
2. Penghalang perkawinan karena permaduan
Diharamkan laki-laki memadu antara dua orang perempuan bersaudara
dalam satu waktu yang bersamaan. Apabila mengawini mereka secara berganti-
ganti, umpama seorang .laki-laki menikahi seorang wanita tetapi kemudian
isterinya itu meninggal atau dicerai, maka laki-laki itu boleh menikahi adik

8
atau kakak mantan isterinya Tidak diperbolekan juga mengumpulkan seorang
wanita dengan bibinya (‘ammah maupun khalah).
3. Penghalang perkawinan karena kekafiran
Wanita muslimah hanya boleh kawin dengan laki-laki muslim dan tidak
boleh kawin dengan laki-laki kafir. Hal ini didasarkan kepada firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 221 dan surat al-Mumtahanah ayat 10. Selain itu
wanita muslimah yang dikawinkan dengan laki-laki kafir akan menggoyahkan
aqidah, membahayakan agama si wanita karena biasanya wanita mengikuti
suaminya, termasuk mengikuti agama suami dan suami akan menariknya
kepada kekafiran. Laki-laki muslim dibolehkan kawin dengan perempun
muslimah atau kitabiyah, tidak boleh menikah dengan wanita kafir atau
musyrikah.
4. Penghalang perkawinan karena ihram
Orang yang sedang ihram haji ataupun umrah tidak boleh mengadakan
akad nikah, baik untuk dirinya ataupun orang lain. Aqad nikah yang dilakukan
pada waktu ihram menjadi batal.
Yang berpendapat bahwa orang yang sedang ihram tidak boleh
melakukan akad nikah, tidak boleh menikahkan ialahUmar bin Khattab, Ali,
Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, asy-Syafi’I, Ahmad. Adapun ulama Hanafiyah
membolehkan mengadakan akad perkawinan ketika sedang ihram, yang tidak
diperbolehkan ialah melakukan hubungan seksual selama ihram.
5. Penghalang perkawinan karena menjalani iddah
Wanita yang sedang menjalani iddah, baik iddah cerai maupun iddah
ditinggal mati haram dikawini berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat
228 dan ayat 234
6. Penghalang perkawinan karena ikatan perkawinan
Yang dimaksud dengan penghalang perkawinan karena ikatan
perkawinan bahwa perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan
dengan seorang laki-laki haram dikawini oleh siapapun. Bahkan perempuan
yang sedang dalam perkawinan itu dilarang untuk dilamar baik secara jahr,
terus-terang ataupun secara sindiran, meskipun dengan janji akan dikawini
apabila nanti diceraikan dan sudah habis iddahnya. Keharaman ini berlaku

9
selama suaminya masih hidup atau belum dicerai. Setelah suaminya mati atau
telah diceraikan, maka ia boleh dikawini oleh siapa saja.
7. Mani’u al-marad (penghalang karena sakit)
Para ulama berbeda pendapat tentang nikahnya orang yang sakit.
 Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, boleh menikah dengan orang yang
sakit.
 Imam Malik, tidak boleh menikah dengan orang yang sakit
8. Mani’u ar-riqqi (penghalang karena perbudakan)
Para ulama sepakat bahwa budak laki-laki boleh menikahi budak perempuan
dan bagi wanita merdeka boleh menikahi budak perempuan jika dia dan
walinya ridla.
Sedangkan para ulama berbeda pendapat bagi laki-laki merdeka yang menikahi
budak wanita.
 Madzhabnya Ibn Qasim, hukumnya boleh secara mutlak
 Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i, tidak boleh kecuali dengan dua (2)
syarat, [1] Tidak ada mahar, [2] Takut kesulitan (menghindari zina)
9. Mani’u tatliqu salasan (penghalang karena talak tiga)
Talak adalah pernyataan atau sikap atau perbuatan untuk melepaskan
ikatan pernikahan. Bisa juga dikatakan sebagai putusnya hubungan perkawinan
antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.
Talak pada umumnya dilakukan oleh suami, tetapi talak juga bisa
diajukan oleh pihak istri. Apabila talak dilakukan oleh suami, maka ada
beberapa jenis talak.
1. Talak sunni, yakni perceraian yang dilakukan oleh suami yang
mengucapkan cerai talak kepada isterinya yang masih suci dan belum
disetubuhinya (sang istri beradaa dalam keadaan suci).
2. Talak bid’i, suami mengucapkan talak kepada isterinya ketika sang istri
dalam keadaan haid atau berada dalam kondisi suci tapi sang istri sudah
disetubuhi (berhubungan intim).
3. Talak raj’i, yakni perceraian ketika suami mengucapkan talak satu atau talak
dua kepada isterinya. Suami boleh rujuk kembali ke isterinya ketika masih
dalam iddah. Jika waktu iddah telah habis, maka suami tidak dibenarkan

10
melakukan rujuk dengan istrinya kecuali dengan melakukan akad nikah
baru.
4. Talak bain, perceraian pada saat suami mengucapkan atau melafazkan talak
tiga (atau ketiga) kepada isterinya. Isterinya tidak boleh diajak rujuk
kembali kecuali setelah isterinya menikah dengan lelaki lain, suami barunya
menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis iddah
dengan suami barunya.
5. Talak ta’liq, yakni suami yang menceraikan isterinya dengan sesuatu sebab
atau syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka
terjadilah penceraian atau talak.
Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa talak 1 dan talak 2 adalah
talak (cerai) yang memungkinkan si suami untuk kembali ruju’ tanpa akad baru
(termasuk mengajak berhubungan intim) dengan istrinya selama masa iddah
(kurang lebih 3 bulan). Selama masa ‘iddah sang istri tetap berada di rumah
suami dan berhak mendapatkan nafkah lahir. Kenapa tidak boleh dipulangkan
dulu ke rumah mertua? Agar supaya ada potensi untuk ruju’, tumbuh kembali
rasa cinta dari suami sehingga mengatakan “saya mau ruju’ kembali”. Dari
penjelasan ini, maka talak 1 dan talak 2 masuk dalam kategori talak raj’i.
Jika usai masa iddah suami tidak meruju’ istrinya maka disebut dengan
talak bainunah sughra. Maksudnya, sang suami tidak halal berhubungan intim
dengan istrinya kecuali dengan akad nikah baru. Sebab, istri sudah tidak
menjadi istrinya dan tidak ada kewajiban baginya memberikan nafkah.
Jika suami meninggal dunia, dalam keadaan mencerai istrinya (talak 1
atau talak 2) maka sang istri masih berhak mendapatkan harta warisan. Istri
mendapatkan harta warisan 1/4 jika tidak punya anak, atau mendapatkan
seperdelapan kalau punya anak dari harta suaminya, sebab cerainya masih
dalam masa iddah. Tetapi jika sudah jatuh 3 kali cerai, maka istrinya tidak
mendapatkan harta warisan.
Jadi, misalkan suami A dan istri B menikah. Lalu A mentalak B. Ini
disebut talak 1. Setelah 3 bulan, mereka rujuk. Lalu karena satu dan lain hal, A
kembali mentalak B. Nah, ini disebut talak 2. Meski telah talak 2, A masih
boleh rujuk dengan B. Namun jika A kembali mentalak B, yg otomatis
menjadikan talak 3 telah jatuh, maka A tidak boleh rujuk lagi dengan B,

11
kecuali B menikah dahulu dengan X, berhubungan intim, lalu si X
mentalaknya (minimal talak 1), serta sudah habis masa iddahnya.
Sedangkan pernyataan talak yang langsung talak 3 ini masih menjadi
perdebatan di kalangan ulama. Namun, jika merujuk pada ayat “Talak (yang
dapat dirujuki) dua kali” (Al Baqarah: 229), banyak ulama yg berpendapat
bahwa talak 3 hanya bisa dilakukan setelah 2 kali talak dan 2 kali rujuk.
Meski demikian, ada yang berpendapat boleh dilakukan talak langsung
talak 3 dengan merujuk pada hadits berikut ini:
“Di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Abu Bakr, lalu dua tahun
di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam sekali ucap. ‘Umar
pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa dalam
mengucapkan talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah
berlaku, yaitu talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-
gesaan ini, aku berharap bisa mensahkan talak tiga sekali ucap”. Akhirnya
‘Umar pun mensahkan talak tiga sekali ucap dianggap telah jatuh tiga kali
talak”.(HR. Muslim)
Merujuk pada hadits di atas, boleh-boleh saja seorang suami langsung
menjatuhkan talak 3 sekaligus. Namun, seperti yang Umar katakan, bahwa
perbuatan langsung talak 3 sebenarnya hal yang tergesa-gesa dan tidak sesuai
dengan aturan Islam yg dulu pernah berlaku, yakni jatuhnya 2 kali talak dan 2
kali rujuk.
Karena jika seorang suami telah mentalak 3 istrinya, lalu di kemudian
hari menyesal dan ingin rujuk, maka seperti penjelasan-penjelasan di atas,
tidak diperbolehkan rujuk kecuali si istri telah menikah dengan orang lain,
disetubuhi suami barunya, diceraikan (ditalak), dan habis masa ‘iddah. Itu
berarti mesti dilakukan akad nikah baru. Apabila si suami memaksa rujuk dan
berhubungan intim, maka hal tersebut dilarang dan hubungan intimnya bisa
dikategorikan sebagai zina karena dilakukan oleh pasangan yang tidak resmi
(dikarenakan telah terjadi talak 3).
Silakan merujuk pada ayat, “Kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama

12
dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan- Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Al Baqarah: 230)
Namun, seorang istri yang telah ditalak 3 tidak boleh melakukan
pernikahan dan persetubuhan serta perceraian “pura-pura” hanya agar bisa
kembali ke suami sebelumnya. Hal ini juga dilarang! Pernikahan seperti ini
disebut pernikahan muhallil.

PEMBATALAN PERNIKAHAN
A. PENGERTIAN PEMBATALAN PENIKAHAN
Pembatalan Pernikahan dan Dasarnya Menurut Hukum Islam
Pembatalan perkawinan secara etimologi berarti merusak. Jika dihubungkan
dengan perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pembatalan perkawinan adalah
pembatalah ikatan perkawinan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau
suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena perkawinan yang terlanjur
menyalahi hukum perkawinan(Amir Syarifuddin, 2009: 242).
Jadi secara umum batalnya pernikahan adalah rusak atau tidak sahnya perkawinan
seseorang karena tidak terpenuhinya salah satu syarat dan rukunnya yang telah
ditetapkan oleh syara’(Ahmad Azhar Basyir, MA, 2010 : 85).
Dalam fiqih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda walaupun hukumnya
sama, yaitu nikah fasid dan nikah bathil. Nikah fasid adalah perkawinan yang tidak
memenuhi salah satu syarat nikah, sedangkan nikah bathil adalah perkawinan yang tidah
terpenuhinya rukun-rukunnya. Hukum nikah fasid dan nikah bathil adalah sama-sama
tidak sah.
Istilah batal dalam Islam sebenarnya dibedakan dalam dua pengertian, yaitu
fasakh dan infisakh yang penggunaannya mempunyai makna berbeda. Dijelaskan dalam
ensiklopedia Islam, istilah infisakh dipahami sebagai tindakan pembatalan akad tanpa
ada keinginan atau pernyataan pembatalan akad dalam bentuk apapun, misalnya karena

13
suatu peristiwa yang menyebab-kan akad tidak dapat diaplikasikan(B. Lewis, 1965:
826).
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa putusnya akad meliputi fasakh dan
infisakh, hanya saja munculnya fasakh terkadang bersumber dari kehendak sendiri,
keridhaan dan terkadang berasal dari putusan hakim, sedangkan infisakh muncul karena
adanya peristiwa alamiah yang tidak memungkinkan berlangsungnya akad.
Dihubungkan dengan istilah pembatalan perkawinan, maka istilah batal disini
lebih dekat maknanya dengan istilah fasakh sebagaimana yang dijelaskan di atas, tetapi
lebih lanjut Wahbah az-Zuhaili menyebutkan pandangan Hanafiyah, bahwa
meninggalnya salah seorang dari dua orang yang ber-akad dapat menimbulkan
terjadinya infisakh, sementara jumhur ulama tidak memandangnya sebagai infisakh,
karena itu meninggalnya salah seorang dari pasangan suami isteri berdasarkan
pandangan Hanafi dapatlah disebut sebagai infisakh dalam perkawinan.
Pembatalan perkawinan bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi
pada akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian yang membatalkan
kelangsungannya perkawinan(Sayyid Sabiq, 1995: 333).
Pemutusan perkawinan bukanlah hal sepele tapi sesuatu yang harusdilakukan
dengan sangat hati-hati,memutuskan berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-
hukumnya(Soemiyati, 1982: 10).

Pembatalan Pernikahan Menurut UU No 1 Tahun 1974


Dalam Undang-undang no.1 tahun 1974 dijelaskan dalam beberapa pasal tentang
pembatalan perkawinan, yakni dalam pasal sebagai berikut: Bahwa perkawinan dapat
dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan (pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974).
Sedangkan mengenai syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan ada pada
pasal 6 s/d 12 yaitu(Marwan , 2101 : 4-6).
Pasal 6
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin maksud ayat (2) pasal

14
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diproleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat
(2),(3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Pasal 7
1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun kebawah.
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri.

15
4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan.
5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat(2) dan Pasal 4 Undangundang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan
lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang- undang tersendiri,
Sedangkan pada kompilasi hukum Islam pasal 70 disebutkan bahwa perkawinan batal
apabila :
a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad
b. nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari
keempat istrinya itu dalam masa iddah talak raj’i.
c. Seorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.
d. Seorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang
kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya.

Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah


semenda dan sesusuan sampai drajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut
pasal 8 Undang-undang No.1 tahun 1974, yaitu:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.

16
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri.
d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara
sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.
e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau pemenakan dari istri atau istri-
istrinya.( UU 74 ).

Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam


Pasal 70 poin a-e dalam KHI menyebutkan tentang sebab-sebab dari pembatalan
perkawinan. Dan tidak hanya dalam Pasal 70 selanjutnya dalam Pasal 71 a-f juga
menyebutkan sebab lain yang dapat menjadi penyebab seseorang melakukan
pembatalan perkawinan, yaitu:
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
b. Perempuan yang dikawinkan ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria
lain yangmafqud.
c. Perkawinan yang dikawini ternyata masih dalam iddah darisuami lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tsahun 1974.
e. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

B. FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PEMBATALAN


PERNIKAHAN ATAU FASAKH
Amir Syarifuddin menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya pembatalan pernikahan atau fasakh, yaitu:
1. Syiqaq
Yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang terus menerus.
sebagaimana firman Allah di dalam surat an Nisa ayat 35 yang artinya “dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan,

17
niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. an Nisa’: 35)”
2. Cacat
Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau
cacat rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum pernikahan,
namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi
akad pernikahan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah suami isteri bergaul
atau belum.
3. Suami tidak mampu memberi nafkah
Nafkah yakni berupa nafkah lahir atau nafkah batin, yang menyebabkan
penderitaan dipihak isteri.
4. Mafqud (Suami ghaib)
Suami ghaib adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak diketahui
kemana perginya dan di mana keberadaannya dalam waktu yang lama.
5. Melanggar perjanjian dalam pernikahan
Sebelum akad nikah suami dan isteri dapat membuat perjanjian pernikahan.
Pelanggaran terhadap perjanjian pernikahan tersebut dapat menyebabkan
terjadinya pembatalan pernikahan.

C. PIHAK-PIHAK YANG BERHAK MENGAJUKAN PEMBATALAN


PERNIKAHAN
Pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan pernikahan diatur dalam pasal
23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Para keluarga dalam keturunan garis lurus keatas dari suami atau isteri;
2. Suami atau isteri
3. Pejabat yang berwenang hanya selama pernikahan belum diputuskan
4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
pernikahan tersebut tetapi hanya setelah pernikahan itu putus.
Yahya Harahap berpendapat mengenai pejabat yang berwenang untuk mengajukan
pembatalan selama pernikahan belum diputuskan, diartikan bahwa jika telah ada
putusan tentang permohonan pembatalan dari orang-orang yang disebut pada sub a yaitu
para keluarga dalam garis lurus keatas dari suami atau isteri dan sub b yaitu dari suami

18
atau isteri dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka pejabat yang
berwenang tersebut tidak boleh mengajukan pembatalan pernikahan. Pembatalan juga
dapat dimintakan oleh Jaksa sesuai Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
dalam hal pernikahan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang,
wali tidak sah atau tidak dihadiri oleh dua orang saksi.

D. ALASAN-ALASAN PEMBATALAN PERNIKAHAN


Alasan pembatalan pernikahan diatur dalam beberapa pasal, Pernikahan dapat di
batalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan (pasal 22 UU No.
1 Tahun 1974), Alasan pembatalan pernikahan juga diatur dalam Pasal 24, Pasal 26 dan
Pasal 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Pasal 24 Undang-Undang No 1. Tahun 1974:
Barangsiapa karena pernikahan masih terikat dirinya dengan salah satu dari
kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya pernikahan dapat mengajukan
pembatalan pernikahan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2)
dan Pasal 4 Undang-Undang ini.
Hukum Islam diatur dalam Pasal 73, yaitu:
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan adalah:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami
atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan pernikahan menurut
Undang-Undang;
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun
dan syarat pernikahan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-
Undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

E. AKIBAT PEMBATALAN PERNIKAHAN


Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa batalnya
suatu pernikahan dimulai setelah Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan berlaku sejak berlangsungnya pernikahan. Adanya keputusam pengadilan
tersebut berarti pernikahan dianggap tidak sah dan dengan sendirinya dianggap tidak

19
pernah nikah. Namun dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap:
1. Anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
melindungi anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut
agarmempunyai status hukum yang jelas dan resmi sebagai anak dari orang tua
mereka.
2. Suami atau isteri yang beritikad baik kecuali tehadap harta bersama, apabila
pembatalan pernikahan berdasarkan adanya pernikahan lain yang lebih dulu.
3. Pihak ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad
baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Segala perikatan hukum di bidang keperdataan yang dibuat oleh suami-
isteri sebelum pembatalan pernikahan adalah perikatan yang sah dan dapat
dilaksanakan kepada harta pernikahan atau dipikul bersama oleh suami isteri
yang telah dibatalkan pernikahannya secara tanggung menanggung, baik
terhadap harta bersama maupun terhadap harta kekayaan masing-masing.

F. TATA CARA PEMBATALAN PERNIKAHAN


Tata cara permohonan pembatalan pernikahan hampir sama dengan tata cara
permohonan perceraian. Permohonan pembatalan pernikahan diawali dengan
mengajukan permohonan pembatalan pernikahan kepada pengadilan yang berwenang
memeriksa dan memutus pembatalan pernikahan dalam daerah hukum dimana
pernikahan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri.
Tata cara pembatalan pernikahan diatur dalam Bab VI Pasal 38 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyebutkan:
1. Permohonan pembatalan suatu pernikahan diajukan oleh pihak-pihak yang
berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat berlangsungnya pernikahan, atau di tempat tinggal kedua suamiisteri,
suami atau isteri.
2. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan pernikahan dilakukan sesuai
dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.
3. Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan
pernikahan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut
dalam pasal 20 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.

20
Dalam memeriksa permohonan pembatalan pernikahan, baik Pengadilan Agama
maupun Pengadilan Negeri menurut petunjuk Mahkamah Agung No.
MA.Pemb/0807/75 tanggal 20 Agustus 1975, haruslah memberlakukan
ketentuanketentuan Pasal 22 sampai dengan 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Menurut Pasal 1 huruf (b) PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa Pengadilan adalah
Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan pengadilan negeri bagi yang lain.
Para pihak yang hendak membatalkan pernikahannya harus mengajukan surat
yang berisi pemberitahuan bahwa para pihak bermaksud untuk membatalkan
pernikahannya kepada pengadilan ditempat tinggal suami atau isteri dengan disertai
alasan-alasan, serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan
pembatalan pernikahan tersebut. Pengadilan kemudian mempelajari isi surat yang
dimaksud dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.

21
BAB 3 PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pernikahan adalah sesuatu yang sangat prinsip dalam agama islam karenanya
harus dilaksanakan dengan benar sesuai aturan hukum yang berlaku baik peaturan
agama (fikih munakahat) maupun peraturan yang disahkan pemerintah.
Di Indonesia ada hukum positip yang berlaku yang mengatur dan menjadi
pedoman bagi instansi pemerintah terkait dan juga masyarakat dalam hal perkawinan
adalah Undang-undang no.1 tahun 1974 dan Kompilasi hukum islam.
Antara Undang-undang No.1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam tidak
bertentangan tapi saling melengkapi dan sudah menjadi qanun (peraturan yang di
sahkan oleh pemerintah).
Pembatalan perkawinan adakalanya batal demi hukum karena melanggar
ketentuan Agama tentang larangan perkawinan dan adakalanya dapat dibatalkan karena
beberapa hal yang bersipat administratif dan harus melalui putusan pengadilan.
Mahkamah agung RI sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia dalam
putusannya memandang pernikahan yang sah adalah pernikahan yang sesuai dengan
Agama dan kepercayaan serta dicatatkan sesuai peraturan yang berlaku (syarat
kumulatif).

B. SARAN
1. Diharapkan kepada para pembaca tulisan ini dapat menjadikan undang-undang
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum islam sebagai pedoman untuk
perkawinan dan menerimanya dengan senang dan yakin.
2. Diharapkan kepada instansi pemerintah terkait betul-betul memahami isi dan
maksud serta menjadikan Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan kompilasi hukum
islam sebagai pedoman khususnya dalam pembatalan perkawinan hingga
terwujudkan kepastian hukum yang merupakan maslahat yang besar dalam agama
islam.

22
DAFTAR PUSTAKA

Faisal. (2017). Pembatalan Perkawinan dan Pencegahannya. Jurnal Hukum Islam dan
Perudang-Undangan. 4(1).
Jamil. (2000). Larangan Perkawinan dan Perkawinan yang Dilarang. [Online]. Tersedia:
https://jamilkusuka.wordpress.com/tag/penghalang-perkawinan/. [24 Oktober 2019].
Musriyadi. 2012. Pembatala Perkawinan (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan
Agama Nomor 929/Pdt. G/2007/PA, Pwt). Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Hukum.
Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto.
Rahmatin, D & Khofifi, A, N. (2017). Konsep Pembatalan Perkawinan dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1947 dan Kompilasi Hukum Islam. Jurnal Hukum Islam. 17(2).

23

Anda mungkin juga menyukai