Anda di halaman 1dari 24

HAKIM MENIKAHKAN PASANGAN KAWIN LARI, MENIKAH DENGAN AHLI

KITAB (YAHUDI dan NASRANI), WASIAT PENUNJUKAN WALI NIKAH (WASHI)

Mata Kuliah : Pemecahan Hukum Keluarga

Dosen Pengampu : Dr. Iskandar, M.Sy

Oleh Kelompok 2

Chafildzah Ramadhany 1911211007

Didi Mursyidi 1911211013

Arifaldi 1911211011

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PRODI AHWAL AL-SAYKHSYIYAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, hidayah, dan nikmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
yang diberikan oleh dosen pengampuh mata kuliah “Pemecahan Hukum Keluarga”.

Makalah ini ditulis oleh penulis yang bersumber dari Buku dan juga Internet sebagai
referensi. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.

Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Makalah ini secara fisik dan substansinya diusahakan relevan dengan pengangkatan judul
makalah yang ada, keterbatasan sumber dan kesempatan sehingga makalah ini masih memiliki
banyak kekurangan yang tentunya masih perlu perbaikan dan penyempurnaan maka penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju kearah yang lebih baik.
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang
membacanya, sehingga menambah wawasan dan pengetahuan tentang materi yang termuat
dalam makalah ini.

Penulis

Kupang, 18 November 2021


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
A. Latar Belakang......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................5
C. Tujuan...................................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
A. Hakim Menikahkan Pasangan Kawin Lari...........................................................................6
B. Menikah Dengan Ahli Kitab ( Yahudi dan Nasrani ).........................................................13
C. Wasiat Penunjukan wali Nikah ( Wali Washil ).................................................................16
BAB III..........................................................................................................................................21
PENUTUP.....................................................................................................................................21
A. Kesimpulan.........................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu keharusan bagi setiap umat manusia untuk melangsungkan
kehidupan bagi manusia di alam jagat raya ini. Karena dengan perkawinan manusia dapat
membentuk dan membangun kehidupannya dalam rumah tangga mereka. Dengan perkawinan
juga manusia akan dapat mendapatkan ketentraman hidup baik lahir maupun batin. Manusia
untuk mengembangkan keturunan dan membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera,
tentunya melalui perkawinan yang dilakukan secara sah menurut agama yang mereka peluk atau
mereka anut. Maka di sini masing-masing agama telah mengatur tata cara perkawinan menurut
syariat masing-masing agama tersebut. Karena dalam kontek agama bagi manusia yang
melakukan hubungan dengan lawan jenis yang dilakukan tanpa melalui aturan syariat maka
dalam semua agama apapun dianggap tidak sah. Oleh karena itu, hubungan terhadap lain jenis
harus dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh hukum agama masing-masing.

Adapun masalah perkawinan ini telah diatur dan dibentuk oleh pemerintah Indonesia yang
berlaku umum bagi seluruh warga negara Indonesia apapun agamanya, yaitu dalam hukum
perkawinan yang diatur dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan juga dalam
penjelasannya yang dimuat dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.
Dan di dalam bagian umum penjelasan tersebut telah dimuat beberapa hal mendasar yang
berkaitan dengan masalah perkawinan. Tujuan ideal perkawinan menurut hukum perkawinan
adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sebagaimana ditegaskan dapal pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya disingkat UU No. 1
Tahun 1974 yang memuat pengertian yuridis perkawinan ialah :ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian di sini untuk memperlihatkan segi
kesenjangan dari perkawinan serta menampakkannya pada masyarakat ramai.2 Sedangkan
menurut Mohd Idris Ramulya yang dikutip oleh Muhammad Syaifuddin membenarkan bahwa
dipandang dari segi hukum perkawinan itu merupakan suatu perjanjian, sebagaimana ditegaskan
dalam al-Qur’an surat Annisa ayat 21, yang esensinya perkawinan adalah perjanjian yang sangat
kuat, yang disebut dengan istilah “miitsaqan ghaliizhan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasasrkan judul makalah “hakim menikahkan pasangan kawin lari, menikah dengan ahli
kitab (nasrani dan yahudi), dan wasiat penunjukan wali nikah”, maka kelompok akan
membahas :

1. Bagaimana wali hakim menikahkan pasangan kawin lari


2. Apa hukum kawin lari
3. Bagaimana hukum pria dan wanita muslim menikah dengan ahli kitab ( yahudi dan
nasrani )
4. Bagaimana proses wasiat penunjukan wali nikah

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dibuatnya makalah ini yaitu untuk menjelaskan :

1. Wali hakim menikahkan pasangan kawin lari


2. Hukum kawin lari
3. Hukum pria dan wanita islam menikah dengan ahli kitab ( yahudi dan nasrani )
4. Proses wasiat penunjukan wali nikah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakim Menikahkan Pasangan Kawin Lari

Kawin lari biasanya terjadi karena salah satu pihak keluarga tidak menyetujui atau
menginginkan atau menyetujui pernikahan tersebut. Akhirnya, yang terjadi pasangan calon
suami istri tersebut memilih untuk kawin lari dan memaksa diri untuk menikah Meskipun dalam
hukum adat dan kepercayaan ada yang mensahkan kawin lari namun secara negara tidak sah dan
dapat dikategorikan dengan pernikahan siri karena tidak dicatatkan cacatan nikahnya sesuai
dengan aturan yang ada pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Sah artinya adalah sesuatu yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, di samping tidak
adanya halangan, sebaliknya maka dihukumi sebagai fasad atau batal. Suatu perbuatan hukum
yang sah memilki implikasi hukum berupa hak dan kewajiban, demikian pula halnya dengan
perbuatan hukum perkawinan. Dari perkawinan yang sah timbul hak untuk bergaul sebagai
suami istri, hak saling mewarisi, kewajiban menafkahi anak dan istri dan lain-lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
disebutkan bahwa dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan
dihadiri oleh dua orang saksi. Perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum
agama dan kepercayaannya masing-masing. Maksud dari ketentuan agama dan kepercayaan
masing-masing itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam agamanya dan
kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang
ini. Suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan agama dengan
sendirinya menurut Undang-Undang Perkawinan dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat
hukum sebagai ikatan perkawinan. Dibutuhkan pencatatan perkawinan yang merupakan suatu
pencatatan yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan.
Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang tidak dikehendaki oleh
undang-undang karena terdapat kecerendungan kuat dari segi sejarah hukum perkawinan bahwa
perkawinan tidak tercatat termasuk perkawinan ilegal. Aqad pada perkawinan yang tidak tercatat
biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di muka Kyai atau tokoh agama tanpa kehadiran
petugas KUA dan tentu saja tidak memiliki surat nikah resmi. Perkawinan tidak tercatat secara
agama adalah sah apabila memenuhi syarat dan rukun perkawinan, dalam hukum positif
dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimuat dalam Lembaran
Negara Nomor 309 dan diatur pelaksanaannya pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Undang-undang tersebut merupakan salah satu hukum nasional yang diundangkan pada tanggal
2 Januari 1974 dan dinyatakan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975.Dalam
undang-undang tentang perkawinan mengatur mengenai dasar perkawinan,syarat-syarat
perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan
kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan, kedudukan anak,
hak dan kewajiban antara orang tua dan anak perwalian, ketentuan-ketentuan lain dan ketentuan
peralihan dan segala yang berkaitan dengan perkawinan telah terlindungi secara keseluruhan
dalam undang-undang tersebut.
Kawin lari menurut adat berarti perkawinan tanpa acara pelamaran dan masa
pertunangan. Gadis dan pemuda bersama-sama mengaturnya sendiri yang dibantu oleh beberapa
anggota keluarga terdekat dari pihak pemuda, terjadinya kawin lari itu menunjukkan persetujuan
pria dan wanita untuk melakukan perkawinan dan juga sebagai pemberontakan terhadap
kekuasaan orang tua, namun terjadinya kawin lari itu tidak berarti akan melaksanakan
perkawinan sendiri tanpa pengetahuan dan campur tangan orang tua, terutama orang tua pihak
laki-laki harus berusaha menyelesaikannya secara damai dengan pihak perempuan melalui jalur
hukum adat yang berlaku. Terkait dengan pembahasan nikah siri, Naqiyah Mukhtar membagi
nikah siri kepada empat kategori:

1. Perkawinan tanpa saksi, dalam kitab fikih nikah siri didefinisikan sebagai
pernikahan yang dilakukan dengan tanpa saksi, bahkan menurut Imam Malik
termasuk nikah siri, sekalipun dilaksanakan dengan adanya saksi, jika
kemudian disertai pesan bahwa pernikahan tersebut harus dirahasiakan (tidak
boleh disiarkan), namun menurut Abu Hanifah dan asy-Syafi‟i, pernikahan
yang demikian itu tidak termasuk nikah siri. Tiga imam tersebut sepakat bahwa
hukum nikah siri sesuai dengan pandangan masing-masing tidak boleh. Mereka
juga sepakat bahwa saksi merupakan syarat nikah, tetapi mereka berbeda
pendapat apakah saksi merupakan syarat sempurnanya nikah atau bahkan
sebagai syarat sahnya akad nikah. Penyebab perbedaan pendapat tersebut
adalah apakah saksi merupakan hukum syara atau hanya dimaksudkan untuk
menghambat kemungkinan lahirnya ekses-ekses negatif seperti ikhtilaf atau
pengingkaran terhadap terjadinya nikah bagi sebagian ulama yang menganggap
bahwa saksi itu sebagai hukum syara‟, seperti Malik dan Syafi‟i, saksi
merupakan syarat sahnya nikah, akan tetapi bagi yang memandang bahwa saksi
sebagai sadd al-zari’ah, seperti Abu Hanifah maka saksi hanya sebagai syarat
sempurnanya nikah. Akar perbedaan ini besumber dari hadis riwayat Ibnu
Abbas sebagai berikut: Artinya: “Tidak ada nikah kecuali dengan dua orang
saksi dan wali yang cerdas” (HR. Ibnu Abbas). Penafsiran dalam hadis tersebut
dipahami oleh sebagian ulama sebagai penafsiranan keabsahan nikah kecuali
dilakukan oleh wali, namun sebagian yang lain memahaminya dengan penafian
kesempurnaan nikah saja, sedangkan nikahnya tetap sah. Pertanyaan yang
dapat diajukan dalam konteks Indonesia adalah apa sebenarnya motif
pernikahan tanpa saksi padahal keberadaan saksi merupakan salah satu rukun
nikah sebagaimana telah diatur dalam pasal 14 KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Melihat dari tujuan pernikahan selain untuk memenuhi kebutuhan biologis di
antaranya untuk memperoleh ketenangan serta menjalin cinta kasih untuk
tujuan reproduksi, untuk saling melindungi dan sebagai institusi pendidikan.
Perkawinan tanpa saksi, selain merupakan pelanggaran terhadap aturan yang
berlaku dapat menimbulkan fitnah dan potensial untuk terjadinya pelanggaran,
baik fisik, psikologis, ekonomis dan penelantaran. Dengan nikah siri akan sulit
untuk mencapai tujuan pernikahan yang sebenarnya, khusunya untuk saling
melindungi, meskipun di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat
mengenai saksi dalam pernikahan sebagaimana telah dikemukakan di atas
karena sudah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 2 ayat (1) bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
islam, yakni memenuhi rukun dan syarat perkawinan (Pasal 4 KHI) maka
keberadaan saksi dalam perkawinan sudah menjadi qanun yang mengikat. Hal
ini menghilangkan perbedaan yang terjadi dalam fatwa ulama. Oleh karena itu,
orang Indonesia harus tunduk terhadap aturan tersebut, tidak boleh memilih
fatwa yang sifatnya tidak mengikat.
2. Perkawinan tanpa wali, dalam konteks Indonesia ada ragam pengertian dan
praktik nikah siri yang dipersepsikan masyarakat, yang dapat dibedakan
menjadi tiga kategori
a. Perkawinan tanpa wali
b. Perkawinan di bawah tangan
c. Perkawinan tanpa walimah.
Perkawinan yang dilakukan tanpa wali dalam konteks Indonesia disebut
sebagai nikah siri. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri)
dengan latar belakang yang beragam, salah satu penyebabnya adalah karena
wali perempuan tidak setuju sehingga nikah dilangsungkan tanpa wali.
3. Perkawinan tanpa walimah seperti nikah siri yang lain adalah nikah tanpa
“walimah” yakni nikah yang telah memenuhi ketentuan syariat Islam dan telah
dilangsungkan di hadapan PPN bahkan telah diberikan salinan akta nikah
kepada kedua mempelai karena calon suami isteri sudah memenuhi syarat-
syarat sahnya nikah menurut hukum positif, hanya saja nikahnya masih
dilangsungkan dalam lingkungan intern keluarga dan handai taulan yang sangat
terbatas dambelum di adakan resepsi atau pesta pekawinan. Perkawinan seperti
ini bisanya suami istri belum tinggal bersama karena mungkin salah satu atau
keduanya masih sedang menyelesaikan studi atau training kepegawaian atau
perusahaan. Motif perkawinan terutama untuk mendapatkan ketenangan dan
kehalalan, perkawinan semacam ini tidak ada masalah, sah hukumnyabaik
menurut fikih maupun menurut hukum positif.
4. Perkawinan bawah tangan. Perkawinan ini merupakan nikah yang
dilangsungkan menurut ketentuan fikih (telah memenuhi syarat dan rukunnya)
tetapi masih bersifat internal keluarga, belum dilakukan pencatatan oleh PPN
dan bisaanya belum diadakan resepsi pernikahan (walimah al-arusy).
Kadangkala pernikahan semacam ini dilakukan secara diam-diam dan
dirahasiakan.

Perkawinan lari yang dimaksud dalam makalah ini adalah perkawinan yang tidak
dilakukan di depan pegawai pencatat perkawinan, wali, dan dua orang saksi yang tidak
berwenang. Penyebutan kata tidak berwenang dalam hal ini menunjukkan adanya wali palsu,
saksi palsu dan pegawai pencatat perkawinan palsu. Proses perkawinan ini bisaanya dilakukan di
luar daerah calon pengantin itu bertempat tinggal dan tanpa dihadiri oleh keluarga masing-
masing. Pencatatan perkawinan sebagai upaya untuk tertib administrasi dan merupakan
kewajiban warga negara sehingga mereka yang kawin lari atau tidak dicatat di Kantor Urusan
Agama tidak dijamin akibat administrasinya dikarenakan mereka tidak punya bukti nikah,
bahkan PP Nomor 9 tahun 1975 Pasal 45 Jo Pasal 3 dan PP Nomor 9 tahun 1975 mereka
diancam dengan hukuman kurungan satu bulan atau dengan hukuman denda setinggitingginya
Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan orang yang menikahkan tanpa ada kewenangan
diancam hukuman 3 bulan kurangan.
proses kawin lari perbedaannya dapat ditelusuri bahwa yang bertindak sebagai wali, saksi
dan pegawai pencatat perkawinannya adalah palsu tapi ada sebagian pasangan yang membawa
sendiri wali dan saksinya yang sah. Proses praktik kawin lari bisaanya dilakukan dirumah
penyedia jasa kawin lari bagi pasangan pengantin yang ingin menikah dengan jasa tersebut ada
yang membawa keluarga atau kerabat. Bertindak sebagai wali dan saksi dalam praktik kawin
lari, biasanya sudah dipersiapkan oleh oknum jasa kawin lari tersebut, sehingga dapat
memudahkan pasangan pengantin untuk melakukan perkawinannya.
Perkawinan adalah agama, sedangkan agama ini mempunyai rukun dan syaratnya, kalau
perkawinannya dengan wali yang sah maka kawinnya sah, tetapi kalau orang yang
dinikahkannya tidak dengan wali yang sah, meskipun ada mahar dan saksi maka perkawinannya
tetap tidak sah. Perkawinan yang sah salah satu syarat adanya wali, tetapi kalau tidak ada wali
pernikahannya tidak sah, tapi negara kita bukan negara islam, wali nikah yang dimaksud oleh
Negara adalah qadi yang ditunjuk sementara wali dalam islam itu harus dibeli oleh orang yang
ingin menikah karena telah menunjuknya sebagai wali), disamping oknum jasa kawin lari telah
menyediakan wali dan saksi, namun ada juga pasangan pengantin yang datang membawa wali
dan saksi yang sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan islam dari rumahnya.
Alasan atau Faktor Penyebab yang Melatarbelakangi Pasangan Pengantin yang
Melakukan Praktik Kawin Lari

a. Terhalang Oleh Proses Administrasi

b. Terhalang Restu Orang Tua dan Restu Adat

c. Rendahnya Pemahaman Masyarakat Tentang Aturan Perkawinan

d. Keinginan Beristri Lebih dari Satu atau Poligami Tanpa Izin

e. Hamil Diluar Nikah

f. Kesenjangan Ekonomi

Akibat Hukum Pelaksanaan Kawin Lari Yang Tidak Disetujui Wali Nikah Ditinjau dari Undang-
Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Akibat yang muncul karena Praktik Kawin Lari antara lain:

1. Akibat social

a. Masyarakat mengucilkan pelaku kawin lari beserta keluarganya

b. Dalam aturan adat pasangan yang melakukan praktik kawin lari tidak diakui oleh adat
kecuali bayar uang jujur

c. Sebagian desa menyatakan pasangan kawin lari diberi sanksi adat, yaitu dibuang
sepanjang adat

2. Akibat Hukum

a. Selalu mendapati masalah dalam administrasi Negara

b. Tidak bisa me-legalisir buku nikah di kantor KUA

c. Negara tidak mengakui perkawinan pasangan pengantin ya-ng melakukan kawin lari

d. Pasangan pengantin kawin lari tidak mendapatkan layanan publik di instansi


pemerintah
e. Anak yang dihasilkan dari pelaku kawin lari adalah anak luar nikah dan hanya punya
hubungan perdata dengan ibu nya

3. Akibat Kualitas Hubungan Suami Istri

a. Tidak ada kepastian hubungan pelaku kawin lari sehingga berdampak mudah berpisah
dan tidak bertahan lama

b. Masyarakat dan Penghulu adat selalu meragukan keutuhan rumah tangga pasangan
kawin lari

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan pada dasarnya kawin lari tersebut juga tidak
dibenarkan, karena didalamnya ada hal-hal yang dilanggar yaitu antara lain: Tidak
mengindahkan asas musyawarah dan mufakat, terjadinya pemaksaan kehendak dan terbukanya
aib keluarga maupun masyarakat, karena konotasi dari kawin lari akan berpeluang terjadinya
perbuatan-perbuatan maksiat.
Kawin lari merupakan perbuatan yang dapat menurunkan martabat atau status sosial
orang tua dan keluarga, sehingga dalam perkawinan (melalui kawin lari) oleh orang tuanya tidak
diberikan hak walinya, setelah tidak diberikannya wali nikah kepada yang melaksanakan kawin
lari dilakukan upaya musyawarah oleh para tokoh masyarakat yang menjadi utusan dalam rangka
upaya perbaikan ke kedua orang tua si perempuan dan laki-laki, upaya musyawarah tersebut
akan dapat diterima apabila pihak laki-laki bersedia membayar denda atau uang pengganti
menurut pelanggaran yang dilakukan terhadap ketentuan kawin lari dan prosesnya tidak
dilakukan acara lamaran tetapi pihak laki-laki melakukan permintaan maaf terhadap kejadian
tersebut. Denda yang dimaksud akan dimusyawarahkan antara kedua orang tua perempuan dan
laki-laki, dan mengenai besar kecilnya denda akan diputuskan secara musyawarah yang sifatnya
rahasia.
B. Menikah Dengan Ahli Kitab ( Yahudi dan Nasrani )

Di antara hukum perkawinan pria muslim dengan wanita kafir yang menjadi perdebatan
adalah perkawinan dengan wanita ahli Kitab. Hal ini ada beberapa pendapat mengenai
perkawinan tersebut, diantaranya adalah:

a) Pendapat yang Mengharamkan Di antara sahabat Rasulullah saw terdapat pendapat yang
mengharamkan kaum muslimin menikahi wanita ahli Kitab Salah satunya adalah
Abdullah bin Umar. Ketika beliau ditanya tentang perkawinan dengan wanita Yahudi dan
Nasrani ia menjawab, “sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan wanit-wanita
musyrik bagi kaum muslimin. Aku tidak tahu syirik manakah yang lebih besar dari pada
seorang perempuan yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah
seorang di antara hamba Allah”. Orang Yahudi dan Nasrani dianggap termasuk orang
musyrik meskipun al-Qur’an membedakannya. Sebab dalam prakteknya mereka
melakukan perbuatan syirik seperti menganggap Uzair dan Isa sebagai anak Tuhan serta
melakukan penyembahan kepadanya.
b) Pendapat yang membolehkan Jumhur ulama terutama Sunni membeolehkan kaum
muslimin menikahi wanita-wanita Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Termasuk imam
Ibnu Taimiyah ketika ditanya masalah tersebut menjawab dengan tegas bahwa menikah
dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan ayat al-Qur’an hukumnya membolehkan, yaitu
berdasarkan surat al-Maidah ayat 5. Ayat tersebut turun di Madinah dan merupakan yang
paling terakhir di antara ayat-ayat perkawinan orang kafir. Sebagaimana hadis Rasulullah
saw, “al-Maidah adalah surat dari al-Qur’an yang terakhir turunnya. Maka halalkan apa
yang dihalalkan dan haramkan apa yang diharamkan”. Apabila dikaitkan dengan surat al-
baqarah ayat 221 tentang haramnya mengawini wanita musyrikah dan surat al-mutmainah
ayat 10 tentang keharaman menikahi wanita kafir, surat al-Maidah ayat 5 ini merupakan
tahsis (pengkhususon) dan bukan nasakh (penghapusan) kedua ayat sebelumnya. Ayat
dalam al-Baqarah dan al-muthmainah bersifat umum, dan al-Maidah bersifat khusus.
Sehingga hukumnya menjadi jelas, yaitu menikahi wanita kafir yang tergolong musyrik
itu haram, sedangkan mengawini wanita kafir yang tergolong Ahli Kitab itu boleh.

Jumhur ulama tetap membedakan golongan ahli kitab dengan golongan musyrikin, meslipun
secara realita aktivitas ahli kitab sekarang ini mereka melakukan kemusyrikan. Imam Ibnu
Taimiyah menjelaskan perbedaan antara orang musyrik dengan ahli kitab. Menurut Ibnu
Taimiyah agama ahli kitab bukan merupakan agama syirik. Meskipun Allah mensifati mereka
dengan musyrik.
Para ulama juga merujuk pada beberapa kasus di zaman Nabi saw, di mana sahabat Nabi saw
ada yang pernah nikahi wanita ahli kitab. Misalnya Usman bin Affan menikahi Na’ilah binti Al-
Gharamidhah al-Kalbiyah seorang wanita Nasrani, kemudian wanita itu masuk Islam. Juga ada
Huzaifah bin Yaman yang mengawini wanita Yahudi penduduk Madinah, Thalhah bin Zubair
dan Ibnu Abbas. Dari golongan tabi’in seperti Said bin Musayyab, Said bin Zubair, al-Hasan,
Sya’bi, Dhahak, Mujahid, Thawus dan Ikrimah. Jabir juga pernah pernah ditanya tentang
perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab, Yahudi dan Nasrani, ia menjawab, “Kami pun
pernah menikah dengan mereka pada waktu penaklukan kota Kuffah bersama dengan Sa’ad bin
Abi Waqash. Menurut Sayyid Sabiq yang mengutip dari Ibnul Mundzir dalam fiqih sunnahnya
mengatakan, “tidak benar ada salah seorang sahabat yang mengharamkan kawin dengan
perempuan ahli kitab”. Sementara pendapat Ibnu Umar yang mengharamkan orang mukmin
kawin dengan wanita ahli kitab dianggap nuhas dalam tafsir alQurtubi sebagai pendapat yang
menyimpang dari pendapat kelompok besar yang telah dijadikan hujjah. Hal demikian
didasarkan juga pada sabda Rasulullah saw tentang orang Majusi, “perlakukanlah bagi mereka
sama dengan ahli kitab tanpa harus menikahi wanitawanita mereka dan tidak pula makan
makanan sembelihan mereka”.
Dari hadis ini dapat diambil kesimpulan bahwa perlakuan terhadap ahli kitab dan orang-
orang majusi untuk urusan perkawinan dan makanan berbeda. Apabila kawin dengan orang
majusi haram, tentu kawin dengan ahli kitab dibolehkan. Mengenai kebolehan melakukan
perkawinan dengan wanita ahli kitab di kalangan imam madzab berbeda pendapat. Mereka
mengelompokkan dalam tiga pendapat:

1) Sebagian madzab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali mengatakan bahwa hukum
perkawinan tersebut meskipun boleh hukumnya makruh. Sayyid Sabiq mengatakan
sekalipun kawin dengan wanita ahli kitab dibolehkan tetapi dianggap makruh. Ini
disebabkan karena tidak ada rasa aman dari gangguan keagamaan bagi suaminya atau
bisa saja ia menjadi alat agamanya. Jika ahli kitab tersebut memusuhi Islam makruhnya
lebih lebih lagi, bahkan menjadi haram.
2) Sebagian lagi madzab Maliki, ibnul Qasim, Khalil menyatakan bahwa perkawinan itu
dibolehkan secara mutlak dan ini sesuai dengan pendapat Imam Malik bin Anas’
3) Imam Zarkasy dari madzab Syafi’I berpendapat bahwa perkawinan dengan wanita ahli
kitab adalah bisa menjadi sunah apabila diharapkan wanita tersebut masuk Islam. Sebagai
contoh adalah perkawinan Usman bin Affan dengan Na’ilah. Mengawini wanita-wanita
ahli kitab menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Kecuali imam Malik yang
kebolehannya tidak mutlak tetapi terikat (muqayyad).

Yusuf Qardawi dalam fatwanya memberikan beberapa syarat yang harus dipenuhi apabila
pria muslim hendak menikahi wanita ahli kitab, di antaranya:

1) Wanita ahli kitab tersebut diyakini betul-betul ahli kitab yaitu mereka yang beriman
kepada agama Yahudi dan Nasrani. Artinya secara garis besar dia beriman kepada Allah,
beriman kepada kerasulan dan beriman kepada hari akhir, bukan orang atheis atau murtad
dari agamanya dan bukan pula orang yang beriman kepada suatu agama yang tidak
mempunyai hubungan dengan langit sebagaimana yang sudah terkenal.
2) Wanita ahli kitab tersebut adalah wanita yang menjaga kehormatannya. Seorang muslim
tidak boleh sembarangan mengawini wanita ahli kitab tanpa mengetahui latar belakang
kehidupan wanita tersebut. Dalam ayat yang membolehkan mengawini wanita ahli kitab
disyaratkan yang menjaga kehormatannya. Firman Allah: “Dan (dihalalkan kamu
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang diberi al-Kitab sebelum kamu…” (al-Maidah: 5).
Menurut Ibnu Katsir pada zhahirnya yang dimaksud dengan muhshanat )wanita yang
menjaga kehormatannya) adalah wanita-wanita yang menjaga diri dari perbuatan zina,
sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain, “…wanita-wanita yang memelihara diri,
bukan pezina dan bukan pula wanita-wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya…” (an-Nisa’ ayat 25). Salah seorang ulama tabi’in bernama Hasan al-Basri
pernah ditanya, “bolehkah seorang pria muslim kawin dengan wanita ahli kitab?” beliau
menjawab , “ada apa antara pria itu dengan wanita ahli kitab, pada hal Allah telah
memperbanyak jumlah wanita muslimah? Kalau mereka tidak dapat menghindar, maka
carilah yang menjaga kehormatanya, bukan pezina (musafihah).” Di negara-negara Barat
saat ini susah menemukan wanita ahli kitab yang murni beragama Kristen atau Yahudi
yang menjaga kehormatannya. Apa lagi saat ini sudah menjadi kebiasaan umum di
negara Barat bahwa keperawanan bukan sesuatu yang dipertahankan sebelum menjalani
bahtera rumah tangga. Budaya Barat yang liberal cenderung membuat umat mereka
melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan, tidak peduli dengan aturan-aturan dan
norma yang ada.
3) Wanita ahli kitan tersebut bukan tergolong mereka yang memusuhi dan memerangi umat
Islam. Pasa sat pemerintahan Islam masih ada, para ulama mengklasifikasikan golongan
kafir menjadi dua berdasarkan hubungannya dengan umat Islam. Dinamakan kafir zimmi
jika seorang non muslim hidup dalam naungan negara Islam dan ia tunduk terhadap
hukum-hukum Islam Yang berlaku. Kepada mereka dibebaskan/ tidak dikenakan pajak,
hanya saja diwajibkan membayar jizyah. Mereka tidak memusuhi atau memerangi kaum
muslimin bahkan bisa juga berjuang mempertahankan negara bersama-sama kaum
muslimin.
4) Suami harus lebih dari istri, lebih dari segi ekonomi, pendidikan, daya nalar serta kuat
iman Islamnya. Hal demikian untuk menjaga agar pria-pria muslim ini tidak akan tergoda
dan terlena, sehingga ia melepas aqidahnya dan beralih ke agama sang istri.
5) Yang terakhir yang cukup penting adalah masalah kemudharatan. Jika lebih banyak
kemudharatannya disbanding dengan manfaatnya, maka sebaiknya ditinggalkan. Apalagi
dengan pernikahan tersebut akan menimbulkan fitnah atau akan menjadikan kebiasaan di
kalangan umat Islam, maka perkawinan tersebut bisa jatuh kepada haram. Jika
kemudharatannya untuk umum, maka keharamannya juga menjadi umum.
C. Wasiat Penunjukan wali Nikah ( Wali Washil )

Wali merupakan salah satu rukun perkawinan yang menjadi tolak ukur sah tidaknya suatu
perkawinan. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, bahwasanya
“wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai
wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat tentang keharusan adanya wali dalam
perkawinan. Imam Syafi’I berpendapat bahwasanya “tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya
wali” pendapat beliau ini bertolak dari Hadits Rasulullah Saw yang di antaranya diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dari Siti Aisyah yang Artinya: “sesungguhnya Rasulullah Saw Bersabda: wanita
mana saja yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikah itu bathil, nikah itu bathil. Jika
seseorang menggaulinya maka wanita berhak mendapatkan mahar sehingga ia dihalalkan
terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali) maka sulthan adalah
wali yang tidak mempunyai wali”. (HR. at-Turmidzi)9 . Dalam hadits tersebut terlihat bahwa
seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali. Berarti tanpa adanya
wali, maka nikahnya itu batal menurut Hukum Islam atau nikahnya tidak sah.
Disamping alasan berdasarkan hadits diatas, Imam Syafi’i mengatakan pula alasan menurut
al-Quran Surah an-Nur 32 Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sediriandiantara kamu,
dan orang- orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. Dari nash tersebut
tampak jelas ditujukan kepada wali, mereka diminta menikahkan orang-orang yang tidak
bersuami dan orang-orang yang tidak beristri, akan tetapi di lain pihak melarang wali
menikahkan laki-laki muslim dengan wanita non muslim. Sebaliknya wanita muslim dilarang
dinikahkan dengan laki-laki non muslim Sebelum mereka beriman. Andaikata wanita berhak
secara langsung menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki tanpa adanya wali, maka tidak ada
artinya ayat tersebut ditujukan kepada wali, seperti halnya juga wanita menikahkan wanita
ataupun juga menikahkan dirinya sendiri maka hukumnya adalah Haram.
Menurut Madzhab Hanafi yang di kutip oleh Idris romulyo, wali tidak merupakan syarat
dalam perkawinan. Selanjutnya imam Hanafi beserta pengikutnya mengatakan bahwa ijab aqad
nikah yang diucapkan oleh wanita dewasa dan berakal adalah sah secara mutlak. analisis dari al-
Quran dan Hadist sebagai berikut: Firman Allah Surah al-Baqarah 230 Artinya: “Kemudian jika
si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya
hingga dia kawin dengan suami yang lain”. Hadist Rasulullah Saw Artinya: Perempuan janda
lebih berhak terhadap dirinya dari padawalinya, sedangkan anak perawan, bapaknya harus minta
izinnya (Riwayat Abu Dawud). Berdasarkan al-Quran dan Hadist tersebut, madzhab Hanafi
memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dengan meniadakan
campur tangan orang lain (wali) dalam urusan perkawinannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan diatur sebagai berikut16:

a. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin dari kedua orang tua (pasal 6 ayat 2).
b. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksudkan ayat 2 ini cukup
diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya (pasal 6 ayat 3).
c. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus keatas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (pasal 6 ayat 4).

Oleh karena itu, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganggap bahwa
wali bukan merupakan syarat untuk sahnya nikah, yang diperlukan hanyalah izin orang tua,
itupun bila calon mempelai baik laki-laki maupun wanita yang belum dewasa (dibawah 21
Tahun) bila telah dewasa tidak lagi diperlukan izin dari orang tua.

Pendapat UlamaTentang Wali Washi

Wali washi adalah orang yang berhak menjadi wali untuk menikahkan seseorang atas
dasar wasiat dari wali nasab pertama yakni Ayah kandung dan wali yang diberi wasiat bukanlah
salah satu dari wali nasab. Ketentuan tentang wali washi dari bapak dan wali nasab ini untuk
mengetahui apakah wali nasab itu yang didahulukan dalam menikahkan seorang perempuan
ataukah wali washi dari bapak yang didahulukan untuk menikahkan perempuan tadi. Untuk
mengetahui itu, banyak komentar-komentar ulama untuk mentukan ketentuan-ketentuan tentang
wali washi dari bapak dan wali nasab dalam menikahkan seseorang, di antaranya sebagai berikut:
a. Menurut Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i yang paling berhak menjadi menjadi wali untuk
menikahkan seorang perempuan adalah wali yang ada hubungan darah dengan wanita
baik yang aqrab (saudara yang dekat) ataupun yang ab’ad (saudara yang jauh).
Sedangkan yang mempunyai hak ijbar ialah bapak dengan kakek sampai ke atas. Wali
nikah di sini harus yang ada hubungan darah (‘asabah) dengan seorang perempuan, dan
harus urut sesuai strukturalisasi dari wali-wali tersebut. Bagi Imam Syafi’i, washi atau
wali washi dari bapak tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan untuk perempuan
yang diasuhnya. Orang yang mengasuh anak yatim(perempuan) sama dengan washi bila
dikaitkan dengan fungsi dan kedudukannya, maka dia tidak boleh menjadi wali atas
kelangsungan akad nikah perempuan yang diasuhnya. Di samping itu washi tidak
termasuk kategori wali yang ma’ruf.
b. Menurut Imam Malik
Menurut Imam Malik, bahwa yang berhak untuk menjadi wali adalah yang ada
hubungan nasab dengan perempuan atau wali nasab, jika tidak ada sebab- sebab yang
datang kemudian atau sebelumnya, tetapi jika ada sebab-sebab yang lain, maka
strukturalisasi wali menjadi lain. Seperti sebab wasiat, artinya jika bapak sebelum
meninggal dunia berwasiat kepada seseorang untuk menikahkan anaknya, jika ayahnya
sudah meninggal dunia, maka yang berhak untuk menjadi wali adalah washi dari bapak
itu sendiri dengan syarat wasiat yang bersangkutan harus ada bukti baik secara tertulis
ataupun lisan yang diucapkan denganadanya orang yang menjadi saksi.
Dalam kitab Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah Abdur Rahman al- Jaziri menjelaskan
yang Artinya: Bahwa urutan wali-wali dalam pernikahan adalah wali mujbir yaitu bapak,
wasiat bapak, orang yang memiliki budak, kemudian setelah wali mujbir yang
didahulukan adalah anak laki-laki (alibn) walau dari hubungan perzinaan. Imam Malik
berpendapat bahwa wali washi mempunyai hak ijbar seperti bapak untuk menikahkan
seorang perempuan. Artinya wali di sini boleh menikahkan seorang perempuan yang
masih kecil, maupun yang sudah dewasa. Terhadap perempuan yang masih perawan, atau
yang sudah janda dan yang masih muda.Wali mujbir juga bisa menikahkan laki-laki yang
menjadi pilihannya, tetapi haknya tidak mutlak dengan mengandung syarat-syarat
tertentu. Apabila terhadap gadis yang memiliki pribadi matang dan bisa menafkahi
dirinya atau terhadap janda yang berusia tua, maka wali ini tidak boleh menikahkan
dengan laki-laki pilihannya sendiri tanpa minta izin terlebih dahulu dari mereka.
Sebagaimana dalam kitab al- Fiqh ala al -Madzahib al-Arba’ahAbdur Rahman al-Jaziri
menjelaskan yang Artinya: Wali mujbir menurut Imam Malik bapak bukan kakek (ayah
bapak), lalu washi dari bapak setelah meninggalnya, dengan syarat bapak mengatakan
“aku berwasiat padamu atas pernikahan anakku perempuan”, di dalam keadaan seperti
ini,maka wali mempunyai hak ijbar seperti bapak, tetapi tidak bisa dengan seenaknya saja
dan harus memenuhi syarat, syarat-syaratnya antara lain laki-laki yang menjadi jodohnya
harus bisa membayar mahar mitsil, juga tidak dinikahkan dengan laki-laki yang fasiq,
atau dinikahkan dengan orang yang orang yang telah ditentukan oleh bapaknya.
Jadi menurut Imam Malik wali mujbir itu lebih didahulukan Dalam hal ini, wali
mujbir menurut Imam Malik adalah bapak, washi dari bapak, dan seorang bekas tuan
(maula al-mu’tiq).
c. Menurut Imam Hanbali
Menurut Imam Hanbali, yang harus didahulukan dalam menikahkan seorang
perempuan adalah wali yang ada hubungan darah dengan perempuan atau wali nasab.
Dalam kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ahAbdur Rahman al- Jaziri menjelaskan
yang artinya: Bahwa urutan-urutan wali adalah bapak, setelah itu washi sesudah
meninggalnya bapak, setelah itu hakim jika ada hal-hal tertentu, mereka bertiga adalah
wali yang tergolong mujbir sebagaiman yang telah diketahui, setelah itu wilayah
perwalian pindah kepada wali aqrab (wali yang dekat hubungan kekerabatannya dengan
perempuan), wali aqrab itu ialah wali asabah sebagaimana waris. Yang lebih berhak
menjadi wali adalah bapak, setelah itu kakek dan seterusnya.
Teks di atas, mengatakan bahwa wali nasab lebih didahulukan untuk menikahkan
seorang gadis, ketika tidak ada washi. Namun ketika ada washi dari bapak, maka yang
didahulukan ketika bapak itu meninggal adalah wali washi itu sendiri, lalu perwalian
pindah kepada wali yang dekat.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelaksanaan kawin lari yang tidak disetujui wali nikah ditinjau dari Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa pada dasarnya kawin lari sebenarnya masih berada
dalam kategori kawin siri karena pelaksanaannya dilakukan secara sembunyi atau rahasi, hanya
saja wali nikah dalam hal ini adalah wali yang tidak sah, demikian juga dengan saksi dan
pegawai pencatat perkawinannya. Orang Indonesia harus tunduk terhadap aturan tersebut, tidak
boleh memilih fatwa yang sifatnya tidak mengikat. Akibat hukum pelaksanaan kawin lari yang
tidak disetujui wali nikah ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 adalah
selalu mendapati masalah dalam administrasi negara tidak bisa melegalisir buku nikah di kantor
KUA dan Negara tidak mengakui perkawinan pasangan pengantin yang melakukan kawin lari.
Pasangan pengantin kawin lari tidak mendapatkan layanan publik di instansi pemerintah karena
dilakukan tidak sah akibat tidak adanya wali sah makanya segala bentuk hubungan hukum yang
berkaitan dengan administrasi perkawinan tidak dapat dilakukan, selain itu apabila orang tua
perempuan dan keluarga merasa keberatan atas kasus yang dialami oleh anaknya maka sesuai
dengan ketentuan Hukum Pidana, pihak orang tua perempuan dan keluarga dapat melaporkannya
ke pihak yang berwajib dan diproses secara hukum.

Yusuf Qardawi dalam fatwanya memberikan beberapa syarat yang harus dipenuhi apabila
pria muslim hendak menikahi wanita ahli kitab, di antaranya:

1) Wanita ahli kitab tersebut diyakini betul-betul ahli kitab yaitu mereka yang beriman
kepada agama Yahudi dan Nasrani. Artinya secara garis besar dia beriman kepada Allah,
beriman kepada kerasulan dan beriman kepada hari akhir, bukan orang atheis atau murtad
dari agamanya dan bukan pula orang yang beriman kepada suatu agama yang tidak
mempunyai hubungan dengan langit sebagaimana yang sudah terkenal.
2) Wanita ahli kitab tersebut adalah wanita yang menjaga kehormatannya. Seorang muslim
tidak boleh sembarangan mengawini wanita ahli kitab tanpa mengetahui latar belakang
kehidupan wanita tersebut. Dalam ayat yang membolehkan mengawini wanita ahli kitab
disyaratkan yang menjaga kehormatannya. Firman Allah: “Dan (dihalalkan kamu
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang diberi al-Kitab sebelum kamu…” (al-Maidah: 5).
Menurut Ibnu Katsir pada zhahirnya yang dimaksud dengan muhshanat )wanita yang
menjaga kehormatannya) adalah wanita-wanita yang menjaga diri dari perbuatan zina,
sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain, “…wanita-wanita yang memelihara diri,
bukan pezina dan bukan pula wanita-wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya…” (an-Nisa’ ayat 25). Salah seorang ulama tabi’in bernama Hasan al-Basri
pernah ditanya, “bolehkah seorang pria muslim kawin dengan wanita ahli kitab?” beliau
menjawab , “ada apa antara pria itu dengan wanita ahli kitab, pada hal Allah telah
memperbanyak jumlah wanita muslimah? Kalau mereka tidak dapat menghindar, maka
carilah yang menjaga kehormatanya, bukan pezina (musafihah).” Di negara-negara Barat
saat ini susah menemukan wanita ahli kitab yang murni beragama Kristen atau Yahudi
yang menjaga kehormatannya. Apa lagi saat ini sudah menjadi kebiasaan umum di
negara Barat bahwa keperawanan bukan sesuatu yang dipertahankan sebelum menjalani
bahtera rumah tangga. Budaya Barat yang liberal cenderung membuat umat mereka
melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan, tidak peduli dengan aturan-aturan dan
norma yang ada.
3) Wanita ahli kitab tersebut bukan tergolong mereka yang memusuhi dan memerangi umat
Islam. Pasa sat pemerintahan Islam masih ada, para ulama mengklasifikasikan golongan
kafir menjadi dua berdasarkan hubungannya dengan umat Islam. Dinamakan kafir zimmi
jika seorang non muslim hidup dalam naungan negara Islam dan ia tunduk terhadap
hukum-hukum Islam Yang berlaku. Kepada mereka dibebaskan/ tidak dikenakan pajak,
hanya saja diwajibkan membayar jizyah. Mereka tidak memusuhi atau memerangi kaum
muslimin bahkan bisa juga berjuang mempertahankan negara bersama-sama kaum
muslimin.
4) Suami harus lebih dari istri, lebih dari segi ekonomi, pendidikan, daya nalar serta kuat
iman Islamnya. Hal demikian untuk menjaga agar pria-pria muslim ini tidak akan tergoda
dan terlena, sehingga ia melepas aqidahnya dan beralih ke agama sang istri.
5) Yang terakhir yang cukup penting adalah masalah kemudharatan. Jika lebih banyak
kemudharatannya disbanding dengan manfaatnya, maka sebaiknya ditinggalkan. Apalagi
dengan pernikahan tersebut akan menimbulkan fitnah atau akan menjadikan kebiasaan di
kalangan umat Islam, maka perkawinan tersebut bisa jatuh kepada haram. Jika
kemudharatannya untuk umum, maka keharamannya juga menjadi umum.
Dalam literatur-literatur fiqh klasik maupun modern, penulis belum pernah menemukan bab
tersendiri yang menerangkan mengenai wasiat wali nikah. Biasanya keterangan yang didapat
merupakan bagian dari salah satu bab dalam literatur tersebut. Seperti yang terdapat dalam kitab
al Mabsuth, di mana permasalahan wasiat wali nikah masuk ke dalam sub bab nikahnya anak
laki- laki dan perempuan yang masih kecil. Di dalam kitab tersebut tidak dijabarkan mengenai
pengertian dari wasiat wali nikah, hanya saja memberikan keterangan mengenai hukum dari
wasiat wali nikah. Dalam literatur Syafi’iyyah, wasiat wali nikah juga disinggung dalam bab
yang menerangkan wasiat. Di dalam kitab al Muhadzdzab fi Fiqh al Imam Al Syafi’iy
diterangkan bahwa barangsiapa seseorang menjadi wali nikah anak perempuannya maka tidak
diperbolehkan memberikan wasiat kepada orang lain untuk menikahkan anaknya. Dalam kitab
tersebut juga diterangkan bahwa Abu Tsaur berbeda pendapat dengan membolehkan adanya
wasiat tersebut seperti wasiat terhadap harta bendanya. Namun, pendapat tersebut dianggap
salah.
DAFTAR PUSTAKA

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1982

M. Yahya Harahap., Hukum Perkawinan Nasional, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

Maramis, W.F. dan Yuwana, T.A., Dinamika Perkawinan Masa Kini, Diana, Malang, 1990

Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, Juz IV, Daar al-Fikr,
Beirut, 1994

Pustaka Widyatama, Kompilasi Hukum Islam

Dzakiah Darajat, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, Bandung: Al-ma’arif, 1997)

Anda mungkin juga menyukai