Anda di halaman 1dari 116

BUKU

EKONOMI SYARIAH

DI SUSUN OLEH
DR. ISKANDAR, S.AG.,M.SH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG


TAHUN 2022
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAPATAN NASIONAL...............................................................
A. Penghitungan pendapatan nasional........................................................
B. Kelemahan dalam menghitung pendapatan nasional.............................
C. Konsep dasar dalam pendapatan nasional
BAB II PEMBAHASAN PASAR DAN MEKANISME PASAR
A. Pengertian pasar dan mekanisme pasar
B. Pasar islam menurut pandangan ahli ekonomi islam
C. Peran pasar menurut ekonomi islam
D. Penentuan harga dalam islam

BAB III PEMBAHASAN EKONOMI MAKRO

A. Pengertian Ekonomi Makro


B. Konsep Dasar Ekonomi Makro
C. Perbedaan Makro Ekonomi Islam dan Konvesional
D. Karakteristik Dalam Fiqh Makro Ekonomi Islam

BAB IV PEMBAHASAN KEBIJAKAN FISKAL

A. Definisi Kebijakan fiskal


B. posisi kebijakan fiskal dalam islam
C. Kebijakan Pendapatan ekonomi Islam
D. Kebijakan Belanja Ekonomi Islam
E. formulasi kebijakan islami pada masa era modern

BAB V PEMBAHASAN PERILAKU KONSUMEN DALAM EKONOMI


KONVENSIONAL
A. Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Konvensional
B. Kebutuhan dan Keinginan Manusia
C. Maslahah dan Utility
D. Perilaku Konsumen dalam Islam
E. Prinsip Dasar Perilaku Konsumen dalam Islam
BAB VI : PEMBAHASAN PRODUKSIDALAM ISLAM

A. Pengertian Produksidalam Islam


B. Urgensi Produksi dalam Islam.
C. Perilaku Produsen dalam Islam
D. Prinsip dasar Perilaku Produsen dalam Islam

BAB VII PEMBAHASAN KEBIJAKAN MONETER

A. Devenisi kebijakan moneter


B. Konsep kebijakan moneter tanpa bunga
C. Posisi bank sentral dalam islam
D. Instrument kebijakan monete
BAB VIII PEMBAHASAN BAITUL MAAL
A. Pembahasan
B. Baitul Maal
C. Ruang Lingkup Baitul Maal
D. Insatitusi Baitul Maal

BAB IX PEMBAHASAN KEBIJAKAN MONETER

A. Pengertian Kebijakan Moneter


B. Prinsip-Prinsip KebijakanMoneterDalam Ekonomi Islam
C. InstrumenMoneterIslami
D. Kebijakan Moneter Pada Masa Nabi, Sahabat atauKhulafaurrasyidindan

BAB X : PEMBAHASAN LEMBAGA KEUANGAN ISLAM

A. Pengertian Lembaga Keuangan Islam


B. Peranan Lembaga Keuangan Islam
C. Perbedaan Lembaga Keuangan Islam dan
Lembaga Keuangan Konvesionl
D. Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia
BAB XI PEMBAHASAN WAKAF DALAM ISLAM
A. Pengertian Wakaf dalam Islam
B. Sejarah Wakaf Islam
C. Syarat dan Rukun Wakaf
BAB I
PENDAPATAN NASIONAL
A.     Penghitungan Pendapatan Nasional

1. Pendapatan Nasional dalam Teori Konvensional


Pendapatan nasional atau GNP dapat diartikan sebagai jumlah barang dan jasa yang
dihasilkan suatu negara pada periode tertentu (biasanya satu tahun) atau dapat
diartikan pula bahwa pendapatan nasional adalah jumlah penghasilan yang diterima
pemilik faktor-faktor produksi sebagai balas jasa atas sumbangannya dalam proses
produksi dalam kurun waktu satu tahun (periode tertentu).
Terdapat tiga pendekatan dalam mengukur besarnya GNP, yakni dihitung
berdasarkan
 Pengeluaran untuk membeli barang dan jasa
 Nilai barang dan jasa akhir.
 Dari pasar factor produksi dengan menjumlahkan penerimaan yang
diterima oleh pemilik faktor produksi ( upah + bunga + sewa + keuntungan.
(nopirin 2000).
     Perhitungan pendapatan nasional dapat memberikan perkiraan seluruh produk
yang dihasilkan di dalam negeri (GDP) secara teratur yang merupakan ukuran dasar
dari performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa serta
memberikan pemahaman terhadap kerangka kerja hubungan antara variabel
makroekonomi yaitu output, pendapatan, dan pengeluaran.
Terdapat tida element penting dalam konsep ini antara lain produk domestik bruto
(gross domestic product/ GDP), produk nasional bruto (gross nasional product/
GNP) dan product nasional netto (net national product/ NNP)
Jika diperbandingkan antara GDP dan GNP maka terdapat kondisi yang mungkin
terjadi pada suatu negara: GDP > GNP, berarti penghasilan penduduk suatu negara
yang berkerja di luar negeri akan lebih sedikit bila dibandingkan dengan penghasilan
orang asing di negara itu dan menunjukkan perekonomian negara belum maju,
karena pembayaran ke luar negeri lebih besar bila dibanding dengan pendapatan dari
luar negeri yang berarti pula bahwa investasi negara asing lebih besar dibanding
investasi negara tersebut di luar negeri. GDP < GNP, berarti penghasilan penduduk
suatu negara yang berkerja di luar negeri akan lebih besar bila dibandingkan dengan
penghasilan orang asing di negara tersebut dan menunjukkan bahwa perekonomian
negara relatif maju, karena pembayaran ke luar negeri lebih kecil dibanding
pendapatan dari luar negeri serta menunjukan investasi negera tersebut di luar negeri
lebih besar. GDP = GNP, berarti penghasilan akan sama besar antara penduduk yang
berkerja di dalam dan di luar negeri.
Adapun produk nasional netto (NNP) adalah nilai pasar barang dan jasa yang
dihasilkan selama satu tahun dikurangi penyusutan atau depresiasi dan penggantian
modal (replacement). NNP dapat dirumuskan dengan persamaaan sebagai berikut :
NNP = GNP – (penyusutan + replacement).

2.      Perhitungan Pendapatan Nasional


Pendapatan nasional yang merupakan ukuran terhadap aliran uang dan barang dalam
perekonomian dapat dihitung dengan tiga pendekatan:
1) Pendekatan produksi (production approach)
Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan produksi diperoleh dengan
menjumlahkan nilai tambah bruto (gross value added), dari semua sektor
produksi. Penggunaan konsep ini dilakukan guna menghindari terjadinya
perhitungan ganda (double accounting).Adapun nilai tambah adalah selisih harga
jual produk dengan biaya produksi.
Perhitungan pendapatan dengan pendekatan produksi di Indonesia dilakukan
dengan menjumlahkan semua sektor industri yang ada, sektor industri tersebut
diklasifikasikan menjadi 11 sektor atas dasar Internasional Standard Industrial
Clasification. Kemudian, dalam perkembangannnya perhitungan dengan
pendekatan metode ini di Indonesia dilakukan dengan menggunakan 9 sektor
yang meliputi sektor produksi:
 pertanian, perternakan dan kehutanan
 pertambangan dan penggalian
 industri pengolahan
 listrik, gas, dan air bersih
 bangunan,
 perdagangan, hotel dan restoran
 pengangkutan dan komunikasi
 keuangan, perseawan dan jasa perusahaan lain
  jasa-jasa.

Y={Q1 x P1} + {Q2 x P2} + {Q3 x P3}....+... {Qn x Pn}


Keterangan
Y = Pendapatan nasional
P1= Harga barang ke-1
Pn = harga barang ke-n
Q1 = Jenis barang ke-1
Qn = harga barang ke-n
Contoh:
Industri pengolahan bahan tekstil melakukan kegiatan sebagai berikut:
1. Membeli 1500 kapas dari petani kapas dengan harga 150.000 per meter
2. Kapas diolah menjadi benang dengan harga 170.000
3. Benang diolah menjadi kain dengan harga 200.000
4. Kain diolah menjadipakaian garment dengan harga 250.000
5. Pakaian dijual di pusat perbelanjaan dengan harga 300.000
Pendapatan nasional metode produksi (nilai tambah) adalah:
1. Petani kapas : 1500 x Rp150.000 = Rp225.000.000
2. Benang : (1500 x Rp170.000) – (1500 x Rp150.000) = Rp 30.000.000
3. Kain : (1500 x Rp200.000) – (1500 x Rp170.000) = Rp 45.000.000
4. Pakaian : (1500 x Rp250.000) – (1500 x Rp200.000) = Rp 75.000.000
5. Pasar : (1500 x Rp300.000) – (1500 x Rp250.000) = Rp 75.000.000 +
Pendapatan nasional = Rp450.000.000
2) Pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran (income
approach).
     Metode ini dilakukan dengan cara menjumlahkan semua pengeluaran oleh
masyarakat maupun pemerintah, atau dilakukan dengan menjumlahkan
permintaan akhir unit-unit ekonomi. Pendekatan ini sering disampaikan dengan
persamaan sebagai berikut : Y = C + I + G + (X-M)
Keterangan
Y =pendapatan nasional
C (consumption) =pengeluaran masyarakat berupa konsumsi
I (investment) =investasi
G (government) = pengeluaran pemerintah
X-M (export-import) = ekspor netto diambil dari selisih ekspor dan impor (X=
ekspor dan M= impor)
Contoh:
Pengeluaran rumah tangga yang terjadi di suatu negara terdiri dari konsumsi
rumah tangga 342.300, investasi produsen 250.000, pengeluaran pemerintah
239.000, expor barang dan jasa 348.300, impor barang dan jasa 158.000.maka
pendapatan nasional adalah
= 342.300 + 250.000 + 239.000 + (348.300 – 158.000)
= 342.300 + 250.000 + 239.000 + 190.300
= 1.021.600

3) Pendapatan nasional dengan pendekatan pendapatan (expenditure approach)


     Pengertian pendapatan nasional dengan metode pendapatan adalah jumlah
seluruh pendapatan yang diterima oleh masyarakat sebagai balas jasa atas
penyerahan faktor-faktor produksi yang dimiliki selama tahun yang dinilai
dengan satuan nilai uang.
Dengan demikian penghitungan ini merupakan penjumlahan dari sewa tanah, gaji
upah, bunga modal atau bagi hasil investasi dan laba pengusaha. Secara
matematis dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut : Y = W + I + R + P
Keterengan :
Y = pendapatan nasional
W (wages) = upah
I (interest/ invesment) = bunga (konvensional) atau bagi hasil (syariah)
R (Rent) = sewa
P (profit) = laba pengusaha
Contoh:
Suatu negara memiliki data pendapatan yang diterima masyarakat konsumen
terdiri dari pendapatan sewa 123.300, upah 212.500, bunga 232.000, da laba
315.400.maka jumlah pendapatan nasional adalah:
= 123.300 + 212.500 + 232.000 + 315.400
= 883.200

A. Kelemahan dalam perhitungan pendapatan nasional


Sekalipun konsep pendapatan nasional telah banyak memberikan manfaat dalam
melakukan perencanaan, baik bagi pemerintah maupun para pelaku bisnis, namun
terdapat juga beberapa kelemahan, antara lain:
 Tidak menghitung produk-produk non transaksi
Karena Pendapatan Nasional hanya berorientasi pada harga jual, maka
Pendapatan Nasional tidak menghitung nilai-nilai dari pekerjaan yang tidak
dipasarkan seperti: pekerjaan ibu-ibu rumah tangga, memperbaiki peralatan
milik sendiri, dan sebagainya;
 Tidak menghitung nilai dari waktu luang (leisure time)
Waktu-waktu luang yang sebenarnya sangat berharga bagi masyarakat seperti
hari libur, memperpendek jam kerja, dan sebagainya juga tidak dikalkulasi
dalam Pendapatan Nasional;
 Tidak memperhitungkan peningkatan mutu produk
 Karena dalam konsep Pendapatan Nasional, terutama dalam hal
pertumbuhannya hanya menekankan konsep peningkatan produk riil, maka
peningkatan kualitas produk juga tidak tersentuh dalam konsep Pendapatan
Nasional;
 Kurang memperhatikan pentingnya distribusi pendapatan
Konsep Pendapatan Nasional tidak memperhatikan apakah distribusinya telah
memenuhi rasa keadilan, karena cenderung lebih mengutamakan peningkatan
produk riil secara total;
 Kurang berorientasi ke pendapatan per kapita
Konsep Pendapatan Nasional juga kurang berorientasi ke pendapatan per
kapita. Sangat mungkin Pendapatan Nasional pertumbuhannya sangat
signifikan, namun hal itu tidak ada artinya jika jumlah penduduk juga
meningkat lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan Pendapatan
Nasional;
 Kurang memperhatikan kerusakan lingkungan
Konsep Pendapatan Nasional yang hanya menghitung penyusutan atas
peralatan kerja yang dipergunakan dalam proses produksi, maka penyusutan
atas sumber daya alam yang ditandai dengan kerusakan lingkungan karena
dieksploitasinya sumber daya alam tersebut tidak diperhitungkan. Bisa jadi,
pertumbuhan ekonomi yang positif, jika penyusutan atas sumber daya alam
ini dikalkulasikan, hasilnya akan berubah menjadi negatif;
 Tidak mengkalkulasikan produk-produk dari bisnis siluman
Produk dari bisnis siluman seperti judi gelap, penyelundupan, dan bisnis
barang-barang terlarang lainnya, sekalipun secara ekonomi terdapat nilai
tambah, namun pasti tidak akan terkalkulasikan dalam Pendapatan Nasional

B. Konsep dasar Pendapatan Nasional


1. Produk Domestik Bruto (Gross Domestik Product)
Produk domestik bruto adalah jumlah produk berupa barang dan jasa yang
diperoleh dari unit-unit produksi didalam batas wilayah suatu Negara (domestik)
selama satu periode.Dalam menghitung GDP jumlah pasar, yang harus
diperhatikan adalah jangan sampai ada perhitngan ganda atau double
accounting.Konsep GDP meliputi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga
negara pada suatu neara, baik di luar negeri mapun dalam negeri.
2. Produk Nasional Bruto (Gross National Product)
Produk nasional bruto atau PNB meliputi nilai produk berupa barang dan jasa
yang dihasilkan oleh masyarakat dalam suatu negara (nasional) selama 1
periode.Dalam menghitung besarnya GNP berdasarkan harga pasar, yang harus
diperhatikan yaitu jangan sampai ada perhitungan ganda.Dalam GNP ini, hasil
produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada didalam
negeri maupun diluar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan
asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut.
Contoh:
GDP (Miliar rupiah) negara A sebesar 6.500.900, pendapatan penduduk negara A
yang ada di negara B sebesar 200.500, dan pendapatan penduduk asing di negara
A sebesar 325.800
Maka jumlah GNP adalah:
GNP = GDP + Pendapatan netto dari luar negeri
= 6.500.900 + (200.500 – 325.800)
= 6.500.900 – 125.300
= 6.375.600
3. Produk Nasional Netto (Net National Product)
Produk Nasional Netto (NNP) adalah jumlah GNP yang dikurangi dengan
barang modal sebagai penggantian. Penyusutan bagi peralatan yang digunakan
untuk memproduksi barang dalam proses produksi umumnya bersifat tafsiran,
sehingga dapat menimbulkan kesalahan meskipun relatif kecil. Penyusutan adalah
berkurang barang yang sudah lama karena pemakaian.
Contoh:
Penyusutan alat di perusahaan A sebesar 11.400, maka jumlah NNP adalah:
NNP = GNP – penyusutan
= 6.375.600 – 11.400
= 6.364.200
4. Pendapatan Nasional Netto (Net National Income)
Pendapatan Nasional Netto (NNI) adalah pendapatan yang dihitung dari
jumlah balas jasa yang diterima oleh rakyat sebagai pemilik faktor
produksi.Besarnya NNI bisa didapat dari NNP dikurangi dengan pajak tidak
langsung dan subsidi. Pajak tidak langsung yaitu pajak yang beratnya dapat
digeserkan kepada pihak lain, contoh pajak penjualan, pajak impor, bea ekspor, dan
cukai-cukai. Sedangkan subsidi adalah bantuan dari pemerintah kepada
masyarakat.
Contoh:
Pajak penjualan barang sebesar 125.000, dan subsidi sebesar 30.000, maka jumlah
NNI adalah:
NNI = NNP – Pajak tidak langsung + Subsidi
= 6.364.200 – 125.000 + 30.000
= 6.269.200
5. Pendapatan Perseorangan (Personal Income)
Pendapatan perseorangan adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap
penduduk dalam masyarakat termasuk pendapatan yang didapatkan tanpa
memberikan suatu kegiatan yang lainnya.
Pendapatan perseorangan dapat diperhitungkan dari NNI dikurangi dengan :
 Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dibayar oleh setiap badan usaha
kepada pemerintah.
 Laba yang tidak dibagi, yaitu jumlah laba yang tetap ditahan di dalam
perusahaan untuk tujuan tertentu, contoh untuk keperluan memperluas wilayah
perusahaan.
 Iuran pensiun yaitu iuran yang dikumpulkan oleh setiap tenaga kerja dan
perusahaan dengan tujuan untuk dikembalikan setelah tenaga kerja tersebut
mencapai umur tertentu dan tidak lagi bekerja.
 Asuransi yaitu perjanjian antara dua pihak, dimana pihak satu harus
wajib membayar iuran atau yang lainnya, dan pihak yang lain harus
memberikan jaminan penuh kepada pembayar iuran tersebut.
Dalam pendapatan perseorangan termasuk juga pembayaran transfer (transfer
payment). Transfer payment adalah pembayaran-pembayaran di negara-negara
yang dibayarkan kepada orang-orang tertentu, dan pembayaran tersebut bukan
merupakan balas jasa atas keikutsertaannya dalam proses produksi tahun
sekarang, melainkan sebagai balas jasa untuk tahun-tahun sebelumnya, atau juga
bisa penerimaan yang bukan balas jasa proses produksi pada tahun tertentu, tetapi
diambil dari sebagian pendapatan Nasional tahun yang lalu, contoh pembayaran
dana untuk orang yang pensiun, tunjangan sosial untuk para pengangguran,
tunjangan untuk bekas para pejuang, dan tambahan utang pemerintah dan
sebagainya.
Contoh:
Transfer payment sebesar 30.000, pajak perseroan 25.000 , laba ditahan 41.500,
iuran pensuin 23.800, asuransi sebesar 50.000. aka jumlah PI adalah:
PI = NNI + Transfer Payment – (iuran sosial + asuransi + laba ditahan + pajak
perseroan)
= 6.269.200 + 30.000 – (23.800 + 50.000 + 41.500 + 25.000)
= 6.269.200 + 30.000 – 140.300
= 6.439.500
6. Pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposable Income)
Pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposable Income) adalah pendapatan yang
siap untuk dibelanjakan atau dimanfaatkan.Disposable income diperoleh dari
personal income setelah dikurangi dengan pajak langsung. Pajak langsung adalah
pajak yang beratnya tidak bisa dialihkan kepada pihak lain atau langsung
ditanggung jawab oleh wajib pajak. Contoh pajak dari pendapatan.
Contoh:
Pajak pendapatan sebesar 132.900, maka jumlah DI adalah:
DI = PI – pajak langsung
= 6.439.500 – 132.900
= 6.306.600
BAB II
PASAR DAN MEKANISME PASAR

A. Pengertian pasar dan Mekanisme pasar


Pasar adalah tempat bertemunya antara penjual dan pembeli dan melakukan transaksi
barang atau jasa2 Pasar merupakan sebuah mekanisme pertukaran barang dan jasa
yang alamiah dan telah berlangsung sejak awal peradaban manusia. Dalam Islam pasar
sangatlah penting dalam perekonomian. Pasar telah terjadi pada masa Rasulullah dan
Khulafaur Rasyidin dan menjadi sunatullahyang telah di jalani selama berabad-
abad(P3EI, 2011).
Al- Ghazali dalam kitab ihya’ menarangkan tentang sebab munculnya pasar,“ Dapat
saja petani hidup dimana alat- perlengkapan pertanian tidak ada. Kebalikannya, pandai
besi dan tukang kayu hidup di mana lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami
mereka akan samasama memenuhi kebutuhan masing- masingDapat saja terjadi
tukang kayu memerlukan makanan, namun petani tidak memerlukan alat- alat tersebut.
Kondisi ini menimbulkan permasalahan.Oleh karena itu, secara alami pula orang akan
terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat- alat di satu pihak, dan
penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang kemudian di datangi
pembeli sesuai kebutuhannya tiap- tiap sehingga terbentuklah pasar”. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa pasar adalah tempat yang menampung hasil produksi dan
menjualnya kepada mereka yang membutuhkan. Pernyataan tersebut juga
menyebutkan bahwa pasar timbul dari adanya double coincidenceyang sulit bertemu.
Maka, untuk memudahkan adanya tukar-menukar dalam memenuhi kebutuhan
dciptakanlah pasar.
Mekanisme pasar merupakan terbentuknya interaksi antara permintaan dan penawaran
yang hendak memastikan tingkatan harga tertentu. Terdapatnya interaksi tersebut akan
menyebabkan terbentuknya proses transfer barang serta jasa yang dipunyai oleh tiap
objek ekonomi( konsumen, produsen, pemerintah). Dengan kata lain, terdapatnya
transaksi pertukaran yang kemudian disebut sebagai perdagangan merupakan salah
satu ketentuan utama dari berjalannya mekanisme pasar.
Islam menempatkan pasar pada kedudukan yang penting dalam perekonomian.
Praktik ekonomi pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin menunjukkan adanya
peranan pasar yang besar. Rasulullah sangat menghargai harga yang dibentuk oleh
pasar sebagai harga yang adil. Beliau menolak adanya intervensi harga. Pasar disini
mengharuskan adanya moralitas, kejujuran, keterbukaan dan keadilan. Jika nilai-nilai
ini ditegakkan, maka tidak ada alasan untuk menolak harga pasar.
Peranan ekonomi Islam dalam mekanisme pasar menyumbangkan andil yang amat
penting di tengah carut-marut kondisi perekonomian bangsa Indonesia. Praktek pasar
sejatinya harus ditampilkan nilai-nilai yang sesuai dengan norma dan nilai yang
dibenarkan. Dua paham ekonomi yang selama ini menjadi acuan dan barometer dunia,
yaitu ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis ternyata tidak dapat mengatur
mekanisme kegiatan pasar saat ini yang serba tidak menentu dan tidak jelas, malah
semakin memperparah keadaan (Wiharto, 2008)

B. Pasar Islam Menurut pandangan ahli ekonomi islam


1. Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf (731-798 M)
Abu Yusuf tercatat sebagai ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme
pasar. Pemikiran Abu Yusuf tentang pasar bisa ditemukan di dalam bukunya Al-
Kharaj yang mangulas prinsip- prinsip perpajakan serta anggaran negara yang jadi
pedoman kekhalifahan Harun Al Rasyid di Baghdad, ia merumuskan bekerjanya
hukum permintaan dan penawaran pasar dalam menentukan tingkat harga. Tidak
hanya itu didalam bukunya pula dipaparkan kalau, harga bukan cuma ditentukan
oleh penawaran, namun juga dalam permintaan harga barang tersebut. Bahkan Abu
Yusuf mengindikasikan terdapatnya variabel- variabel lain yang juga ikut
mempengaruhi harga, misalnya jumlah uang beredar, penumpukan ataupun
penahanan suatu barang.
Pemikiran Abu Yusuf tersebut menampilkan terdapatnya hubungan negatif antara
persediaan dengan harga. Perihal ini ialah bahwa harga itu tidak bergantung pada
supply itu sendiri, sama pentingnya agar kekuatan permintaan. Oleh sebab itu,
bertambahnya serta berkurangnya harga sekedar tidak berhubungan dengan
bertambahnya serta berkurangnya dalam produksi. Abu Yusuf menyatakan“ tidak
ada batas tertentu tentang murah serta mahal yang bisa ditentukan. Perihal tersebut
ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak dapat diketahui. Murah bukan karena
melimpahnya makanan, demikian pula mahal tidak disebabkan karena kelangkaan
makanan. Murah dan mahal ialah ketentuan Allah, kadang- kadang makanan sangat
sedikit namun murah.
Bagi Abu Yusuf harga tidak tergantung pada penawaran saja, tetapi juga tergantung
pada kekuatan permintaan, ia menegaskan bahwa terdapat sebagian variabel lain
yang mempengaruhi, namun ia tidak memaparkan lebih rinci. Menurut Muhammad
Nejatullah Shiddiqi, pernyataan Abu Yusuf harus diterima selaku pernyataan hasil
pengamatanya dikala itu, ialah keberadaan yang sama antara melimpahnya barang
dan tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga rendah.
2. Evolusi Pasar Menurut Al- Ghazali (1058-1111 M)
Secara eksplisit Al- Ghazali mengaitkan seluruh aktivitas ekonomi dengan moral
serta akhlak yang tercantum dalam Al- Qur’ an serta Hadits ialah bersumber pada
prinsip tauhid serta dalam kaitannya dengan mekanisme pasar. Dalam kitab Al-
Ihya Ulumuddin karya Al- Ghazali banyak mangulas topik- topik ekonomi,
termasuk pasar. Dalam karyanya tersebut membicarakan barter dan
permasalahannya, pentingnya kegiatan perdagangan serta evolusi terbentuknya
pasar, termasuk bekerjanya kekuatan permintaan serta penawaran dalam
mempengaruhi harga. Menurutnya pasar ialah bagian dari keteraturan natural.
Al- Ghazali menarangkan tentang kurva penawaran serta permintaan yang ber-
slope positif, untuk kurva penawaran“ yang naik dari kiri ke bawah ke kanan atas”,
dinyatakan dalam kalimat“ jika petani tidak memperoleh pembeli untuk barangnya/
produknya, ia akan menjualnya pada harga yang sangat rendah”. Sedangkan untuk
kurva permintaan,“ yang turun dari atas ke kanan bawah”, dijelaskan dengan
kalimat, harga bisa diturunkan dengan mengurangi permintaan.
Pemikiran Al- Ghazali tentang hukum penawaran dan permintaan mempunyai
pengetahuan tentang konsep elastisitas permintaan, ia menyatakan bahwa“
mengurangi margin keuntungan dengan mengurangi harga akan menaikkan volume
penjualan, sehingga akan terjadi peningkatan laba”. Al- Ghazali pula menyadari
permintaan harga inelastis yang ialah kebutuhan pokok, sehingga laba harus
seminimal mungkin untuk mendorong perdagangan makanan, karena dapat terjadi
eksploitasi lewat penerapan tingkatan harga serta laba yang berlebihan

3. Pemikiran Ibnu Taimiyah (1263-1328 M)


Ibnu Taimiyah adalah seorang fuqoha yang mempunyai karya pemikiran dalam
berbagai bidang ilmu yang luas, termasuk dalam bidang ekonomi. Karyanya banyak
mengandung ide yang berpandangan ke depan, sebagaimana banyak dikaji oleh
ekonom Barat, karyanya juga mencakup aspek makro dan mikro ekonomi.
Pemikiran Ibnu Taimiyah mengenai mekanisme pasar dicurahkan melalui bukunya
yang sangat terkenal, yaitu al-Hisbah fi’l al-Islam dan Majmu’ fatawa. Pandangan
Ibnu Taimiyah menganai hal ini sebenarnya berfokus pada masalah pergerakan
harga yang terjadi pada waktu itu, tetapi ia letakkan dalam kerangka mekanisme
pasar. Secara umum ia menunjukkan the beauty of market (keindahan mekanisme
pasar sebagai meknisme ekonomi), di samping segala kelemahannya. Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa kenaikan harga tidak selalu disebabkan oleh ketidak
adilan dari para pedangang dan penjual. Sebagaimana banyak dipahami orang pada
waktu itu. Ia menunjukkan bahwa harga merupakan hasil interaksi hukum
permintaan penawaran yang berbentuk karena berbagai faktor yang kompleks. Ibnu
taimiyah mengatakan bahwa naik turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh
tindakan sewenang-wenang dari penjual, bias jadi penyababnya adalah penawaran
yang menurun akibat inefisiensi atau pemborosan produksi, penurunan jumlah
impor barang yang sudah di minta atau karna tekanan pasar.
Oleh sebab itu, jika permintaan terhadap barang bertambah dan penawaran turun,
maka harga barang akan naik. Begitu pula sebaliknya, bila permintaan menurun dan
penawaran barang meningkat maka harga barang akan turun. Ia mengatakan sumber
persediaan ialah: produksi lokal, serta impor barang yang di minta. Terbentuknya
perubahan dalam penawaran, ditafsirkan sebagai kenaikan ataupun penurunan
dalam jumlah barang yang di tawarkan, sebaliknya perubahan permintaan sangat
didetetapkan oleh konsumen.
Ibnu Taimiyah juga menjelaskan tentang pengaruh perubahan permintaan dan
penawaran terhadap harga pasar. Permintaan akan barang sering berubah-ubah.
Perubahan itu tergantung pada jumlah penawaran, jumlah orang yang
menginginkannya, kuat lemahnya dan besarkecilnya kebutuhan terhadap barang
tersebut. Bila ini benar, Ibnu Taimiyah telah mengasosiasikan harga tinggi dengan
intensitas kebutuhan sebagaimana kepentingan relatif barang terhadap total
kebutuhan pembeli. Bila kebutuhan kuat dan besar, maka harga akan naik, dan
sebaliknya.
Aspek lain yang mempengaruhi permintaan serta penawaran pasar, ialah: intensitas
serta besarnya permintaan, kelangkaan dan melimpahnya barang, kondisi kredit
ataupun pinjaman serta diskon pembayaran tunai. Dalam persaingan dan ketidak
sempurnaan dalam pasar, Ibn Taimiyah tidak pernah menggunakan istilah“
persaingan”, sebaliknya ia menjelaskan kondisi persaingan sempurna yang saat ini
menjadi jargon ekonomi kontemporer, perihal ini jelas menunjukkan bahwa ia
menyadari terdapatnya asumsi mengenai“ persaingan pasar.

4. Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Khaldun (1332-1383 M)


Selain Abu Yusuf, Al- Ghazali, Ibnu taimiyah, intelektual muslim yang juga
mangulas mekanisme pasar adalah Ibnu Khaldun. Ia membagi tipe barang jadi 2
macam ialah, barang kebutuhan pokok, dan barang mewah. Menurutnya, apabila
suatu kota tumbuh serta populasinya meningkat, hingga persediaan pengadaan
barang kebutuhan pokok melebihi kebutuhan, sehingga penawaran bertambah dan
dampaknya harga jadi turun, sebaliknya barang mewah, permintaannya akan
bertambah sejalan dengan perkembangan kota serta gaya hidup. Akibatnya, harga
barang mewah menjadi naik.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pasar termuat dalam buku monumental, ialah
almuqaddimah, terutama dalam bab harga- harga di kota. Dalam buku tersebut
mendeskripsikan 6 Irawan, M. (2015). Mekanisme Pasar Islami Dalam Konteks
Idealita dan Realita. tentang pengaruh peningkatan serta penurunan penawaran
terhadap tingkat harga. Beliau menyatakan“ Ketika barang- barang yang ada sedikit,
maka harga- harga akan naik. Tetapi, apabila jarak antar kota dekat dan aman untuk
melakukan perjalanan, maka akan banyak barang yang diimpor sehingga
ketersediaan barang- barang akan melimpah serta harga- harga akan turun.
Bersumber pada kajian para ulama klasik tentang mekanisme pasar tersebut, maka
Muhammad Najatullah Shiddiqi dalam buku The Economic Entreprise in Islam
menyatakan tentang“ system pasar dibawah pengaruh semangat islam bersumber
pada anggapan, anggapan itu merupakan rasionalitas ekonomi serta persaingan
sempurna. Berdasarkan asumsi ini, system pasar dibawah pengaruh semangat islam
bisa dianggap sempurna. System ini menggambarkan keselarasan antar kepentingan
para konsumen.”
Yang dimaksud dengan rasionalitas ekonomi merupakan upaya- upaya yang dicoba
oleh produsen serta konsumen dalam rangka memaksimumkan kepuasannya
masing- masing. Pencapaian terhadap kepuasan sebagaimana tersebut pastinya
harus diproses dan di tindak lanjuti secara berkesinambungan serta masing- masing
pihak sebaiknya mengenali dengan jelas apa dan bagaimana keputusan yang harus
di ambil dalam pemenuhan kepuasan ekonomi tersebut. Menurut pandangan islam
yang diperlukan adalah suatu peraturan secara benar dan di bentuknya suatu system
kerja yang berfifat produktif dan adil demi terwujudnya pasar yang normal. Sifat
produktif itu hendaklah dilandasi dengan perilaku serta niat yang baik guna untuk
terbentuknya pasar yang adil.
Dengan demikian modal serta pola yang dikehendaki merupakan system oprasional
pasar yang normal. Dalam hal ini Muhammad Nejatullah Shidiqi menyimpulkan
bahwa ciri- ciri pendekatan islam dalam hal mekanisme pasar adalah:
a. Penyelesaian permasalahan ekonomi yang asasi( konsumsi, produksi,
serta distribusi) dikenal sebagai tujuan mekanisme pasar
b. Dengan berpedoman ajaran islam para konsumen di harapkan,
bertingkahlaku sesuai dengan mekanisme pasar, sehingga bisa mencapai tujuan
yang dinyatakan di atas
c. Jika perlu, campur tangan Negara sangat penting diberlakukan untuk
normalisasi serta memperbaiki mekanisme pasar yang rusak karena Negara
merupakan penjamin terwujudnya mekanisme pasar yang normal
Maka, mekanisme pasar disini bisa diyakini akan menghasilkan sesuatu yang
adil serta arif dari berbagai kepentingan masyarakat yang bertemu di pasar.
Serta pendukung paradigma pasar bebas sudah melaksanakan bermacam upaya
akademis untuk meyakinkan bahwa pasar merupakan suatu system yang
mandiri yang berupaya berbuat adil serta bijaksana.
Jadi ibnu khaldun sangat menghargai harga yang terjadi dalam pasar bebas,
tetapi beliau tidak mengajukan saran- saran kebijakan pemerintah untuk
mengelolah harga. Lebih banyak untuk memfokuskan kepada factor- faktor
yang mempengaruhi harga. Hal ini pasti saja berbeda denga Ibnu Taimiyah yang
dengan tegas menentang intervensi pemerintah sepanjang jalan pasar berjalan
dengan bebas serta normal.

C. Peran Pasar Menurut Ekonomi Syariah


1. Perdagangan dalam Islam
Islam adalah agama yang sangat sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan,
seperti halnya berdagang juga diatur bagaimana cara berdagang yang baik sesuai
dengan tuntutan Islam. Seseorang berdagang bertujuan mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya. Akan tetapi, dalam pandangan ekonomi Islam, bukan sekedar
mencari keuntungan melainkan keberkahan. Keberkahan usaha adalah kemantapan
dari usah tersebut dengan memperoleh keuntungan yang wajar dan diridhai oleh
Allah SWT. untuk memperolah keberkahan dalam jual beli, Islam mengajarkan
prinsip- prinsip moral sebagai etika (sikap) yang mencerminkan akhlak dari
seseorang pedagang adalah sebagai berikut:
a. Larangan memperdagangkan barang-barang haram.
b. Bersikap benar, jujur, amanah dan tidak curang.
c. Sikap adil dan haramnya bunga (riba).
d. Menerapkan kasih sayang dan larangan terhadap monopoli.
e. Berpegang pada prinsip bahwa perdagangan adalah bekal menuju
akhirat.
f. Jangan menyembunyikan cacat barang.
g. Longgar dan bermurah hati
Islam menempatka pasar sebagai tempat perniagaan yang sah sehingga secara
umum merupakan mekanisme perdagangan yang ideal. Penghargaan yang tinggi
tidak hanya bersifat normatif tetapi juga telah dibuktikan dalam sejarah panjang
kehidupan masyarakat muslim klasik. Gambaran pasar islami adalah pasar yang
didalamnya terdapat persaingan sehat yang dibingkai dengan nilai moralitas Islam.
Nilai dan moralitas Islam itu secara garis besar terbagi dua:
a. Norma yang bersifat khas yaitu hanya berlaku untuk muslim
b. Norma yang bersifat umum yaitu berlaku untuk seluruh masyarakat.
Agar pasar dapat berperan secara normal (alamiah) dan terjamin
keberlangsungannya, di mana struktur dan mekanismenya dapat terhindar dari
pelaku-pelaku negatif para pelaku pasar, maka ajaran Islam juga menawarkan satu
paket aturan moral berbasis hukum syariah yang melindungi setiap kepentingan
pelaku pasar, aturan tesebut adalah sebagai berikut:
a. Spiritualisme transaksi perdagangan
Islam memberikan ajaran kapan seorang muslim dapat melakukan transaksi,
bagaimana mekanisme transaksi dan komoditas barang maupun jasa apa saja
yang dapat diperjual belikan di pasar muslim. Islam mengatur bagaimana
seorang pedagang mengharmonisasikan aktivitas perdagangan dengan kewajiban
beribadah.Dimana Islam tidak memperkenankan jika aktivitas bisnis dan
perdagangan dapat melupakan kita kepada kehadirat Allah SWT. Sedangkan
objek yang dapat diperjual belikan, yang menjadi acuan adalah selama tidak
berbahaya bagi dirinya maupun orang lain, maka pelaku pasar dapat memperjual
belikannya. Perlu dipahami, ajaran Islam mempunyai ketegasan yang tinggi
berkaitan dengan ini. Karena hal inilah yang menjadi landasan moral distingtif
dengan konsep-konsep ekonomi Islam lainnya.
b. Aspek hukum dalam mekanisme transaksi perdagangan
Nabi melarang transaksi jual beli yang semu. Larangan tersebut merupakan
koridor yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim baik individu maupun
kolektif. Pelaksanaan larangan haruslah mengarah kepada bentuk nilai
substansial dan filsafat dari larangan tersebut. Bukan hanya sekedar bentuk yang
tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan modern pada saat ini, maupun adanya
upaya penghindaran dari batasan dengan dalih penafsiran dan kontekstualitas.
2. Peran Pasar dalam Kegiatan Ekonomi
Pasar merupakan wahana transaksi ekonomi yang ideal, karena secara teoritis
maupun praktis, Islam menciptakan suatu keadaan pasar yang dibingkai oleh nilai-
nilai shari’ah meskipun tetap dalam suasana bersaing.18islam mengajarkan bahwa
tidak semua barang dapat dikonsumsi dan diproduksi. Seorang muslim hanya di
perkenankan mengkonsumsi dan memproduksi barang yang baik dan halal,
sehingga barang yang haram harus ditinggalkan. Seorang muslim juga terikat
dengan nilai-nilai kesederhanaan dan konsisten prioritas pemenuhannya. Kreteria
seorang muslim dengan norma-norma ini akan menjadi sistem pengendali yang
bersifat otomatis bagi pelakunya dalam aktifitas pasar. konsep Islam juga
memahami bahwa pasar dapat berperan efektif dalam kehidupan ekonomi bila
prinsip persaingan bebas dapat berlaku secara efektif. Pasar tidak mengharapkan
adanya intervensi dari pihak manapun, tak terkecuali negara dengan otoritas
penentuan harga atau private sector dengan kegiatan monopolistik ataupun
lainnya.Pasar merupakan bagian penting dalam kehidupan seseorang muslim. pasar
dapat dijadikan sebagai katalisator hubungan transcendental muslim dengan
tuhannya. Dengan kata lain, berinteraksi dalam pasar merupakan ibadah seorang
muslim dalam kehidupan ekonomi. Hal tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah
ketika hijrah ke Madinah, yang mana beliau banyak pergi ke Pasar untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Fenomena ini memancing pertanyaan bagi kaum Quraisy.
Allah berfirman dalam QS. Al-Furqan ayat 7:

‫ْأ‬
ِ ۗ ‫ۙ َوقَالُوْ ا َما ِل ٰه َذا ال َّرسُوْ ِل يَ ُك ُل الطَّ َعا َم َويَ ْم ِش ْي فِى ااْل َس َْو‬
ٌ َ‫اق لَوْ ٓاَل اُ ْن ِز َل اِلَ ْي ِه َمل‬
‫ك فَيَ ُكوْ نَ َم َعهٗ نَ ِذ ْيرًا‬

Artinya: “Dan mereka berkata: “mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan
di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar
malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia.”(QS. Al-Furqan:7)

Islam tidak menghendaki adanya koalisi antara para penawar dan permintaan, tetapi
tidak mengesampingkan kemungkinan adanya akumulasi atau konsentrasi produksi
selama tidak ada cara yang tidak jujur digunakan dalam proses tersebut, dan kedua
hal tersebut tidak melanggar prinsip- prinsip kebebasan dan kerjasama. Untuk itu
pada takaran dalam praktisnya nanti, adanya akumulasi dan atau konsentrasi harta
itu bisa mengundang campur tangan pemerintah. Campur tangan ini bisa berbentuk
pengambilalihan produksi yang dimonopoli (oleh perorangan atau perusahaan
tertentu) atau pengawasan atau penetapan harga oleh pemerintah. Jika pasar dapat
mengakomodasi bentuk-bentuk kebebasan di atas, hal ini berarti pasar sudah
berperan sebagai instrumen terstruktur untuk pendistribusian income. Adapun
penjelasan dari ketiga peran pasar tersebut, sebagai berikut:
 Peran pasar dalam distribusi barang dan jasa Distribusi pendapatan atau
pembagian kekayaan akan menjamin terjadinya keadilan distribusi barang dan
jasa di pasar. Karena dalam pasar terbuka dan persaingan sempurna setiap
individu akan selalu tinggi dari setiap cadangan pengeluarannya. Hal ini serta
merta akan rusak apabila sistem monopolistik diterapkan di pasar, di mana para
konsumen tidak mempunyai daya beli yang selevel antara satu dengan lainnya.
Hal ini di sinyalir oleh Ibnu Taimiyah bahwa: “penjual dilarang dengan sengaja
untuk tidak menjual sesuatu kecuali dengan harga yang mereka tentukan
sendiri”.
Sebagaimana disampaikan dalam Al-Qur’an dengan jelas bahwa
transaksi perdagangan harus dilakukan atas dasar “taradin” yaitu dari sisi harga
ditentukan oleh adanya kerelaan antara penjual dan pembeli. Pasar Islam tidak
bisa menerima adanya kepentingan relatif hanya pada sejumlah barang tertentu,
hal ini dikarenakan kekayaan dan pendapatan harus terdistribusikan secara
normal dan optimal antara setiap anggota komunitas, instrumen harga kemudian
akan menggiring pengelompokan atau pengklasifikasian konsumen dari
kemampuan belinya. Dari sinilah seharusnya penumpukan dan pendistribusian
barang dan jasa akan dibatasi besaranya oleh instrumen harga. Namun demikian,
ada hal yang menarik dari apa yang pernah disampaikan Abu Yusuf dalam kitab
Al-Kharaj bahwa mahal atau murahnya suatu komoditas tidak bisa ditentukan
secara pasti, dimana murah bukan hanya karena melimpahnya barang tersebut
dan mahal bukan hanya karena kelangkaannya. Hal ini dinyatakan melalui
statement beliau: “mahal dan murah merupakan ketentuan Allah, terkadang
makanan melimpah tetapi harga mahal dan terkadang makanan sedikit tetapi
tetap murah”.
 Peran Pasar dalam Efisiensi Produksi Kontrol dan pembatasan faktor-
faktor produksi dalam tatanan nilai Islam dilakukan dengan memanfaatkan sekali
lagi instrumen harga di pasar. Instrument harga akan mengarahkan efisiensi
bahan baku produksi dari berbagai macam hasil produk yang dibayarkan oleh
konsumen di pasar. Konsep ini menegaskan bahwa setiap harga produk yang
dibayarkan oleh konsumen mewakili atau men-cover besar ongkos produk yang
diperlukan. Dengan demikian, keputusan para produsen dan investor dalam
memproduksi barang dan jasa akan selalu dikaitkan (bergantung) kepada
expented return (prediksi keuntungan) yang akan didapat. Karena kenaikan harga
produk ditentukan oleh volume permintaan pasar, secara otomatis akan
merangsang para produsen untuk menambah jumlah produknya di pasar.
Sedangkan disisi lain, bila terjadi penurunan harga, para produsen dengan serta
merta mengurangi jatah produksinya, baik dalam kuantitas ataupun kualitas
(dengan mengubah bahan baku produk kepada kualitas yang lebih rendah).
 Peran pasar dalam distribusi pendapatan Hukum permintaan dan
penawaran di pasar sangat berperan dalam menentukan pendapatan. Hal ini
karena pendapatan di pasar direpresentasikan oleh harga (price) yang berlaku
sebagai alat tukar atas penggunaan jasa ataupun aneka ragam produk. Konsep
kemudian memanfaatkan instrumen harga untuk menentukan nilai barang
maupun jasa yang ditawarkan di pasar. Dengan demikian setiap pendapatan yang
diterima berlaku sebagai insentif dari kepemilikan faktor-faktor produksi.

Untuk lebih jelasnya perihal harga dari faktor-faktor produksi dapat


diilustrasikan dalam pointers berikut:
1) Peran pasar dalam menentukan upah.
2) Peran pasar dalam menentukan keuntungan.
3) Peran pasar dalam menentukan tingkat pengembalian hasil lahan.

Dalam konsep ekonomi Islam harga ditentukan oleh keseimbangan permintaan


dan penawaran. Keseimbangan ini tidak terjadi bila antara penjual dan pembeli
dalam mempertahankan kepentingannya atas barang tersebut. Jadi harga
ditentukan oleh kemampuan penjual untuk menyediakan barang tersebut dari
penjual. Dalam ekonomi Islam keseimbangan pasar mempertimbangkan
beberapa hal:
 Dalam konsep Islam monopoli, duopoli, oligopoli tidak dilarang
keberadaan selama mereka tidak mengambil keuntungan di atas keuntungan
normal.
 Kondisi pasar yang kompetitif mendorong segala sesuatunya menjadi
terbuka.
 Produsen dilarang melakukan praktek perdagangan demi keuntungan
pribadi dengan cara memapak pedagang di pinggir kota, mendapatkan
keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari satu kota terhadap harga yang
berlaku di kota lain.
 Konsep Islam melarang penimbunan karena alasan untuk mencari
keuntungan dari kelangkaan barang di pasar.
 Islam melarang kaum muslimin untuk bertindak curang
 Menyembunyikan barang cacat karena penjual mendapatkan harga yang
tinggi.
 Jual beli dilakukan dengan keadaan nilai barang yang sama. Harga
adalah sejumlah uang (ditambah beberapa uang kalau mungkin) yang
dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari barang beserta
pelayanannya. Penentuan harga ini merupakan salah satu keputusan yang
penting bagi manajemen.Harga yang ditetapkan harus menutup semua
ongkos, atau bahkan lebih dari itu, yaitu untuk mendapatkan laba.

Dalam menetapkan harga jual perlu dipertimbangkan beberapa hal, antara lain:
 Harga pokok barang.
 Harga jenis barang.
 Daya beli masyarakat.
 Jangka waktu perputaran modal.
 Peraturan-peraturan .

Harga keseimbangan adalah harga pada saat jumlah barang yang diminta sama
dengan jumlah barang yang ditawarkan. Kualitas keseimbangan dicapai apabila
jumlah barang yang dibeli atau dijual adalah sama, pada harga keseimbangan.
Faktor-faktor penghambat keseimbangan adalah:
 Hanya ada satu produsen di pasar, sehingga memungkinkan terjadinya
monopoli, yaitu produsen dapat mempermainkan harga pasar.
 Adanya kolusi, korupsi, dan nepotisme diantara produsen atau konsumen
yang dapat menghilangkan kompetisi dan persaingan diantara pereka secara
sehat
 Adanya persetujuan, baik formal maupun tidak formal, diantara
produsen yang bertujuan untuk membatasi untuk kompetisi yang diantara
mereka.
 Konsumen tidak mempunyai informasi yang rinci mengenai kualitas dan
indentifikasi lain dari barang-barang yang ditawarkan di pasar sehingga terjadi
kesalahan dalam pembayaran harga dan jumlah barang.
 Campur tangan pemerintah yang berlebihandalam penetapan upah atau
harga di pasar dapat menghalangi mekanisme pasar menuju arah
keseimbangan pasar secara otomatis.

D. Penentuan harga dalam islam


1. Kontroversi Pendapat Ulama Mengenai Penetapan Harga
Sebagian ulama menolak peran negara untuk mencampuri urusan ekonomi, di
antaranya untuk menetapkan harga, sebagian ulama yang lain membenarkan negara
untuk menetapkan harga. Perbedaan pendapat ini berdasarkan pada adanya hadis
yang diriwayatkan oleh Anas sebagaimana berikut: “Orang orang mengatakan,
wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami.?Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan
melapangkan rizki, dan saya sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi
tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezalimanpun
dalam darah dan harta.?(HR. Abu Daud [3451] dan Ibnu Majah [2200]).
Asy-Syaukani menyatakan, hadis ini dan hadis yang senada dijadikan dalil bagi
pengharaman pematokan harga dan bahwa ia (pematokan harga) merupakan suatu
kezaliman (yaitu penguasa memerintahkah para penghuni pasar agar tidak menjual
barang barang mereka kecuali dengan harga yang sekian, kemudian melarang
mereka untuk menambah ataupun mengurangi harga tersebut). Alasannya bahwa
manusia dikuasakan atas harta mereka sedangkan pematokan harga adalah
pemaksaan terhadap mereka. Padahal seorang imam diperintahkan untuk
memelihara kemashalatan umat Islam. Pertimbangannya kepada kepentingan
pembeli dengan menurunkan harga tidak lebih berhak dari pertimbangan kepada
kepentingan penjual dengan pemenuhan harga. Jika kedua persoalan tersebut saling
pertentangan, maka wajib memberikan peluang kepada keduanya untuk berijtihad
bagi diri mereka sedangkan mengharuskan pemilik barang untuk menjual dengan
harga yang tidak disetujukan adalah pertentangan dengan firman Allah.
Menurut Yusuf Qordhawi, letak kelemahan asy–Syaukani dalam memakai dalil ini
adalah: pertama, perkataan, sesungguhnya manusia dikuasakan atas harta mereka,
sedangkan pematokan harga adalah suatu pemaksaan terhadap mereka demikian
secara mutlak, adalah mirip dengan perkataan kaum syu,aib. Yang benar adalah
manusia dikuasakan atas harta mereka dengan syarat tidak membahayakan mereka
dan orang lain, karena tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan
orang lain. kedua bahwa hadis tersebut –seperti disebutkan oleh pengarang kitab
Subulus Salam, ash Shanani berkenan dalam masalah khusus atau tentang kasus
kondisi tertentu dan tidak menggunakan lafadz yang umum. Di antara ketetapan
dalam ilmu ushul fiqh dikatakan bahwa kasus-kasus tertentu yang spesifik tidak ada
keumuman hukum padanya (Qardhawi 1997: 466 467).
Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa ia berpendapat membolehkan bagi seorang
imam untuk mematok harga, namum hadis hadis tentang hal itu menentangkan
(Qardhawi 1997-466. Berdasarkan hadis ini pula, mazhab Hambali dan Syafi’i
menyatakan bahwa negara tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga.
Ibnu Qudhamah al Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari mazhab Hambali
menulis, Imam (pemimpin pemerintah) tidak memiliki wewenang untuk mengatur
harga bagi penduduk, penduduk boleh menjual barang mereka dengan harga
berapapun yang mereka sukai. Pemikir dari mazhab Syafi,i juga memiliki pendapat
yang sama (Islahi, 1997: 111).
Ibnu Qudhamah mengutip hadis di atas dan memberikan dua alasan tidak
memperkenankan mengatur harga. Pertama rasulullah tidak pernah menetapkan
harga meskipun penduduk menginginkan. Bila itu dibolehkan pasti rosulullah akan
melaksanakannya. Kedua menetapkan harga adalah suatu ketidakadilan (zulm) yang
dilarang. Hal ini karena melibatkan hak milik seorang, yang di dalamnya adalah hak
untuk menjual pada harga berapapun, asal ia bersepakat dengan pembelinya (Islahi
1997: 111).
Dari pandangan ekonomis, Ibnu Qudamah menganalisis bahwa penetapan harga
juga mengindasikan pengawasan atas harga tak menguntungkan. Ia berpendapat
bahwa penatapan harga akan mendorong harga menjadi lebih mahal. Sebab jika
pandangan dari luar mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tak
akan mau membawa barang dagangannya ke suatu wilayah di mana ia dipaksa
menjual barang dagangannya di luar harga yang dia inginkan. Para pedagang lokal
yang memiliki barang dagangan, akan menyembunyikan barang dagangan. Para
konsumen yang membutuhkan akan meminta barang barang dagangan dan
membuatkan permintaan mereka tak bisa dipuaskan, karena harganya meningkat.
Harga meningkat dan kedua pihak menderita. Para penjual akan menderita karena
dibatasi dari menjual barang dagangan mereka dan para pembeli menderita karena
keinginan mereka tidak bisa dipenuhi. Inilah alasannya kenapa hal itu dilarang
(Islahi 1997: 111
embawa akibat munculnya tujuan yang saling bertentangan. Harga yang tinggi,
pada umumnya bermula dari situasi meningkatnya permintaan atau menurunnya
suplai. Pengawasan harga hanya akan memperburuk situasi tersebut. Harga yang
lebih rendah akan mendorong permintaan baru atau meningkatkan permintaanya,
dan akan mengecilkan hati para importir untuk mengimpor barang tersebut. Pada
saat yang sama, akan mendorang produksi dalam negeri, mencari pasar luar negeri
(yang tak terawasi) atau menahan produksinya sampai pengawasan harga secara
lokal itu dilarang. Akibatnya akan terjadi kekurangan suplai. Jadi tuan rumah akan
dirugikan akibat kebijakan itu dan perlu membendung berbagai usaha untuk
membuat regulasi harga.
Argumentasi Ibnu Qudamah melawan penetapan harga oleh pemerintah, serupa
dengan para ahli ekonomi modern. Tetapi, sejumlah ahli fiqih Islam mendukung
kebijakan pengaturan harga, walaupun baru dilaksanakan dalam situasi penting dan
manekankan perlunya kebijakan harga yang adil. Mazhab Maliki dan Hanafi,
menganut keyakinan ini.
Ibnu Taimiyah menguji pendapat-pendapat dari keempat mazhab itu, juga pendapat
beberapa ahli fiqih, sebelum memberikan pendapatnya tentang masalah itu.
Menurutnya “kontroversi antar para ulama berkisar dua poin: Pertama, jika terjadi
harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih
tinggi dari pada harga sebenarnya, perbuatan mereka itu menurut mazhab Maliki
harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di bawah harga semestinya,
dua macam pendapat dilaporkan dari dua pihak. Menurut Syafi’i dan penganut
Ahmad bin Hanbal, seperti Abu Hafzal-Akbari, Qadi Abu ya’la dan lainnya, mereka
tetap menentang berbagai campur tangan terhadap keadaan itu (Islahi, 1997: 113).
Kedua, dari perbedaan pendapat antar para ulama adalah penetapan harga
maksimum bagi para penyalur barang dagangan (dalam kondisi normal), ketika
mereka telah memenuhi kewajibannya. Inilah pendapat yang bertentangan dengan
mayoritas para ulama, bahkan oleh Maliki sendiri. Tetapi beberapa ahli, seperti
Sa’id bin Musayyib, Rabiah bin Abdul Rahman dan yahya bin sa’id,
menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa otoritas harus
menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu,
di mana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan olehnya
(Taimiyah, 1983: 49).
Ibnu Taimiyah menafsirkan sabda Rasulullah SAW yang menolak penetapan harga,
meskipun pengikutnya memintanya, “Itu adalah sebuah kasus khusus dan bukan
aturan umum. Itu bukan merupakan merupakan laporan bahwa seseorang tidak
boleh menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau menetapkan harga
melebihi konpensasi yang ekuivalen (Taimiyah, 1983: 114).
Ia membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri menetapkan harga yang adil, jika
terjadi perselisihan antara dua orang. Kondisi pertama, ketika dalam kasus
pembebasan budaknya sendiri, Ia mendekritkan bahwa harga yang adil (qimah al-
adl) dari budak itu harus di pertimbangkan tanpa ada tambahan atau pengurangan
(lawakasa wa la shatata) dan setiap orang harus diberi bagian dan budak itu harus
dibebaskan (lslahi, 1997: 114).
Kondisi kedua, dilaporkan ketika terjadi perselisihan antara dua orang, satu pihak
memiliki pohon, yang sebagian tumbuh di tanah orang lain, pemilik tanah
menemukan adanya bagian pohon yang tumbuh di atas tanahnya, yang dirasa
mengganggunya. Ia mengajukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Beliau
memerintahkan pemilik pohon untuk menjual pohon itu kepada pemilik tanah dan
menerima konpensasi atau ganti rugi yang adil kepadanya. Orang itu ternyata tak
melakukan apaapa. Kemudian Rasulullah SAW membolehkan pemilik tanah untuk
menebang pohon tersebut dan ia memberikan konpensasi harganya kepada pemilik
pohon (Islahi, 1997: 115).
Ibnu Taimiyah menjelasklan bahwa “jika harga itu bisa ditetapkan untuk
memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal itu
ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan, pakaian dan
perumahan, karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting dari pada kebutuhan
seorang individu.?
Salah satu alasan lagi mengapa Rasulullah SAW menolak menetapkan harga
adalah “pada waktu itu, di Madinah, tak ada kelompok yang secara khusus hanya
menyadi pedagang. Para penjual dan pedagang merupakan orang yang sama, satu
sama lain (min jins wahid). Tak seorang pun bisa dipaksa untuk menjual sesuatu.
Karena penjualnya tak bisa diidentifikasi secara khusus. Kepada siapa penetapan itu
akan dipaksakan??(Taimiyah, 1983: 51). Itu sebabnya penetapan harga hanya
mungkin dilakukan jika diketahui secara persis ada kelompok yang melakukan
perdagangan dan bisnis melakukan manipulasi sehingga berakibat menaikkan
harga. Ketiadaan kondisi ini, tak ada alasan yang bisa digunakan untuk menetapkan
harga. Sebab, itu tak bisa dikatakan pada seseorang yang tak berfungsi sebagai
suplaier, sebab tak akan berarti apa-apa atau tak akan adil. Argumentasi terakhir ini
tampaknya lebih realistis untuk dipahami.
Menurut Ibnu Taimiyah, barang barang yang dijual di Madinah sebagian besar
berasal dari impor. Kondisi apapun yang dilakukan terhadap barang itu, akan bisa
menyebabkan timbulnya kekurangan suplai dan memperburuk situasi. Jadi,
Rasulullah SAW menghargai kegiatan impor tadi, dengan mengatakan, “Seseorang
yang mambawa barang yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari, siapapun
yang menghalanginya sangat dilarang.?Faktanya saat itu penduduk madinah tidak
memerlukan penetapan harga. (Islahi, 1997: 116).
Dari keterangan di atas, tampak sekali bahwa penetapan harga hanya dianjurkan
bila para pemegang stok barang atau para perantara di kawasan itu berusaha
menaikkan harga. Jika seluruh kebutuhan menggantungkan dari suplai impor,
dikhawatirkan penetapan harga akan menghentikan kegiatan impor itu. Karena itu,
lebih baik tidak menetapkan harga, tetapi membiarkan penduduk meningkatkan
suplai dari barang-barang dagangan yang dibutuhkan, sehingga menguntungkan
kedua belah pihak.Tak membatasi impor, dapat diharapkan bisa meningkatkan
suplai dan menurunkan harga.

2. Urgensi Penetapan Harga


Ibnu Taimiyah membedakan dua tipe penetapan harga: tak adil dan tak sah, serta adil
dan sah. Penetapan harga yang “tak adil dan tak sah?berlaku atas naiknya harga
akibat kompetisi kekuatan pasar yang bebas, yang mengakibatkan terjadinya
kekurangan suplai atau menaikkan permintaan. Ibnu Taimiyah sering menyebut
beberapa syarat dari kompetisi yang sempurna. Misalnya, ia menyatakan, “Memaksa
penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk
menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang.?Ini
berarti, penduduk memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memasuki atau keluar dari
pasar. Ibnu Taimiyah mendukung pengesampingan elemen monopolistik dari pasar
dan karena itu ia menentang kolusi apapun antara orang-orang profesional atau
kelompok para penjual dan pembeli. Ia menekankan pengetahuan tentang pasar dan
barang dagangan serta transaksi penjualan dan pembelian berdasar persetujuan
bersama dan persetujuan itu memerlukan pengetahuan dan saling pengertian (Islahi,
1997: 117).
Kebersaman (homogenitas) dan standarisasi produk sangat dianjurkan, ketika ia
membahas pemalsuan produk itu, penipuan dan kecurangan dalam
mempresentasikan penjualan itu. Ia memiliki konsepsi sangat jelas tentang kelakuan
baik, pasar yang tertata, di mana pengetahuan kejujuran dan cara permainan yang
jujur serta kebebasan memilih merupakan elemen yang sangat esensial. Tetapi, di
saat darurat, misalnya seperti terjadi bencana kelaparan, ia merekomendasikan
penetapan harga oleh pemerintah dan memaksa penjualan bahan-bahan dagang
pokok seperti makanan sehari-hari. Ia menulis, “Inilah saatnya pemegang otoritas
untuk memaksa seseorang untuk menjual barangbarangnya pada harga yang jujur,
jika penduduk sangat membutuhkannya. Misalnya, ketika ia memiliki kelebihan
bahan makanan dan penduduk menderita kelaparan, pedagang itu akan dipaksa
menjualnya pada tingkat harga yang adil. Menurutnya, pemaksaan untuk menjual
seperti itu tak dibolehkan tanpa alasan yang cukup, tetapi karena alasan seperti di
atas, dibolehkan.?
Dalam penetapan harga, pembedaan harus dibuat antara pedagang lokal yang
memiliki stok barang dengan pemasok luar yang memasukkan barang itu. Tidak
boleh ada penetapan harga atas barang dagangan milik pemasok luar. Tetapi, mereka
bisa diminta untuk menjual, seperti rekanan importir mereka menjual. Pengawasan
atas harga akan berakibat merugikan terhadap pasokan barang-barang impor, di
mana sebenarnya secara lokal tak membutuhkan kontrol atas harga barang karena
akan merugikan para pembeli. Dalam kasus harga barang di masa darurat (bahaya
kelaparan, perang, dan sebagainya), bahkan ahli ekonomi modern pun menerima
kebijakan regulasi harga akan berhasil efektif dan sukses dalam kondisi seperti itu
(Islahi, 1997: 118).

3. Penetapan Harga Pada Ketidaksempurnaan Pasar


Berbeda dengan kondisi musim kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah
merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah ketika terjadi
ketidaksempurnaan memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual (arbab al-sila)
menolak untuk menjual barang dagangan mereka kecuali jika harganya mahal dari
pada harga normal (al-qimah al-ma’rifah) dan pada saat yang sama penduduk sangat
membutuhkan barang-barang tersebut, merekadiharuskan menjualnya pada tingkat
harga yang setara, contoh sangat nyata dari ketidaksempurnaan pasar adalah adanya
monopoli dalam perdagangan makanan dan barang-barang serupa. Dalam kasus
seperti itu, otoritas harus menetapkan harganya (qimah almithl) untuk penjualan dan
pembelian mereka. Pemegang monopoli tak boleh dibiarkan bebas melaksanakan
kekuasaannya, sebaliknya otoritas harus menetapkan harga yang disukainya,
sehingga melawan ketidakadilan terhadap penduduk (Islahi, 1997: 119).
Dalam poin ini, Ibnu Taimiyah menggambarkan prinsip dasar untuk membongkar
ketidakadilan: “Jika penghapusan seluruh ketidakadilan tak mungkin dilakukan,
seseorang wajib mengeliminasinya sejauh ia bisa melakukannya. Itu sebabnya, jika
monopoli tidak dapat di cegah, tak bisa dibiarkan begitu saja merugikan orang lain,
sebab itu regulasi harga tak lagi dianggap cukup.
Di abad pertengahan, umat Islam sangat menentang praktek menimbun barang dan
monopoli, dan mempertimbangkan pelaku monopoli itu sebagai perbuatan dosa.
Meskipun menentang praktek monopoli, Ibnu Taimiyah juga membolehkan pembeli
untuk beli barang dari pelaku monopoli, sebab jika itu dilarang, penduduk akan
semakin menderita, karna itu, ia menasihati pemerintah untuk menetapkan harga. Ia
tak membolehkan para penjual membuat perjanjian untuk menjual barang pada
tingkat harga yang ditetapkan lebih dulu, tidak juga oleh para pembeli, sehingga
mereka membentuk kekuatan untuk menghasilkan harga barang dagangan pada
tingkat yang lebih rendah, kasus serupa disebut monopoli.
Ibnu Taimiyah juga sangat menentang diskriminasi harga untuk melawan pembeli
atau penjual yang tidak tahu harga sebenarnya yang berlaku di pasar. Ia menyatakan,
“Seorang penjual tidak dibolehkan menetapkan harga di atas harga biasanya, harga
yang tidak umum di dalam masyarakat, dari individu yang tidak sadar (mustarsil)
tetapi harus menjualnya pada tingkat harga yang umum (al-qimah al-mu’tadah) atau
mendekatinya. Jika seorang pembeli harus membayar pada tingkat harga yang
berlebihan, ia memiliki hak untuk memperbaiki transaksi bisnisnya. Seseorang tahu,
diskriminasi dengan cara itu bisa dihukum dan dikucilkan haknya memasuki pasar
tersebut. Pendapatnya itu merujuk pada sabda Rasulullah SAW, ”menetapkan harga
terlalu tinggi terhadap orang yang tak sadar (tidak tahu, pen.) adalah riba (ghaban al-
mustarsil riba) (Islahi, 1997: 120).

4. Musyawarah untuk Menetapkan Harga


Patut dicatat, meskipun dalam berbagai kasus dibolehkan mengawasi harga, tapi
dalam seluruh kasus tak disukai keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga.
Mereka boleh melakukannya setelah melalui perundingan, diskusi dan konsultasi
dengan penduduk yang berkepentingan. Dalam hubungannya dengan masalah ini,
Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu
Habib, menurutnya, Imam (kepala pemerintahan), harus menjalankan musyawarah
dengan para tokoh perwakilan dari pasar (wujuh ahl al-suq). Pihak lain juga diterima
hadir dalam musyawarah ini, karena mereka harus juga dimintai keterangannya.
Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang pelaksanaan jual beli,
pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh
peserta musyawarah, juga seluruh penduduk. Jadi, keseluruhannya harus bersepakat
tentang hal itu, harga itu tak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan izin mereka.
Untuk menjelaskan tujuan gagasan membentuk komisi untuk berkonsultasi, ia
mengutip pendapat ahli fikih lainnya, Abu al-Walid, yang menyatakan, “Logika di
balik ketentuan ini adalah untuk mencari –dengan cara itu- kepentingan para penjual
dan para pembeli, dan menetapkan harga harus membawa keuntungan dan kepuasan
orang yang membutuhkan penetapan harga (penjual) dan tidak mengecewakan
penduduk (selaku pembeli). Jika harga itu dipaksakan tanpa persetujuan mereka
(penjual) dan membuat mereka tidak memperoleh keuntungan, penetapan harga
seperti itu berarti korup, mengakibatkan stok bahan kebutuhan sehari-hari akan
menghilang dan barang-barang penduduk menyadi hancur (Islahi, 1997: 121).
Ia menegaskan secara jelas kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang
sewenang-wenang, tak akan memperoleh dukungan secara populer. Misalnya, akan
muncul pasar gelap atau pasar abu-abu atau manipulasi kualitas barang yang dijual
pada tingkat harga yang ditetapkan itu. Ketakutan seperti itu dinyatakan juga oleh
Ibnu Qudamah. Bahaya yang sama, juga banyak dibahas oleh ahli-ahli ekonomi
modern, karena itu disangsikan lagi, bahaya ini harus ditekan, kalau bisa dihilangkan
sama sekali. Harga itu perlu ditetapkan melalui musyawarah bersama dan diciptakan
oleh rasa kewajiban moral serta pengabdian untuk kepentingan umum.

5. Penetapan Harga dalam Faktor Pasar


Ketika para labourers dan owners menolak membelanjakan tenaga, material, modal
dan jasa untuk produksi kecuali dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga
pasar wajar, pemerintah boleh menetapkan harga pada tingkat harga yang adil dan
memaksa mereka untuk menjual faktorfaktor produksinya pada harga wajar
(Jalaluddin, 1991: 103). Ibnu Taimiyah menyatakan, “Jika penduduk membutuhkan
jasa dari pekerja tangan yang ahli dan pengukir, dan mereka menolak tawaran
mereka, atau melakukan sesuatu yang menyebabkan ketidaksempurnaan pasar,
pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penetapan harga itu untuk melindungi
para pemberi kerja dan pekerja dari saling mengeksploitasi satu sama lain.?Apa
yang dinyatakan itu berkaitan dengan tenaga kerja, yang dalam kasus yang sama
bisa dikatakan sebagai salah satu faktor pasar (Islahi, 1997: 122). Islahi (1997: 114)
akhirnya menyimpulkan bahwa:
 Tak seorangpun diperbolehkan menetapkan harga lebih tinggi atau lebih
rendah daripada harga yang ada. Penetapan harga yang lebih tinggi akan
menghasilkan eksploitasi atas kebutuhan penduduk dan penetapan harga yang
lebih rendah akan merugikan penjual.
 Dalam segala kasus, pengawasan atas harga adalah tidak jujur.
 Pengaturan harga selalu diperbolehkan.
 Penetapan harga hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat.

6. Penetapan Harga Dalam Sistem Perekonomian Modern


Secara teoritis, tidak ada perbedaan signifikan antara perekonomian klasik dengan
modern. Teori harga secara mendasar sama, yakni bahwa harga wajar atau harga
keseimbangan diperoleh dari interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran
(suplai) dalam suatu persaingan sempurna, hanya saja dalam perekonomian modern
teori dasar ini berkembang menyadi kompleks karena adanya diversifikasi pelaku
pasar, produk, mekanisme perdagangan, instrumen, maupun perilakunya,yang
mengakibatkan terjadinya distorsi pasar.
Distorsi pasar yang kompleks dalam sistem perekonomian modern melahirkan
persaingan tidak sempurna dalam pasar. Secara sunnatullah memang, apabila
persaingan sempurna berjalan, keseimbangan harga di pasar akan terwujud dengan
sendirinya. Namun sunnatullah pula, bahwa manusia ?dalam hal ini sebagai pelaku
pasar ?tidaklah sempurna. Maka dalam praktek, banyak dijumpai penyimpangan
perilaku yang merusak keseimbangan pasar (moral hazard). Di Indonesia misalnya,
secara rasional, keseimbangan pasar dirusak oleh konlomerasi dan monopoli yang
merugikan masyarakat konsumen, penimbunan BBM maupun beras, dan kasus
terakhir bebas masuknya gula dan beras impor yang dimasukkan oleh pelaku
bermodal besar, sehingga suplai gula di pasar menjadi tinggi dan akhirnya turunlah
harga jualnya di bawah biaya produksinya. Kasus ini jelas merugikan petani tebu
dan pabrik gula lokal. Dalam ekonomi liberal atau bebas, kasus ini sah dan
dibenarkan atas prinsip bahwa barang bebas keluar masuk pasar dan kebebesan bagi
para pelaku pasar untuk menggunakan modalnya. Kasus George Soros misalnya,
adalah sah dalam mekanisme pasar bebas, di mana pemerintah atau negara tidak
berhak melakukan intervensi terhadap pasar.
Kasus-kasus di atas, hanya bisa diselesaikan secara adil apabila negara melakukan
intervensi pasar, misalnya dengan memaksa penimbun untuk menjual barangnya ke
pasar dengan harga wajar, menetapkan harga yang adil sehingga pelaku monopoli
tidak bisa menaikkan harga seenaknya. Para ahli ekonomi modern pun
menganjurkan negara untuk menetapkan harga dalam kasus-kasus tertentu seperti di
atas.
Kenaikan harga yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan pasar dalam suatu
perekonomian modern, terdiri atas beberapa macam berdasarkan pada penyebabnya,
yakni harga monopoli, kenaikan harga sebenarnya, dan kenaikan harga yang
disebabkan oleh kebutuhankebutuhan pokok. Untuk itu, adalah peran pemerintah
untuk melakukan intervensi pasar dalam rangka mengembalikan kesempurnaan
pasar, salah satunya adalah dengan menetapkan harga pada keempat kondisi di atas
(Mannan, 1997: 153 ?158). Dalam rangka melindungi hak pembeli dan penjual,
Islam membolehkan bahkan mewajibkan melakukan intervensi harga.
Ada beberapa faktor yang membolehkan intervensi harga antara lain (Jalaludin,
1991: 99?00):
 Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat yaitu melindungi
penjual dalam hal profit margin sekaligus pembeli dalam hal purchasing power.
 Jika harga tidak ditetapkan ketikapenjual menjual dengan harga tinggi
sehingga merugikan pembeli. Intervensi harga mencegah terjadinya ikhtikar atau
ghaban faa-hisy.
 Intervensi harga melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas
karena pembeli biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan
penjual mewakili kelompok yang lebih kecil. Suatu intervensi harga dianggap
zalim apabila harga maksimum (ceiling price) ditetapkan di bawah harga
keseimbangan yang terjadi melalui makanisme pasar yaitu atas dasar rela sama
rela. Secara paralel dapat dikatakan bahwa harga minimum yang ditetapkan di
atas harga keseimbangan kompetitif adalah zalim (Karim, 2002: 143).
BAB III

KEBIJAKAN FISKAL

2.1 Definisi Kebijakan Fiskal

“Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan


penerimaan pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi.”1Atau dapat juga
dikatakan kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka
mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan
mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Menurut Zaini Ibrahim, “Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan pengaturan kinerja ekonomi melalui mekanisme penerimaan dan
pengeluaran pemerintah”.
Kebijakan fiskal menyangkut pengaturan tentang pengeluaran pemerintah serta
perpajakan yang secara langsung dapat mempengaruhi permintaan total dan dengan
demikian akan mempengaruhi harga. Inflasi dapat dicegah melalui penurunan
permintaan total.Kebijaksanaan fiskal yang berupa pengurangan pengeluaran
pemerintah serta kenaikan pajak akan 1Ani Sri Rahayu, Pengantar Kebijakan
Fiskal, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), Ed. 1, Cet. 2, hal. 1 2 Zaini Ibrahim,
Pengantar Ekonomi Makro, (Lembaga Peneelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat (LP2M) IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten: Banten, 2013), Cet.
1, edisi Revisi, hal. 193 20 dapat mengurangi permintaan total, sehinggga inflasi
dapat ditekan.3
Menurut Rozalinda, “Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah dalam
mengatur setiap pendapatan dan pengeluaran negara yang digunakan untuk menjaga
stabilitas ekonomi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi.”4
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal merupakan
suatu kebijakan pemerintah yang di dalamnya terdapat peraturan yang menyangkut
penerimaan dan pengeluaran pemerintah dalam menjaga kegiatan ekonomi yang
diinginkan atau kondisi yang lebih baik

Adapun instrument dalam kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran


pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.
1. Belanja/pengeluaran negara (G = government expenditure)
2. Perpajakan (T = taxes)
Kebijakan fiskal juga bisa dikatakan salah satu kebijakan ekonomi makro yang
sangat penting dalam rangka:
1. Membantu memperkecil fluktuasi dari siklus usaha
2. Mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang sustainable, kesempatan
kerja yang tinggi
3. Membebaskan dari inflasi yang tinggi atau bergejolak.
Pada dasarnya pemerintah harus menjadi panutan bagi masyarakat.Pemerintah
haruslah berbelanja sesuai dengan 3Noripin, Ekonomi Moneter, Buku II (BPFE-
Yogyakarta: Yogyakarta, 1987), Ed. 1, Cet. 1 4Rozalinda, Ekonomi Islam: (Teori
dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi), (PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta,
2015), Ed. 1, Cet. 2, hal. 137 21 pendapatan.keadaan inilah yang dinamakan dengan
anggaran belanja berimbang. Apabila belanja pemerintah melebihi penerimaan,
sehingga mengharuskan pemerintah meminjam dari masyarakat atau mencetak uang
baru.Tentulah tindakan ini sangat tidak bijak.Zaman sekarang pemerintah
dikebanyakan negara selalu berusaha agar belanjanya dalam keadaan
seimbang.Anggaran belanja pemerintah selalu disesuaikan dengan keadaan
ekonomi pada masa tertentu. Apabila tingkat kegiatan ekonomi rendah dan terdapat
banyak pengangguran, kemiskinan, musibah, dan lain sebagainya, pemerintah akan
belanja yang melebihi pendapatannya. Keadaan inilah yang menimbulkan defisit
anggaran.Akan tetapi, apabila perekonomian baik, kesempatan kerja penuh tercapai,
kenaikan harga seimbang, belanja daerah dapat dihemat, sehingga pemerintah dapat
melakukan saving terhadap pendapatannya.Keadaan inilah yang dinamakan dengan
anggaran belanja surplus.
Perkembangan ekonomi di Banten tiap tahun nya mengalami kenaikan pendapatan.
Namun jika dilihat dari pengeluarannya di tahun 2006 misalnya, pengeluaran
pemerintah melebihi pendapatan yang diterima yang mengakibatkan terjadinya
defisit anggaran hal ini
terjadi karena penyimpangan dalam penggunaan anggaran di beberapa
dinascontohnya dinas pendidikan yang menggunakan dana sebesar Rp. 7.3 Miliar
digunakan untuk makan dan minum dan sebesar Rp. 571 juta digunakan untuk
biaya pakaian,
sedangkan biaya pemeliharaan gedung yang digunakan untuk keperluan 22
masyarakat hanya sebesar Rp.43 juta. Hal ini jelas bahwa para pembuat kebijakan
yang memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan APBD di Banten.
2.2 .Posisi Kebijakan Fiskal Dalam Islam

Dalam Islam, kebijakan fiskal merupakan suatu kewajiban negara dan menjadi
hak rakyat, sehingga kebijakan fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu
kebutuhan untuk perbaikan ekonomi maupun untuk peningkatan kesejahteraan
rakyat saja, akan tetapi lebih pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi
yang adil. Karena hakikat permasalahan ekonomi yang melanda umat manusia
adalah berasal dari bagaimana distribusi harta di tengah- tengah masyarakat
terjadi. Jadi uang publik dipandang sebagai amanah di tangan penguasa dan
harus diarahkan pertama-tama pada lapisan masyarakat yang lemah dan orang-
orang miskin, sehingga tercipta keamanan masyarakat dan kesejahteraan umum.

Dari rekaman historis sejarah Islam awal, ditemukan bahwa para perancang
keuangan dan pembuat kebijakan mencoba memahami masalah-masalah
keuangan yang ada di wilayah taklukan dan menilainya berdasarkan al-Quran
dan sunnah.

Ada beberapa karya fuqaha terdahulu yang membahas mengenai keuangan


publik dan segenap kebijakannya. Satu di antaranya adalah kitab al-Kharajj.
Karya monumental ini dinisbahkan kepada ahli fikih dan sarjana besar Qady
Abu Yusuf. Dengan daya analisis yang tinggi, Abu Yusuf berusaha
menganalisis masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang
harus diasopsi untuk kesejahteraan rakyat. Karya lain yang terkenal adalah al-
Amwal. Dari catatan sejarah sekurang-kurangnya ada enam buku
dengan.16Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, h. 46. Al-Qānūn,
Vol. 11, No. 2, Desember 2008.

Kebijakan fiskal berarti kebijakan untuk mengatur pendapatan dan


pengeluaran Negara dalam rangka menjaga stabilitas dan mendorong
pertumbuhan ekonomi.Instrument kebijakan fiskal adalah penerimaan dan
pengeluaran Pemerintah.Literatur fiskal modern ternyata tidak satupun
membicarakan Masalah etika, terkecuali pada teori distribusi. Itupun sebatas
teori distribusi.

Di Sisi lain, tidak benar mengatakan bahwa konsep ekonomi Islam yang
telah ada Sejak pemerintahan Islam Madinah merupakan konsep siap pakai yang
tinggal Dijadikan alternatif pengganti sistem fiskal modern. Penerimaan begitu
saja dari Konsep klasik fiskal Islam tanpa mereformulasikan dalam konteks
kontemporer Hanya akan memutar waktu ke zaman primitif. Bila hanya
menerima zakat Sebagai tulang punggung fiskal Islam, lalu menolak pajak,
maka hal itu hanya Akan berujung pada konsep fiskal Islam yang utopis. Hal
yang perlu dilakukan Untuk masing-masing sistem fiskal adalah mengambil
kelebihan di masingmasing sistem, lalu mengombinasikannya. Dalam artian,
fiskal modern Menerima gagasan-gagasan etika dan fiskal Islam mengadopsi
gagasan-gagasan Teoritis dan aplikatif fiskal modern

Kebijakan fiskal diartikan sebagai langkah-langkah pemerintah untuk


membuat perubahan-perubahan Dalam sistem pajak atau dalam perbelanjaannya
yang bertujuan mengatasi masalah-masalah ekonomi yang Dihadapi (Sukirno,
2006:184). Kebijakan fiskal mendapat perhatian serius dalam tatanan
perekonomian Islam Sejak awal. Dalam negara Islam, kebijaksanaan fiskal
merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan Syariah. Tujuan tersebut
adalah meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan,
Intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan

2.3 Posisi Kebijakn Fiskal Dalam Islam

Dalam Islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai
tujuan syariah yang menurut imam al-Ghazali termasuk peningkatan
kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas,
kekayaan dan kepemilikan.4 Pada dasarnya kebijakan fiskal telah lama dikenal
dalam teori ekonomi Islam, yaitu sejak

zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, dan kemudian dikembangkan oleh


para ulama.

Ibnu Khaldun (1404) mengajukan obat untuk resesi berupa mengecilkan pajak
dan meningkatkan pengeluaran pemerintah, pemerintah adalah pasar terbesar,
ibu dari semua pasar, dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. 2
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan dari Reformulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 2 3
Muana Nanga,Makro Ekonomi, teori, masalah dan kebijakan,(Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 179-180 4 Mustafa Edwin Nasution, dkk.,

Pengenalan Eksklisif Ekonomi Islam,(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 203 77


Apabila pasar pemerintah mengalami penurunan, wajar apabila pasar yang lain
pun akan ikut menurun, bahkan dalam agregat (keseluruhan) yang lebih besar."
Laffer, penasihat ekonomi Presiden Ronald Reagan, yang menemukan teori
Laffer's Curve, berterus terang bahwa ia mengambil ide Ibnu Khaldun. Selain
itu, Abu Yusuf (798 H) adalah ekonom pertama yang menulis secara khusus
tentang kebijakan ekonomi dalam kitabnya, alKharaj, yang menjelaskan
tanggung jawab ekonomi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Abu Yusuf sangat menentang adanya pajak atas tanah pertanian dan
menyarankan diganti dengan zakat pertanian yang dikaitkan dengan jumlah
hasil panennya. Abu Yusuf membuat rincian bagaimana membiayai
pembangunan jembatan, 22 bendungan, dan irigasi.

2.4. Kebijakan Belanja Ekonomi Islam


Perspektif ekonomi konvensional, Adiwarman Karim menjelaskan Bahwa
dalam struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Terdapat
beberapa instrumen (alat) dan cara yang digunakan untuk Menghimpun dana
guna menjalankan pemerintahan, antara lain:

a. Melakukan bisnis pemerintah dapat melakukan bisnis seperti perusahaan


Lainnya, misalnya dengan mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Seperti halnya
b. perusahaan lain, dari perusahaan negara ini Diharapkan memberikan
keuntungan yang dapat digunakan sebagai salah Satu sumber pendapatan
negara.
c. Pajak penghimpunan dana yang umum dilakukan adalah dengan cara
Menarik pajak dari masyarakat.Pajak dikenakan dalam berbagai bentuk Seperti
pajak pendapatan, pajak penjualan, pajak bumi dan bangunan, dan Lain-lain.
Pajak yang dikenakan kepada masyarakat tidak dibedakan Terhadap bentuk
usahanya sehingga dapat menimbulkan ketidakstabilan.Peminjaman uang
pemerintah dapat meminjam uang dari masyarakat atau Sumber-sumber yang
lainnya dengan syarat harus dikembalikan di Kemudian harinya. Masyarakat
harus mengetahui dan mendapat Informasi yang jelas bahwa di kemudian hari
mereka harus membayar Pajak yang lebih besar untuk membayar utang yang
dipinjam hari ini. Meminjam uang hanya bersifat sementara dan tidak boleh
dilakukan Secara terus-Menerus.

Sementara itu, di antara beberapa kebijakan fiskal di dalam Islam antara lain meliputi:
a. Pendapatan negara
Di antara instrumen kebijakan fiskal yang termasuk kedalam kebijakan
anggaran pendapatan negara antara lain :
1) ZISWA
Zakat menurut istilah agama Islam adalah kadar harta yang tertentu yang
diberikan kepada orang yang berhak menerimanya, dengan beberapa syarat.
Zakat merupakan sedekah wajib bagi seorang muslim yang dikumpulkan
kepada amil zakat yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Zakat sebagai
salah satu pendapatan negara Islam yang digunakan sebagai pemerataan,
walaupun hasil zakat tergolong kecil dibandingkan dengan pajak, tetapi
zakat cukup membantu dalam perekonomian karena akan membantu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Zakat membantu mendekatkan hubungan antara si kaya dan si Miskin dan
menghindari kesenjangan yang terjadi antara keduanya Ataupun golongan
golongan lain yang membutuhkan. Tujuan zakat Dipandang dari sudut
pandang ekonomi pasar adalah menciptakan Distribusi pendapatan yang
lebih merata.Infaq menjadi salah satu Pendapatan negara sebagai suatu
pemerataan terhadap distribusi Pendapatan, namun
infaq bukanlah sebuah kewajiban, namun merupakan sebuah anjuran,
semenetara itu, sedekah adalah salah satu Komponen penting dalam metode
penanggulangan kesejahteraan Rakyat.Sedekah ialah segala pemberian yang
dengan kita Mengharapkan pahala dari Allah SWT. Pemberian yag
dimaksud Dapat diartikan secara luas, baik itu pemberian yang berupa harta
Maupun pemberian yang berupa perbuatan atau sikap baik.
Wakaf adalah suatu distribusi kekayaan kepada suatu instansi Atau lembaga
untuk keperluan bersama dan tidak dimiliki secara Pribadi. Selain untuk
tujuan distribusi, maka analisis kebijakan fiskal Dalam sistem ekonomi
pasar dilakukan untuk melihat bagaimana Dampak dari zakat terhadap
kegiatan alokasi sumber daya ekonomi Dan stabilitas kegiatan ekonomi.
2) Ghanīmah
Ghanīmah adalah harta hasil rampasan perang yang berasal dari Hasil
memerangi orang kafir atau yang memusuhi Islam.
secara khusus, distribusi ghaimah sudah diatur dalam QS : Al- Anfāl :
Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul,
Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika
kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada
hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan Yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dalam konteks
perekonomian modern, ghanimah juga bisa berasal dari barang sitaan
pemerintah akibat dari pelanggaran hukum, 9 Muhammad Saddam,
Ekonomi Islam: Sitem Ekonomi Menurut Islam, (Jakarta: Taramedia, 2003),
hlm. 18 80 barang temuan dan barang tambang. Dalam istilah lain
Ghanimah dikenal dengan khums10
3) Jizyah
Jizyah adalah pajak perlindungan dari negara muslim terhadap Warganya
yang non muslim yang mampu. Perlindungan yang Dimaksud baik dalam
maupun gangguan-gangguan dari pihak luar. Dan ini sejalan secara adil
dengan penduduk Muslim sendiri, yang Telah dibebani beberapa instrumen
biaya yang harus
dikeluarkan ke Negara, seperti zakat. Selain itu, pemerintah juga harus
memenuhi Kebutuhan pendidikan maupun kesehatan non muslim tersebut.
4) Kharraj
Kharâj merupakan pajak khusus yang diberlakukan negara atas Tanah-tanah
yang produktif yang dimiliki rakyat. Pada era awal Islam, Kharâj sebagai
pajak tanah dipungut dari non-Muslim ketika Khaybar Ditaklukkan.
Tanahnya diambil alih oleh orang Muslim dan pemilik Menawarkan untuk
mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa Tanah dan bersedia
memberikan sebagian hasil produksi kepada Negara. Jumlah dari kharâj
bersifat tetap, yaitu setengah dari hasil Produksi. Kharraj merupakan
kebijakan pertama yang dikeluarkan Oleh Rasulullah saw. Di Indonesia,
kharraj sama dengan PBB. Perbedaan yang paling mendasar antara sistem
pkharraj dengan PBB Adalah bahwa kharraj ditentukan berdasarkan tingkat
produktivitas Dari tanah, bukan zoning. Hal ini berarti tanah yang
bersebalahan Dengan jenis tanaman atau produktivitas yang berbeda maka
akan Terjadi perbedaan juga dalam jumlah pajaknya. Kharraj dibayarkan
Oleh seluruh anggota masyarakat, baik muslim maupun non-muslim.
5) ‘Ushur
Ushur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang Niaga yang
masuk ke Negara Islam (impor). Menurut Umar bin Khattab, ketentuan ini
berlaku sepanjang ekspor Negara Islam kepada Negara yang sama juga
dikenakan pajak ini. Di indonesia, istilah ini Lebih dikenal dengan cukai.
6) Pendapatan lain
Pendapatan lain dapat berupa kaffarat (denda) atau juga orang Yang
meninggal yang tidak mempunyai pewaris.
b. Pengeluaran Negara
Secara umum, pengeluaran negara di dalam islam dibagi menjadi :
1. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin. Kebijakan
Belanja rutin pemerintah harus sesuai dengan azas maslahat umum, Tidak boleh
dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang terlebih pada Kepentingan pribadi.
2. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber
Dananya tersedia.
3. Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh
Masyarakat beserta pendanaannya. Seperti pembangunan jalan, Jembatan,
lembaga pendidikan dan lain sebagainya.
c. utang Negara
Setiap perubahan mengenai pendaptan ataupun penerimaan negara Memberikan
dampak terhadap anggatan pemerintah, selayaknya Anggaran pemerintah
disesuaikan dengan kemampuan negara.Ketika terjadi defisit anggaran maka
akan berusaha untuk memenuhi Defisit atau kekurangan tersebut. Untuk
menutupi kekurangan tersebut, cara yang paling umum digunakan adalah
meningkatkan pendapatan melalui pajak ataupun dengan meminjam dana
(utang).Utang negara dapat berasal dari dalam negri maupun luar negeri. Utang
saat ini tidak lagi sebagai pemenuh anggaran, tetapi sebagai instrumen
kebijakan fiskal guna menstimulasi perekonomian suatu negara.
a)Sukuk
Sukuk berdasarkan Fatwa Dewan Syariah (DSN) Nomor 32/DSN-MUI/IX/2002
menjelaskan, yang dimaksud dengan obligasi syariah adalah sebuah surat
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh
emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
b) Pinjaman dalam negeri
Pinjaman dalam negeri bisa berasal dari pinjaman kepada bank sentral
maupun bank lain  didalam negeri.
c) Pinjaman luar negeri
Pinjaman luar negeri bisa berasal dari pinjaman kepada bank dunia mapun
negara negara lain yang bersedia memberi piutang.Seperti yang pernah
dilakukan Indonesia untuk menanggulangi krisis pada tahun 1998 dengan
meminjam kepada IMF (International Monetery Found).

2.1 Kebijakan Islam Pada Masa Modern


1. Proses Modernisasi Ekonomi Islam Dewasa ini terdapat anggapan
bahwa Islam menghambat kemajuan.
Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai faktor penghambat pembangunan
(an abstacle to economic growth). Pemandangan ini berasal dari pemikiran
Barat. Meskipun demikian, tidak sedikit intelektual yang juga menyakininya.

Kesimpulan yang agak tergesa-gesa ini hampir dapat dipastikan timbul


karena kesalah-pahaman terhadap Islam. Seolah-olah Islam merupakan agama
yang hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem yang
komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk maslah
pembangunan ekonomi serta industry 17 Muhammad Antonio, Op Cit. 76
JURNAL AL-IJTIMAIYYAH/VOL.4, NO.2, JULI – DESEMBER 2017
perbankan sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian. Dan kini
telah diaplikasikan secara modern.

Sisi-sisi modernisasi ekonomi Islam dewasa ini terlihat jelas mencuat dalam
pandangan para ekonomi muslim terhadap riba. Sekalipun Ijma’ ulama telah
memutuskan baik riba nasiah maupun riba Fadhil hukumnya adalah haram 18,
namun ekonomi muslim melihat bahwa riba fadhal tidak bisa diharamkan
karena riba fahdal adalah sama dengan “interest” dan “usery”
(jasa/kemantangan).

Dalam sitem ekonomi modern dikenal adalah “interest”, kedua sistem keuangan
ini adalah para ulama menyamakan dengan riba yang dikenal pengharamannya
dalam

Islam, dengan demikian, karena riba diharapkan, maka haram pulalah, terhadap
interest dan usury, sedangkan simple interest adalah tidak termasuk dalam
katagori riba. Lebih lanjut, Muhammad Kamal Azhar19, menjelaskan bahwa
interest yang diambil dari pinjaman produktif bukanlah riba, tapi merupakan
keuntungan, sedangkan interest yang yang diambil dari pinjaman komsumtif,
tidak kecuali berapapun jumlahnya adalah termasuk dalam kategori riba.

Golongan reformist pada kurun 18 Masehi, berpendapat bahwa pemberi


pinjaman

berhak menerima pengembalian uangnya yang dipinjmkan. Sejumlah uang


pinjaman dan kelebihan pengembalian yang diperoleh, tidak termasuk dalam
kategori usury akan tetapi dianggap sebagai faedah, karena harga atau premei
yang dibebankan kepada nilai uang sekarang untuk dibawa pada masa akan
datang, sementara dikatakan usury, sekiranya pengembilan kadar faedah yang
berlebihan atas pinjaman.

Ada sebagian, dari golongan ilmuan Islam berpendapat bahwa Islam melarang
ummatnya memakan usury dan tidak dilarang mengambil faedah, karena faedah
yang diterima melalui pinjaman yang dikeluarkan untuk kepentingan produktif
tidak bertentangan dengan Al- 18 Syed Nawab Haidar. 19 Muhammad Kamal
Azhar, Bank Islam Teori dan Praktis, Fajar, K. Lumpur, hal. 57. 20 Sudin
Harun, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, Bangi, K. Lumpur, 1996,hal. 189.
JURNAL AL-IJTIMAIYYAH/VOL.4, NO.2, JULI – DESEMBER 2017 77
Qur’an, sebab riba yang dimaksudkan Al-Qur’an adalah faedah terhadap
pinjaman konsumtif. Jadi pada riba fadhal yang bila diqiaskan sama dengan
“Usury” tampaknya bisa dipraktekkan Islam sekarang ini karena bila tidak, bank
dan investor akan merugi.

Banyak terjadi transaksi ekonomi dalam masyarakat, khususnya dalam kasus


hutang-piutang, terjadi adanya pihak-pihak yang dirugikan dan diuntungkan,
akibat perubahan nilai ,ata uang. Sebenarnya yang dikehendaki adalah
“keadilan” dan “keseimbangan” antara pihak kreditur (yang member hutang)
dengan debitur (yang berhutang) dari jumlah uang yang diambil dengan jumlah
nilai uang yang dikembalikan. Keadaan ini adalah ahli ekonomi merasa adanya
kekhawatiran akibat menurun dan meningginya nilai mata uang pada suatu
waktu akan datang dibandingkan dengan nilai uang sekaramg. Sehingga mereka
mencari upaya penanggulangannya, salah satunya dengan konsep Net Present
Value (NPV).

Konsep NPV ini mula-mula muncul dikalangan ahli moniter, sehingga


upaya penanggulangan terhadap kemungkinan adanya pihakpihak yang
dirugikan dalam soal hutang piutang merupakan usaha yang positif dalam
sistem ekonomi modern. Lebih lanjut mereka mencoba menyusun rumus-rumus
tertentu yang dapat memberikan jaminan

terhadap keutuhan nilai mata uang baik karena pengaruh inflasi dan defaluasi
yang terjadi secara berjangka dalam masa tertentu.

NPV menurut ahli moniter, suatu upaya untuk menjaga nilai waktu dari
uang (time value of money). Memang tidak dapat dipungkiri, hukum alam
membuktikan bahwa nilai uang tetap berubah mengikuti masa, artinya sejumlah
uang sekarang tidak sama dari segi nilainya dibandingkan dengan nilai uang
tertentu dalam satu tahun akan datang dan demikian juga tetap berubah untuk
tahun-tahun selanjutnya. Tingkat 21 Saiful Bahri Sutar, Finansial Management,
Penerbit Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur, 1995, hal. 170. 78
JURNAL AL-IJTIMAIYYAH/VOL.4, NO.2, JULI – DESEMBER 2017
perubahan nilai mata uang sangat tergantung pada jumlah suku bunga tertentu
pada setiap tahunnya.

2. Aplikasi Sistem Ekonomi Islam Modern Para Bank Syariah


Sistem ekonomi Islam modern (baru) telah diaplikasikan Bank Syariah
Mandiri dengan sangat memperhatikan kepentingan nasabah dan
masyarakatnya. Prinsip syari’ah merupakan landasan pokok dan falsafah dasar
pengoperasian Bank Syari’ah. Dalam penerapannya di lapangan, Bank Syariah
memasarkan produk-produk kepada segenap lapisan masyarakat tanpa
membedakan agama, resa dan kebangsaan.
Adapun produk-produk yang ditawarkan Bank Syariah kepada nasabah
terbagi dalam dua kelompok yaitu : Produk penghimpunan dana dan produk
pembiayaan.
Adapun sistis laba/ keuntungan antara perbankan syari’ah dengan perbankan
konvensional jauh berbeda, baik dari segi konsepnya maupun mekanisme
perolehannya. Dalam perbankan syari’ah tidak mengenal bunga tapi menganut
sistem bagi hasil menurut selayaknya dalam suatu aqad.
Adapun faktor penentu dalam mempergunakan keuntungan pada perbankan
syari’ah adalah ra’sul (modal), baik modal itu berasal dari nasabah ataupun
berasal dari investor.
Jadi bila diperhatikan, aplikasi sistem ekonomi Islam pada perbankan
syari’ah mandiri adalah bentuk baru (modern).

Dimana produk-produknya sudah dikemas secara profesional dan dilayani


dengan alat-alat modern, yang mana pada zaman dahulu tidak pernah dikenal
dan dilihat. Namun saying, alat-alat canggih itu bukanlah buatab/ciptaan murni
orang Islam.
3. Modernisasi Murabahah

Menurut para fuqaha Murabahah adalah : menjual barang dagangan dengan


harga dasar yang jelas dan keuntungannya yang jelas pula bagi kedua belah
pihak.

Jadi dari teori diatas dapat dipahami bahwa murabahah itu suatu transaksi jual
beli antara pedagang dan pembeli secara kontan/cash terhadap suatu barang,
dimana pembeli mengetahui persis berupa modal dan keuntungan pengusaha/
pedagang dalam jual beli barang itu.

Setelah peneliti telusuri data dan terapan sistem murabahah pada Bank Syariah
Mandiri, maka menemukan suatu teori baru (modern) tentang murabahah antara
lain

Murabahah adalah pembelian barang dengan pembayaran di tangguhkan (1


bulan, 2 bulan, 1 tahun dan sebagainya), menurut kesepakatan antara pihak
perbankan dengan peminjam dana itu. Pembiayaan murabahah mirip dengan
kredit modal kerja yang biasa diberikan oleh bank-bank konvensional.

Jadi bank membiayai pembelian produk antara barang yang dibutuhkan nasabah
dengan cara membeli barang itu dari pemasok barang. Setelah itu pihak
perbsnksn menjual barang tersebut kepada nasabah dengan menambahkan suatu
profit/ keuntungan lalu atas dasar suatu kesepakatan dan suatu kerelaan,
ditetapkan harga yang harus dibayar nasabah secara bertahap baik satu bulan,
satu tahun dan sebagainya.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa murabahah yang konsep awalnya
berupa transaksi jual beli dalam bentuk tunai/cash, kini telah diaplikasikan
dalam bentuk kredit. Pengeseran dari bentuk cash/tunai ke bentuk kredit/utang,
ini merupakan mutu bentuk baru (modern). Namun substansi murabahah tetap
terjaga, dimana tetap pada 22 Dr. Ali Abdar Rasul, Op. Cit. 23 Perwata
Atmadja, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dhana Bakti Wakaf, Yogyakarta,
1992, hal. 25. 80 JURNAL AL-IJTIMAIYYAH/VOL.4, NO.2, JULI –
DESEMBER 2017 suatu bentuk jual beli terhadap suatu barang atas dasar
kerelaan antara nasabah dengan perbankan. Modernisasi yang ditunjukkan
perbankan syari’ah ini, tampaknya cukup moderat dan bisa diterima (rasional)
diera/zaman modrrn sekarang ini
BAB IV
KONSUMEN DALAM EKONOMI KONVENSIONAL

A. Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Konvensional


Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, bahwa
ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu
maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya
yang terbatas guna memenuhi kebutuhan (yang pada dasarnya tidak terbatas) akan
barang dan jasa. Kelangkaan akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan
(keinginan) seseorang atau masyarakat ternyata lebih besar daripada tersedianya
barang dan jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila tidak cukup barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.
Ilmu ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara kebutuhan dan
keinginan. Karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi,
yakni kelangkaan. Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali tampaknya telah
membedakan dengan jelas antara keinginan (ragh bah dan syahwat) dan kebutuhan
(hajat), sesuatu yang tampaknya agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang amat
besar dalam ilmu ekonomi. Dari pemilahan antara keinginan (wants) dan kebutuhan
(needs), akan sangat terlihat betapa bedanya ilmu ekonomi Islam dengan ilmu
ekonomi konvensional.
Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk
mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam
hal kebutuhan akan makanan dan pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk
menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk
menolak panas dan dingin. Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara
keinginan (syahwat) dan kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum antara
homo economicus dan homo Islamicus. Namun manusia harus mengetahui bahwa
tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya
mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik manusia tetap
sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang
beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang
melandasi teori permintaan Islami dan konvensional. Islam selalu mengaitkan
kegiatan memenuhi kebutuhan dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala
manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak
berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja.

B. Kebutuhan dan Keinginan Manusia


Kebutuhan adalah suatu keperluan yang timbul dari suatu hal yang esensial bagi
individu untuk hidup atau hal yang sangat penting yang mendesak dan biasanya
bersifat memaksa. Kebutuhan berkaitan dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi
agar suatu barang berfungsi secara sempurna atau kebutuhan utama. Contohnya:
makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sedangkan keinginan ialah berkaitan dengan
hasrat atau harapan seseorang yang jika dipenuhi belum tentu akan meningkatkan
kesempurnaan fungsi manusia ataupun suatu barang tetapi hanya dapat memuaskan.
Contohnya: perhiasan, alat elektronik dan lain sebagainya.
1. Karakteristik Kebutuhan
a) Kebutuhan pada dasarnya universal: Biasanya, kebutuhan umum bagi
semua orang, seperti setiap orang membutuhkan makanan, air, udara, dll.
b) Kebutuhan mungkin dirangsang oleh faktor eksternal atau internal:
Faktor eksternal seperti perubahan iklim dan faktor internal seperti kecacatan
mungkin merangsang kebutuhan baru dalam diri seseorang.
c) Terkadang tergantung prioritas: Kebutuhan bekerja dalam hierarki.
Kebutuhan tingkat yang lebih tinggi hanya mengikuti setelah tingkat yang lebih
rendah dan kebutuhan yang lebih penting terpenuhi.
d) Kebutuhan saling terkait: Setiap kebutuhan yang terpenuhi
memunculkan kebutuhan baru sampai individu mencapai tingkat aktualisasi diri.

2. Karakteristik Keinginan
a) Keinginan tidak terbatas: Keinginan muncul dari pengalaman dan
pilihan yang tersedia. Karenanya, mereka bisa tidak terbatas.
b) Mereka muncul dari kebutuhan: Keinginan biasanya berasal dari
kebutuhan dasar. Misalnya, keinginan untuk membeli merek sepatu muncul dari
kebutuhan untuk memiliki sepatu.
c) Ingin bersaing satu sama lain: Tidak seperti kebutuhan, keinginan tidak
berfungsi dalam hierarki. Mereka bersaing satu sama lain untuk memperebutkan
sumber daya individu yang terbatas.
d) Keinginan tidak universal: Setiap individu mungkin memiliki keinginan
yang berbeda tergantung pada pengalaman mereka, pilihan yang tersedia, dan
faktor lainnya.

Kebutuhan Keinginan

Makna Kebutuhan adalah Keinginan adalah persyaratan


persyaratan yang perlu yang timbul dari keinginan
dipenuhi agar ada atau yang tidak diperlukan untuk
berkembang bertahan hidup atau
berkembang.

Pada Terbatas Tidak terbatas


dasarnya

Mewakili Keharusan Hasrat, aspirasi atau motivasi

Fleksibilita Mungkin tetap konstandari Dapat berubah seiring waktu


s waktu ke waktu

Jika tidak Dapat mengakibatkan Dapat mengakibatkan


terpenuhi peristiwa ekstrem seperti kesedihan, penyesalan atau
penyakit, kematian atau kekecewaan
kepunahan

Islam mementingkan keseimbangan kebutuhan fisik dan non fisik yang didasarkan
atas nilai-nilai dasar syariah yang minimal memiliki 3 unsur, yaitu:
1. Kepatuhan Syariah (halal)
2. Bermanfaat
3. Membawa kebaikan dalam semua aspek
Pada dasarnya islam memang tidak memperbolehkan hidup bermewah-mewahan
bagi setiap muslim. Kesederhanaan hidup adalah prinsip islam umum yang tidak
boleh hilang dari ingatan dalam memilih suatu gaya hidup. Dalam kegiatan
konsumsi, kita mengasumsikan bahwa konsumsi cenderung untuk memilih barang
dan jasa yang memberikan maslahah maksimum.
Kebutuhan dan keinginan berbeda antara sistem ekonomi konvensional dan islam.
Kebutuhan itu berasal dari fitrah manusia, bersifat objektif, serta, mendatangkan
manfaat dan kemslahatan disampping kepuasan. Sementara itu keinginan berasal
dari hasrat manusia yang bersifat subjektif. Bila keinginan terpenuhi, hasil yang
diperoleh adalah dalam bentuk kepuasan atau manfaat psikis disamping manfaat
lainnya

C. Maslahah dan Utility


Dalam menjelaskan konsumsi, kita mengansumsikan bahwa konsumen cinderung
memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai
dengan rasionalitas islami bahwa setiap prilaku ekonomi selalu ingin meningkatkan
maslahah yang diperolehnya.
Maslahah terdiri dari manfaat dan berkah. Demikian pula dalam prilaku konsumsi,
seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasil kan
dari kegiatan konsumsinya. Konsumen merasakan adanya manfaat suatu kegiatan
konsumsi ketika ia mendapatan pemenuhan kebutuhan fisik fatau psikis atau
material.
Kujuan konsumsi seorang muslim bukanlah mencari utility, melainkan mencari
maslahah. Konsepsi utility atau kepuasan sangat berbeda dengan konsep masalahah
atau kemanfaatan yang menjadi tujuan dalam konsumsi yang islami. Konsep utility
bersifat sangat subyektif karena bertolak dari pemenuhanyang memang bersifat
subyektif sementara itu, konsep maslahah relative lebih obyektif karena bertolak
dari pemenuhan need yang memang relative lebih obyektif dibanding want.
Menurut Nur Rianto & Euis Amalia (2010: 98) ada beberapa keunggulan konsep
maslahah yaitu:
1. Maslahah subjektif dalam arti bahwa justifikasi terbaik terhadap
kebutuhan barang/jasa ditentukan berdasarkan kemaslahatan bagi dirinya.
Maslahah tidak menapikan subjektifitas seperti halnya utility. Sebagai contoh
apakah alkohol memiliki utility atau tidak ditentukan secara berbeda
berdasarkan kriteria yang berbeda-beda. Mungkin bagi seorang pecandu
alkohol, utility yang dimilikinya sangat tinggi karena bisa membantu
menghilangkan permasalahan yang dimiliki atau bisa sebagai teman penghilang
dingin. Namun bagi orang yang lain, minuman beralkohol hanya minuman yang
dapat menyebabkan kemudharatan.
Terdapat banyak sekali kriteria yang menjadi dasar bagi seseorang untuk
menentukan apakah segala sesuatu itu dimiliki utility atau tidak. Hal ini tidak
terdapat dalam konsep maslahah, kriteria jelas/pasti bagi setiap orang dan
keputusan ditentukan atas dasar kriteria ini. Kekayaan dalam perspektif
maslahah berbeda dari konsep utility dapat meningkatkan prediksi dan validitas
kebijakan ekonomi karena kriteria yang ada bagi setiap orang dalam membuat
keputusan telah diketahui.
2. Maslahah bagi setiap individu selalu konsisten dengan maslahah sosial,
berbeda utility pada seseorang sering konflik dengan kepentingan sosial. Hal ini
juga karena tidak adanya kriteria yang jelas dalam menentukan utility.
3. Konsep maslahah menaungi seluruh aktivitas ekonomi masyarakat,
karenanya hal ini adalah tujuan konsumsi sebagaimana dalam produksi dan
transaksi; bebeda dari teori konvensional dimana utility adalah tujuan konsumsi
dan laba (profit) adalah tujuan produksi. Konsep maslahah juga merupakan
tujuan aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh individu maupun negara.
4. Sulit membandingkan utility seorang A dengan seorang B dalam
mengkonsumsi barang yang sama dan dalam kualitas yang sama, misalnya apel.
Dengan kata lain seberapa banyak kepuasan yang diperoleh A maupun B dari
suatu konsumsi tidak dapat dijelaskan. Membandingkan maslahah dalam
beberapa hal mungkin dapat dilakukan, bahkan pada tingkatan atau level
maslahah yang berbeda.
D. Perilaku Konsumen dalam Islam
Dalam Islam, perilaku seorang konsumen harus mencerminkan hubungan dirinya
dengan Allah SWT. Setiap pergerakan dirinya, yang berbentuk belanja sehari-hari,
tidak lain adalah manifestasi zikir dirinya atas nama Allah. Dengan demikian, dia
lebih memilih jalan yang dibatasi Allah dengan tidak memilih barang haram, tidak
kikir, dan tidak tamak supaya hidupnya selamat baik di dunia maupun akhirat.
(Muhammad Muflih, 2006:4)
Islam juga mengatur seluruh perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, konsumsi merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Islam telah mengatur jalan hidup manusia lewat Al-Qur’an dan Hadits
supaya manusia dijauhkan dari sifat yang hina karena perilaku konsumsinya.
Islam mengajarkan kepada konsumen untuk memakai dasar yang benar agar
mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Konsumsi yag berlebih-lebihan
merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam
dan disebut dengan israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta
tanpa guna). (Nur Rianto Al Arif, 2010:86)
Allah berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 31:

٣١ َ‫ُوا َواَل تُ ۡس ِرفُ ٓو ۚ ْا ِإنَّ ۥهُ اَل يُ ِحبُّ ۡٱل ُم ۡس ِرفِين‬ ۡ ‫وا َو‬
ْ ‫ٱش َرب‬ ْ ُ‫وا ِزينَتَ ُكمۡ ِعن َد ُك ِّل َم ۡس ِج ٖد َو ُكل‬
ْ ‫۞ ٰيَبَنِ ٓي َءا َد َم ُخ ُذ‬

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap


(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan.”

Dalam ayat di atas Al-Qur’an merekomendasikan kepada kaum muslim agar


bertindak dan bersikap sederhana bukan saja dalam hal makanan dan minuman,
malah lebih jauh keseluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini Quraish Shihab
menjelaskan dalam tafsir al-Misbah, bahwa yang haram itu ada dua macam yaitu
haram karena zatnya, seperti babi, bangkai dan darah, dan yang haram karena
sesuatu yang bukan dari zatnya, seperti makanan yang tidak diizinkan oleh
pemiliknya untuk dimakan atau digunakan, merugikan diri sendiri dan orang lain
dan dampak negatif lainnya. Jenis yang halal adalah yang bukan termasuk dalam
dua hal ini. (Muhammad Muflih, 2006:14)

Perilaku konsumen muslim berbeda dengan perilaku konsumen nonmuslim, karena:


1. Fungsi objektif konsumen muslim berbeda dari konsumen yang lain,
karena konsumen muslim dalam konsumsinya juga mengharapkan ridha Allah
SWT, sehingga akan terdapat unsur pengeluaran di jalan Allah dalam fungsi
konsumsinya.
2. Vektor komoditas dari konsumen muslim adalah berbeda dari pada
konsumen nonmuslim, meskipun semua elemen dari barang dan jasa tersedia.
Karena Islam melarang seorang muslim mengkonsumsi beberapa komoditas.
3. Seorang muslim dilarang untuk membayar atau menerima bunga dari
pinjaman dalam bentuk apapun.
4. Bagi seorang konsumen muslim, anggaran yang dapat digunakan untuk
optimisasi konsumsi adalah pendapatan bersih setelah pembayaran zakat.
5. Konsumen muslim harus menahan diri dari konsumsi yang berlebihan.

Dalam Islam terdapat beberapa etika yang harus ditaati oleh tiap konsumen muslim
dalam aktifitas konsumsinya agar aktifitas konsumsi yang dilakukan tidak
merugikan. Berikut etika konsumsi dalam Islam (Nur Rianto, 2010:86)

1. Tauhid (Kesatuan)
Dalam perspektif Islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah
kepada Allah SWT, sehingga senantiasa berada dalam hukum Allah. Karena itu,
orang mukmin berusaha mencari kenikmatan dengan menaati perintah-Nya dan
memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah yang dicipta
Allah untuk umat manusia. Allah SWT berfirman dalam QS. Adz-Dzariyaat: 56:
َ ‫ت ۡٱل ِج َّن َوٱِإۡل‬
٥٦ ‫نس ِإاَّل لِيَ ۡعبُدُو ِ©ن‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ۡق‬
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

2. Adil (Keaadilan)
Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati berbagai karunia kehidupan
dunia yang disediakan Allah SWT. Pemanfaatan atas karunia Allah tersebut
harus dilakukan secara adil sesuai dengan syariah, sehingga di samping
mendapatkan keuntungan materiil, ia juga sekaligus merasakan kepuasan
spiritual. Al-Qur’an secara tegas menekankan norma perilaku ini baik untuk hal-
hal yang bersifat materiil maupun spiritual untuk menjamin adanya kehidupan
yang berimbang antara kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karenanya, dalam
Islam konsumsi tidak hanya barang-barang yang bersifat duniawi semata,
namun juga untuk kepentingan dijalan Allah (fisabilillah). Allah SWT
berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 168:
١٦٨ ‫ين‬ٌ ِ‫ ّو ُّمب‬ٞ ‫ت ٱل َّش ۡي ٰطَ ۚ ِن ِإنَّهۥُ لَ ُكمۡ َع ُد‬ َ ‫ض َح ٰلَاٗل‬
ْ ‫طيِّبٗ ا َواَل تَتَّبِع‬
ِ ‫ُوا ُخطُ ٰ َو‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّاسُ ُكل‬
ِ ‫وا ِم َّما فِي ٱَأۡل ۡر‬
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.”

3. Kehendak Bebas
Manusia diberi kekuasaan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-
banyaknya sesuai dengan kemampuannya atas barang-barang ciptaan Allah.
Atas segala karunia yang diberikan oleh Allah, manusia dapat berkehendak
bebas, namun kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha
dan qadar yang merupakan hukum sebab akibat yang didasarkan pada
pengetahuan dan kehendak Allah. Sehingga kebebasan dalam melakukan
aktifitas haruslah tetap memiliki batasan agar jangan sampai menzalimi pihak
lain. Hal inilah yang tidak terdapat dalam ekonomi konvensional, sehingga yang
terjadi kebebasan yang dapat mengakibatkan pihak lain menjadi menderita.

4. Amanah (Pertanggung Jawaban)


Dalam hal melakukan konsumsi, manusia dapat berkehendak bebas tetapi akan
mempertanggungjawabkan atas kebebasantersebut baik terhadap keseimbangan
alam, masyarakat, diri sendiri maupun di akhirat kelak. Pertanggungjawaban
sebagai seorang muslim bukan hanya kepada Allah SWT namun juga kepada
lingkungan.

5. Halal
Dalam Islam, barang-barang yang dapat dikonsumsi hanyalah barang-barang
yang menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian, keindahan, serta akan
menimbulkan kemaslahatan untuk umat baik secara materiil maupun spiritual.
Sebaliknya, benda-benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak bernilai, tidak
dapat digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi
dalam Islam serta dapat menimbulkan kemudaratan apabila dikonsumsi akan
dilarang.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah:173:
‫©اد فَٓاَل ِإ ۡث َم َعلَ ۡي© ۚ ِه‬ ُ ۡ ‫ير َو َمٓا ُأ ِه َّل بِ ِهۦ لِغ َۡي ِر ٱهَّلل ۖ ِ فَ َم ِن‬
ٖ َ‫ٱضط َّر غ َۡي َر ب‬
ٖ ©‫اغ َواَل َع‬ ۡ ۡ
ِ ‫ِإنَّ َما َح َّر َم َعلَ ۡي ُك ُم ٱل َم ۡيتَةَ َوٱل َّد َم َولَ ۡح َم ٱل ِخ‬
ِ ‫نز‬
١٧٣ ‫ور َّر ِحي ٌم‬ ٞ ُ‫ِإ َّن ٱهَّلل َ َغف‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

6. Sederhana
Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas (israf), termasuk
pemborosan dan berlebih-lebihan (bermewah-mewah), yaitu membuang-buang
harta dan menghambur-hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan hanya
mempertaruhkan nafsu semata. Allah akan sangat mengecam setiap perbuatan
yang melampaui batas.
Allah SWT berfirman dalam QS. Almaidah: 87:
٨٧ َ‫ت َمٓا َأ َح َّل ٱهَّلل ُ لَ ُكمۡ َواَل ت َۡعتَد ُٓو ۚ ْا ِإ َّن ٱهَّلل َ اَل يُ ِحبُّ ۡٱل ُم ۡعتَ ِدين‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ‫وا اَل تُ َح ِّر ُم‬
ِ َ‫وا طَيِّ ٰب‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.”

E. Prinsip Dasar Perilaku Konsumen dalam Islam


Perilaku konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan
mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia
yang sangat terbatas berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep
pemenuhan kebutuhandisertai kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya
keharmonisan hubungan antar sesama.
Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik,
tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak,
pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah Swt.
Prinsip dasar perilaku konsumen Islami diantaranya:
1. Prinsip Syariah
Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan
konsumsi di mana terdiri dari:
a) Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk
ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai
makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggung jawaban oleh
Pencipta.
b) Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus
mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang
berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik
ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
c) Prinsip ‘amaliyah, sebagai konsekuensi aqidah dan ilmu yang telah
diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk
menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya
yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat.
2. Prinsip Kuantitas
yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat
Islam:
a) Kesederhanaan, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa
menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubadzir, namun tidak juga pelit.
b) Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi
harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak
daripada tiang.
c) Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk
konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu
sendiri.
3. Prinsip Prioritas yaitu memperhatikan urutan kepentingan yang harus
diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
a) Primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat
hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang
terdekatnya, seperti makanan pokok.
b) Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat
kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan
mengalami kesusahan.
c) Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia.

4. Prinsip Sosial
Yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta
keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
a) Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga
Islam mewajibkan zakat bagi yang mampu juga menganjurkan shadaqah, infaq
dan wakaf.
b) Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi
baik dalam keluarga atau masyarakat.
c) Tidak membahayakan/merugikan dirinya sendiri dan orang lain dalam
mengkonsumsi sehingga tidak menimbulkan kemudharatan seperti mabuk-
mabukan, merokok, dan sebagainya.
5. Kaidah Lingkungan
Yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung
sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak merusak lingkungan.
Seorang muslim dalam penggunaan penghasilannya memiliki dua sisi, yaitu
pertama untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagiannya lagi
untuk dibelanjakan di jalan Allah.
BAB V

KEBIJAKAN MONETER

1. DEVENISI KEBIJAKAN MONETER


1. Pengertian kebijakan moneter

Kebijakan moneter adalah keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam


rangka menunjang aktivitas ekonomi melalui berbagai hal yang berkaitan
dengan penetapan jumlah peredaran uang di masyarakat.

Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga kestabilan ketersediaan


uang suatu negara. Karena persediaan uang negara mempengaruhi berbagai
aktivitas ekonomi, seperti inflasi, suku bunga bank, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, penanggung jawab dan pelaksana kebijakan moneter di


Indonesia yaitu Bank Indonesia selaku bank sentral di Indonesia. Hal ini
didasari pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 mengenai Kebijakan
Moneter Bank Indonesia.

Selain kebijakan moneter, terdapat kebijakan fiskal yang juga berguna dalam
menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Bedanya, kebijakan fiskal merupakan
keputusan yang berfokus pada pendapatan dan pengeluaran negara.
Penerapan kebijakan fiskal dapat dilihat melalui pengelolaan pajak dan
APBN. Sementara, kebijakan moneter di Indonesia bisa diperhatikan melalui
kebijakan diskonto, suku bunga bank, dan sebagainya.

Kebijakan moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan


ekonomi makro agar dapata berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui
pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian .usaha tersebut
dilakukan agar terjadi kestabilan dan inflasi serta terjadinya peningkatan
output keseimbangan .

3 muri yusuf, metode penelitian:kuantitatif , kualitatif,dan penelitian


gabungan( hal .330)
2. Tujuan kebijakan moneter
Sebagaimana yang dijelaskan dalam UU No. 3 Tahun 2004 tentang
Kebijakan Moneter Bank Indonesia, tujuan kebijakan moneter yang utama
yakni menjaga kestabilan nilai rupiah. Demi mewujudkan hal tersebut,
banyak aspek yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan kebijakan
moneter Bank Indonesia. Di bawah ini berbagai tujuan kebijakan moneter
adalah berikut ini.

1. Menjamin Stabilitas Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi suatu negara harus berjalan dengan terkontrol dan
berkelanjutan. Hal ini dapat diwujudkan melalui keseimbangan arus
barang/jasa dengan peredaran uang. Oleh karena itu, tujuan kebijakan
moneter adalah menjaga stabilitas ekonomi melalui pengaturan dan
penetapan terkait peredaran uang di masyarakat.
2. Mengendalikan Inflasi
Agar inflasi dapat ditekan, maka Bank Indonesia menetapkan kebijakan
bertujuan mengurangi uang yang beredar di masyarakat dan menjaga
ketersediaan uang di bank. Sehingga, salah satu tujuan kebijakan moneter
adalah mengendalikan inflasi.
3. Meningkatkan Lapangan Pekerjaan
Tujuan kebijakan moneter Bank Indonesia berikutnya yaitu meningkatkan
lapangan pekerjaan. Kestabilan peredaran uang membuat aktivitas produksi
meningkat. Dengan naiknya kegiatan produksi, maka diperlukan sumber
daya manusia dalam pengelolaannya. Sehingga hal ini mampu menyerap
tenaga kerja dengan ketersediaan lapangan pekerjaan.
4. Melindungi Stabilitas Harga Barang di Pasar
Tujuan kebijakan moneter diharapkan mampu melindungi stabilitas harga
pasar. Ketika harga stabil maka menumbuhkan rasa percaya masyarakat
terhadap tingkat harga sekarang dan di masa mendatang. Sehingga tingkat
daya beli antar periode tetap sama. Kestabilan harga ini bisa diatur melalui
keseimbangan peredaran uang, permintaan barang, dan produksi barang.
5. Menjaga Keseimbangan Neraca Pembayaran Internasional
Kebijakan moneter tidak hanya berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi
dalam negeri saja, namun juga luar negeri. Salah satu tujuan kebijakan
moneter adalah menjaga keseimbangan neraca pembayaran Internasional.
Hal ini dapat diwujudkan melalui kestabilan jumlah barang ekspor dan impor
sama besarnya. Oleh sebab itu, tak heran pemerintah sering melakukan
devaluasi dalam hal ini.
6. Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Seluruh dampak atas kebijakan moneter diharapkan mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi. Sebab demi mencapai tujuan tersebut, diperlukan
berbagai kesuksesan tiap komponen. Misalnya seperti, tersedia lapangan
pekerjaan, kontrol tingkat inflasi, aktivitas produksi dan permintaan barang,
dan lainnya.

3. Jenis-jenis kebijakan moneter

Dalam mengambil keputusan terkait peredaran uang, Bank Indonesia


menggunakan dua jenis kebijakan moneter. Uraian penjelasannya sebagai
berikut.

1. Kebijakan Moneter Ekspansif
Jenis kebijakan moneter yang melakukan pengelolaan dan pengaturan
peredaran uang dalam aktivitas ekonomi disebut sebagai kebijakan moneter
ekspansif. Dalam hal ini, tujuan utamanya meningkatkan peredaran uang di
masyarakat sehingga roda perekonomian meningkat.

Wujud dari jenis kebijakan moneter ini melalui peningkatan pembelian


sekuritas pemerintah oleh Bank Indonesia, penurunan suku bunga,
menurunkan persyaratan cadangan untuk bank. Dampak kebijakan ini tak
hanya merangsang kegiatan bisnis atau daya beli konsumen, tetapi juga
mengurangi tingkat pengangguran.

2. Kebijakan Moneter Kontraktif
Berikutnya, jenis kebijakan moneter adalah kebijakan moneter kontraktif
dimana kebijakan diambil sebagai langkah mengurangi peredaran uang di
masyarakat saat terjadi inflasi. Hal ini diwujudkan melalui penjualan obligasi
pemerintah, peningkatan suku bunga bank, dan meningkatkan persyaratan
cadangan untuk bank.

2. KONSEP KEBIJAKAN MONETER TANPA BUNGA


Substansi lebih penting daripada label, karena itu dalam rangka menciptakan
suatu nstru finansial-moneter yang sehat dan adil, substansi harus lebih
dikedepankan. Itu artinya dari istilah ‘bunga uang’ harus dibedakan antara
yang bersifat riba dan yang bukan. Kalau saja unsur riba bisa dikeluarkan
dari ‘bunga uang’ maka bunga uang itu tidak lagi bersifat riba melainkan
keuntungan halal yang didapatkan dari hasil jerih payah yang produktif. Jadi
dari unsur bunga dalam instru moneter yang sekarang memang ada bagian
bunga yang riil atau riba, dan ada juga bunga yang bukan merupakan riba.

Misalnya dari pendapatan bunga deposito bank. Nasabah yang menyimpan


uangnya di bank dan mendapatkan bunga, belum tentu bunga tersebut adalah
riba. Jika tingkat inflasi lebih tinggi daripada tingkat sukubunga yang
diperolehnya maka nilai riil uang nya justru berkurang. Tetapi jika bunga
uang yang didapatkan lebih tinggi daripada inflasi maka selisihnya, yaitu
bunga riil, bisa merupakan riba, bisa juga tidak. Jika bunga riil yang
didapatkan sebanding dengan tingkat resiko yang harus ditanggungnya
karena menyimpan uang di bank tersebut maka itu bukan riba. Tetapi jika
bunga riil jauh lebih besar daripada tingkat resiko maka di situ ada riba.

Demikian juga pendapatan bunga yang diperoleh bank. Sebagian darinya


digunakan untuk biaya dana, yaitu bunga yang harus dibayar kepada
deposan. Kemudian yang berikutnya adalah biaya-biaya operasional dan
imbalan yang wajar bagi bank atas jerih payahnya menyalurkan kredit
kepada masyarakat. Tetapi jika bank membebankan bunga yang terlalu tinggi
sehingga bagian keuntungannya terlalu besar maka disitu juga ada riba.

Sistem moneter tanpa bunga (nominal) adalah tidak mungkin dan tidak adil
karena inflasi selalu ada. Tidak adil dan tidak mungkin untuk memaksa para
kreditur untuk meminjamkan uangnya dan mendapatkan pengembalian lebih
sedikit darinya dengan tidak memperhitungkan inflasi, biaya operasional dan
tingkat resiko yang harus ditanggungnya. Tetapi instru moneter tanpa riba
adalah mungkin. Bagaimana membersihkan instru moneter dari riba yang
dilarang oleh Tuhan/agama?

Dengan mematok tingkat sukubunga simpanan dan pinjaman. Dengan


demikian bank hanya akan memperoleh keuntungan yang wajar. Demikian
juga deposan tidak memperoleh bunga riil lebih daripada tingkat resiko yang
ditanggungnya.

Di samping itu pematokan tingkat sukubunga bank mempersempit ruang


gerak bagi para spekulan, para pencari Instrume. Jika tingkat sukubunga
dibiarkan mengambang ada deposan yang kerjanya hanya memindah-
mindahkan uangnya dari satu bank ke bank lain tergantung siapa yang
memberi bunga yang lebih tinggi. Tingkat sukubunga mengambang
mendorong instrume deposan untuk menjadi spekulan pengejar riba.

Tingkat sukubunga yang tidak dipatok akan menyebabkan ia menjadi


fluktuatif sehingga tidak menguntungkan bagi dunia usaha. Jika posisi para
deposan terlalu kuat maka mereka dapat mendorong tingkat sukubunga
simpanan, sehingga dengan demikian juga, sukubunga pinjaman, setinggi
mungkin. Hal ini menimbulkan ketidakadilan. Mereka yang tidak bekerja
produktif (deposan) mengambil terlalu banyak dari mereka yang bekerja
produktif (pengusaha dan karyawan).

3. POSISI BANK SENTRAL DALAM ISLAM

            Dalam instru konvensional, bank sentaral berfungsi sebagai nstrum


yang bertanggung jawab dalam mengatur kelancaran proses intermediasi,
penyaluran mata uang dan yang tidak kalah pentingnya, bank sentral
merupakan “leader of the last resort.”. namun dalam sejarahnya, bank
sentaral adalah institusi yang ahir dari kebutuhan untuk membiayai
ekspansi militer di eropa pada awal abad ke-20.

            Bank sentaral mulai berfungsi sebagai pengelola kebijakan moneter


dimulai nstru uang kertas mulai menggantikan uang emas dan uang yang
dikeluarkan oleh bank sentaral tidak lagi didukung dengan cadangan emas.

            Konsep bank sentaral dengan segala tanggung jawab dan


fungsinnya ini, sesugguhnya tidak dikenal dalam sejarah perekonomian
islam. Sehingga wajar apabila fungsi dan kedudukan bank sentral dalam
konteks ekonomi Islam sekarang patut diperdebatkan. Bahkan Muhammad
Anwar (dalam Tamanni,2002) melihat keberadaan bank sentral sebagai
sesuatu yang tidak islami. Alasannya, pengeluaran fiat money telah secara
langsung menciptakan seignorage kepada pemerintah, dan proses ini
sekaligus mentransfer nstrume riil dari masyarakat kepada pihak berkuasa.

            Tidak islaminnya bank sentral ini terkait dengan kegiatan


pengedaran uang yang dilakukannya, dimana bank sentral sebagai tangan
pemerintah, memperoleh pendapatan yang tidak adil dari uang nst beredar,
atau seignorage. Dalam nstru yang mudah, seignorage adalah pendapatan
yang diterima dari mencetak uang, dimana nilai nominal uang yag dicetak
jauh lebih besar daripada nilai kertas dan biaya pencetakannya.

            Fenomena ini akan ters terulang instru bank sentarak meminjam


uang dari masyarakat untyk membiayai instrum anggaran belanja negara.
Marialh kiat melihat fungsi bank sentaral dan meninjaaunnya dengan
prespektif sejarah ekonomi islam. Pertama, fungsi mencetak uang atau
currency.kedua, bank sentaral juga bertugas sebagai pengawas instrum-
lembaga keuangan yang ada dan juga mengelola nstru keuangan negara
agar senantiasa stabil dan terarah.

            Kalau kita hendak menempatkan posisi otoritas moneter dalam


konteks pemerintahan islam yang ideal, maka tempatnya adalah pada
instrum keuangan instru mall dan hisbah. Akan lebih baik lagi bila kedua
lembag aitu dilengkapi engan beberapa instrum lain yang menatur
pelaksanaan kebijakan nstru daan moneter, yang semakin hari semakain
kompleks.

4. INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER

Berbagai instrument yang umumnya digunakan oleh pemerintah dalam


mengambil kebijakan moneter, adalah:

1 Operasi di Pasar Terbuka


Instrumen kebijakan moneter ini lebih sering disebut dengan kebijakan
pasar terbuka ataupun open market operation. Kebijakan ini ditempuh oleh
Bank Indonesia agar bisa memperjualbelikan berbagai surat berharga
seperti halnya Sertifikat Bank Indonesia atau SBI.

Jika kebijakan ini memang tidak terjadi, maka bank sentral akan
mengurangi jumlah uang yang beredar di lingkungan masyarakat. Hal
tersebut terjadi karena Sertifikat Bank Indonesia sudah mampu dibeli oleh
masyarakat luas.

Jika bank sentral sudah memutuskan untuk membeli surat berharga


tersebut, maka bank sentral akan meningkatkan jumlah uang di dalam
peredaran masyarakat. Bank sentral akan melakukan hal tersebut untuk
menambah jumlah uang yang mampu dimiliki oleh masyarakat. Bank
sentral bisa membuat keputusan atau menjual surat berharga, tergantung
pada keperluan negara.

1. Menyesuaikan Tingkat Suku Bunga Diskonto

Instrumen kebijakan moneter ini lebih banyak disebut dengan discount rate.


Bank sentral mempunyai wewenang agar bisa meningkatkan ataupun
menurunkan tingkatan bunga bank. Jika bank Indonesia memutuskan untuk
meningkatkan harga suku bunga, maka mereka akan mengurangi jumlah
uang dalam peredaran.

Hal ini terjadi karena masyarakat lebih tertarik untuk menyimpan atau
menabung uangnya di bank. Mereka akan berpikir bahwa mereka bisa
memperoleh lebih banyak uang di bank dengan adanya suku bunga yang
tinggi.

Sedangkan jika bank sedang menurunkan suku bunganya, maka masyarakat


tidak akan tertarik untuk menyimpan atau menabung uangnya di bank.
Mereka akan lebih tertarik untuk menyimpan uang cash sendiri daripada
menyimpannya di bank.

2. Menyesuaikan Giro Wajib Minimum atau GWM

Instrumen kebijakan moneter ini lebih banyak dikenal dengan sebutan cash
ratio ataupun reserve requirement. Sama seperti sebelumnya, bank sentral
memiliki kewenangan untuk meningkatkan cadangan kas atau
menurunkannya. Bila bank sentral lebih memilih untuk meningkatkan
cadangan kas, maka mereka akan mengurangi peredaran uang di pasar.

Hal ini ditempuh untuk mencegah dan juga mengatasi inflasi. Bank umum
pun harus menahan uang yang lebih banyak sebagai cadangannya, sehingga
uang tunai akan dikurangi jumlahnya.

Sedangkan jika bank sentral memilih untuk menurunkan cadangan kasnya,


maka mereka akan menambah peredaran uang. Hal ini dilakukan guna
mengatasi deflasi. Bank umum diharuskan untuk mengeluarkan uang yang
lebih banyak lagi ke masyarakat, sehingga jumlah uang yang beredar pun
akan semakin banyak.

3. Kredit Selektif

Instrumen kebijakan moneter Kredit selektif lebih sering disebut dengan


istilah selective credit control. Bank sentral mempunyai kewenangan agar
bisa mengatur pinjaman mana yang diprioritaskan dan mana yang tidak
diprioritaskan. Hal ini memiliki keterkaitan yang erat dengan kepemilikan
dan juga penggunaan suatu kartu kredit.

Setidaknya ada dua jenis kartu kredit yang harus Anda ketahui, yakni kredit
longgar dan kredit ketat. Kredit ketat adalah suatu kebijakan yang dipilih
oleh pihak bank sentral agar bisa mengatasi inflasi dengan mengurangi
jumlah peredaran uang di masyarakat.

Sehingga, memperoleh pinjaman di bank pun akan menjadi lebih sulit,


karena ada banyak syarat yang dipersulit. Setiap masyarakat dan pebisnis
harus berusaha lebih keras untuk bisa mengajukan pinjaman.

Sedangkan kredit longgar adalah suatu kebijakan yang diambil oleh bank
sentral agar bisa mengatasi deflasi dengan menambah peredaran uang di
masyarakat. Setiap masyarakat akan diberikan kemudahan untuk
memperoleh kredit. Hal ini adalah sebagai sarana untuk meningkatkan
jumlah peredaran uang di masyarakat.

4. Pembujukan Moral
Moral suasion atau pembujukan moral adalah suatu Instrumen kebijakan
moneter yang diambil oleh bank sentral dengan melakukan rapat pertemuan
dengan berbagai pimpinan bank umum. Hal tersebut biasanya berkaitan
dengan berbagai nstrum yang harus ditempuh oleh bank umum agar sejalan
dengan bank sentral.

Hal ini sangat penting untuk dilakukan, karena bank umum diharuskan
mengikuti berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh bank sentral. Bila bank
umum tidak bersedia mengikuti peraturan dari bank sentral, maka bank
sentral memiliki wewenang untuk melakukan instrume lebih lanjut.

5. Instrumen Kebijkan Moneter Lainnya

Selain beberapa Instrument langsung seperti yang sudah kita jelaskan di


atas, ada juga beberapa instrument langsung lainnya yang dulu pernah
digunakan oleh Indonesia untuk bisa mengendalikan peredaran uang
beredar di masyarakat, berbagai instrument kebijakan moneter tersebut
adalah sebagai berikut ini.

 Pengguntingan Uang
Instrumen langsung ini dilakukan untuk mengurangi peredaran uang
beredar di masyarakat. Instrumen kebijakan moneter ini pernah digunakan
oleh Indonesia di tahun 1950 yang kala itu dikenal dengan sebutan
“Gunting Sjariffudin.

Dengan adanya pengguntingan uang, maka nilai pecahan uang yang terkena
peraturan tersebut akan mengalami penurunan nilai mata uang dengan
persentase tertentu, sedangkan sisanya akan diganti dengan surat berharga
milik pemerintah berjangka nstrum.

Dengan adanya nstrument kebijakan moneter ini, maka peredaran uang


langsung berkurang sebesar persentase yang diganti dengan surat berharga
negara.

 Pembersihan Uang (Monetary Purge)

Instrumen ini terlihat serupa, tapi tidak sama dengan instrument kebijakan
moneter pengguntingan uang. Dengan adanya pembersihan uang, maka
nilai uang akan diturunkan dengan persentase tertentu tanpa adanya
pergantian pada nilai yang sudah diturunkan tersebut.

Penurunan nilai mata uang ini beragam. Di Indonesia, tepatnya pada tahun
1959, penurunannya adalah sebesar 10%, sedangkan di tahun 1946 pernah
menurun menjadi 3%.

 Penetapan Uang Muka Impor


Kebijakan ini berlaku untuk para importir yang melakukan kegiatan
transaksi pembelian dari luar negeri. Dengan adanya kebijakan ini, maka
para importir memiliki kewajiban untuk membayar sebesar persentase
tertentu sebagai uang muka untuk membeli valuta asing yang mereka
butuhkan untuk melakukan kegiatan impor barang yang memang mereka
butuhkan dari luar negeri.

Nah, karena mereka harus menyerahkan uang muka terlebih dahulu, maka
uang beredar bisa dikendalikan dari sisi impor oleh bank sentral dengan
adanya nstrument kebijakan moneter ini dengan menetapkan persentase
uang muka yang harus dibayar oleh pihak importir.

Demikian penjelasan dari kami tentang berbagai instrument kebijakan


moneter yang bisa diterapkan oleh bank sentral, selaku pihak instrument.

Bisa kita simpulkan bahwa berbagai instrument kebijakan moneter tersebut


adalah operasi di pasar terbuka, menyesuaikan tingkat suku bunga diskonto,
menyesuaikan giro wajib minimum atau gwm, kredit selektif, pembujukan
moral, dan instrument lain, seperti pengguntingan uang, pembersihan uang
serta penetapan uang muka impor. Ibnu ,22 april 2021
BAB VI

PRODUKSI DALAM ISLAM

A. Pengertian Produksi dalam Islam


Produksi dalam ekonomi Islam merupakan setiap bentuk aktivitas yang
dilakukan untuk mewujudkan manfaat atau menambahkannya dengan cara
mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi yang disediakan Allah SWT sehingga
menjadi maslahat, untuk memenuhi kebutuhan manusia, oleh karenanya
aktifitas produksi hendaknya berorientasi pada kebutuhan masyarakat luas.
Sistem produksi berarti merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari
prinsip produksi serta factor produksi. Prinsip produksi dalam Islam berarti
menghasilkan sesuatu yang halal yang merupakan akumulasi dari semua proses
produksi mulai dari sumber bahan baku sampai dengan jenis produk yang
dihasilkan baik berupa barang maupun jasa.
Produksi berarti memenuhi semua kebutuhan melalui kegiatan bisnis karena
salah satu tujuan utama bisnis adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
(needs and wants) manusia. Untuk dapat mempertahankan hidupnya, manusia
membutuhkan makan, minum, pakaian dan perlindungan (Zaki Fuad Chalil,
2009).
Kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam adalah terkait dengan
manusia dan eksistensinya dalam aktivitas ekonomi, produksi merupakan
kegiatan menciptakan kekayaan dengan pemanfaatan sumber alam oleh
manusia. Berproduksi lazim diartikan menciptakan nilai barang atau menambah
nilai terhadap sesuatu produk, barang dan jasa yang diproduksi itu haruslah
hanya yang dibolehkan dan menguntungkan (yakni halal dan baik) menurut
Islam (Mohamed Aslam Haneef, 2010).
Produksi tidak berarti hanya menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada,
melainkan yang dapat dilakukan oleh manusia adalah membuat barang-barang
menjadi berguna yang dihasilkan dari beberapa aktivitas produksi, karena tidak
ada seorang pun yang dapat menciptakan benda yang benar-benar baru.
Membuat suatu barang menjadi berguna berarti memproduksi suatu barang yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta memiliki daya jual yang yang tinggi
(Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi,

2014).
Kegiatan produksi sangatlah memperhatikan kemuliaan dan harkat manusia
yakni dengan mengangkat kualitas dan derajat hidup manusia. Kemuliaan harkat
kemanusiaan harus mendapat perhatian besar dan utama dalam keseluruhan
aktifitas produksi, karena segala aktivitas yang bertentangan dengan pemuliaan
harkat kemanusiaan bertentangan dengan ajaran Islam (P3EI) UII). Oleh
karenanya, kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam terkait dengan
manusia dan eksistensinya dalam aktivitas ekonomi (M. Nur Rianto Al-Arif,
2011).

B. Urgensi Produksi dalam Islam


Produksi merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang sangat penting dan
merupakan titik pangkal dari kegiatan ekonomi. Kegiatan distribusi maupun
konsumsi tidak mungkin dilakukan jika tidak produksi. Adam smith, Bapak
Ekonomi Dunia misalnya menjelaskan bahwa motif produksi adalah keuntungan
sebagaimana dikemukakannya dalam buku The wealth of nation. Dalam ajaran
islam diajarkan, manusia diwajibkan untuk berusaha agar mendapatkan rezeqi
guna memenuhi kebutuhan kehidupannya. Islam juga mengajarkan kepada
manusia bahwa Allah Maha Pemurah sehingga rezeqinya sangat luas.
Dari Miqdam ra, dari rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada seseorang yang
memakan satu makanan pun lebih baik dari makanan pun yang lebih baik dari
makanan hasil usaha tangannnya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Daud a.s
memakan makanan dari hasil usahanya sendiri." (BUKHARI -1930);
Hal tersebut menjelaskan bahwa konsumsi terbaik adalah konsumsi yang bersal
atau diolah dengan menggunakan kemampuan atau usaha sendiri. Dengan
demikian, berdasarkan hadis dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sutu
produksi bukan hanya menghasilkan suatu barang atau jasa namun juga
penciptaan dan peningkatan manfaat, yaitu kemampuan suatu barang atau jasa
untuk memenuhi kebutuhan manusia.
M. Rawwas Qalahji menjelaskan bahwa produksi (al-intaj) adalah ijadu sil'atin
(mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu muayanatin bi
istikhadami muzayyajin min anashiril intaji dhamina itharu zamanin
muhaddadin. (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan
penggabungan unsur unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas.
C. Perilaku Produsen dalam Islam
Pada hakikatnya etika merupakan bagian integral dalam bisnis yang dijalankan
secara profesional. Dalam jangka pajang, suatu bisis akan tetap
berkesinambungandan secara terus-menerus menghasilkan keuntungan, jika
dilakukan atas dasar kepercayaan dan kejujuran. Demikian pada suatu bisnis
dalam perusahaan akan berlangsung bila bisnis itu dilakukan dengan memberi
perhatian kepada semua pihak dalam perusahaan.
Etika dalam produksi adalah berdasarkan kode etik yang mencakup
tanggung jawab dan akuntabilitas korporasi yang diawasi ketat oleh
asosiasi-asosiasi perusahaan dan masyarakat umum. Hukum harus
dijadikan sarana pencegahan bagi pelaku bisnis. Perilaku pelaku bisnis
yang dapat membahayakan masyarakat dalam memproduksi barang dan jasa
harus dijerat dengan norma-norma hukum yang berlaku sehingga
masyarakat umum tidak dirugikan.
Saat ini banyak ketidaksempurnaan pasar yang seharusnya dapat dilenyapkan
jika prinsip ini diterima oleh masyarakat bisnis dari berbagai bangsa yang
berada di dunia. Prinsip perdagangan dan niaga ini telah ada dalam Alquran dan
Sunnah, seperti mengenai larangan melakukan sumpah palsu, larangan
memberikan takaran yang tidak benar dan keharusan menciptakan itikad baik
dalam transaksi bisnis (Sri, 2002).
Perilaku produsen dalam etika bisnis Islam, prinsip yang harus dipegang teguh
oleh produsen adalah jujur dalam setiap melakukan transaksi sehingga dapat
memperoleh ridha Allah dalam kepuasan kedua belah pihak, yaitu produsen dan
konsumen dalam berbisnis. Apalagi di zaman modern ini, berbagai macam atau
cara manusia dalam bertransaksi akan membuat dan memberi peluang terhadap
perilaku produsen dalam kegiatan bisnisnya.
Dalam agama Islam perilaku produsen Muslim harus berpedoman kepada Al
Qur’an dan Sunnah Rasul. Produsen harus memiliki komitmen yang tinggi
terhadap keadilan dan kebijakan sehingga ini dapat menjadi pedoman bagi para
produsen kedepannya dalam menjalankan ekonomi dan bisnisnya.
Sesungguhnya penerapan prinsip yang Islami juga sangat kondusif bagi
produsen untuk mencapai keuntungan yang maksimum jangka panjang. Jadi
tujuan keadilan dan kebijakan dalam produksi akan berkolerasi positif dengan
keuntungan yang didapatkan.
D. Prinsip dasar Perilaku Produsen dalam Islam
Prinsip produksi dalam Islam berarti menghasilkan sesuatu yang halal yang
merupakan akumulasi dari semua proses produksi mulai dari sumber bahan
baku sampai dengan jenis produk yang dihasilkan baik berupa barang maupun
jasa. Prinsip ekonomi Islam dapat dirangkum dalam empat prinsip, yaitu tauhid,
keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab.
Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait seluruhnya dengan syariat Islam, di
mana seluruh kegiatan produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu
sendiri. Konsumsi seorang muslim dilakukan untuk mencari falah
(kebahagiaan), demikian pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang
dan jasa guna falah tersebut. Al- Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw
memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi, yaitu sebagai berikut:

 Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah


Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah
menciptakan bumi dan langit berserta segala apa yang ada di antara
keduanya karena sifat Rahmān dan Rahīm-Nya kepada manusia.
Karenanya sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia
dalam pemanfaatan bumi dan langit dan segala isinya.
 Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi.
Menurut Yusuf Qardhawi, Islam membuka lebar penggunaan
metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan
perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan pemenuhan
terhadap hasil karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan
dirinya dari al-Qur’an dan Hadits.
 Teknik produksi diserahklan kepada keinginan dan kemampuan
manusia. Nabi pernah bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan
dunia kalian”.
 Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama
Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan
memaksimalkan manfaat.
Dalam Islam tidak terdapat ajaran yang memerintahkan membiarkan
segala urusan berjalan dalam kesulitannya, karena pasrah kepada
keberuntungan atau kesialan, karena berdalih dengan ketetapan-Nya,
sebagaimana keyakinan yang terdapat di dalam agama-agama selain
Islam. Seseungguhnya Islam mengingkari itu semua dan menyuruh
bekerja dan berbuat, bersikap hati-hati dalam melaksanakannya.
Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah
SWT. Sebagai pemilik hak prerogatif yang menentukan segala
sesuatu setelah segala usaha dipenuhi dengan optimal.

Dalam Islam prinsip fundamental yang harus diperhatikan dalam produksi


adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Menurut Mannan dalam sistem produksi
Islam, konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang lebih luas.
Konsep kesejahteraan Islam terdiri atas bertambahnya pendapatan yang
diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari barang-barang bermanfaat melalui
pemanfaatan sumber daya secara maksimum, baik manusia maupun benda dan
melalui ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi.

Hal tersebut menggambarkan aturan main produksi dalam Islam yaitu produsen
dapat mendapatkan laba yang diinginkan, juga ada aturan bahwa barang yang
diproduksi adalah barang yang bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhannya.
Pernyataan tersebut memberikan kerangka produksi dalam Islam yang
mencangkup tiga hal yaitu input, proses dan output.

Dalam menjalankan aktivitas produksi yang paling penting diperhatikan adalah


aspek kehalalan.Tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa
dapat dikatakan aktivitas produksi. Dengan kata lain yang dapat dijadikan
sebagai aktivitas produksi menurut ekonomi Islam adalah aktivitas yang
menghasilkan barang atau jasa yang halal.

Menurut M.M Metwally asumsi-asumsi produksi harus dilakukan untuk barang


yang halal dengan proses produksi dan pasca produksi yang tidak menimbulkan
kemudharatan. Semua orang diberi kebebasan untuk melakukan proses produksi
asalkan tidak menimbulkan kemudharatan.
BAB VII
PEMBAHASAN
LEMBAGA KEUAGAN ISLAM

A. Pengertian Lembaga keuagan Islam


Lembaga Keuangan Syari'ah adalah sebuah lembaga keuangan yang prinsip
operasinya berdasarkan pada prinsip-prinsip syari'ah Islamiah. Operasional lembaga
keuangan Islam harus menghindar dari riba, gharar dan maisir. Hal- hal terssebut
sangat diharamkan dan sudah diterangkan dalam Al- Quran dan Al- Hadist.

Tujuan utama mendirikan lembaga keuangan Islam adalah untuk menunaikan perintah
Allah dalam bidang ekonomi dan muamalah serta membebaskan masyarakat Islam
dari kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh agama Islam. Untuk melaksanakan tugas ini
serta menyelesaikan masalah yang
memerangkapumatIslamhariini,bukanlahhanyamenjaditugasseseorangatau sebuah
lembaga, tetapi merupakan tugas dan kewajiban setiap muslim. Menerapkan prinsip-
prinsip Islam dalam berekonomi dan bermasyarakat sangat diperlukan untuk
mengobati penyakit dalam dunia ekonomi dan sosial yang dihadapi olehmasyarakat.

B. Baitul Maal

Jika kita menengok dan melihat sejarah, bahwasanya setiap belajar tentang lembaga
keuangan sebelum Islam hadir di tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu
negara di pandang serta memiliki berbagai kewenangan sebagai satu-satunya
penguasa perbendaharaan dan kekayaan negara.Dengan demikian, pemerintah suatu
negara itu bebas mengambil harta kekayaan yang dimiliki oleh rakyatnya sebanyak
yang dikehendaki serta membelanjakannya pula sesuka-suka mereka.Hal yang
demikian itu artinya, sebelum Islam datang, belum terdapat suatu konsep tentang
perbendaharaan negara dan keuangan publik di dunia sampai saatitu.
Sampai saat ini, setiap orang percaya bahwasanya kekayaan atau harta yang berlimpah
yang dimiliki oleh Negara merupakan kunci kebesaran dan kesuksesan dari sebuah
pemerintahan yang ada dimanapun.Oleh sebab itulah, adalah hal yang sangat ideal
dan sudah biasa bila pemerintahan dimanapun selalu memberikan suatu dominasi
perhatian yang luar biasa terhadap suatu problema maupun permasalahan tentang
pengumpulan dan administrasi penerimaan pemerintah yang diperoleh.
Rasulullah memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara pada abad
ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu
dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara.Status harta hasil
pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik individu.Meskipun demikian,
dalam batas-batas tertentu, pemimpin negara dan para pejabat lainnya dapat
menggunakan harta tersebut untuk mencukupi kebutuhan pribadinya.Tempat
pengumpulan itu disebut sebagai Baitul Mal (rumah harta) atau bendahara negara.
Pada masa pemerintahan Rasulullah, Baitul Mal terletak di Masjid Nabawi yang
ketika itu digunakan sebagai kantor pusat negara yang sekaligus berfungsi sebagai
tempat tinggal Rasulullah. Binatang- binatang yang merupakan harta perbendaharaan
negara tidak di simpan di Baitul Mal. Sesuai dengan alamnya, binatang- binatang
tersebut ditempatkan di padang terbuka (Karim2010).
Baitul Mal merupakan lembaga keuangan pertama yang ada pada zaman Rasulullah
walaupun keberadaan lembaga ini lebih populer saat era Khulafaur
Rasyidin.Lembaga ini pertama kali hanya berfungsi untuk menyimpan harta
kekayaan negara dari zakat, infak, sedekah, pajak dan harta rampasan perang.Dan
acuan dari perbankan Islam bukanlah perbankan konvesional tetapi dari Baitul
tamwil (Huda, 2010). Baitul tamwil

dan baitul mal sendiri merupakan fungsi utama dari baitul mal wa tamwil (Soemitro,
2009).
Harta yang merupakan sumber pendapatan negara di simpan di masjid dalam waktu
singkat untuk kemudian di distribusikan kepada masyarakat hingga tidak tersisa
sedikit pun. Dalam berbagai kitab hadis dan sejarah, terdapat empat puluh nama
sahabat yang jika digunakan istilah modern disebut sebagai pegawai sekretariat
Rasulullah. Namun, tidak disebutkan adanya seorang bendaharawan negara.Kondisi
yang seperti ini hanya mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem
pengawasan yang sangat ketat.Pada perkembangan berikutnya, institusi ini
memainkan peran yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi
negara, terutama pada masa pemerintahan al- Khulafa al-Rasyidun (Karim, 2010).
Harta Baitul Mal dianggap sebagai harta kaum muslimin, sedangkan Khalifah dan
para amil hanya berperan sebagai pemegang amanah.Dengan demikian, negara
bertanggung jawab untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim,
serta anak-anak terlantar, membiayai penguburan orang-orang miskin, membayar
utang orang-orang yang bangkrut; membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu.
Khalifah yang keempat yaitu Umar ibn Khattab menerapkan prinsip keutamaan
dalam mendistribusikan harta Baitul Mal. Ia berpendapat bahwa kesulitan yang
dihadapi umat Islam harus diperhitungkan dalam menetapkan bagian seseorang dari
harta negara dan karenanya, keadilan menghendaki usaha seseorang serta tenaga
yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas
dengan sebaik-baiknya (Karim 2010).
Baitul Mal merupakan lembaga keuangan pertama yang ada pada zaman Rasulullah
walaupun keberadaan lembaga ini lebih populer saat era Khulafaur Rasyidin.Lembaga
ini pertama kali hanya berfungsi untuk menyimpan harta kekayaan negara dari zakat,
infak, sedekah, pajak dan harta rampasan perang.Dan acuan dari perbankan Islam
bukanlah perbankan konvesional tetapi dari Baitul tamwil (Huda, 2010).

C. Ruang Lingkup Baitul Maal

Menurut pendapat Suhrawardi K. Lubis, baitul maal dilihat dari segi istilah fikih
adalah “suatu lembaga atau badan yang bertugas mengurusi kekayaan negara terutama
keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan maupun
yang berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain-lain (Maman, 2012).

Baitul Maal jika dilihat dari namanya berasal dari bahasa Arab, yaitu kata bait yang
memiliki makna "rumah", serta berasal dari kata al-maal yang yang memiliki arti atau
makna "harta" (Dahlan, 1999).

Baitul Maal adalah suatu lembaga atau pihak yang memiliki kewajiban atau tugas
khusus untuk melakukan penanganan atas segala harta yang dimiliki oleh umat, dalam
bentuk pendapatan maupun pengeluaran negara (Zallum, 1983).

D. Institusi Baitul Maal

Menurut Ensiklopedia hukum Islam, baitul mal adalah lembaga keuangan negara yang
bertugas menerima, menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan
aturan syariat.Sedangkan menurut Harun Nasution, baitul mal bisa diartikan sebagai
pembendaharan (umum atau negara).

Secara harfiah, baitul maal berarti rumah dana. Baitul mal ini sudah ada sejak pada
zaman rasulullah, berkembang pesat pada abad pertengahan.Baitul mal berfungsi
sebagai pengumpulan dan men-tasyaruf-kan untuk kepentingan sosial.
Seperti yang telah diketahui, pada masa Rasulullah saw hingga kepemimpinan Abu
Bakar, pengumpulan dan pendistribusian dana zakat serta pungutan-pungutan lainnya
dilakukan secara serentak. Artinya pendistribusian dana tersebut langsung dilakukan
setelah pengumpulan, sehingga para petugas Baitul Mal selesai melaksanakan

tugasnya tidak membawa sisa dana untuk di simpan. Sedangkan pada masa Umar Bin
Khattab, pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga di ambil keputusan
menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka Baitul Mal
secara resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut
(Sakti, 2007).

E. Tujuan dan Fungsi Baitul Maal


Tujuan baitul mal yaitu: terwujudnya layanan penghimpunan zakat, infaq, shodakoh
dan wakaf yang mengoptimalkan nilai bagi muzaki, munfiq, tatasaddiq, dan muwafit.
Kedua terwujudnya layanan pendayagunaan ziswaf yang mengoptimalkan upaya
pemberdayaan mustahiq berbasis pungutan jaringan.Dan juga terwujudnya organisasi
sebagai good organization yang mengoptimalkan nilai bagi stakeholder dan menjadi
benchmark bagi lembaga oengelola ZIS dan wakaf di Indonesia.
Selain itu Baitul mal berfungsi sebagai bendahara negara (konteks sekarang dalam
perekonomian modern disebut departemen keuangan). Tapi pada hakikatnya baitul
mal berfungsi untuk mengelola keuangan negara menggunakan akumulasi dana yang
berasal dari pos-pos penerimaan zakat, kharaj, jizyah, Khums, fay’, dan lain-lain, dan
dimanfaatkan untuk melaksanakan program-program pembangunan yang menjadi
kebutuhannegara.
BAB VIII

WAKAF DALAM ISLAM

A. Pengertian Wakaf dalam Islam

Wakaf (bahasa Arab: ‫وقف‬, [ˈwɑqf]; plural bahasa Arab: ‫أوقاف‬, awqāf; bahasa Turki:
vakıf, bahasa Urdu: ‫ )وقف‬adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang melakukan wakaf)
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah.

Wakaf menurut Abu Hanifah adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap
milik wakif dalam rangka menggunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan
definisi itu, maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari wakif, bahkan dia dibenarkan
menarik kembali dan boleh menjualnya. Jika wakif wafat, harta tersebut menjadi harta
warisan ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan
manfaat”. Karena itu, Mazhab Hanafi mendefinisan wakaf adalah: “Tidak melakukan
suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan
menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang
maupun akan datang”.

Pengertian Wakaf Menurut Ahli Fiqih

Sementara Mazhab Maliki berpendapat, wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan
tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain.
Wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya dan tidak boleh menarik kembali
wakafnya. Perbuatan wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mauquf
alaih (penerima manfaat wakaf), walaupun yang dimilikinya berbentuk upah atau
menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf
dilakukan dengan mengucapkan lafaz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan
keinginan pemilik.

Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan,
tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian
manfaat benda secara wajar, sedangkan benda itu tetap menjadi milik wakif.
Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, karenanya tidak boleh disyaratkan
sebagai wakaf kekal (selamanya).
Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat, wakaf adalah melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif
tidak boleh melakukan apa pun terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan
pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak.
Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli
warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih
(penerima manfaat wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat
melarang penyaluran sumbangannya tersebut.

Apabila wakif melarangnya, maka Qadli atau pemerintah berhak memaksanya, agar
memberikannya kepada mauquf ’alaih. Karena itu, Mazhab Syafi’i mendefinisan wakaf
adalah: tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik
Allah Swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).

Menurut mazhab lain, mengutip Wahbah Az-Zuhaili, Drs H Ahmad Djunaidi dkk
menulis bahwa pandangannnya sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi
kepemilikan atas benda yang diwakafkan, yaitu menjadi milik mauquf ’alaih (penerima
manfaat wakaf), meskipun mauquf ’alaih tidak berhak melakukan suatu tidakan atas
benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.1

B. Sejarah Wakaf

Rasulullah SAW merupakan perintis kepada amalan wakaf berdasarkan hadis yang
bermaksud:“Kami bertanya tentang wakaf yang terawal dalam Islam? Orang-orang
Ansar mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.2” Orang Jahiliyah tidak mengenali
akad wakaf yang merupakan sebahagian daripada akad-akad tabaru lalu Rasulullah
SAW memperkenalkannya kerana beberapa ciri istimewa yang tidak wujud pada akad-
akad sedekah yang lain.

Institusi terawal yang diwakafkan oleh Rasulullah SAW ialah Masjid Quba yang
diasaskan sendiri oleh Baginda SAW apabila tiba di Madinah pada 622M atas dasar
ketaqwaan kepada Allah SWT. Ini diikuti pula dengan wakaf Masjid Nabawi enam
bulan selepas pembinaan Masjid Quba’. Diriwayatkan bahawa Baginda SAW membeli
tanah bagi pembinaan masjid tersebut daripada dua saudara yatim piatu iaitu Sahl dan

1
http://baitulmal.acehprov.go.id/post/wakaf-menurut-mazhab-fikih
2
Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed. ‫[ كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل اإلسالم‬Sejarah Arab
Sebelum Islam–Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin
M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 168–169. ISBN 978-602-6577-28-3.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08.
Suhail dengan harga 100 dirham. Pandangan masyhur menyatakan individu pertama
yang mengeluarkan harta untuk diwakafkan adalah Saidina ‘Umar RA dengan
mewakafkan 100 bahagian daripada tanah Khaibar kepada umat Islam. Anaknya
Abdullah bin Umar RA menyatakan bahawa ayahnya telah mendapat sebidang tanah di
Khaibar lalu dia datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta pandangan tentang
tanah itu, maka katanya:

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat sebidang tanah di Khaibar, dimana


aku tidak mendapat harta yang lebih berharga bagiku selain daripadanya, (walhal aku
bercita-cita untuk mendampingkan diri kepada Allah) apakah yang engkau perintahkan
kepadaku dengannya?. ”

Maka sabda Rasulullah SAW:

“Jika engkau hendak, tahanlah (bekukan) tanah itu, dan sedekahkan manfaatnya.”
“Maka ’Umar telah mewakafkan hasil tanahnya itu, sesungguhnya tanah itu tidak
boleh dijual, tidak boleh dihibah (diberi) dan diwarisi kepada sesiapa.” Katanya lagi:
“’Umar telah menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba
yang baru merdeka, pejuang-pejuang di jalan Allah, Ibnus Sabil dan para tetamu.
Tidaklah berdosa sesiapa yang menyelia tanah wakaf itu memakan sebahagian
hasilnya sekadar yang patut, boleh juga ia memberi makan kawan-kawannya, tetapi
tidaklah boleh ia memilikinya

Sejak itu amalan wakaf berkembang sehingga menjadi tulang belakang kepada menjadi
teras kepada pembangunan umat Islam terdahulu dan berkekalan sehingga ke hari ini.
Banyak institusi pendidikan seperti Universiti Cordova di Andalus, Universitas Al-
Azhar al-Syarif di Mesir, Madrasah Nizhamiyah di Baghdad, Universitas Al-
Qarawiyyin di Fez, Maghribi, Al-Jamiah al-Islamiyyah di Madinah, Pondok Pesantren
Darunnajah di Indonesia, Madrasah Al-Juneid di Singapura dan banyak institusi
pondok dan sekolah agama di Malaysia adalah berkembang berasaskan harta wakaf.
Universiti Al-Azhar contohnya telah membangun dan terus maju hasil sumbangan harta
wakaf. Sehingga kini pembiayaan Univesiti Al-Azhar yang dibina sejak 1000 tahun lalu
telah memberikan khidmat percuma pengajian kepada ribuam pelajar Islam dari seluruh
dunia. Merekalah yang menjadi duta Al-Azhar untuk membimbing umat Islam kearah
penghayatan Islam di seluruh pelusuk dunia

C. Syarat dan Rukun Wakaf


Kegiatan wakaf tidak akan dapat terlaksana tanpa memenuhi rukun-rukunnya. Seperti
yang telah kita ketahui, rukun wakaf ada 5, sebagai berikut:

1. Adanya orang yang berwakaf (waqif)


2. Tersedianya benda yang diwakafkan (mauquf).
3. Adanya orang yang menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih).
4. Terucapnya lafadz atau ikrar wakaf (sighah)

Syarat Wakaf

Setelah mengetahui pengertian wakaf, Sahabat sebaiknya harus tahu juga bagaimana
cara dan ketentuan saat ingin melakukan wakaf. Setidaknya ada 4 syarat yang perlu
dilakukan seseorang saat berniat melakukan wakaf.

Mauquf

Syarat pertama adalah adanya mauquf. Mauquf sendiri adalah benda yang akan
diwakafkan. Akan tetapi harus diingat ya Sahabat, bahwa tidak semua benda dapat
menjadi mauquf. Benda tersebut setidaknya harus memenuhi 4 syarat. Pertama, mauquf
dimiliki oleh seseorang. Kedua, mauquf memiliki nilai manfaat. Ketiga, mauquf harus
jelas keberadaannya saat kegiatan wakaf berlangsung. Keempat, mauquf memang benar
bertujuan untuk diwakafkan.

Wakif

Syarat selanjutnya adalah adanya wakif. Serupa dengan mauquf, tidak semua orang
memenuhi syarat untuk menjadi wakif. Lalu apa saja syarat menjadi wakif? Seseorang
dapat menjadi wakif apabila orang tersebut dalam keadaan akal yang sehat, merdeka,
dewasa, dan tidak di bawah pengampunan.

Shighot

Shighot berhubungan dengan ucapan. Saat akan melakukan wakaf, perlu mengucapkan
kata-kata yang menunjukkan kepastian, sangat mungkin direalisasikan, kekal, dan tidak
mengucapkan syarat tambahan dan mengucapkan syarat yang bisa membatalkan
kegiatan wakaf.
Mauquf ‘alaih
Mauquf ‘alaih adalah pihak yang menerima barang yang diwakafkan. Ada dua jenis
mauquf ‘alaih, yakni mu’ayyan dan ghairu mu’ayyan. Mauquf ‘alaih mu’ayyan adalah
penerima wakaf yang ditunjuk oleh wakif atau pemberi wakaf untuk menerima wakaf
tersebut. Contohnya seperti kerabat atau famili. Sementara mauquf ‘alaih ghairu
mu’ayyan adalah penerima wakaf yang tidak ditentukan. Sebagai contohnya yaitu
tempat ibadah, kelompok masyarakat tertentu, fakir, miskin, anak yatim piatu, dan
sebagainya
Objek Wakaf dan Pemanfaatannya
Jenis wakaf selanjutnya adalah berdasarkan harta yang diwakafkan. Ada 3 jenis wakaf
dalam kategori ini, yakni harta benda tidak bergerak, harta benda bergerak kecuali
uang, dan harta benda yang berupa uang.
Benda Tidak Bergerak
Pilihan mauquf untuk jenis wakaf harta benda tidak bergerak, dapat berupa tanah,
bangunan, kebun, atau benda yang berhubungan dengan pertanahan.
Contoh pemanfaatan: Gedung sekolah, gedung rumah sakit, perkebunan yang masih
menghasilkan panen, dll.
Benda Bergerak
Pilihan mauquf untuk jenis wakaf harta benda bergerak kecuali uang adalah yang sifat
bendanya bisa berpindah dan utamanya bisa dihabiskan. Contohnya antara lain surat
berharga, kekayaan intelektual, benda yang dapat bergerak, dll.
Contoh pemanfaatan: Quran, alat salat, ambulans, binatang ternak, dll.
Uang
Sementara mauquf berupa uang, yakni dengan mewakafkan sejumlah uang yang
dimiliki, atau disebut juga dengan wakaf tunai.
BAB IX

KEBIJAKAN MONETER DALAM ISLAM

A. PENGERTIAN KEBIJAKAN MONETER DALAM ISLAM


Jumlah uang beredar tidak boleh terlalu berlebihan atau kurang,
pengendalian jumlah uang beredar perlu dilakukan untuk menciptakaniklim
yang baik bagi stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi, serta
pengendalian terhadap kegiatan kredit. Kebijakan yang digunakan oleh
pemerintah untuk mengatur jumlah uang beredar inilah yang
dinamakandengan kebijakan moneter. Kontribusi kebijakan moneter
terhadapstabilitas harga sangat penting artinya untuk menekan tingkat
inflasi.Pertumbuhan jumlah uang beredar sebaiknya mengikuti
pertumbuhanekonomi, sehingga secara tidak langsung dapat menekan
tingkat pengangguran. Bank sentral selaku pelaksana kebijakan moneter
dapatmenjalankan kebijakan baik yang bersifat kuantitatif maupun
kualitatif.Kebijakan moneter dianggap lebih baik sebagai alat
stabilitasikegiatan ekonomi oleh negara, karena:
1. Tidak menimbulkan masalah crowding out;
2. Decision lag-nya tidak terlalu lama sehingga waktu
pelaksanaankebijakan dapat disesuaikan dengan masalah ekonomi yang
dihadapi;
3. Tidak menimbulkan beban kepada generasi yang akan datang dalam
bentuk keperluan untuk membayar bunga dan mencicil utang pemerintah.

Dari paparan diatas definisi yang dimaksud dengan kebijakan moneter


adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomianmakro ke
kondisi yang diinginkan dengan mengatur jumlah uang beredar.Kondisi
lebih baik disini adalah dengan meningkatnya output keseimbangan dan atau
terpeliharanya stabilitas harga. Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat
mempertahankan, menambah, atau mengurangi jumlah uang beredar dalam
upaya mempertahankan kemampuan ekonomiuntuk terus tumbuh sekaligus
mengendalikan inflasi.

Jika yang dilakukanadalah menambah jumlah uang beredar, maka


pemerintah dikatakanmenempuh kebijakan moneter ekspansif. Sebaliknya
jika jumlah uang beredar dikurangi, pemerintah menempuh kebijakan
kontraktif atau biasa pula dikenal sebagai kebijakan uang ketat.Selain itu
kebijakan moneter dapat pula berarti sebagai peraturandan ketentuan yang
dikeluarkan dalam mengatur penawaran uang dantingkat bunga, kebijakan
ini dilakukan oleh Bank Sentral. Agar ekonomitumbuh lebih cepat, bank
sentral bisa memberikan lebih banyak kreditkepada sistem perbankan
melalui operasi pasar terbuka, atau bank sentralmenurunkan persyaratan
cadangan dari bank-bank atau menurunkantingkat diskonto, yang harus
dibayar oleh bank jika hendak meminjam dari bank sentral. Akan tetapi,
apabila ekonomi tumbuh terlalu cepat dan inflasimenjadi masalah yang
semakin besar, maka bank sentral dapat melakukanoperasi pasar terbuka
(Open market operations), menarik uang dari sistem perbankan, menaikkan
persyaratan cadangan minimum (reserverequirement), atau menaikkan
tingkat diskonto (interest or discount rate), sehingga dengan demikian akan
memperlambat pertumbuhan ekonomi.Instrumen kebijakan moneter lain
berkisar dari kebijakan kredit selektifsampai moral suasion, suatu kebijakan
yang sederhana, tetapi seringsangat efektif. Kebijakan moeneter dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Kebijakan moneter yang bersifat kuantitatif, yaitu kebijakan umum yang


bertujuan untuk mempengaruhi jumlah penawaran uang dan tingkat bunga
dalam perekonomian.
 Operasi pasar terbuka
 Mengubah persyaratan cadangan minimum (reserve requirement)
 Mengubah tingkat suku bunga ( Discount rate)

2. Kebijakan moneter yang bersifat kualitatif:


 Pengawasan pinjaman secara selektif, yaitu menentukan jenis- jenis
pinjaman mana yang harus dikurangi atau digalakkan.
 Pembujukan moral, yaitu bank sentral menghimbau sertamembujuk
kepada bank-bank untuk melakukan suatu hal yangdiarahkan, misalnya pada
saat terlalu banyak jumlah uang beredar, bank sentral bisa membujuk kepada
bank untukmengurangi penyaluran kreditnya.

Banyak faktor yang mempengaruhi pemerintah dan sistem bankdalam


menentukan jumlah penawaran uang pada suatu waktu tertentu.Tingkat bunga
tidak mempunyai peranan dalam menentukan jumlah uangyang ditawarkan pada
suatu waktu tertentu. Perubahan tingkat bungadalam analisis parsial saat ada
pergeseran baik permintaan dan penawaranuang.Kebijakan moneter dijalankan
dalam rangkaian perubahan dalam perekonomian yang akhirnya menyebabkan
perubahan pendapatannasional dan penggunaan tenaga kerja.

Adapun faktor-faktor yang menentukan efektivitas kebijakanmoneter yakni :

1. Perbedaan tingkat elastisitas permintaan uang


2. Perbedaan elastisitas efisiensi modal marginal (MEI)
3. Perubahan dalam marginal Propensity to Consume (MPC)

B. PRINSIP-PRINSIP KEBIJAKAN MONETER DALAM EKONOMI


ISLAM
Secara khusus kebijakan moneter mempunyai pengertian sebagaitindakan
makro pemerintah melalui bank sentral dengan caramempengaruhi
penciptaan uang. Dengan mempengaruhi proses penciptaanuang, pemerintah
bisa mempengaruhi jumlah uang beredar, yangselanjutnya pemerintah bisa
mempengaruhi pengeluaran investasi,kemudian mempengaruhi permintaan
agregat dan akhirnya tingkat hargasehingga tercipta kondisi ekonomi
sebagaimana yang dikehendaki.
Kebijakan moneter dalam islam berpijak pada prinsip-prinsip dasarekonomi
islam sebagai berikut :

1. Kekuasaan tertinggi adalah milik Allah dan Allah lah pemilik


yangabsolut.
2. Manusia merupakan pemimpin (kholifah) di bumi, tetapi bukan pemilik
yang sebenarnya.
3. Semua yang dimiliki dan didapatkan oleh manusia adalah karenaseizin
Allah,dan oleh karena itu saudara-saudaranya yang kurang beruntung memiliki
hak atas sebagian kekayaan yang dimilikisaudara-saudaranya yang lebih
beruntung.
4. Kekayaan tidak boleh ditumpuk terus atau ditimbun.
5. Kekayaan harus diputar.
6. Menghilangkan jurang perbedaan antara individu dalam perekonomian,
dapat menghapus konflik antar golongan.
7. Menetapkan kewajiban yang sifatnya wajib dan sukarela bagi
semuaindividu, termasuk bagi anggota masyarakat yang miskin.

Dalam aspek teknis, kebijakan moneter islam harus bebas dariunsur riba
dan bunga bank. Dalam islam riba yang termasuk didalamnya bunga bank
diharamkan secara tegas. Dengan adanya pengharam ini maka bunga bank
yang dalam ekonomi kapitalis menjadi instrument utamamanajemen
moneter menjadi tidak berlaku lagi. Manajemen moneterdalam islam
didasarkan pasa prinsip bagi hasil.

C. INSTRUMEN MONETER ISLAMI


1. Mazhab Pertama ( Iqtishaduna)
Menurut mazhab iqtishaduna tidak diperlukan suatu kebijakan moneter
dikarenakan hampir tidak adanya sistem perbankan danminimnya
penggunaan uang. Jadi tidak ada alasan yang memadai untuk melakukan
perubahan-perubahan dalam penawaran uang (Ms).Selain itu kredit tidak
mempunyai peran dalam penciptaan uang,karena kredit hanya digunakan
di antara para pedagang saja serta peraturan pemerintah tentang surat
peminjaman dan instrument negosiasi yang dirancang sedemikian rupa
sehingga tidak memungkinkan sistem kredit dapat menciptakan uang.
Sistem yangditerapkan oleh pemerintah yang berhubungan dengan
konsumsi,tabungan dan investasi telah menciptakan instrumen otomatis
untuk pelaksanaan kebijakan moneter.

2. Mazhab Kedua (Mainstream)


Instrumen yang digunakan mazhab kedua untuk mempengaruhi
Permintaan Agregat adalah dengan dikenakannya biaya atau pajak atas
dana atau aset produktif yang menganggur (duesof idle fund ).
Peningkatan dues of idle fund akan mengalihkan permintaan uang yang
sedianya ditujukan untuk penimbunan uang/aset yang produktif kepada
tujuan uang yang akan meningkatkan produktifitas uang tersebut di
sektor riil sehingga investasi meningkat.Peningkatan investasi
berdampak pada peningkatan Permintaan Agregat, sehingga
keseimbangan umum yang baru akan berada padatingkat pendapatan
nasional yang lebih tinggi. Masyarakat diarahkan untuk mengalokasikan
dananya kepada sektor produktif agar dapat memacu pertumbuhan
ekonomi semakin tinggi apabila dana/aset produktif tersebut hanya
dibiarkan menganggur.

3. Mazhab Ketiga (Alternatif)


Sistem kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhabalternatif adalah
syuratiq process yaitu dimana suatu kebijakan yangdiambil oleh otoritas
moneter berdasarkan musyawarah sebelumnyadengan otoritas sektor riil.
Jadi keputusan-keputusan kebijakanmoneter yang dituang daLam bentuk
instrumen moneter biasanyaadalah harmonisasi dengan kebijakan-
kebijakan di sektor riil.Kebijakan di sektor moneter adalah derivasi dari
sektor riil danharmonisasi dengan sektor riil. Secara umum manajemen
moneterIslam yang diajukan oleh mazhab ketiga adalah besarnya jumlah
penawaran uang mengikuti permintaan uang dari masyarakat. Hal
iniagar tidak ada kesenjangan antara sektor riil dan sektor
moneter.Harmonisasi antar sektor riil dan moneter akan
menghasilkansuatu kurva jangka panjang dari penawaran uang (Ms) dan
permintaanuang (Md) yang berbentuk seperti jalinan tambang yang
harmonisdengan pertumbuhan pendapatan nasional (Y). Jika terjadi
peningkatan Permintaan Agregat sebagai akibat dari peningkatan-
peningkatan pada konsumsi, atau ekspor bersih (net export), atutingkat
investasi atau tingkat belanja pemerintah, maka akan terjadikenaikan
permintaan uang (Md 1 ke Md 2) di pasar uang. Responnyaotoritas
moneter akan meningkatkan penawaran uang dari Ms 1 ke Ms2
(kebijakan yang harmonis dengan sektor riil). Jika kemudian terjadilagi
peningkatan permintaan uang (Md), maka otoritas moneter
akanmerespon hal yang sama yang meningkatkan lagi penawaran uang
(Ms).

A. KEBIJAKAN MONETER PADA MASA NABI.SAHABAT ATAU


KHULAFAURASYIDIN.

1. Masa Nabi Muhammad Saw


Perekonomian jazirah Arabia ketika jaman Rasulullahmerupakan ekonomi
dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumberdaya alam. Minyak bumi
belum dittemukan dan sumber daya lainnyamasih terbatas. Lalu lintas
perdagangan amtara Romawi dan Indiayang melalui Arab dikenal sebagai
jalur dagang selatan. Sedangkanantara Romawi dan Persia disebut sebagai
jalur dagang utara. AntaraSyam dan Yaman disebut sebagai jalur dagang
utara selatan.
Perekonomian Arab di jaman Rasulullah SAW, bukanlahekonomi
terbelakang yang mengenai barter, bahkan jauh darigambaran seperti itu.
Pada masa itu telah terjadi:

a. Valuta asing dari persia dan Romawi yang dikenal oleh seluruhlapisan
masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resminyaadalah Dinar dan Dirham.
b. Sistem devisa bebas ditetapkan, tidak ada halangan sedikitpununtuk
mengimpor dinar atau dirham.
c. Transaksi tidak tunai diterima luas dikalangan pedagang.
d. Cek dan promissory note lazim digunakan, misalnya Umar binKhattab
r.a. menggunakan instrumen ini ketika melakuan impor barang-barang yang
baru dari Mesir ke Madinah.
e. Instrumen factory (anjak piutang) yang baru populer pada tahun1980-an
telah dikenal dengan nama al-hiwalah, tetapi tentunya bebas dari unsur bunga.

Pada masa itu, bila penerimaan akan uang meningkat, makadinar dan
dirham diimpor. Sebaliknya, bila permintaan uang turun, barang impor nilai
emas dan perak yang terkandung dalam dinar dandirham sama dengan nilai
nominalnya. Sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis. Kelebihan
penawaran uang dapat diubahmenjadi perhiasan emas atau perak. Tidak
terjadi kelebihan atau permintaan akan uang, sehingga nilai uang stabil.

Permintaan uang hanya untuk keperluan transaksi dan berjaga- jaga.


Permintaan uang yang riil dilarang. Penimbunan mata uangdilarang-larang
sebagaimana penimbunana barang juga dilarang.Trasaksi talaqqi rukban
dilarang, yaitu mencegat penjual darikampung di luar kota untuk mendapat
keuntungan dari ketidaktahuan harga. Hal demikian merupakan tindakan
distorsi harga. Distorsi harga merupakan cikal bakal spekulasi. Transaksi
kali bi kali dilarang, yaitu bukan transaksi dan bukan pula transaksi
tunai.Keistimewaan dalam Islam dalam hal transaksi adalah bahwa
transaksi tunai boleh, transaksi tidak tunai boleh namun melarang transaksi
future tanpa ada barangnya. Transaksi maya satu unsur riba. Sagala bentuk
riba dilarang. Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus
stabilitas, Islam tidak menggunakan instrumen bunga atau penawaran uang
baru melalui percetakan defisit anggaran. Di dalam Islam, yang dilakukan
adalah mempecepat perputaran uang dan pembangunan infrastruktur
sektorriil. Faktor pendorong percepatan perputaran uang adalah disebabkan
oleh kelebhan likuiditas. Uang tidak boleh ditimbul dan dipinjamkan
dengan bunga. Sedangkan faktor penarikan uang adalah dianjurkan dengan
jalan Qardh (pinjaman kebajikan), sedekah dan kerja sama bisnis berbentuk
syirkah atau mudharabah. Keuntungan utama darikerja sama bisnis adalah
pelaku dan penandang dana bersama-samamendapat pengalaman,
informasi, metode supervisi, manajemen dan pengetahuan akan risiko suatu
bisnis. Akujmulasi dari informasi iniakan menurunkan tingkat resiko
investasi.

Jelaslah kebijakan moneter Rasulullah SAW selalu terkaitdengan sektor riil


perekonomian. Hasilnya adalah pertumbuhansekaligus stabilitas.

2. Masa Sahabat atau Khulafaurasyidin


a. Abu Bakar Ash-Shiddiq
Dalam masalah perekonomian Abu Bakar tidak banyakmelakukan
perubahan, Ia meneruskan sistem perekonomian yangtelah di bangun
Nabi Muhammad seperti membangun kembaliBaitul Maal,
melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasiltaklukan serta
mengambil alih tanah orang murtad demikepentingan umat
Islam.Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq melaksanakan
kebijakanmoneternya sebagai berikut:
 Perkembangan pembangunan baitul maal dan penanggungjawaban
baitul maal.
 Menerapkan konsep balance budget policy pada baitul maalatau prinsip
kesamarataan yakni memberikan jumlah yangsama kepada semua sahabat dan
tidak membeda-bedakanantara sahabat, budak dan orang merdeka, bahkan
antara priadan wanita. Dengan begitu harta di Baitul Maal tidak
pernahmenumpuk dalam jangka waktu lamakarena langsungdidistribusikan
kepada kaum muslimin.

b. Umar bin Khattab


Kebijakan moneter Umar diantaranya seperti gagasanspektakulernya
tentang pembuatan uang dari kulit unta agar lebihefisien. Stabilitas nilai
tukar emas dan perak terhadap mata uangdinar dan dirham. Penetapan
nilai dirham, instrumen moneter,contoh harga barang dipasar dan lain
sebagainya.
Mengenai pencetakan uang dalam Islam menjadi perbedaan pendapat.
Namun riwayat yang terbanyak dan masyhur menjelaskan bahwa Malik
bin Marwan-lah yang pertama mencetak dirham dan dinar dalam Islam.
Sedangkan dalam riwayat lain menyebutkan Umar yang pertama kali
mencetak dirham pada masanya. Tentang hal ini Al-Maqrizi mengatakan
“ketika Umar bin Khattab menjabat sebagaikhalifah dia menetapkan ung
dalam kondisinya semula dan tidakterjadi perubahan satupun pada
masanya hingga tahun 18 H.Dalam tahun ke-6 kekhalifahannya ai
mencetak dirham ala ukiran kisra dan dengan bentuk yang serupa.
Hanya saja ia menambahkan kata alhamdulillah dan dalam bagian yang
lain dengan kata Rasulullah dan pada bagian lain lagi dengan kata
lailahaillallah, sedangkan gambarnya adalah gambar kisra
bukangambarnya Umar. Namun dalam riwayat Al-Bukhari
diriwayatkan, ketikaUmar melihat perbedaan antara dirham big dengan
nilai delapan daniq, dan ada dirham thabari senilai empat daniq, dirham
Yamani dengan nilai sau daniq. Ketika ia melihat kerancuan itu,
kemudian ia menggabungkan dirham Islam yang nilainya enam daniq.
Dan masih banyak riwayat yang lain menerangkan bahwa Umar telah
mencetak.
Dapat disimpulkan kebijakan moneter Umar bin Khattab yaitu:
 Reorganisasi baitul maal , dengan mendirikan Diwan Islamyang pertama
yang disebut dengan al-Divan (sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar
tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiunan dan tunjangan-tunjangan
lainnya).
 Adanya gagasan spektakulernya tentang pembuatan uang darikulit unta
agar lebih efisien.
 Stabilitas nilai tukar emas dan perak terhadap mata uangdinar dan
dirham.
 Penetapan nilai dirham, instrumen moneter, kontrol harga barang dipasar
dan lain sebagainya.

c. Usman bin Affan


Pada masa pemerintahannya Usman banyak mengikuti kebijaknekonomi
Umar bin Khattab. Di bawah ini beberapa kebijakanUsman bin Affan
yaitu :
 Pembangunan pengairan
 Pembentukan organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan
perdagangan
 Pembangunan gedung pengadilan, guna penegakan hukum
 Kebijakan pembagian lahan luas milik raja Persia kepadaindividu dan
hasilnya mengalami peningkatan biladibandingkan pada masa umar dari 9 juta
menjadi 50 juta dirham

d. Ali bin Abi Thalib


Dalam mengelola perekonomian Ali bin Abi Thalib sangat berhati-hati
terlebih dalam membelanjakan keuangan negara. Ali menarik diri dari
daftar penerima gaji dan bahkan menyumbangsebesar 5000 dirham
setiap tahunnya. Perekonomian pada masaAli bin Abi Thalib mengambil
tindakan sperti membuka lahan perkebunan yang telah diberikan kepada
orang-orang kesayangan Usman, dan mendistribusikan pendapatan pajak
tahunan sesuai dengan ketentuan yang dotetapkan Umar bin Khattab.
Kebijakan moneter Ali bin Abi Thalib diantaranya:
 Pendistribusian yang ada padabaitul maal, Ali mengeluarkansemua tanpa
ada cadangan dengan prinsip pemerataandistribusi uang rakyat. Berbeda dengan
Umar yangmenyisihkan untuk cadangan.
 Pengeluaran angkatan laut dihilangkan
 Adanya kebijakan pengetatan anggaran
 Mencetak mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam,dimana
sebelumnya menggunakan mata uang Romawi danPersia.
BAB X

PEMBAHASAN
LEMBAGA KEUANGAN ISLAM
A. Pengertian Lembaga Keuangan Islam
Secara umum, Lembaga Keuangan sangat diperlukan dalam perekonomian modern
karena fungsinya sebagai mediator antara kelompok masyarakat yang kelebihan
dana dan kelompok masyarakat yang memerlukan dana. Lembaga keuangan itu
bisa berbentuk seperti sebuah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan.
Yang bentuknya dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Lembaga keuangan konvensional
b. Lembaga keuangan syariah
Dalam pandangan konvensionalnya, lembaga keuangan adalah badan usaha yang
kekayaan utama berbentuk aset keuangan, memberikan kredit dan menanamkan
dananya dalam surat berharga, serta menawarkan jasa keuangan lain seperti
simpanan, asuransi, investasi, pembiayaan, dan lain-lain.
Lembaga keuangan syariah (syariah financial institution) merupakan suatu badan
usaha atau institusi yang kekayaannya terutama dalam bentuk asset-aset keuangan
(financial assets) maupun non financial asset atau asset riil berlandaskan konsep
syariah.15
Tidak ada satu definisi pun yang dapat menjelaskan pengertian lembaga keuangan
secara sempurna dalam pandangan syariah. Akan tetapi, ada beberapa kriteria
tentang sebuah lembaga keuangan yang berbasis syariah, yaitu : lembaga keuangan
milik umat Islam, melayani umat Islam, ada dewan syariah, merupakan anggota
organisasi Internasional Association of Islamic Banks (IAIB) dan sebagainya.16
Lembaga keuangan syariah dapat dibedakan menjadi dua yaitu :17
a. Lembaga keuangan depository syariah (depository financial institution syariah)
yang disebut lembaga keuangan bank syariah
Sesuai UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah bank
yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum
islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan
dan keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme
(alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang
haram. Selain itu, UU Perbankan Syariah juga mengamanahkan bank syariah untuk
menjalankan fungsi sosial dengan menjalankan fungsi seperti lembaga baitul
mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana
sosial lainnya dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai
kehendak pemberi wakaf (wakif).
Berbicara tentang definisi bank syariah, ada beberapa pakar yang menjelaskan
definisi dari bank syariah sebagai berikut :
1. Bank syariah adalah bank yang sistem perbankannya menganut prinsip- prinsip
dalam islam. Bank syariah merupakan bank yang diimpikan oleh para umat islam.
2. Pengertian Bank Syariah Menurut Sudarsono, Bank Syariah adalah lembaga
keuangan negara yang memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya di dalam lalu
lintas pembayaran dan juga peredaran uang yang beroperasi dengan menggunakan
prinsip-prinsip syariah atau islam.
3. Menurut Perwataatmadja, Pengertian Bank Syariah adalah bank yang
beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah (islam) dan tata caranya
didasarkan pada ketentuan Al-quran dan Hadist.
4. Siamat Dahlam mengemukakan Pengertian Bank Syariah, Bank Syariah
merupakan bank yang menjalankan usahanya berdasar prinsip-prinsip
syariah yang didasarkan pada alquran dan hadits.
5. Pengerian Bank Syariah menurut Schaik, Bank Syariah adalah suatu bentuk
dari bank modren yang didasarkan pada hukum islam, yang dikembangkan
pada abad pertenganhan islam dengan menggunakan konsep bagi risiko
sebagai sistem utama dan meniadakan sistem keuangan yang didasarkan
pada kepastian dan keuntungan yang telah ditentukan sebelumnya.
6. Dalam UU No.21 tahun 2008 mengenai Perbankan Syariah mengemukakan
pengertian perbankan syariah dan pengertian bank syariah.
 Perbankan Syariah yaitu segala sesuatu yang menyangkut bank syariah dan
unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, mencakup kegiatan usaha, serta
tata cara dan proses di dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
 Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya dengan
didasarkan pada prisnsip syariah dan menurut jenisnya bank syariah terdiri
dari BUS (Bank Umum Syariah), UUS (Unit Usaha Syariah) dan BPRS
(Bank Pembiayaan Rakyat Syariah),
7. Bank Syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum islam
dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar
bunga kepada nasabah. Imbalan bank syariah yang diterima maupun yang
dibayarkan pada nasabah tergantung dari akad dan perjanjian yang
dilakukan oleh pihak nasabah dan pihak bank. Perjanjian (akad) yang
terdapat di perbankan syariah harus tunduk pada syarat dan rukun akad
sebagaimana diatur dalam syariat islam.

b. Lembaga keuangan syariah non depository (non depository financial


institution syariah) yang disebut lembaga keuangan syariah bukan bank.

a. Pengertian lembaga keuangan syariah Non Bank


Lembaga Keuangan Syariah Non Bank adalah suatu badan usaha yang bergerak
dibidang keuangan dengan secara langsung maupun tidak langsung
menghimpun dana-dana yang berasal dari masyarakat kemudian disalurkan
kembali kepada masyarkat untuk tujuan kegiatan-kegiatan yang produktif
namun dengan ketentuan-ketentuan yang syariah. Lembaga keuangan bukan
bank syariah mendapatkan pembinaan serta pengawasan dari segi
7

pemenuhan prinsip oleh dewan syariah MUI.


Lembaga keuangan bukan bank adalah lembaga keuangan yang
memberikan jasa-jasa keuangan dan menarik dana dari masyarakat
secara tidak langsung (non depository). Lembaga keuangan bukan
bank, yaitu lembaga pembiayaan yang terdiri dari leasing,
factoring, pembiayaan
konsumen dan kartu kredit, perusahaan peransuransian yang
diantaranya asuransi keuangan dan asuransi jiwa serta reasuransian,
dana pension lembaga keuangan . dana peruahaan efek reksadana,
perusahaan penjamin, perusahaan modal ventura dan pegadaian

 Macam-macam Lembaga Keuangan Syriah Non-Bank di Indonesia


a. Baitull Maal Wa Tamwil (BMT)
Bmt merupakan lembaga perekonomian rakyat kecil yang
bertujuan meningkatkan dan menumbuh kembangkan
kegiatan ekonomi pengusaha mikro yang berkualitas dengan
mendorong kegiatan perekonomian. Sedangkan menurut UU
No 25 tahun 1992 koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang-orang atau
12
badan-badan yang berlandaskan atas asas kekeluargaan .
b. Reksadana syariah
Reksadana syariah adalah wadah yang di pergunakan untuk
menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk di
investasikan dalam fortofolio efek oleh menejer investasi serta
sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
c. Pasar modal syariah
Pasar modal syariah (Islamic stock exchange) adalah
kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan efek syariah
perusahaan public yang diterbitkannya serta lemaga profesi
yang berkaitan, dimana semua produk dan mekanisme
operasionalnya tidak bertentangan dengan ketentuan syariat
islam.
d. Pegadaian syariah (rahn)
Rahn adalah kegiatan menjamin hutang dagang barang,
dimana hutang dimungkinkan biasa dibayar denganya, atau dari
hasil penjualannya. Rahn juga dapat diartikan dengan menahan
harta salah satu milik si peminjam sebagai jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian hutangnya.
e. Asuransi syariah
Asuransi (at-ta’min) adalah transaksi perjanjian antara dua
belah pihak yaitu pihak pertama berkewajiban membayar iuran
dan pihak lainya berkewajiban memberikan jaminan
sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi Sesuatu yang
menimpa pihak pertama sesuai perjanjian yang di buat.
f. Lembaga zakat, infak dan wakaf
Lembaga ini hanya ada dalam system keuangan islam
karena Islam mendorong umatnya untuk menjasi sukarelawan
dalam beramal .dana ini hanya dibolehkan untuk dialokasikan
untuk kepentingan sosial atau peruntukan yang telah diatur
dalam syariat Islam14. Berikut surah at- taubah ayat 60 yang
membahas mengenai zakat :Terjemahan : Sesungguhnya zakat-
zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
B. Peranan Lembaga Keuangan Islam
Fungsi dan peran lembaga keuangan syariah diantaranya memenuhi
kebutuhan masyarakat akan dana sebagai sarana untuk melakukan kegiatan
ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Misalnya
mengonsumsi suatu barang, tambahan modal kerja, mendapatkan manfaat
atau nilai guna suatu barang, atau bahkan per modalan awal bagi seseorang
yang mempunyai usaha prospektif namun padanya tidak memiliki
permodalan berupa keuangan yang memadai.13
Dalam redaksi lain, fungsi dan peran lembaga keuangan syariah
sebagai berikut:15
 Memperlancar pertukaran produk (barang dan jasa) dengan
menggunakan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah.
 Menghimpun dana dari masyarakat untuk disalurkan kembali dalam
bentuk pembiayaan sesuai dengan prinsip syariah.
 Memberikan pengetahuan/informasi kepada pengguna jasa keuangan
sehingga membuka peluang keuntungan sesuai prinsip syariah.
 Lembaga keuangan memberikan jaminan hukum mengenai
keamanan dana masyarakat yang dipercayakan sesuai dengan prinsip
syariah.
 Menciptakan likuiditas sehingga dana yang disimpan dapat
digunakan ketika dibutuhkan sesuai dengan prinsip syariah.
Menurut M. Zaidi Abdad, lembaga keuangan syariah mempunyai
beberapa fungsi sebagai berikut:16
 Memberikan kemudahan sekaligus pedoman kepada anggota
masyarakat menyangkut bagaimana harus bertingkah laku atau
bersikap dalam menghadapi masalah-masalah yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat, terutama yang berkaitan dengan
masalah perekonomian sebagai kebutuhan masyarakat yang
bersangkutan.
 Memberikan rasa aman kepada masyarakat dalam bertindak untuk
urusan perekonomian, karena lembaga ini didasarkan pada nilai-
nilai keislaman.
 Memberikan pegangan kepada anggota masyarakat untuk
mengadakan sistem pengendalian sosial, yaitu sistem pengawasan
masyarakat terhadap perilaku anggota.
 Untuk menjaga keutuhan serta kebersamaan masyarakat yang
bersangkutan dalam kegiatan di bidang perekonomian.

C. Perbeda’an Lembaga Keuangan Islam dan Lembaga Keuangan


Konvesional
Lembaga keuangan islam atau sering juga dikenal dengan Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) adalah lembaga yang dalam aktivitasnya, baik
penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan
dan mengenakan imbalan atau dasar prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi
hasil.

1. Mekanisme Lembaga Keuangan


a. Mekanisme Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga Keuangan Syariah, dalam setiap transaksi tidak
mengenal bunga, baik dalam menghimpun tabungan investasi
masyarakat ataupun dalam pembiayaan bagi dunia usaha yang
membutuhkannya.
Ciri-ciri sebuah Lembaga Keuangan Islam (LKS) dapat dilihat
dari hal-hal sebagai berikut:
 Dalam menerima titipan dan investasi, Lembaga Keuangan
Syariah harus sesusi dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah;
 Hubungan antar investor (penyimpanan dana), pengguna
dana, dan LKS sebagai intermediary institution, berdasarkan
kemitraan, bukan hubungan debitur kreditur;
 Bisnis LKS bukan hanya berdasarkan profit orianted, tetapi
juga falah orianted, yakni kemakmuran di dunia dan
kebahagiaan di akhirat;
 Konsep yang digunakan dalam transaksi LKS berdasarkan
prinsip kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa guna
transaksi komersial, dan pinjam meminjam (qardh/kredit) guna
transaksi sosial;
 LKS hanya melakukan investasi yang halal dan tidak
menimbulkan kemhudaratan serta tidak merugikan syiar islam
Dalam membangun sebuah usaha, salah satu yang dibutuhkan
adalah modal. Modal dalam pengertian ekonomi syariah bukan
hanya uang, tetapi meliputi materi baik berupa uang ataupun
materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Salah satu
modal yang penting adalah sumber daya insasi yang mempunyai
kemampuan dibidangnya.
b. Mekanisme Lembaga Keuangan Konvensianal
Kegiatan usaha bank dalam melakukan penghimpunan dana
masyarakat maupun dalam penyaluran dana dilakukan melalui
produksi juga keuangan. Hal ini karena produksi jasa keuangan
dan bank dapat mempengaruhi perbedaan uang dimasyarakat,
serta berpngaruh terhadap perekonomian. Oleh karena itu,
produksi jasa keuangan bank diatur oleh peraturan yang sifatnya
mengikat dalam kegiatan operasional bank, sehingga dapat
memberikan keamanan bagi stabilitas ekonomi nasional.

2. Bank
a. Bank Konvesional
Bank Konvensional menerapkan sistem pinjam meminjam
dengan menggunakan sistem bunga yang merupakan tambahan atas
pinjaman, dimana tamabahan atau bunga ini diharamkan dalam
Syariah Islam. Dalam hal ini, apapun yang terjadi dengan yang
meminjam uang bank, bai untung maupun rugi, maka yang
meminjam harus membayar bunga sesuai yang ditetapkan oleh
Bank.
b. Bank Syariah
Bank Syariah tidak menerapkan sistem pinjam meminjam,
melainkan sistem kerja sama atau jual beli. Misalnya kerjasama
antar pemilik modal dengan pengusaha ( mudharobah), yang
disepakati adalah jika untung, maka dilakukan pembagian
keuntungan dengan proporsi yang ditetapkan atau yang disepakati.
Bisa juga jual beli (murabahah), dimana bank menjual suatu barang
dengan mengambil marjin keuntungan, kemudian dicicil dengan
cicilan tetap. Dan bentuk-bentuk transaksi lain yang disediakn oleh
Bank.
3. Falsafah
a. Bank Konvensional (Berdasarkan Bunga)
b. Bank Syariah ( tidak berdasarkan bunga, spekulasi dan
ketidakjelasan)
4. Operasional
a. Bank Konvensional
 Dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar
bunganya pada saat jatuh tempo
 Penyaluran pada sektor yang menguntungkan, aspek halal
tidak menjadi pertimbangan utama
b. Bank Syariah
 Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang baru akan
mendapatkan hasil jika diusahakan terlbih dahulu
 Penyaluran pada usaha yang halal dan menguntungkan
5. Aspek Sosial
a. Bank Konvensional
 Tidak diketahui secara tegas
b. Bank Syariah
 Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam visi
dan misi
6. Organisasi
a. Bank Konvensional
 Tidak memiliki dewan pengawas syariah
b. Bank Syariah
 Harus memiliki dewan pengawas syariah

D. Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia

Di atas telah disebutkan bahwa lembaga keuangan syariah bukan hanya bank,
secara garis besar dapat digambarkan di bawah ini lembaga-lembaga keuangan
syariah yang ada, yaitu:
1. Bank Syari’ah

Bank merupakan suatu lembaga keuangan yang mempunyai


fungsi utamanya adalah menerima simpanan uang, meminjamkan uang,
dan jasa pengiriman uang, pada awalnya istilah bank memang tidak di
dikenal di dunia islam, yang lebih dikenal adalah jihbiz yang mempunyai
arti penagih pajak yang pada waktu itu jihbiz dikenal dengan penagih dan
penghitung pajak pada benda yang kena pajak yaitu barang dan tanah.
Pada zaman Bani Abbasiyyah, jihbiz lebih dikenal dengan profesi
penukaran uang yang pada waktu itu diperkenalkan mata uang yang
dikenal dengan fulus yang terbuat dari tembaga, dengan adanya fulus para
gubernur pemerintahan cenderung mencetak fulusnya masing-masing
sehingga akan berbeda-beda nilai dari fulus tersebut, kemudian ada
sistem penukaran uang. Selain

melakukan penukaran uang jihbiz juga menerima titipan dana,


meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang.
2. Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah

Menurut undang-undang (UU) Perbankan No. 7 tahun 1992, BPR


adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan uang hanya dalam
bentuk deposito berjangka tabungan, dan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dalam bentuk itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR.
Pada UU Perbankan No. 10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR adlah
lemabaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
Pengaturan pelaksanaan BPR yang menggunakan prinsip syariah
tertuang pada surat Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/tentang
Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah tanggal 12 Mei
1999. Dalam hal ini pada teknisnya BPR syariah beroperasi layaknya
BPR konvensional namun menggunakan prinsip syariah.
3. Asuransi Syariah

Kata asuransi berasal dari bahasa inggris, “insurance”. Dalam


bahasa arab istilah asuransi biasa diungkapkan dengan kata at-tamin yang
secara bahasa berarti tuma’ ninatun nafsi wa zawalul khauf, tenangnya
jiwa dan hilangnya rasa takut.

Asuransi menurut UU RI No.2 th. 1992 tentang usaha


perasuransian, yang dimaksud dengan asuransi yaitu perjanjian antara dua
belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri
dengan pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tak pasti atau untuk memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seeseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-MUI
adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah
orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui
akad yang sesuai dengan syariah.

4. Baitul Mall Watamwil (BMT)

Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri Terpadu,
adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi
hasil, menumbuh kembangkan derajat dan martabat serta membela
kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal
awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada
system ekonomi yang salaam.
BMT bersifat terbuka, independen, tidak partisan, berorientasi pada
pengembangan tabungan dan pembiayaan untuk mendukung bisnis
ekonomi yang produktif bagi anggota dan kesejahteraan social masyarakat
sekitar, terutama usaha mikro dan fakir miskin.
5. Pasar Modal Syari’ah

Istilah sekuritas (securities) seringkali disebut juga dengan efek,


yakni sebuah nama kolektif untuk macam-macam surat berharga,
misalnya saham, obilgasi, surat hipotik, dan jenis surat lain yang
membuktikan hak milik atas sesuatu barang. Dengan istilah yang hampir
sama, sekuritas juga dapat dipahami sebagai promissory notes/commercial
bank notes yang menjadi bukti bahwa satu pihak mempunyai tagihanpada
pihak lain. Adapun,yang dimaksud dengan sekuritas syariah atau efek
syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal yang akad, pengelolaan perusahaan,
maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah.
Diantara bank-bank islam yang ada, terdapat dua pendapat yang
berbeda dalam menyikapi surat berharga. Pertama, mayoritas bank islam
menolak perdagangan surat berharga. Kedua, bank islam di Malaysia,
dalam beberapa kondisi termasuk juga bank islam di Indonesia,
menerima transaksi surat berharga.
Alasan penyangkalan mereka yang enolak surat berharga adalah
karena di dalamnya terkandung bai ad-dyn (jual beli utang). Sementara itu
islam secara tegas telah engharamkan jual beli utang. Reaksi yang
berbeda dikemukakan oleh pendapat kedua, yakni mereka yang
mengabsahkan transaksi surat berharga. Umumnya mereka menyandarkan
pada prinsip bahwa surat berharga tersebut haruslah di endors(dijamin)
oleh pihak penerbit, kemudian surat berharga tersebut haruslah timbul dari
aktivatas yang tidak bertentangan dengan syariah. Jadi, selama kedua hal
ini tidak dilanggar, tarnsaksi surat berharga menjadi sah karenanya.
Terlepas bagaimanapun reaksi yang diungkapkan oleh umat. Yang
pasti, islam sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan aktifitas
ekonomi (mu amalah) dengan cara yang benar dan baik, serta melarang
penimbunan barang, atau membiakan harta menjadi tidak produktif, sehingga
aktifitas ekonomi yang dilakukan depat meningkatkan ekonomi umat. Tujuan
utamanya adalah untuk memproleh keuntungan (falah), baik materi maupun
non materi, dunia dan akhirat. Sementara itu, segala bentuk aktivitas ekonomi
yang dilakukan haruslah berdasarkan suka sama suka, berkeadilan, dan tidak
saling merugikan.
Kategori kedua, sekuritas- sekuritas yang berbeda dalam grey area
(questionable) karena dicurigai sarat dengan gharar, meliputi produk-produk
derivates, seperti forward, future dan juga options.
Kategori ketiga, yakni sekuritas yang diperbolehkan, baik secara penuh
maupun dengan catatan-catatan meliputi, saham, dan islmic bonds, profit
loss sharing based, government securities, penggunaan institusi pasar
sekunder dan mekanismenya semisal margin trading. Karena sering seklai
catatan-catatannya begitu dominan.
6. Reksa Dana Syariah

Reksa dana diartikan sebagai wadah yang dipergunkanan untuk


menghimpun dana dari masyarakat investor untuk selanjutnya
diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Reksa dana
merupakan investasi campuran yang menggabungkan saham dan obligasi
dalam satu produk.
Sedangkan Reksa Dana Syariah merupakan sarana investasi campuran
yang menggabungkan saham dan obligasi syariah dalam satu produk yang
dikelola oleh manajer investasi. Manajer investasi menawarkan Reksa Dana
Syariah kepada para investor yang berminat, sementara dana yang diperoleh
dari investor tersebut dikelola oleh manajer investasi untuk ditanamkan
dalam saham atau obligasi syariah yang dinilai menguntungkan.
BAB XI
PEMBAHASAN
MAKRO EKONOMI

2.1 Pengertian Makro Ekonomi


Makro Ekonomi menurut Muana Nanga merupakan cabang ilmu
ekonomi yang menelaah perilaku dari perekonimian atau tingkat kegiatan
ekonomi secara keseluruhan (aggregate), termasuk di dalamnya faktor-
faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian atau kegiatan ekonomi
agregat tersebut. (Nanga,2001:1).
Makroekonomi adalah cabang ilmu ekonomi yang berurusan dengan
berbagai masalah makroekonomi yang penting (major macroeconomic issues)
dan sekaligus merupakan persoalan yang dihadapi didlam kehidupan sehari-
hai (Dornbusch and Fischer, 1994:3).
Makroekonomi merupakan bagian dari ilmu ekonomiyang
mengkhususkan mempelajari mekanisme bekerjanya perekonomian sebagai
suatu keseluruhan. Dengan demikian hubungan-hubungan kausal yang ingin
dipelajari oleh ilmu ekonomi makro pada pokoknya ialah hubungan-
hubungan antara varabel-variabel ekonomi agregatif. Diantara variabel-
variabel ekonomi agregaif yang banyak dipersoalkan dalam ekonomi makro
antara lain : tingkat pendapatan nasional, tingkat kesempatan kerja,
pengeluaran konsumsi rumah tangga, saving, investasi nasional, jumah uang
yang beredar, tingkat harga, tigkat bunga, neraca pembayaran internasional,
stok kapital nasional, hutang pemerintah (Soediyono, 1981:2).
Makroekonomi sangat penting bagi para pembuat
kebijakan (policymakers), karena beberapa alasan sebagai berikut :

a) Makroekononi dapat membatu para pembuat kebijakan (policy


makers) untuk menentukan apa saja yang dapat dilakukan untuk
membantu memecahkan resesi yang dihadapi suatu perekonomian.

b) Makroekonomi dapat pula membantu para pembuat kebijakan melalui


berbagai pilihan kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
jangka panjang.
c) Makroekonomi dapat membantu para pembuat kebijakan
untuk mempertahankan agar inflasi tetap berada pada tingkat yang
rendah dan stabil tanpa menyebabkan perekonomian mengalami
ketidakstabilan dalam jangka pendek

d) Makroekonomi juga dapat menjelaskan kepada kita bagaimana


perubahan dalam suatu kebijakan itu mempengaruhi jenis-jenis barang
yang dihasilkan dalam perekonomian (Hall and Taylor, 1993:5)

Sebagai suatu cabang dari ilmu ekonomi yang berdiri sendiri,


makroekonomi mempunyai tugas untuk menjelaskan mengenai :

a) Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk


nasional bruto (GNP) atau produk domestik bruto (GDP rill didalam
suatu negara yang merupakan ukuran dari kemampuan suatu
perekonomian didalam memproduksi barang dan jasa, dan sekaligus
juga menjadi ukuran standar hidup dan pertumbuhan pendapatan rill
penduduk
b) Sebab-sebab timbulnya pengangguran dan bagaimana cara untuk
mengatasinya
c) Sebab-sebab timbulnya inflasi dan cara-cara untuk mengatasinya
d) Sebab-sebab naiknya turunnya tingkat suku bunga didalam
perekonomian Sebab-sebab terjadinya ketidakseimbangan (defisit dan
surplus) didalam neraca pembayaran
e) Faktor-faktor penyebab fluktuasi nilai mata uang dalam negri terhadap
mata uang asing (Parkin and Bade, 1992:2-4)

2.2 Konsep Dasar Makro Ekonomi


1. Konsep Dasar Pendapatan Nasional
Manakala kita ingin menilai bagaimana keadaan ekonomi
seseorang, maka yang pertama sekali kita akan melihat
pendapatannya. Seseorang yang perpendapatannya tinggi dapat
menyediakan kebutuhan hidup dan kemewahan dengan lebih mudah.
Seseorang yang pendapatannya lebih tinggi, menikmati standar hidup
yang juga tinggi,
tempat tinggal dan perawatan kesehatan yang lebih baik, mobil yang
lebih mahal, liburan yang lebih mewah dan sebagainya.
Logika yang sama berlaku untuk untuk perekonomiansuatu
negara. Ketika menilai dan memotret apakah perekonomian
berlangsung dengan baik atau buruk yang dilihat adalah total
pendapatan yang diperoleh semua orang dalam perekonomian. Inilah
tugas dari Produk domestic bruto (PDB). (Mankiw, 2006).
PDB mengukur dua hal, pada saat bersamaan total pendapatan
semua orang dalam perekonomian dan total pembelanjaan negara
untuk membeli barang dan jasa hasil dari perekonomian. PDB ini
dapat melakukan pengukuran total pendapatan dan pengeluaran adalah
karena kedua hal ini benar-benar sama persis. Untuk suatu
perekonomian secara keseluruhan, pendapatan pasti sama dengan
pengeluaran. Hal ini terjadi karena setiap transaksi melibatkan dua
pihak: pembeli dan penjual.
Besarnya pendapatan nasional suatu negara merupakan salah
satu tolak ukur kemakmuran negara. Pendapatan nasional juga dapat
digunakan sebagai pembanding tingkat perekonomian dengan negara
lain. Apakah yang dimaksud pendapatan nasional?. Pendapatan
nasional adalah jumlah total pendapatan yang diterima oleh
masyarakat suatu negara sebagai bentuk balas jasa berhubungan
dengan proses produksi barang dan jasa.
Pendapatan nasional menunjuk kepada seperangkat aturan dan
teknik untuk mengukur aliran seluruh output barang dan jasa yang
dihasilkan dan aliran seluruh input yang digunakan oleh seluruh
perekonomian untuk menghasilkan output barang dan jasa tersebut.
Dengan kata lain perhitungan pendapatan nasional adalah merupakan
suatu kerangka perhitungan yang digunakan untuk mengukur aktivitas
ekonomi yang terjadi atau berlangsung didalam perekonomian yang
terjadi atau berlangsung didalam perekonomian. (Mankiw, 2006).
Pendapatan nasional dapat ditinjau dari tiga pendekatan tersebut
yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pengeluaran

Perhitungan pendapatan nasional suatu negara memiliki tujuan yang


sangat utama yang bermanfaat antara lain:
a. Menilai perkembangan ekonomi suatu negara dari waktu
ke waktu
Dari sini kita dapat membandingkan peranan suatu
pemimpin atau penggerak ekonomi bangsa, juga untuk
mengetahui kelemahan atau kesalahan yang pernah terjadi dari
segi ekonomi untuk dikoreksi di masa selanjutnya. Menilai
prestasi ekonomi suatu bangsa Pendapatan nasional menjadi
tolak ukur kesuksesan dan kemakmuran suatu bangsa. Yang
menjadi penghargaan ketika pendapatan nasional suatu negara
itu tinggi.
b. Membandingkan perekonomian dengan negara lain.
Di samping mencari celah untuk meningkatkan
perekonomian negara sendiri, membandingkan perekonomian
dengan negara lain juga merupakan suatu kebanggaan
tersendiri ketika perekonomian di negara sendiri mempunyai
peringkat yang lebih tinggi..
c. Menerangkan struktur perekonomian negara
Jenis-jenis pendapatan nasional dapat menjadi tolak ukur
untuk mengetahui dimana kelemahan perekonomian yang
perlu di evaluasi. Hal ini juga dapat menyatakan persentase
pendapatan nasional berdasarkan jenis pendapatan (income)
maupun produksi (product).
d. Mengetahui pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
perkapita
Pentingnya melakukan evaluasi terhadap perekonomian
negara agar perekonomian mengalami peningkatan setiap
tahunnya.
e. Dapat membantu merumuskan kebijakan pemerintah
Pentingnya elemen-elemen yang melakukan pergerakan
dari bawah, untuk menyadarkan pemerintah seberapa

perekonomian suatu negara. Masyarakat dapat beropini,


memberikan masukan untuk meningkatkan kualitas
perekonomian.

2. Komponen pendapatan nasional


Komponen utama pendapatan nasional dapat dilihat dari
pendekatan yang digunakan dalam menghitung pendapatan itu
sendiri.Jika dilihat dari sisi pendekatan pendapatan yang digunakan,
maka komponen pendapatan nasional terdiri dari:
a. Sewa (rent) yang diterima pemilik sumber daya alam;

b. Upah/gaji (wage) yang diterima tenaga kerja;

c. Bunga (interest) yang diterima pemilik modal;

d. Laba (profit) yang diterima pemilik skill/kewirausahaan.

Apabila dengan menggunakan pendekatan produksi maka


pendapatan nasional memiliki komponen sebagai berikut:

a. Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan;


b. Pertambangan dan penggalian;
c. Industri pengolahan;

d. Listrik, gas dan air minum;

e. Bangunan;

f. Perdagangan, hotel dan restoran;

g. Pengangkutan dan komunikasi;

h. Bank dan lembaga keuangan lainnya;

i. Sewa rumah;

j. Pemerintah dan pertahanan;

k. Jasa-jasa.
Sedangkan dilihat dari pendekatan pengeluaran, maka
komponen pendapatan nasional terdiri dari:

a. Konsumsi/consumption (C);

b. Investasi/investment (I);
c. Pengeluaran pemerintah/government expenditure (G);

d. Selisih ekspor dengan impor/export - import (X - M)

2.3 Perbedaan Makro Ekonomi Islam Dengan Makro


Ekonomi Konvensional
Dalam melakukan kegiatan ekonomi makro, orang-orang atau
lembaga yang terlibat di dalamnya adalah:
a) Rumah tangga
b) Produsen
c) Pemerintah
d) Lembaga-lembaga keuangan
e) Negara-negara lain

Maka selanjutnya, dari kelima kelompok pelaku ini dapat dijelaskan


perbedaan makro Islam dan makro konvensional sebagai berikut:
1. Kegiatan Kelompok Rumah Tangga (Household)
 Menerima penghasilan dari para produsen dari “penjualan”
tenaga kerja merka (upah), deviden, dan dari menyewakan
tanah. Dalam ekonomi Islam, belanja (konsumsi) terikat dengan
kehalalan jenis “pekerjaan yang dijual”
 Menerima penghasilan dari lembaga keuangan berupa bunga
atas simpanansimpanan mereka. (teori konvensional/non
syari’ah). Dalam sistem ekonomi syariah mereka mendapat bagi
hasil (profit sharing)
 Membelanjakan penghasilan tersebut di pasar
barang/jasa(sebagai konsumen). Dalam ekonomi Islam, belanja
(konsumsi) terikat dengan kehalalan barang/jasa yang akan
dibeli
 Menyisihkan sisa dari penghasilan tersebut untuk ditabung pada
lembaga-Lembaga keuangan.Dalam masyarakat Muslim,
penghasilan juga disisihkan untuk zakat, infak dan sedekah (ZIS)
 Membayar pajak kepada pemerintah
 Masuk dalam pasar uang sebagai peminta (ddemanders) karena
kebutuhan mereka akan uang tunai untuk transaksi sehari-hari

2. Kegiatan Kelompok Perusahaan


 Memproduksi dan menjual barang-barang/jasa-jasa (yaitu sebagai
supplier di pasar barang). Dalam ekonomi islam, memproduksi dan
menjual barang/jasa harus berupa barang/jasa yang halal
 Menyewa/menggunakan faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh
kelompok rumah tangga untuk proses produksi
 Menentukan pembelian barang-barang modal dan stok barang-
barang lain. (selaku investor masuk dalam pasar barang sebagai
peminta atau demander)
 Meminta kredit dari lembaga keuangan untuk membiayai investasi
mereka (sebagai demander di pasar uang). Dalam ekonomi Islam,
berupapembiayaan yang sesuai syariah (mudhorobah/muyarakah)
dan sistem bagi hasil. Membayar pajak. Dalam ekonomi Islam,
selain pajak, perusahaan juga dikenai pembayaran zakat perusahaan.

3. Kegiatan Kelompok Pemerintah


 Menarik pajak langsung dan tak langsung ,
 Membelanjakan penerimaan negara untuk membeli barang- barang
kebutuhan pemerintah (sebagai demander di pasar barang)
 Meminjam uang dari luar negeri. Dalam ekonomi Islam, pinjaman
adalah pembiayaan yang sesuai dengan syari’ah dan bebas riba.

 Menyewa tenaga kerja (sebagai demander di pasar tenaga kerja)


 Menyediakan kebutuhan uang (kartal) bagi masyarakat (sebagai
supplier di pasar uang)
4. Kegiatan Kelompok Negara-Negara Lain (Ekspor-Impor)
 Menyediakan kebutuhan barang impor (sebagai supplier di pasar
barang). Dalam ekonomi islam, barang impor terikat dengan status
kehalalannya o Membeli hasil-hasil ekspor kita (sebagai demander
di pasar barang)
 Menyediakan kredit untuk pemerintah dan swasta dalam negeri.
Dalam ekonomi islam berupa pembiayaan secara syariah dan bebas
interst/bunga/riba
 Membeli dari pasar barang untuk kebutuhan cabang perusahaannya
di Indonesia .
 Masuk dalam pasar uang dalam negeri sebagai penyalur uang
(devisa) dari luar negeri (sebagai supplier dana) dan sebagai
peminta kredit dan uang kartal rupiah untuk kebutuhan cabang-
cabang perusahaan mereka di Indonesia (demander akan dana).
(singkatnya sebagai penghubung pasar uang dalam negeri dengan
pasar uang luar negeri). Dalam ekonomi Islam, sistem jual beli
forex (foreign exchange) harus sesuai dengan syari’ah dan bebas
riba serta gharar.

2.4 Karakteristik Makro Ekonomi Islam

Ada beberapa karakteristik ekonomi Islam sebagaimana disebutkan dalam


al-Mawsuah al-Ilmiyah wa al-Amaliyah al-Islamiyah dalam Ghufran, yang
dapat diringkas sebagai berikut:

1. Harta kepunyaan Allah dan manusia khalifah harta. Karakteristik


pertama ini terdiri dari dua bagian, yaitu semua harta, baik benda
maupun alat produksi adalah milik (kepunyaan Allah), dan manusia
adalah khalifah atas harta miliknya. Hak milik pada hakikatnya

adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah


menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah.Ekonomi Islam
terikat dengan akidah, syariat (hukum) dan moral.
2. Hubungan ekonomi Islam dengan akidah Islam tampak jelas dalam
banyak hal, seperti pandangan Islam terhadap alam semesta yang
disediakan untuk kepentingan manusia. Di antara bukti hubungan
ekonomi dan moral dalam Islam adalah:
 Larangan terhadap pemilik dalam penggunaan hartanya yang
dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau
kepentingan masyarakat.
 Larangan melakukan penipuan dalam transaksi.
 Larangan menimbun emas dan perak atau sarana-sarana
moneter lainnya, sehingga mencegah peredaran uang, karena
uang sangat diperlukan buat mewujudkan kemakmuran
perekonomian dalam masyarakat. Menimbun uang berarti
menghambat fungsinya dalam memperluas lapangan produksi
dan persiapan lapangan kerja buat para buruh.
 Larangan melakukan pemborosan, karena akan menghancurkan
individu dalam masyarakat.

3. Keseimbangan antara kerohanian dan kebendaan. Islam adalah agama


yang menjaga diri, tetapi juga toleran (membuka diri). Selain itu, Islam
adalah agama yang memiliki unsur keagamaan (mementingkan segi
akhirat) dan sekularitas (segi dunia).

4. Keadilan dan keseimbangan dalam melindungi kepentingan individu


dan masyarakat. Arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah
tidak mengakui hak mutlak dan kebebasan mutlak, tetapi mempunyai
batasan- batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak milik. Hanya
keadilan yang dapat melindungi keseimbangan antara batasan-batasan
yang ditetapkan dalam sistem islam untuk kepemilikan individu dan
umum.

5. Bimbingan Konsumsi. Dalam konsumsi Islam mempunyai pedoman


untuk tidak melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan tidak
melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.

6. Petunjuk Investasi. Kriteria atau standar dalam menilai proyek


investasi, memandang ada lima kriteria yang sesuai dengan Islam
untuk dijadikan pedoman dalam menilai proyek investasi.

7. Zakat. Zakat adalah sedekah yang diwajibkan atas harta seorang


muslim yang telah memenuhi syarat, bahkan ia merupakan rukun
Islam yang ketiga. Zakat merupakan sebuah sistem yang menjaga
keseimbangan dan harmoni sosial di antara muzzaki dan mustahik.
Zakat juga bermakna komitmen yang kuat dan langkah yang konkret
dari negara dan masyarakat untuk menciptakan suatu sistem distribusi
kekayaan dan pendapatan secara sistematik dan permanen.
8. Larangan riba. Islam telah melarang segala bentuk riba karenanya itu
harus dihapuskan dalam ekonomi Islam. Pelarangan riba secara tegas
ini dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan hadits. Arti riba secara bahasa
adalah ziyadah yang berarti tambahan, pertumbuhan, kenaikan,
membengkak, dan bertambah, akan tetapi tidak semua tambahan atau
pertumbuhan dikategorikan sebagai riba.

9. Pelarangan Gharar. Ajaran Islam melarang aktivitas ekonomi yamg


mengandung gharar. Gharar adalah sesuatu dengan karakter tidak
diketahui sehingga menjual hal ini adalah seperti perjudian.

10. Pelarangan yang haram. Dalam ekonomi Islam segala sesuatu yang
dilakukan harus halalan toyyiban, yaitu benar secara hukum Islam dan
baik dari perspektif nilai dan sesuatu yang jika dilakukan

akan menimbulkan dosa. Haram dalam hal ini bisa dikaitkan dengan
zat atau prosesnya dalam hal zat, Islam melarang mengkonsumsi,
memproduksi, mendistribusikan, dan seluruh mata rantainya terhadap
beberapa komoditas dan aktivitasnya.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Mustafa Edwin. 2010. Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam. Jakarta:


Kencana.
Mardani. 2012. Fiqih Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Nordhaus.D William dan Samuelson A. Paul. 1992. Makro Ekonomi. Jakarta: Erlangga
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam,(Jakarta: Kencana,
2010), hal.  193.
Ibid, hal. 195.
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 19.
Ibid, hal. 24
Eko Suprayitno. Ekonomi Perspektif Islam (Malang: UIN Malang, 2008), Hal. 205

Rahmi, A. (2015). Mekanisme pasar dalam islam. Ekonomi bisnis dan kewirausahaan, 4(2). Hal. 178

Ulfa Jamilatul Farida. ( 2012 ). Telaah kritis pemikiran ekonomi islam terhadap mekanisme pasar
dalam konteks ekonomi islam kekinian. Ekonomi Islam, 6(2). Hal 259

Ghafur, A. (2019). Mekanisme Pasar perspektif islam. Iqtishodiyah, 5(1). Hal 12 – 13

Irawan, M. (2015). Mekanisme Pasar Islami Dalam Konteks Idealita dan Realita. JEBIS, 1(1) hal 72

Burhanudin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filasafat Moral, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), Cet.
Ke-1, h. 202

Ibid,h. 202-203

Mohamad Hidayat, The Sharia Economic, (Jakarta: Zikrul Hakim (anggota IKAPI, 2010), cet. I, h. 308

Mustafa Edwin Nasution dkk, Op.cit, h. 174

Akhmad Mujahidin, Op.cit, h. 177

Mohamad Hidayat, Op.cit, h. 303

Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), Cet-1, h. 78

Departemen Agama RI, Op.cit.h. 361

Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), Ed. 1,
Cet. 3, h. 165

Mustafa Edwin Nasution dkk, Op.cit, h. 166

Basu Swashta dan Ibnu Sukojo, Pengantar Bisnis Modern, (Yogyakarta: Liberty, 1999), h. 211

Sudarsono, Pengantar Ekonomi Perusahaan, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 225

Tony Hartono, Mekanisme Ekonomi dalam Konteks Ekonomi Indonesia, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006), Cet.1, h. 39-42
Kabid Akademik Drs. H. Asmuni Mth., MA

Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Wali Pers.


Aplikasi Dari Ekonomi Islam Arsip | Membangun ulang. https://ekonomi-
islam.com/tag/aplikasi-dari-ekonomi-islam/

Karakteristik Perekonomian Islam | fauzan Nizar - Academia.


https://www.academia.edu/11219890/Karakteristik_Perekonomian_Islam

Paradigma Ekonomi Islam. https://ppkidsyariahdg.wordpress.com/jurnal-


ilmiah/paradigma-ekonomi-islam/

Ridha, S. 2018. Filosofi Ekonomi Menurut Pandangan Islam – e – Journal | IAIN


Bukittinggi. https://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/

Al Arif, M. Nur Rianto. Teori Makroekonomi Islam Konsep, Teori, dan Analisis .
Bandung: Alfabeta, 2010.
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Makro Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012.
Muhammad,. Ekonomi Makro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta:
BPFEYogyakarta, 2004.
Nasution, Mustawa Edwin dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta:
Kencana, 2007.
Rozalinda. Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2014.
118 Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.

Al-Arif, N R. 2010. Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekoniomi Islam dan Ekonomi
Konvensional. Jakarta: Kencana.

Arjuna, A. 2020. Perilaku Konsumsi dalam Islam. Universitas Darussalam Gontor. Online:
Perilaku Konsumsi dalam Islam – Islamic Economics of Law Department (gontor.ac.id)

Astuti, N. 2017. Konsumsi Dalam Perspektif Islam. Universitas Muhammadiyah Surakarta.


Online: https://nindaastutiblog.wordpress.com/2017/07/21/konsumsi-dalam-perspektif-islam/

Bahrulloh, V. 2019. Perbandingan Maslahah dan Utility Dalam Konsumsi. Online:


https://www.kompasiana.com/vikkibahrulloh/5cd96bdb7506573e48020ab6/perbandingan-
maslahah-dan-utility-dalam-konsumsi?page=2&page_images=1
Ginting, N F H. 2011. Manajemen Pemasaran. Bandung: Yrama Widya.

Muflih, M. 2006. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ekonomi Islam.Jakarta: Raja


Grafindo Prasada.

Munaroh. 2016. Perilaku Konsumen dalam Islam.


Online:https://munaroh95.blogspot.com/2016/05/perilaku-konsumen-dalam-islam.html

Priharto, S. 2021. Kebutuhan dan Keinginan: Pengertian dan Perbedaannya dalam


Pemasaran. Online: https://aksaragama.com/pemasaran/kebutuhan-dan-keinginan-
dalam-pemasaran/

Rahayuningsih, K., et all. 2016. Teori Perilaku Konsumsi Islam. Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga. Online: https://azkaindah.blogspot.com/2016/06/makalah-perilaku-
konsumsi-islam.html

Suma, M Amin.2017. Pengantar Ekonomi Syariah.Bandung:Pustaka Setia

AgusArijanto, EtikaBisnisBagiPelakuBisnis, Jakarta: RajawaliPers, 2012, h. 53

https://ejournal.feunhasy.ac.id/jies

https://media.neliti.com/media/publications/70513-ID-produksi-dalam-perspektif-ekonomi-
islam.pdf

https://www.kompasiana.com/syafiraprawestianggelina/5c7b88a1aeebe123a6364edb/
pentingnya-produksi-dalam-islam

Idri, Hadis Ekonomi( EkonomidalamPerspektif Hadis Nabi)..., hlm. 67.

Mustafa Edwin Nasution,dkk. PengenalanEksklusifEkonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2007),


hlm. 108

Sukarno Wibowo, DediSupriadi, EkonomiMIkroIslam,(Bandung: Pustaka Setia, 2013),hlm. 249.

Yusuf Qardhawi, Norma dan EtikaEkonomiIslam(Jakarta: GemaInsani Press, 1997),


hlm

Arjuna, Luqmanul hakiem,2017, kebijakan moneter syariah. Jurnal al-buhuts


vol.13.no.1.

Askari , Hossein. 2015. Introduction to Islamic economics: theory and


application. Singapore: john wiley and sons Singapore.
Bank Indonesia. 2020. Tinjauan kebijakan moneter oktober 2020. Di akses pada
20
november di https://www.bi.go.id/id/publikasi/kebijakan moneter/tinjauan/
pages/tinjauan-kebijakan-moneter-oktober-2020.aspx

Chapra, M. umer, 2000 terj, towards ajust monetarysystem Jakarta: gema insani
press

Karim, adiwarman azwar, 2001. Sejarah pemikiran ekonomi islam Jakarta:IIIT.

Dahlan, Abdul Aziz. et.al. (1999).Ensiklopedi Hukum Islam. Cetakan II. Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve.
http://www.Lazbmkt.wordpress.com
Huda, Nurul dan mohamad Heykal. (2010). Lembaga Keuangan Islam, Edisi 1 (cet.
1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Karim, Adiwarman Azhar. (2010). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi 3, cet.
4., Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Maman, Abdul. (2012) Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana.
Sakti, Ali., (2007). Ekonomi Islam, Jakarta: Paradigma & Aqsa Publishing.
Soemitra, Andri. (2009). Bank & Lembaga Keuangan Syariah, cet. 1; Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Tho’in, M. (2011).Pengaruh Faktor-faktor Kualitas Jasa terhadap Kepuasan Nasabah
di Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) Tekun Karanggede Boyolali.MUQTASID Jurnal
Ekonomi dan Perbankan Syariah, 2(1), 73-89.
Wardani, H. K., & Tho'in, M. (2013).Pengelolaan Baitul Maal Dalam Meningkatkan
Kesejahteraan Negara.Jurnal Akuntansi dan Pajak, 14(01).
Zallum, Abdul Qadim. (1983). Al Amwal Fi Daulah Al Khilafah. Cetakan I. Beirut :
Darul ‘Ilmi Lil Malayin.
Muhammad. 2002.KebijakanFiskal dan Moneterdalam Ekonomi Islam.
Jakarta .SalembaEmban Patria.
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2008. PengantarIlmu Ekonomi.
Jakarta: LPFE UI.
Rianto, M. Nur. 2010.Teori Makroekonomi Islam.
Bandung: Alfabeta.
Zainuddin, Moh. Anwar. 2013. Kebijakan Ekonomi di Masa KhulafaurRasyidin
.Jakarta: UIN SyafifHidayatullah.
Arwani, A. (2014). HANDOUT: EKONOMI ISLAM.
Arbi, Syafii. Mengenal Bank dan Lembaga Keuangan Nonbank. Jakarta: Djambatan.
2003.
Antonio, M.Syafii. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
2001.
Euis Amalia,dkk. Serial Buku Pedoman Praktyekum Fakultas Syariah dan Hukum No 1,
Buku Modul Praktekum Bank Mini, Konsep dan Mekanisme Bank Syariah. Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007.
Muhamad. Prinsip-prinsip Akuntansi dalam Al-Quran, UII Press Yogyakarta. 2000.
Muhammad, Lembaga Ekonomi Syariah, Yogyakarta: Graha Ilmu. 2007.
Muhammad. Pengantar Akuntansi Syariah Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat. 2005.
Nejatullah. S, Muhammad. Asuransi di Dalam Islam. Bandung: Pustaka. 1985.
Saladin, Djaslim dan Abdus Salam DZ. Konsep Dasar Ekonomi Dan Lembaga
Keuangan. Bandung: Linda Karya. 2000.
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: EKONISIA Kampus
Fakultas Ekonomi UII. 2003.
Agustiano, Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Niriah, 2008

Al-Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia (Dalam Teori dan Praktek),

Jakarta: Rajawali Pers, 1992.

Al-Hadi, ,Abu Azam Upaya Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Bagi

Kesejahteraan Ummat, dalam jurnal ISLAMICA, Vol. 4 No. 1, September

2009.

Budi , Iman Setya, Revitalisasi Wakaf sebagai Penggerak Ekonomi Masyarakat,

dalam jurnal: Al-Iqtishadiyah Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi

Syariah, Volume: II, Nomor II. Juni 2015

Chapra, M.Umar , Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat Pemberdayaan

Wakaf, Manajemen Pengelolaan Proyek Percontohan Wakaf Produktif,

Jakarta Departemen Agama RI, 2011

Direktorat Jendral Bisma Islam dan Penyelenggara Haji, UU No.41 Tahun 2004

Tentang Wakaf, Jakarta: Departemen Agama RI, 2005

Anda mungkin juga menyukai