Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENAFSIRAN AYAT PUASA

DI SUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS:


MATA KULIAH: TAFSIR AHKAM
DOSEN PENGAMPU: DR.ISKANDAR, M.SY
OLEH
KUNI MUDRIKAH (2111211033)
NUR IFTITAH SYAMSUL (2111211023)
NUR SUCI RAMADHANI (2111211026)
M. FATHUR A. RAHMAN (2111211019)
AMIRUDIN KUKUN (2111211030)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG
2022/2023
KATA PENGANTAR
Syukur Allhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Tafsir Ahkam dengan judul “Tafsir Ahkam
Puasa”
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak
yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna di karenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yanga kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan
segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
A. Pengertian Ahkam Puasa................................................................................................................3
B. Dalil Q.S Al-Baqarah; 183-185......................................................................................................6
C. Tafsiran Ayat.................................................................................................................................12
D. Istimbat Hukum.............................................................................................................................13
BAB III PENUTUPAN....................................................................................................................................14

A. Kesimpulan...................................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Puasa merupakan suatu tindakan menghindari makan, minum, serta segala hal lain yang
dapat memuaskan hasrat-hasrat psikis maupun fisik yang dilakukan pada masa tertentu. Makna dan
tujuannya secara umum adalah untuk menahan diri dari segala hawa nafsu, merenung, mawas diri,
dan meningkatkan keimanan terhadap Allah SWT. Salah satu hikmah puasa ialah melatih manusia
untuk meningkatkan kehidupan rohani. Nafsu jasmani yang terdapat dalam diri tiap individu harus
diredam, dikendalikan, dan diarahkan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan yang mulia.
Setiap orang yang menjalankan puasa pada hakekatnya sedang memenjarakan dirinya dari berbagai
nafsu jasmani. Puasa juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan taraf kehidupan, baik
yang duniawi maupun akhirat. Karena puasa telah dilakukan di setiap syariat agama.
Pada sebuah hadist dikatakan bahwa “Semua amal anak adam itu untuk dirinya sendiri,
kecuali puasa. Karena puasa itu dikerjakan untuk-Ku, maka Aku-lah yang akan member
balasannya”. Puasa merupakan salah satu bentuk ritual agama yang dapat meningkatkan kualitas
spiritual manusia dan sebagai wahana pensucian diri guna mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pengaruh puasa bagi diri umat islam terutama ketika bulan Ramadhan dapat dirasakan
oleh fisik maupun jiwa. Hal ini dapat dilihat dari berbagai segi. Dalam segi kesehatan, justru sangat
bermanfaat. Kalaupun ada yang menemui permasalahan kesehatan pada saat berpuasa, maka
permasalahan itu muncul akibat yang bersangkutan tidak menjaga aturan kesehatan dalam
mengkonsumsi makanan. Pembahasan mengenai ibadah puasa menarik untuk dikaji, mengingat
ajaran ibadah puasa terdapat dalam agama islam dan berlaku pada umat-umat terdahulu hingga
sekarang. Berdasarkan uraian di atas dan sebagai salah satu tugas fiqh, maka kami akan mengkaji
permasalahan seputar ibadah puasa.
Puasa menurut agama islam ada empat macam :
Puasa wajib, yaitu puasa bulan Ramadan, puasa kafarat, dan puasa nazar. 183. Hai orang
orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa,Puasa sunat, yaitu berpuasa pada hari senin dan kamis, puasa
daud, puasa enam hari pada Bulan Syawwal, dsb, Puasa makruh, Puasa haram, yaitu puasa pada
hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Haji, dan tiga hari sesudah Hari Raya Haji, yaitu tanggal 11-12- dan
13.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang hendak kami bahas adalah sebagai berikut :
A. Apa pengertian dari puasa?
B. Jelaskan Naskah, Terjemahan dan Asbabun Nuzul Q.S Al-Baqarah ayat 183-185
C. Jelaskan Penafsiran Ayat Al-Baqarah ayat 183-185?
D. Sebut dan Jelaskan Istinbat hukum?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Puasa
Puasa adalah ibadah yang mekanismenya telah diatur di dalam Alquran secara rinci.
Rincian ini dapat dilihat pada urutan ayat-ayat puasa yang dimulai dari Q.S. al-Baqarah ayat 183
sampai Q.S.al-Baqarah ayat 188. Urutan ayat-ayat puasa ini memberi gambaran tentang dasar
kewajiban puasa, analogi, waktu, dispensasi, hikmah,tujuan dan lain-lain. Oleh karena itu, kajian
tentang puasa tidak dapat dipahami secara utuh kecuali jika semua ayatnya dibahas secara
menyeluruh. Sebagai contoh, jika pembahasan tentang puasa hanya menggunakan satu ayat maka
muncul pengklaiman bahwa tujuan puasa hanya takwa.
Padahal, tujuan melaksanakan puasa tidak hanya sebatas takwa tetapi masih terdapat
juga tujuan lain yaitu berilmu, bersyukur dan cerdas. Rincian ayat-ayat Alquran tentang puasa
menyebabkan ibadah puasa minim dari perbedaan pendapat (khilâfiyah) bila dibanding dengan
ibadah lainnya.
Adapun yang menjadi perbedaan adalah ibadah-ibadah lain yang dikaitkan dengan
puasa Ramadan seperti shalat tarawih, shalat witir, i’tikaf, tadarrus, qunut shalat tarawih, niat
berpuasa dan lailat al-qadr. Kemudian akhir-akhir ini muncul lagi perbedaan pendapat dalam
menetapakan awal dan akhir Ramadan apakah dengan ru’yah atau hisab. Pada prinsipnya, objek-
objek perbedaan seperti yang disebutkan di atas tidaklah termasuk ke dalam perbuatan yang dapat
merusak hakikat puasa. Dalam tataran ini Alquran terkesan sengaja tidak menyinggungbeberapa
objek di atas kecuali masalah i’tikaf, penentuan awal dan akhirRamadan. Adapun tentang lailat al-
qadr tidak disebutkan pada urutan
Bulan Ramadhan segera tiba, setiap umat muslim akan melaksanakan puasa
Ramadhan selama satu bulan penuh. Melaksanakan puasa Ramadhan adalah hukumnya wajib bagi
seorang muslim yang sudah baligh. Hal ini telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Quran
Surat Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi sebagai berikut.
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Dalam menjalankan ibadah puasa, penting bagi seluruh umat Islam untuk mengetahui
rukun puasa. Perlu diketahui, ada dua rukun puasa yang wajib untuk dimengerti yakni niat dan
menahan diri. Berikut ini penjelasan rukun puasa yang wajib untuk dipenuhi.
 Niat puasa
Rukun puasa yang pertama adalah membaca niat puasa. Niat puasa sangat penting dalam
puasa wajib, karena puasa tidak akan sah apabila tidak dilakukan tanpa niat berpuasa. Rasulullah
SAW pernah bersabda dalam hadist, Rasulullah SAW bersabda,
"Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya," (HR. Tirmidzi)
Berdasarkan ulama Mazhab Syafi’i, orang yang hendak berpuasa disunnahkan untuk
melafalkan bacaan niatnya. Berikut ini bacaan niat puasa Ramadhan sebagai contoh:
Artinya: "Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu di bulan Ramadhan tahun ini,
karena Allah Ta'ala."
 Menahan diri dari hal yang membatalkan puasa
Rukun puasa yang pertama adalah menjauhkan dan menahan diri dari hal-hal yang dapat
membatalkan puasa. Menahan diri dari hal yang membatalkan puasa dilakukan sejak terbit fajar
atau waktu subuh hingga terbenamnya matahari atau pada waktu Maghrib semata-mata karena
Allah SWT.
Hal-hal yang membatalkan puasa adalah makan dan minum, hubungan intim pada siang hari,
keluar air mani dengan sengaja, haid dan nifas, dan murtad dari Islam. Sebaliknya, umat muslim
dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan baik ketika sedang berpuasa, karena pahala dari
amalan-amalan baik selama bulan Ramadhan akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Demikian
adalah dua rukun puasa yang wajib untuk diketahui dan dipahami oleh setiap umat muslim.
1. Syarat syarat wajib puasa:
Syarat wajib puasa maksudnya adalah hal-hal yang membuat seorang menjadi wajib
untuk melakukan puasa. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi pada diri seorang, maka puasa
menjadi tidak wajib atas dirinya.
 Beragama Islam
Jumhur ulama sepakat bahwa syarat wajib puasa yang pertama adalah beragama Islam.
Sementara umat lain tidak diwajibkan Seruan wajib untuk berpuasa bagi umat Islam adalah
menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadhan. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran,
bahwa seruan untuk berpuasa ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Bagi seseorang yang
murtad namun kembali lagi memeluk agama Islam, selama murtad ia tidak puasa wajib maka wajib
mengganti (mengqadha).
 Baligh
Syarat kedua yang menjadikan seorang wajib untuk menunaikan ibadah puasa wajib
adalah usia baligh. Mereka yang belum sampai usia baligh seperti anak kecil tidak ada kewajiban
untuk berpuasa Ramadhan.
 Berakal atau Tidak Gila
Syarat ketiga dari syarat wajib puasa adalah berakal. Sudah menjadi ijma ulama bahwa
orang gila adalah orang yang tidak berakal sehingga tidak diwajibkan untuk puasa.
 Sehat
Orang yang sedang sakit tidak diwajibkan untuk berpuasa wajib. Namun harus
menggantinya di hari lain saat sudah sembuh kembali.
 Mampu
Syarat wajib puasa selanjutnya adalah orang yang berpuasa harus dalam keadaan mampu
untuk melaksanakannya. Allah SWT mewajibkan puasa bagi orang yang mampu melakukannya.
Orang tua yang sudah lemah atau jompo yang tidak memungkinkan untuk berpuasa maka boleh
meninggalkannya. Namun, wajib menggantinya dengan membayar fidyah sebagaimana firman-Nya
dalam Q.S Al-Baqarah ayat 184.
 Tidak dalam Perjalanan
Orang yang sedang dalam perjalanan jauh boleh meninggalkan puasa tapi wajib baginya
untuk mengganti di lain hari sejumlah puasa yang ditinggalkan.
 Suci dari Haid dan Nifas
Menurut ijma' para ulama, wanita yang sedang haid dan nifas tidak diwajibkan untuk
berpuasa. Bahkan haram hukumnya apabila mereka menjalankan puasa. Adapun keutamaan puasa
wajib bulan Ramadhan seperti disebutkan dalam hadits. Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah
SAW bersabda:
"Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan penuh keberkahan. Allah SWT telah
mewajibkan kepada kalian berpuasa di dalamnya, di bulan itu pintu-pintu langit akan dibuka dan
pintu-pintu neraka akan ditutup, di bulan itu setan-setan akan diikat, di bulan itu ada malam yang
lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa terhalang mendapatkan kebaikannya maka sungguh
ia telah terhalang." (HR. An-Nasa'i).
Puasa dalam Islam memiliki tujuannya sendiri. Berdasarkan petunjuk al-Quran, hadis, dan telaah para
ulama, kita temukan sedikitnya empat tujuan diwajibkannya puasa. Puasa telah menjadi cara mendekatkan
diri kepada Tuhan. Berbagai agama di dunia telah mengenal tradisi ini sejak ribuan tahun lalu. Islam juga
mengajarkan puasa sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.
Berbeda dengan agama lain, puasa dalam Islam memiliki tujuannya sendiri. Berdasarkan petunjuk al-
Quran, hadis, dan telaah para ulama, kita temukan sedikitnya empat tujuan diwajibkannya puasa, yaitu
Meningkatkan Ketakwaan
Allah Swt berfirman,

َ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬


َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada
orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS al-Baqarah: 183).

Dalam puasa terdapat usaha keluar dari keinginan nafsu menuju perintah Allah Swt, membebaskan dorongan
nafsu menuju ketentuan syariat, mendahulukan cinta Allah daripada selain-Nya. Semua itu, mendorong jiwa
untuk melaksanakan taat dan menjauhi penyimpangan, menerpa hati untuk selalu ikhlas karena Allah Swt.
Ketika nafsu merasa kenyang, maka akan mendorong berbuat maksiat dan penyimpangan. Sebaliknya, jika
lapar, dia terdorong berbuat taat dan mengingat tuhannya.
 Mengendalikan Nafsu
Rasa lapar dan dahaga dapat melemahkan keinginan nafsu untuk berbuat maksiat. Karena maksiat
yang paling merusak dan membahayakan bagi individu maupun masyarakat adalah yang berhubungan
dengan syahwat perut dan kelamin, maka Allah menundukkannya dengan cara puasa. Rasulullah Saw
bersabda,

ِ ْ‫صنُ لِ ْلفَر‬
‫ج‬ َ ْ‫ص ِر َوَأح‬
َ َ‫طا َع ِم ْن ُك ْم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَزَ َّوجْ فَِإنَّهُ َأغَضُّ لِ ْلب‬ ِ ‫يَا َم ْعش ََر ال َّشبَا‬
َ َ‫ب َم ْن ا ْست‬
“Wahai para pemuda, barang siapa dari kalian yang mampu biaya nikah, maka hendaklah ia menikah, karena
itu lebih bisa memejamkan mata dan menjaga farji” (HR. Bukhari dan Muslim)

 Melipatkan Pahala Ibadah


Ibadah puasa Ramadan menjadikan ibadah lainnya dilipatkan pahalanya. Di antara ibadah
lain itu adalah:Sedekah, Shalat malam dan Menghidupkan Lailatulkadar dengan ibadah Membaca
al-Quran Mensyukuri Kemudahan Syariat Allah Orang yang mempelajari fikih puasa akan
menemukan berbagai kemudahan dalam ketentuan-ketentuan puasa. Misalnya, puasa hanya wajib
bagi orang-orang yang memenuhi syarat. Orang yang tidak mampu karena usia, dapat mengganti
puasanya dengan sedekah makanan kepada orang miskin. Orang yang sakit, musafir, ibu hamil dan
ibu menyusui juga boleh tidak berpuasa dengan ketentuan tertentu. Allah SWT berfirman,

‫ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُعس َْر‬


“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-
Baqarah: 185)

B. Dalil Q.S Al-Baqarah: 183-185


 Naskah dan Terjemahan
Berikut ini bacaan surah Al Baqarah ayat 183, 184, 185, latin, dan artinya:
. َ‫ب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُوْ ۙن‬
َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”(Q.S Al-Baqarah: 183)

. ‫ت فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َّم ِر ْيضًا اَوْ ع َٰلى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّم ْن اَي ٍَّام اُ َخ َر ۗ َو َعلَى الَّ ِذ ْينَ ي ُِط ْيقُوْ نَهٗ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِك ْي ۗ ٍن فَ َم ْن تَطَ َّو َع خَ ْيرًا فَه َُو‬
ٍ ۗ ‫اَيَّا ًما َّم ْع ُدوْ ٰد‬
َ‫خَ ْي ٌر لَّهٗ ۗ َواَ ْن تَصُوْ ُموْ ا خَ ْي ٌر لَّ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن‬
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.(Q.S Al-Baqarah:184)

ْ‫ْض•ا اَو‬ ً ‫ص• ْمهُ ۗ َو َم ْن َك••انَ َم ِري‬ ُ َ‫الش• ْه َر فَ ْلي‬


َّ ‫ان فَ َم ْن َش• ِه َد ِم ْن ُك ُم‬ ِ ۚ َ‫ت ِّمنَ ْاله ُٰدى َو ْالفُرْ ق‬ ٍ ‫اس َوبَيِّ ٰن‬ ِ َّ‫ضانَ الَّ ِذيْٓ اُ ْن ِز َل فِ ْي ِه ْالقُرْ ٰانُ هُدًى لِّلن‬ َ ‫َش ْه ُر َر َم‬
ٰ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
َ‫ُوْ ن‬ ‫ر‬ ‫ك‬ُ ْ
‫ش‬ َ ‫ت‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ َّ
ْ َ َ ْ‫ل‬ ‫ع‬َ ‫ل‬‫و‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ى‬ ٰ
‫َد‬ ‫ه‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫ى‬‫َل‬ ‫ع‬ َ ‫ُوا‬
‫ر‬ ‫ب‬‫ك‬َ ُ
ِّ ِ َ ِ‫ت‬‫ل‬‫و‬ َ ‫ة‬ َّ
‫د‬ ‫ع‬ ْ
‫ال‬ ‫وا‬ُ ‫ل‬ ‫م‬‫ك‬ْ ُ
ِ َِ َ‫ت‬‫ل‬ ‫و‬ ۖ ‫ر‬ ‫س‬ْ ‫ع‬
ُ ْ
‫ال‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ب‬
ُ ِ ِ ُ
‫د‬ ْ
‫ي‬ ‫ُر‬ ‫ي‬ ‫اَل‬ ‫و‬ ‫ر‬
َ َ ْ
‫س‬ ُ ‫ي‬ ْ
‫ال‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ب‬
ُ ِ ُ ُ
‫د‬ ْ
‫ي‬ ‫ُر‬ ‫ي‬
ِ َ ٍۗ ‫ر‬‫خ‬َ ُ ‫ا‬ ‫َّام‬ ‫ي‬َ ‫ا‬ ْ
‫ن‬ ِّ ِ ٍ َ ‫ع َٰلى‬
‫م‬ ٌ ‫ة‬ َّ
‫د‬ ‫ع‬َ ‫ف‬ ‫ر‬َ ‫ف‬‫س‬
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”(Q.S Al-Baqarah:185)
 Asbabun Nuzhul
a. Q.S Al-Baqarah ayat 183
Perintah untuk puasa diturunkan pada bulan Syaban tahun kedua Hijriah, saat Nabi Muhammad
SAW mulai melaksanakan pemerintahan yang berwibawa dan mengatur masyarakat baru.Umat muslim
diwajibkan untuk berpuasa sehingga sebagian besar umat merasa puasa sangat penting layaknya menerima
dan melaksanakan tugas-tugas besar dan suci. Ada banyak bentuk perintah untuk berpuasa yang
diturunkan melalui ayat suci Alquran maupun hadis, salah satunya adalah surah al-Baqarah ayat 183
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Pada periode pertama, yakni periode Mekah, dakwah Rasulullah SAW fokus pada penanaman
mengenai akidah dan tauhid. Lain halnya dengan periode pertama, periode kedua yang dilaksanakan di
Madinah, Rasulullah SAW mulai menjelaskan mengenai kewajiban umat muslim beserta ketentuan dan
hukumnya, salah satunya adalah kewajiban berpuasa. Di samping itu, Zainul Arifin, M.Pd.I dalam bukunya
yang berjudul Puasa Wajib dan Sunah yang Paling Dianjurkan berpendapat bahwa tidak ada yang
melatarbelakangi turunnya surah al-Baqarah ayat 183. Ayat tersebut tergolong sebagai ayat muhkam, yaitu
ayat yang memiliki makna yang jelas dan tergolong pula sebagai ayat tanpa asbabun nuzul. Demikian
penjelasan mengenai surah al-Baqarah ayat 183. Surah al-Baqarah ayat 183 adalah ayat yang menerangkan
tentang kewajiban berpuasa bagi umat Islam yang beriman. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat diketahui
bahwa pentingnya ibadah puasa bagi umat Islam agar meningkatkan ketakwaan dan lain-lain
b. Q.S Al-Baqarah ayat 184
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Berkenaan dengan maula atau budak yang sudah
dimerdekakan yang bernama Qais bin As-Said yang memaksakan diri berpuasa, padahal ia sudah
tua sekali. Dengan turunnya ayat ini, ia berbuka dan membayar fidyah dengan memberi makan
seorang miskin selama ia tidak berpuasa.” Firman-Nya (‫)فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر‬
maksudnya, orang yang sakit dan orang yang dalam perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa,
karena hal itu merupakan kesulitan bagi mereka.mFirman-nya (‫ إن كنتم تعلمون‬... ‫)وعلى الذين يطيقونه فدية‬
adapun orang yang sehat dan tidak berpergian tetapi merasa berat berpuasa, baginya ada dua
pilihan; berpuasa atau memberikan makan. Jika mau ia boleh berpuasa, atau boleh juga berbuka,
tetapi harus memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya. Dan jika ia memberikan makan
lebih dari seorang pada setiap harinya, maka yang demikian itu lebih baik. Dan berpuasa adalah
lebih baik daripada memberi makan.
Demikian menurut pendapat Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Mujahid, Thawus, Muqatil bin
Hayyan, dan ulama salaf lainnya. Demikian pula yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, dari
Salamah bin Akwa katanya, ketika turun ayat ini bagi siapa yang hendak berbuka (tidak berpuasa),
maka membayar fidyah, hingga turun ayat yang berikutnya dan menghapusnya. Dan diriwayatkan
dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa hal tersebut sudah dihapus.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Atha’, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas membaca
ayat ini. Kata Ibnu Abbas, “Ayat tersebut tidak dinasakh, karena yang dimaksudkan dalam ayat itu
adalah orang tua laki-laki dan perempuan yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa, maka ia
harus memberikan makan setiap harinya seorang miskin.” Demikian pula diriwayatkan oleh
beberapa periwayat dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas. Kesimpulannya, bahwa nasakh itu tetap
berlaku bagi orang sehat yang bermukim (tidak melakukan perjalanan) dengan kewajiban berpuasa.
Tetapi, apakah jika ia berbuka (tidak berpuasa) juga berkewajiban memberi makan setiap
hari seorang miskin, jika ia kaya? Mengenai hal tersebut di atas terdapat dua pendapat. Pendapat
pertama menyatakan tidak ada kewajiban baginya memberikan makan kepada orang miskin, karena
usianya ia tidak sanggup memenuhinya, sehingga ia tidak diwajibkan membayar fidyah, seperti
halnya bayi, karena Allah Ta’ala tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya. Ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafi’i. Sedangkan pendapat kedua dan
merupakan pendapat yang sahih dan yang menjadi pegangan mayoritas ulama, bahwa wajib
baginya membayar fidyah untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya.
Sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan beberapa ulama salaf lainnya. Pendapat
ini menjadi pilihan Imam Al-Bukhari, ia mengatakan, mengenai orang yang sudah tua jika ia tidak
mampu menjalankan puasa, maka ia harus membayar fidyah. Karena Anas ketika telah tua pernah
setahun atau dua tahun ia tidak berpuasa dan memberi makan roti dan daging kepada seseorang
miskin setiap hari. Atsar mu’allaq yang diriwayatkan Al-Bukhari telah disebutkan sanadnya oleh
Al-Hafiz Abu Ya’la Al-Mushili dalam musnadnya, dari Ayub bin Abu Tamimah, katanya: “Anas
tidak sanggup menjalankan ibadah puasa, lalu ia membuatkan Bubur roti satu mangkok
besar, kemudian mengundang tiga puluh orang miskin dan memberinya makan.” Demikian
diriwayatkan oleh Abd bin Humaid, dari Ayub. Hal senada diriwayatkan pula oleh Abd, dari enam
sahabat Anas, dari Anas. Termasuk dalam pengertian ini adalah wanita hamil dan yang menyusui
jika keduanya mengkhawatirkan keselamatan diri dan anak mereka.
Dalam masalah ini terdapat banyak perbedaan pendapat di antara para ulama. Di antara
mereka ada yang berpendapat bahwa keduanya (wanita hamil dan yang menyusui) boleh tidak
berpuasa, tetapi membayar fidyah dan mengqadha puasanya. Dan ada pula yang mengatakan wajib
membayar fidyah saja dan tidak perlu mengqadha. Ada juga yang berpendapat, wanita hamil dan
wanita yang sedang menyusui itu berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya tanpa
membayar fidyah. Tetapi ada juga yang berpendapat kedua wanita itu boleh berbuka dengan tanpa
membayar fidyah dan tidak juga mengqadhanya.

c. Q.S AL-Baqarah Ayat 185


Shuhuf Ibrahim, Kitab Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan kepada Nabi penerimanya dalam
satu kitab sekaligus. Sedangkan Al-Quran diturunkan secara sekaligus (dari Lauh Mahfuzh) ke
Baitul Izzah di langit dunia, dan hal itu terjadi pada Bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar.
Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Qadr ayat 1 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya pada malam kemuliaan.”
Dia juga berfirman dalam Surah Ad-Dukhan ayat 3 yang artinya: “Sesungguhnya Kami
telah menurunkannya pada malam yang penuh berkah.” Setelah itu, Al-Quran diturunkan bagian
demi bagian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan peristiwa yang terjadi.
Demikian diriwayatkan dari Ibnu Abbas, melalui beberapa jalur Firman-Nya (‫هدى للناس وبينات من‬
‫ )الهدى والفرقان‬maksudnya ini merupakan pujian bagi Al-Quran yang diturunkan sebagai petunjuk
bagi hati para hamba-Nya yang beriman, membenarkan, dan mengikutinya. Dan sebagai dalil dan
hujjah yang nyata dan jelas bagi orang yang memahami dan memperhatikannya. Hal ini
menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawanya, berupa petunjuk yang menentang kesesatan dan
bimbingan yang melawan penyimpangan, serta pembeda antara yang hak dan yang batil, yang halal
dan yang haram.

Firman-Nya (‫ )فمن شهد منكم الشهر فليصمه‬maksudnya ini merupakan kewajiban yang bersifat pasti
bagi orang yang menyaksikan permulaan Bulan Ramadhan, artinya bermukim di tempat tinggalnya
(tidak melakukan perjalanan jauh) ketika masuk Bulan Ramadhan, sedang ia benar-benar dalam
keadaan sehat fisik, maka ia harus berpuasa.
Firman-Nya (‫ )ومن ك•ان مريض•ا أو على س•فر فع•دة من أي•ام أخر‬dan tatkala menutup masalah puasa, Allah
Ta’ala kembali menyebutkan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sakit dan yang berada dalam
perjalanan untuk tidak berpuasa dengan syarat harus menggantinya. Artinya juga, barangsiapa yang
fisiknya sakit hingga menyebabkannya merasa berat atau terganggu jika berpuasa, atau sedang
dalam perjalanan, maka diperbolehkan baginya berbuka (tidak berpuasa). Jika berbuka, maka ia
harus menggantinya pada hari-hari yang lain sejumlah yang ditinggalkan. Firman-Nya (‫يريد هللا بكم‬
‫ )اليسر وال يريد يكم العسر‬maksudnya, Dia memberikan keringanan kepada kalian untuk berbuka ketika
dalam keadaan sakit dan dalam perjalanan, namun tetap mewajibkan puasa bagi orang yang berada
di tempat tinggalnya dan sehat. Ini tiada lain merupakan kemudahan dan rahmat bagi kalian.
Di sini terdapat beberapa permasalahan berkenaan dengan ayat tersebut di atas:
pertama, dalam sunnah telah ditegaskan bahwa:
ْ ِ‫اس بِ ْالف‬
َ َّ‫ َوَأ َم َر الن‬،‫• ثُ َّم َأ ْفطَ َر‬،‫ار َحتَّى بَلَ َغ ال َكديد‬
‫ط ِر‬ ِ ‫ضانَ لِغ َْز َو ِة ْالفَ ْت‬
َ ‫ فَ َس‬،‫ح‬ َ ‫خ َر َج فِي َشه ِْر َر َم‬
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar pada Bulan Ramadhan untuk
perang pembebasan Kota Makkah. Beliau berjalan hingga sampai di Al-Kadid, lalu beliau berbuka
dan menyuruh orang-orang untuk berbuka.” (HR. Al-Bukhari:1948/4279danMuslim:1113)
Kedua, ada sebagian dari kalangan sahabat dan tabi’in yang mewajibkan berbuka ketika
dalam perjalanan. Hal itu didasarkan pada firman-nya dalam ayat ini. Yang benar adalah pendapat
jumhur ulama, yang menyatakan bahwa hal itu bersifat pilihan dan bukan keharusan, karena
mereka pernah pergi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Pada Bulan Ramadhan,
Abu Sa’id al Khudri menceritakan: “Di antara kami ada yang berpuasa dan ada juga yang tidak.”
Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang berbuka tidak
mencela orang yang berpuasa. Seandainya berbuka itu merupakan suatu hal yang wajib, niscaya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengecam puasa sebagian dari mereka. Bahkan ditegaskan
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpuasa dalam keadaan seperti itu.
Berdasarkan hadis dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu Darda’,
katanya:

] ِّ‫ض ُع يَ َدهُ َعلَى َرْأ ِس ِه [ ِم ْن ِش َّد ِة ْال َحر‬


َ َ‫ َحتَّى ِإ ْن َكانَ َأ َح ُدنَا لَي‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم [فِي َشه ِْر َر َمضَانَ ] فِي َح ٍّر َش ِدي ٍد‬
َ ِ ‫َخ َرجْ نَا َم َع َرسُو ِل هَّللا‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو َع ْب َد هَّللا ِ ْبنَ َر َو‬
َ‫احة‬ َ ِ ‫صاِئ ٌم ِإاَّل رسو ُل هَّللا‬
َ ‫َو َما فِينَا‬
Artinya: “Kami pernah berpergian bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan ketika musim panas
sekali, sampai salah seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas
yang sangat menyengat. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah dan Abdullah
bin Rawahah.” (HR. AL-Bukhari 1945 dan Muslim: 1122)
Ketiga, segolongan ulama di antaranya Imam Syafi’i berpendapat bahwa puasa ketika
dalam perjalanan itu lebih utama daripada berbuka. Hal itu didasarkan pada apa yang pernah
dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, sebagaimana disebutkan pada hadis di atas. Dan
sekelompok ulama lainnya berpendapat, berbuka puasa ketika dalam perjalanan itu utama, sebagai
realisasi rukhsah, dan berdasarkan hadis bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
ditanya mengenai puasa dalam perjalanan, maka beliau pun menjawab:
Artinya: “Barangsiapa yang berbuka, telah berbuat baik. Dan barangsiapa tetap berpuasa, maka
tiada dosa baginya.” (HR. Muslim: 1121)

Kelompok ulama yang lain berpendapat, keduanya sama saja. Hal itu didasarkan pada hadis yang
diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Hamzah bin Amr Al-Aslami pernah bertanya:

ْ‫ َوِإ ْن ِشْئتَ فََأ ْف ِطر‬،‫ص ْم‬ َ َ‫ َأفََأصُو ُم فِي ال َّسفَ ِر؟ فَق‬،‫صيَ ِام‬
ُ َ‫ "ِإ ْن ِشْئتَ ف‬:‫ال‬ ِّ ‫ ِإنِّي َكثِي ُر ال‬،ِ ‫"يَا َرسُو َل هَّللا‬
Artinya: “Ya, Rasulullah, aku sungguh sering berpuasa, apakah aku boleh berpuasa dalam
perjalanan?” Maka Rasulullah pun menjawab: “Jika engkau mau berpuasalah, dan jika
mauberbukalah.”(HaditsAl-Bukhari1943danMuslim1121)

Ada juga yang berpendapat, jika keberatan untuk berpuasa, maka berbuka adalah lebih baik.
Berdasarkan Hadits Jabir, bahwa:

‫ْس ِمنَ ْالبَرِّ الصِّ يَا ُم‬ َ َ‫ فَق‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َرَأى َر ُجاًل قَ ْد ظُلِّ َل َعلَ ْي ِه‬
َ :‫ " َما هَ َذا؟ " قَالُوا‬:‫ال‬
َ ‫ " لَي‬:‫ فَقَا َل‬،‫صاِئ ٌم‬ َ ِ ‫َأ َّن َرسُو َل هَّللا‬
‫"فِي ال َّسفَ ِر‬
Artinya: “Rasulullah pernah menjumpai seorang laki-laki yang dipayungi, maka beliau bertanya,
“Mengapa dia ini?” Orang-orang menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Beliau pun bersabda,
“Bukan termasuk kebajikan berpuasa ketika dalam perjalanan.” (HR. Al-Bukhari
1946danMuslim1121)

Keempat, mengenai masalah mengganti puasa, apakah harus dilakukan secara berturut-turut
atau boleh berselang-seling. Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, mengganti puasa itu
harus dilakukan secara berturut-turut, karena qadha’ mengekspresikan pelaksanaan. Kedua, tidak
harus berturut-turut, jika menghendaki boleh berselang-seling dan boleh juga secara berturut-turut.
Demikian menurut pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf.
Firman-Nya (‫ )يريد هللا بكم اليسر وال يريد بكم العسر‬Imam Ahmad meriwayatkan, Muhammad bin
Ja’far memberitahu kami, dari Syu’bah, dari Abu At-Tayyah, katanya, aku pemah mendengar Anas
bin Malik berkata, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

Artinya: “Permudahlah dan janganlah kalian mempersulit. Tenangkanlah dan janganlah membuat
(orang) lari.” (HR. Al-Bukhari 69 dan Muslim 1734)

Diriwayatkan pula dalam kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertutur kepada Mu’adz dan Abu Musa ketika beliau mengutus
keduanya ke Yaman: Artinya: “Sampaikanlah berita
gembira dan janganlah kalian menakut-nakuti, berikanlah kemudahan dan janganlah mempersulit,
bersepakatlah dan janganlah kalian berselisih.”(HR.Al-Bukhari.4341/4342,danMuslim1733)
Firman-Nya (‫ )يري••د هللا بكم اليس••ر وال يري••د بكم العس••ر ولتكمل••وا الع••دة‬maksudnya, Allah Ta’ala
memberikan keringanan kepada kalian untuk berbuka bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam
perjalanan, atau disebabkan alasan-alasan lainnya yang semisal, karena Dia menghendaki
kemudahan bagi kalian.

Firman-Nya (‫ )لتكبروا هللا على ما هداكم‬maksudnya supaya kamu mengingat Allah Ta’ala sesuai
ibadah kalian. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 200 yang artinya: “Apabila
kamu telah menyelesaikan ibadab hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah,
sebagaimana yang menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau bahkan
berdzikirlah lebih banyak dari itu.” Oleh karena itu, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menganjurkan untuk bertasbih, bertahmid dan takbir setelah mengerjakan shalat wajib. Firman-Nya
(‫ )ولتكملوا العدة لتكبروا هللا على ما هداكم‬banyak ulama yang mengambil pensyariatan takbir pada Hari Idul
Fitri dari ayat ini. Bahkan Daud bin Ali Al-Asbahani Az-Zhahiri mewajibkan pengumandangan
takbir pada Hari Idul Fitri, berdasarkan pada perintah dalam firman-Nya ini. Sebaliknya, madzhab
Abu Hanifah rahimahullahu menyatakan bahwa takbir tidak disyariatkan pada Hari Idul Fitri.
Firman-Nya (‫ )ولعلكم تشكرون‬maksudnya, jika kalian mengerjakan apa yang diperintahkan
Allah Ta’ala, berupa ketaatan kepada-Nya, dengan menjalankan semua kewajiban dan
meninggalkan semua larangan-Nya serta memperhatikan ketentuan-Nya, maka mudah-mudahan
kalian termasuk orang-orang yang bersyukur atas hal itu.

C. Tafsiran Ayat
 Kewajiban berpuasa
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa” maksudnya adalah
puasa wajib bagi kita umat nabi Muhammad,sebagaimana wajib bagi orang-orang sebelum
kita ,dimulai dari Nabi Adam.
Pada Mufassir berbeda pendapat tentang apakah sama antarapuasa umat Nabi
Muhammad dan umat Nabi sebelumnya.satu pendapat mengatakan bahwa sama dari segi
waktu yang di tentukan yaitu padabulan Ramadhan;dan itu juga ditetaapkan pada umat
yahudi dan Nasrani ,namun mereka merubahnya. Ada juga yang berbeda pendapat
kesamaananyadari tata cara yang meninggalkan segala sesuatu yang tidak dilakukan oleh
umat yang berpuasa pada saat ini.
Ini berarti puasa tidak hanya diperuntukan bagi orang yang setelah ayat ini diturunkan
saja,tetapi juga sebelum ayat-ayat perintah puasa ditturunkan,walaupun rincian tata
caranya berbeda-beda. Kerena umat terdahulu juga berpuasa sebagaimana diajarkan oleh
tokoh-tokoh agama mereka juga.
 Tujuan dan Keringan Berpuasa
Kewajiban berpuasa bertujuan untuk “agar kamu bertaqwa”,yaitu agar terhindar
dari hal-hal yang buruk, baik dunia dan ukhrawi.puasa dilaksanakan hanya “beberapa hari
tertentu”dan Allah masi memberikan keringanan “barang siapa diantara kamu sakit” yang
karena sakit itu kita tidak mampu melaksanakan puasa atau karena hal puasa membuat
mudharat tertentu ataupun dalam perjalanan (musafir). Perjalanan yang boleh
membatalkan puasa dihitung sejauh sembilan puluh kilo meter. Jika yang sakit atau yang
dalam keadaan safir itu membatalkan puasanya maka wajib mengganti pada hari lain,
ketika dia telah sembuh sebanyak berapa hari yang ia tinggalkan, baik secara berturut-turut
maupun tidak.
Hal lain yang dapat kita ambil dari “agar kamu bertaqwa”,adalah puasa
mempersempit gerak setan, karena setan berjalan pada aliran darah manusia dan puasa
melemahkannya karena ibadah-ibadah yang kita lakukan berpuasa.hal ini juga untuk
orang-orang kaya ketika berpuasa mereka bisa merasakan ambil hikmah untuk
memperbanyak bagaimana susahnya orang-orang miskin,dan dapat mengambil untuk
memperbanyak bersedekah dan lain sebaganya.
Puasa menjadi penyuji jiwa, mendatangkan keridhaan Allah, mendidik jwa agar
bertaqwa kepada Allah pada saat sepi dan ramai , membina kemauan, dan mngeajarkan
kesabaran dan ketahanan dalam menanggung kesusahan, penderitaan, dan penghindaran
syahwat.
“Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka),
maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain”.
Apabila kondisi atau keadaan badannya menjadikan ia sulit untuk melakukan puasa,
baik karena usia yang sudah lanjut atau penyakit yang diduga tidak dapat sembuh atau
karena pekerjaannya yang bila ditinggalkan akan menyulitkan diri atau keluarganya yang
dinafkahinya. Maka wajib bagi orang tersebut membayar fidya, yaitu memberi makan
seorang miskin makan.
Begitulah ketika Allah memerintahkan hambanya untuk berpuasa. Allah juga
mengabarkan kemudahan bagi hamba-Nya. Awal-awalnya, kewajiban berpuasa ketika
belum terbiasa melakukan kewajiba itu mereka merasa berat. Lalu Allah memberikan jalan
yang lebih mudah kepada mereka. Allah kemudian juga memberikan pilihan bagi orang
yang tidak mampumelaksanakan puasa, melakukan puasa atau memberi orang miskin
makan. Allah memberi pilihan berpuasa hanya dilakukan oleh orang yang tidak mampu,
sedangkan odapat rang orang yang tidak mampu, boleh berbuka dan menggantinya dilain
waktu.
Semua faedah-faedah fisik,ruhani, kesehatan dan sosial ini baru terwujud apabila
terpenuhi syarat-syaratnya, yaitu tidak berlebihan dalam segala sesuatu yang dilarang,
contoh dalam berbuka atau sahur. Begitu juga agar tujuan-tujuan tersebut terlaksanakan,
maka didalam puasa juga diaajarkan agar menjaga lidah dari mengubah, mengadu domba
dan lain yang dapat melukai, menjaga pandangan , dan hiburan yang haram. Dari Abu
Hurairoh, Nabi SAW bersabdda daam hadist qudsi:
“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan keji, maka tidak ada
gunanya ia meninggalkan makanan dan minumannya, karena Allah” (H. R Imam Ahmad,
al-Bukhari,Abu Daud, at-Tarmidzi, dan Ibnu Majah).
Dalam Tafsir Al- Munir dikatakan bahwa yag tidak mampu ppuuasa boleh meakukan
puasa di hari lain, tetapi dalam tahun yang sama. Dalam tafsr ini juga dijelaskan bahwa
hitungan perjalanan musafir dihitung dengan hewan tunggangan yang dipakai oleh orang
zaman dahulu, bukan trasportasi yang cepat yang kita gunakan pada saat ini.
Sebagian ulama menetapkan ukuranya adalah 3 mil, dengan dalil hadis riwayat
Ahmad, Muslim, dan Abu Daud dari Anas, ia berkata:” Apabila berpergianjauh tiga mil
atau tiga faraskh, Raslullah SAW meng-qaslar shalat menjadi dua rakaat”. Mazhab Hanafi
memperkirakan jarak tempuhnya adalah tiga hari perjalanan, dan jumhur memperkirakan
dua har sedang atau 48 mil ataupun sekitar 89 km.
Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i berpendapat bahwa seorang musafir lebih
baik berpuasa bilaia sanggup melakukannya. Sedangkan Ahmad al- Auza’i berpendapat
bahwa tidak berpuasa lebih afdhal, demi mengamalkan rushsa. Adpaun ketentuan
pelaksanaan kewajiban puasa ini adalah "beberapa hari yang ditentukan”, antara 29 atau
30 hari di bulan Ramdhan. Bulan ini dipilih karena ia adalah bulan yang mulia, yang
didalamnya pertama kali Al-Qur’an diturunkan. Ini dapat diartikan bahwa pada bulan
Ramadhan kita dianjurkan untuk banyak-banyak belajar dan membaca Al- Qur’an.

D. Istinbat Hukum
Ada beberapa hukum yang bisa di-istinbat-kan dari QS. Al-Baqqarah ayat 138-185 yaitu:
1. Puasa adalah merupakan syariat Allah yang difardhukan kepada segenap muslimin dan
merupakan salah satu rukun Islam sebagaimana juga pernah difardhkan kepada umat-umat terdahulu
2. Orang yang telah tua renta diperkenankan untuk tidak berpuasa dan menggantnya dengan
membayar fidyah.
3. Orang- orang yang berhalangan/’uzur diberi keringanan untuk tidak berpuasa pada bulan Ramdhan.
Mereka juga diberi kesempatan untuk mengganti/mengqhada puasanyya di hari-hari lain.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Puasa ramadhan menurut syariat islam adalah suatu amalan ibadah yang di lakukan dengan
menahan diri dari segala sesuatu seperti makanan, minum, perbuatan buruk maupun dari yang
membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari yang di sertai niat
karena Allah SWT
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaylânî, ‘Abd al-Qâdir, Tafsîr al-Jaylânî, Juz 1, (Istanbul: Markaz al-Jaylânî li al-Buhûts al
’Ilmiah, 2009).

Al-Marâghî, Ahmad Mushthafa, Tafsîr al-Marâghî, Juz 1, (Bayrût: Dâral-Kutub al-’Ilmiah, 2006).

Nurcholis Madjid, 30 Sajian Ruhani: Renungan di Bulan Ramadlan,(Bandung: Mizan, 2007).

Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas, 2002).

Rushah, Syaikh Khalid Sayyid, Lazzât al-’Ibâdah, terj. Kusrin Karyadi dan Muhtadi Kadi, edisi
Indonesia “Nikmatnya Beribadah”, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2005).

Anda mungkin juga menyukai