Anda di halaman 1dari 103

BAHAN AJAR

FIQIH WAKAF DAN ZAKAT

DI SUSUN OLEH
DR. ISKANDAR, S.AG.,M.SH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG


TAHUN 2022
DAFTAR ISI

BAB I : KONSEPHUKUMZAKATDANWAKAF DI INDONESIA


A. Pengertian dan LandasanHukum Zakat
B. Perkembangan Zakat, Infak, Sedekah
C. Hikmah, Manfaat, Tujuan, Urgensi Zakat
BAB II : LANDASAN HUKUN ZAKAT
A. Prinsip-prinsip Pengelolaan, Tujuan, Hikmah, Syarat dan Landasan Zakat
B. Prinsip-prinsip Pengelolaan Zakat
C. Tujuan Zakat
D. Hikmah Zakat
E. Syarat Zakat
F. Landasan Hukum Zakat
BAB III MACAM-MACAM HARTA DAN KETENTUAN ZAKAT
A. Macam-macam Harta
B. Ketentuan Zakat

BAB IV : SEJARAH DAN DASAR HUKUM WAKAF


A. Pengertian Wakaf dalam Islam
B. Sejarah Wakaf Islam
C. Syarat dan Rukun Wakaf

BAB V NAZHIR WAQAF

A. Pengertian Nazhir Waqaf


B. Syarat Nazhir
C. Nazhir Dalam Konteks Hukum Islam dan Hukum Indonesia

BAB VI : KONSEP MUZAKKI dalam HUKUM ISLAM


A. Pengertian dan ketentuan muzzaki
B. Pengertian mustahiq zaqat dan bagian masing-masing
C. Konstruksi muzzaki dan mustahiq zakat dalam perkembangan di indonesia.
BAB VII LEMBAGA AMIL ZAKAT DAN WAQAF
A. Lembaga Amil Zakat.
B. Badan Wakaf Indonesia.

1
BAB VIII PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA
A. Pengertian
B. Sejarah
C. Dasar Hukum
D. Prinsip Prinsip Pengelolaan Wakaf
E. Profil Lembaga dan sistem Pengelolaan Wakaf di indonesia
F. Bentuk-bentuk wakaf, Harta Benda Wakaf dan Pemanfaatannya
G. Perbedaan Wakaf dengan Shodaqoh
BAB IX Pengelola Lembaga ZIS
A. Pembahasan
B. Lembaga amil zis
C. Ruang Lingkup
D. Insatitusi

BAB X Pemberdayaan Dan Pengembangan Wakaf

A. Pemberdayaan Wakaf
B. Pengembangan Wakaf
C. Pembinaan Wakaf

BAB XI KEBIJAKAN PERPAJAKAN DAN HUBUNGAN DENGAN ZAKAT


SECARA UMUM DI INDONESIA

A. Pengertian pajak dalam islam


B. ketentuan pajak dalam islam dan diindonesia
C. hubungan pajak dan zakat
D. kebijakan ketentuan zakat atas pajak diindonesia
E. upaya dan kajian serta upaya kebijakan singkronisasi zakat atas pajak

2
BAB I

Konsep Hukum Zakat dan Wakaf di Indonesia ”

A. Pengertian dan Landasan Hukum (Fiqih) Zakat

1. Pengertian Zakat
Secara istilah, zakat berasal dari bahasa Arab, (zakah atau zakat), yang
mengandung arti harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang
beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya
(fakir miskin dan sebagainya). Dari segi bahasa, zakat berarti bersih, suci,
subur, berkat, dan berkembang. Menurut syariat Islam, zakat merupakan rukun
ketiga dari rukun Islam.
Zakat adalah pertumbuhan, pertambahan, dan pembersihan. Harta yang
dikeluarkan menurut hukum syariat adalah zakat karena yang kita keluarkan
adalah kelebihan dari hak kita yang menjadi hak orang lain. Sementara
menurut syariat, zakat adalah sebagian harta yang wajib kita keluarkan dari
harta yang Allah berikan kepada kita, yang telah mencukupi nisab dan haulnya
untuk orang yang berhak menerimanya (Wahbah Al-Zuhayli, 1989).
Kata zakat memiliki arti “yang menyucikan dan yang menumpuk”,
baik yang berasal dari matahari, bulan, bintang, awan pembawa hujan, angin
yang menggerakkan awan, dan seluruh karunia dari Allah kepada seluruh
umat manusia. Apa pun jenis harta atau bendanya, asalkan diperoleh secara
halal dan baik serta sampai nisab, wajib dikeluarkan zakatnya. Yusuf Al-
Qardhawi (2007: 35) menjelaskan bahwa zakat ialah sejumlah harta tertentu
yang diserahkan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya dan
diwajibkan oleh Allah.
Menurut Didi Mashudi (2012: 6), secara bahasa zakat berarti nama’
(kesuburan), thaharah (kesucian), barakah (keberkahan), dan tazkiyah tathhir
(menyucikan). Orang yang menunaikan zakat berarti ia terbebas dari sifat kikir
dan dosa. Dosa dalam arti ia tidak memakan harta yang bukan miliknya. Ia
terlepas dari sifat kikir karena zakat menumbuhkan rasa solidaritas dan
kebersamaan untuk saling membantu antar sesama.
Zakat juga berarti jalinan persekutuan antara orang miskin dan orang
kaya. Persekutuan tersebut diperbarui setiap tahunnya dengan zakat. Saat
orang kaya menunaikan zakatnya, bukan berarti berbuat baik kepada orang

3
fakir yang bersifat sesuka hati, atau dengan niat berharap imbalan dari orang
fakir yang bersifat sesuka hati, atau dengan motif lainnya. Zakat ialah
mengeluarkan sebagian hartanya yang dapat diinvestasikan, misalnya uang,
perkebunan, barang dagangan, maupun hewan.

2. Landasan Hukum Zakat


a. Al-Qur’an Surah At-Taubah Ayat 103

‫ك‬ َ َ‫لَ ٰوت‬J‫ص‬


َ ‫لِّ َعلَ ْي ِه ْم ۖ ِإ َّن‬J‫ص‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن َأ ْم ٰ َولِ ِه ْم‬
َ ‫ا َو‬JJَ‫ص َدقَةً تُطَهِّ ُرهُ ْم َوتُزَ ِّكي ِهم بِه‬
‫َس َك ٌن لَّهُ ْم ۗ َوٱهَّلل ُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬
Artinya: “Ambillah Zakat dari harta mereka guna membersihkan dan
menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui”.

b. Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 43


۟ ‫وا ٱل َّز َك ٰوةَ َوٱرْ َكع‬
َ ‫ُوا َم َع ٱل ٰ َّر ِك ِع‬
‫ين‬ ۟ ُ‫ َو َءات‬Jَ‫صلَ ٰوة‬ ۟ ‫َوَأقِي ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬
Artinya: “Dan laksanakanlah Sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah
beserta orang yang rukuk”.
c. Hadis tentang kewajiban zakat
“Kewajiban zakat adalah ajaran agama Allah yang telah
diketahui secara pasti. Maka, barang siapa yang mengingkari
kewajiban zakat ini, sungguh ia telah mendustakan Allah dan
Rasulullah SAW, sehingga ia dihukumi kufur (Muhyiddin An-
Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab).

4
B. Perkembangan zakat, Infak, dan Sedekah
Pemahaman keagamaan seperti halnya fikih zakat, infak dan sedekah harus
memperhatikan tata kelola yang baik. Sehingga, pemahaman keagamaan tidak malah
menghambat tujuan pensyariatannya. Zakat, infak dan sedekah disyariatkan bukan
hanya untuk kewajiban bagi si-Kaya saja, tetapi merupakan jawaban atas masalah
asali manusia. Oleh sebab itu, diperlukan pemahaman bahwa Zakat, infak dan
sedekah adalah lembaga keuangan yang harus memperhatikan prinsip-prinsip
pengelolaan keuangan, bukan hanya formulasi fiqhiyyah salaf (Multazim A, 2014).
Indonesia sebagai sentral keuangan inklusif Islam global adalah strategi jitu
untuk akselerasi pengembangan keuangan Syariah terutama pada sektor zakat dan
wakaf. Strategi utama yang dapat dilakukan untuk mempercepat pengembangan zakat
dan wakaf atau dana-dana sosial Islam secara umum, karena sampai saat ini belum
ada lembaga atau negara yang menjadi pusat pengembangan ZISWAF, yang
merupakan inti dari keuangan inklusif Islami (Lubis & Latifah, 2019).
Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat
sebagai modal usaha, untuk memberdayakan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir
miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan
dana zakat fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan usaha,
mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan penghasilannya untuk
menabung (Amirullah, 2020).
Pada perkembangan dan pengelolaan selanjutnya, terkait pemahaman dan
pemaknaan tentang keadilan sosial dari berbagai komunitas keagamaan mengalami
perbedaan pandangan. hal tersebut diakibatkan karena perbedaan aliran pemahaman
(mazhab) dan agama yang dianut oleh masing-masing komunitas keagamaan tersebut.
Pengelolaan dana zakat, infak, dan sedekah yang selama ini diorientasikan
pada dua sektor yakni karitatif dan pemberdayaan. Sektor karitatif (charity)
digunakan untuk kebutuhan masyarakat (kaum duafa) dalam jangka pendek seperti
bantuan sosial, bakti sosial, pembagian sembako dan lainnya. Sedangkan sektor
pemberdayaan lebih bersifat jangka panjang dengan bentuk program terencana dan
terorganisir (Syafiq, 2018).
Dalam Pengelolaan zakat, infak, dan sedekah di Indonesia kini sudah
mengalami perkembangan yang sangat baik dalam kurun waktu yang sangat panjang.
Sejak infak dan sedekah telah masuk di Indonesia hal tersebut langsung dilaksanakan
atau dipraktikkan, kemudian zakat berkembang di Indonesia sebagai
5
salah satu pranata sosial dalam bentuk keagamaan yang sangat penting dan
juga harus dilaksanakan oleh umat muslim. Di Indonesia yang sekarang ini yang
sudah sangat berkembang ini, zakat ditangan masyarakat sipil yang awalnya ke arah
amal-sosial telah berubah menjadi ke arah pembangunan ekonomi.

C. Hikmah, Manfaat, Tujuan, dan Urgensi Zakat


 Hikmah Zakat
Menurut Wahbah Al-Zuhayli, dalam kitab Al-Fiqh al-Islamy wa
Adillatuh, hikmah zakat ada empat, yaitu:
 Hikmah diwajibkannya zakat adalah menjaga harta dari lirikan mata
dan tangan panjang orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
 orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan; gandeng
tangan mereka untuk mengawali sebuah pekerjaan jika mereka mampu
untuk itu; bantu mereka dengan membawa mereka ke dalam suasana
kehidupan yang bahagia (tercukupi segalanya) jika mereka tidak
mampu bekerja.
 Sebagai upaya membersihkan jiwa dari penyakit bakhil serta
pembiasaan orang mukmin agar memiliki sifat derma sehingga ia tidak
mencukupkan pada pembayaran zakat.
 Sebagai rasa syukur atas nikmat harta yang dianugerahkan.
 Menguatkan rasa kasih sayang antara si kaya dan si miskin. Hal ini
dikarenakan fitrah jiwa manusia adalah senang terhadap orang yang
berbuat kebaikan (berjasa kepadanya).
 Membiasakan seorang muslim untuk memiliki sifat belas kasih
 Memperoleh keberkahan, tambahan, dan ganti yang lebih baik dari
Allah Swt.
 Sebagai ibadah kepada Allah Swt.
 Manfaat Zakat
Menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam sebagai
kepatuhan kepada Allah Swt., termasuk berguna bagi sesama yang
membutuhkannya. Zakat mengajarkan seseorang akan keikhlasan dan
kedermawanan, sekaligus meningkatkan rasa kepedulian terhadap penderitaan
fakir miskin.

6
a. Manfaat zakat dari segi keagamaan
 Zakat termasuk rukun Islam yang harus senantiasa dikerjakan yang
menjadikan seseorang merasakan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat kelak.
 Zakat adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan bias
meningkatkan keimanan serta ketaatan kepada Allah Swt.
 Bagi umat Islam yang membayar zakat akan mendapatkan pahala
yang besar, seperti tersirat dalam firman Allah, “Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS. Al-Baqarah
[2]: 276).
 Dengan membayar zakat, Allah berjanji akan menghapus segala
dosa yang dimiliki seseorang
b. Manfaat zakat dari segi akhlak
 Zakat memasukkan muzakki ke golongan orang dermawan yang
mempunyai sifat mulia berupa kedermawanan dan rasa toleransi
yang tinggi.
 Zakat bisa meningkatkan rasa kasih sayang dan simpati pada diri
muzakki terhadap para saudaranya yang sedang kekurangan. Allah
sangat mencintai orang-orang yang mencintai saudaranya yang
sedang dilanda kekurangan.
 Pengorbanan raga dan harta bagi kaum muslim bisa menjadikan
seseorang lapang dada dan melegakan jiwa. Selain itu, bisa
menjadikan seseorang lebih dicintai orang lain karena yang
diberikan kepada para saudaranya menimbulkan manfaat besar.
 Zakat mampu memperbaiki akhlak seseorang yang dengan ikhlas
menunaikannya.
c. Manfaat zakat dari segi sosial
 Membantu fakir miskin dalam memenuhi kebutuhannya.
 Memperkuat tali persaudaraan dan ukhuwah Islamiah
 Menghilangkan rasa iri hati dan dengki yang bersemayam di dada
para fakir miskin sehingga terhindar dari bentrokan secara fisik dan
menghilangkan segala penyakit hati
 Menunaikan zakat bisa menambah harta dan meningkatkan
keberkahan harta
7
 Memperluas peredaran harta. Dengan membayar zakat, harta tidak
berhenti pada satu titik, tetapi bisa menyebar ke banyak orang.
Dengan begitu, manfaat zakat tidak hanya bersifat individu, tetapi
juga secara luas kepada masyarakat.
d. Manfaat Zakat bagi kepentingan hablum minallah dan hablum minannas
 Membantu mengurangi dan mengangkat dari kesulitan hidup serta
penderitaan fakir miskin.
 Membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi para
mustahiq
 Membina dan merentangkan tali persaudaraan serta solidaritas
sesama umat manusia.
 Menghilangkan sifat bakhil, iri, dan sebagainya dari pribadi
seorang muslim.
 Menciptakan pribadi yang jujur, bersih, toleran, dan setia kawan.
 Mendidik seseorang untuk disiplin hartanya yang menjadi hak
orang lain.
 Menumbuh kembangkan rasa tanggung jawab terhadap stabilitas
kehidupan sosial, ekonomi, dan pendidikan umat

 Tujuan Zakat
Zakat merupakan ibadah yang mengandung dua dimensi, yaitu hablum
minallah dan hablum minannas. Dalam zakat juga terdapat syarat-syarat zakat
di antaranya seperti: harta dimiliki secara sempurna, termasuk ke dalam harta
yang berkembang, harta mencapai nisab, harta mencapai satu haul, dan harta
melebihi kebutuhan pokok. Sedangkan syarat bagi orang-0rang yang
mengeluarkan zakat yaitu: orang Islam, merdeka, orang yang berakal dan
sudah balig, orang yang sudah berkecukupan, dan hartanya sudah memenuhi
nisab.
Syariat zakat dalam Islam menunjukkan bahwa Islam sangat
memperhatikan masalah-masalah kemasyarakatan, terutama nasib orang yang
lemah, tujuan zakat antara lain sebagai berikut:
 Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari
kesulitan hidup serta penderitaan.

8
 Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para gharim,
ibnu sabil, dan mustahiq lainnya.
 Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam
serta manusia pada umumnya.
 Menghilangkan sifat kikir pemilik harta kekayaan.
 Membersihkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) serta hati
orang-orang miskin.
 Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin dalam
suatu masyarakat.
 Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang,
terutama yang mempunyai harta
 Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan
menyerahkan hak orang lain yang ada pada dirinya.
 Sarana pemerataan pendapatan (rezeki) untuk mencapai keadilan sosial

 Urgensi Zakat
Urgensi atau arti penting zakat bagi seorang muslim bisa dilihat dari
berbagai perspektif. Secara ukhrowi, zakat sebagai perintah (kewajiban) bagi
muslim adalah ketundukkannya terhadap perintah Allah, Tuhan yang
Mahakuasa. Dari perspektif duniawi, zakat bisa ditempatkan dalam kerangka
bahwa seorang muslim mempunyai kewajiban untuk menebar kemaslahatan
dan kemanfaatan bagi sesama umat manusia.
zakat dalam Islam ditempatkan sebagai ikhtiar Islam untuk
menghadirkan (mewujudkan) keadilan sosial di tengah kehidupan umat
manusia. Kedua perspektif tentang zakat tersebut menunjukkan bahwa Islam,
sebagai sistem teologi (agama), merupakan sistem yang lengkap (kaffah). Al-
Quran dan sunah menjelaskan konsep keadilan secara luas dengan istilah
“seimbang”.
Dalam sistem ekonomi sosial disebut keadilan distributive (distributife
justice), di dalamnya mencakup ekonomi dan masyarakat, sedangkan di dalam
konsep politik ekonomi Islam disebut keadilan sosial (social justice). Kedua
istilah tersebut tidak bisa dipisahkan karena merupakan ajaran dasar dalam
ilmu politik ekonomi Islam.

9
Zakat memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan menentukan,
baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.14
Kesediaan berzakat dipandang sebagai orang yang selalu berkeinginan untuk
membersihkan diri dari berbagai sifat buruk, seperti bakhil, egois, rakus, dan
mengembangkan harta yang dimilikinya (QS. At-Taubah [9]: 103 dan Ar-Rum
[30]: 39). Islam memberikan peringatan dan ancaman yang keras terhadap
orang yang enggan mengeluarkan zakat. Di akhirat kelak, harta yang disimpan
dan ditumpuk tanpa dikeluarkan zakatnya akan berubah menjadi azab bagi
pemiliknya (QS. At-Taubah [9]: 34-35).
Dapat disimpulkan bahwa Urgensi atau arti penting zakat bagi seorang
muslim, selain pertanda ketaatannya kepada rukun Islam, juga merupakan
perwujudan menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. serta nilai
nilai ajaran dan syariat Islam berperan besar dalam rangka mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia karena Islam hadir sebagai
rahmatan lil ‘alamin.

10
BAB II
LANDASAN HUKUN ZAKAT, BAIK DARI HUKUM POSITIF MAUPUN AYAT
DAN HADITS

Prinsip-prinsip Pengelolaan, Tujuan, Hikmah, Syarat dan Landasan Zakat


Prinsip-prinsip Pengelolaan Zakat
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, maka yang dimaksud Pengelolaan Zakat adalah kegiatan yang
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap
pendistribusian serta pendayagunaan zakat.
Dalam pengelolaan zakat terdapat beberapa prinsip yang harus diikuti dan ditaati
agar pengelolaan itu dapat berhasil guna sesuai dengan yang diharapkan, yakni prinsip
keterbukaan, sukarela, keterpaduan, profesionalisme dan kemandirian (Djazuli, 2002:
36)
Pengelolaan zakat secara efektif dan efisien, perlu di-manage dengan baik.
Karena itu, dalam pengelolaan zakat memerlukan penerapan fungsi manajemen yang
meliputi perencanaan (planning), pengorganisaian (organizing), pengarahan
(actuating), dan pengawasan (controlling). Keempat hal tersebut perlu diterapkan
dalam tahapan pengelolaan zakat.
a. Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah menentukan dan merumuskan segala yang dituntut oleh
situasi dan kondisi pada badan usaha atau unit organisasi. Perencanaan berkaitan
dengan upaya yang akan dilakukan untuk mengantisipasi kecenderungan dimasa
yang akan datang dan penentuan strategi yang tepat untuk mewujudkan target dan
tujuan organisasi.
Dalam perencanaan pengelolaan zakat terkandung perumusan dan persoalan
tentang apa saja yang akan dikerjakan amil zakat. Dalam Badan Amil zakat
perencanaan meliputi unsur-unsur perencanaan pengumpulan, perencanaaan
pendistribusian, perencanaan pendayagunaan. Tindakan-tindakan ini diperlukan
dalam pengelolaan zakat guna mencapai tujuan dari pengelolaan zakat.

11
b. Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian adalah pengelompokan dan pengaturan sumber daya
manusia untuk dapat digerakkan sebagai satu kesatuan sesuai dengan rencana
yang telah dirumuskan untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pengorganisasian berarti mengkoordinir pemanfaatan sumber daya manusia
dan sumber daya materi yang dimiliki oleh Badan Amil Zakat yang bersangkutan.
Efektifitas pengelolaan zakat sangat ditentukan oleh pengorganisasian sumber
daya yang dimiliki oleh Badan Amil Zakat. Pengorganisaian ini bertujuan untuk
dapat memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya materi secara efektif
dan efisien. Sehingga dalam pengorganisasian ini yang harus diketahui adalah
tugas-tugas apa saja yang akan dilaksanakan oleh masing-masing divisi yang telah
dibentuk oleh lembaga tersebut, kemudian baru dicarikan orang yang akan
menjalankan tugas tersebut sesuai dengan kemampuan dan kompetensinya.
Pengorganisasian pengelolaan zakat ini meliputi pengorganisasian pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
c. Pengarahan (Actuating)
Pengarahan (actuating) adalah suatu fungsi bimbingan dari pimpinan terhadap
karyawan agar suka dan mau bekerja. Penekanan yang terpenting dalam
pengarahan adalah tindakan membimbing dan menggerakkan karyawan agar
bekerja dengan baik, tenang dan tekun sehingga dipahami fungsi dan diferensiasi
tugas masing-masing. Hal ini diperlukan karena dalam suatu hubungan kerja,
diperlukan suatu kondisi yang normal, baik dan kekeluargaan. Maka dari itu
seorang pemimpin harus mampu membimbing dan mengawasi karyawan agar apa
yang sedang mereka kerjakan sesuai dengan yang telah direncanakan.
Berkaitan dengan pengelolaan zakat, pengarahan ini memiliki peran strategis
dalam memberdayakan kemampuan sumber daya amil zakat. Dalam konteks ini
pengarahan memiliki fungsi sebagai motivasi, sehingga sumber daya amil zakat
memliki disiplin kerja yang tinggi.
d. Pengawasan (Controlling)
Pengawasan adalah mengetahui kejadian-kejadian yang sebenarnya dengan
ketentuan dan ketetapan peraturan, serta menunjuk secara tepat terhadap dasar-
dasar yang telah ditetapkan dalm perencanaan semula. Proses kontrol merupakan
kewajiban yang harus terus menerus dilakukan untuk pengecekan terhadap

12
jalannya perencanaan dalam organisasi, dan untuk memperkcil tingkat kesalahan
kerja.
Pengawasan harus selalu melakukan evaluasi terhadap keberhasilan dalam
pencapaian tujuan dan target kegiatan sesuai dengan ketetapan yang telah dibuat.
Untuk dapat mengklarifikasi dan koreksi apabila terjadi penyimpangan yang
mungkin ditemukan, dan dapat segeraa menemukan solusi atas berbagai masalah
yang terkait dengan pencapaian tujuan dan target kegiatan.
Tujuan Zakat
Allah mewajibkan zakat kepada umat Islam dengan tujuan-tujuan yang mulia. Di
antaranya:
a. Memiliki kecintaan terhadap harta kekayaan merupakan naluri manusia yang
mendorongnya untuk senantiasa mempertahankan harta kekayaannya. Islam
mewajibkan zakat sebagai pembersih hati manusia dari sikap rakus, pelit, dan
tamak, juga untuk menghilangkan sikap mencintai dan ambisi terhadap dunia.
Allah berfirman:
ۗ ۡ‫ن لَّهُم‬ٞ ‫ َك‬J ‫ك َس‬ َ ‫لِّ َعلَ ۡي ِهمۡ ۖ ِإ َّن‬J ‫ص‬
َ َ‫لَ ٰوت‬J ‫ص‬ َ ۡ‫ُخ ۡذ ِم ۡن َأمۡ ٰ َولِ ِهم‬
َ ‫ا َو‬JJَ‫زَ ِّكي ِهم بِه‬JJُ‫ص َدقَ ٗة تُطَهِّ ُرهُمۡ َوت‬
١٠٣ ‫َوٱهَّلل ُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. At-Taubah:
103)
b. Dasar memberikan zakat adalah empati dan rasa saling membantu. Karena pada
prinsipnya naluri manusia itu akan lebih dekat dan akrab kepada orang yang
peduli dan berbuat baik kepadanya. Dengan begitu, akan terbentuk masyarakat
muslim yang saling mencintai dan menolong seperti sebuah bangunan yang saling
menopang antara satu sisi dengan sisi lainnya sehingga akan bisa mengurangi
kasus pencurian dan tindakan kriminal lainnya.
c. Dengan zakat, akan tercapai makna dan inti ibadah juga makna tunduk yang
mutlak serta penyerahan diri yang sempurna kepada Allah, Tuhan semesta alam.
Ketika orang kaya mengeluarkan zakat hartanya, maka pada hakikatnya dia telah
melaksanakan perintah Allah dan telah mensyukuri nikmat Allah. Allah
berfirman:

13
٧ ‫يد‬ٞ ‫َوِإ ۡذ تََأ َّذنَ َربُّ ُكمۡ لَِئن َش َك ۡرتُمۡ َأَل ِزي َدنَّ ُكمۡ ۖ َولَِئن َكفَ ۡرتُمۡ ِإ َّن َع َذابِي لَ َش ِد‬
Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,
dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih".”(QS. Ibrahim: 7)
d. Zakat juga bisa mendukung tercapainya program jaminan sosial dan
keseimbangan kondisi masyarakat, agar tidak ada jurang yang terlalu jauh antara
si kaya dan si miskin. Dengan mengeluarkan zakat, maka kekayaan dan harta
tidak hanya berada di kalangan tertentu saja, tapi akan merata di seluruh lapisan
masyarakat. Allah berfirman:

‫ربَ ٰى َو ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى‬Jۡ Jُ‫ول َولِ ِذي ۡٱلق‬ ِ J ‫َّس‬ُ ‫ر ٰى فَلِلَّ ِه َولِلر‬J َ Jُ‫ ِل ۡٱلق‬J‫ولِ ِهۦ ِم ۡن َأ ۡه‬J ‫ٓا َء ٱهَّلل ُ َعلَ ٰى َر ُس‬JJَ‫َّمٓا َأف‬
‫و ُل‬J‫َّس‬ ُ ‫ٓا َءاتَ ٰى ُك ُم ٱلر‬JJ‫ٓا ِء ِمن ُكمۡۚ َو َم‬JJَ‫ ۢةَ بَ ۡينَ ٱَأۡل ۡغنِي‬Jَ‫ين َو ۡٱب ِن ٱل َّسبِي ِل َك ۡي اَل يَ ُكونَ ُدول‬ ِ ‫َو ۡٱل َم ٰ َس ِك‬
٧ ‫ب‬ ِ ‫وا ٱهَّلل ۖ َ ِإ َّن ٱهَّلل َ َش ِدي ُد ۡٱل ِعقَا‬ ْ ۚ ‫فَ ُخ ُذوهُ َو َما نَهَ ٰى ُكمۡ ع َۡنهُ فَٱنتَه‬
ْ ُ‫ُوا َوٱتَّق‬
Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
Hikmah Zakat
Adapun hikmah dan manfaat yangterkandung dalam zakat, adalah sebagai
berikut:
a) Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri
nikmatnyamenumbuhkan ahklak mulia dengan rasa kemanusian yang
tinggi,menghilangkan sifat kikir, rakus dan matrealistis, menumbuhkanketenangan
hidup sekaligus membersihkan dan megembangkan harta yangdimiliki.
b) Karena zakat hak mustahiq, maka zakat berfungsi untuk menolong,membantu dan
membina terutama fakir miskin kearah kehidupan yang lebihbaik dan lebih
sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhanhidupnya dengan layak,
dapat beribadah kepada Allah swt, terhindar daribahaya kekufuran, sekaligus

14
menghilangkan sifat iri dengki dan hasad yangmungkin timbul dari kalangan
mereka.
c) Zakat sebagai salah satu sumber dana bagi pengembangan sarana
maupunprasarana.
d) Zakat untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakatbukanlah
membersihkan harta yang kotor, tetapi mengeluarkan bagian darihak orang lain
dari harta kita usahakan dengan baik dan benar.
e) Indikator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam.
f) Selanjutnya adapun manfaat zakat bagi pemerintah adalah untuk
menunjangpelaksanaan program pembangunan dalam meningkatkan
kesejahteraanumat Islam.
Syarat Zakat
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat
tersebut berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan berkaitan
dengan harta.
a. Orang yang mengeluarkan zakat (muzakki)
Seseorang dapat dikatakan bagian dari muzakki apabila terpenuhi beberapa
persyaratan secara syar'i. Mengutip dari Lazgis (2019), syarat-syarat tersebut
adalah:
1) Beragama Islam
Karena syariat ini dari muslim dan untuk muslim lainnya, maka muzakki
haruslah beragama Islam Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu anhu
mengatakan bahwa zakat diwajibkan Rasulullah shalallahu 'alihi wa sallam
kepada kaum muslim.
2) Merdeka
Kata merdeka ini artinya seorang muslim posisinya bukan sebagai hamba
sahaya (budak). Dia bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
3) Memiliki harta secara sempurna
Arti sempurna yaitu harta benda yang dimiliki telah dalam penguasaannya
secara penuh
4) Jumlah harta sudah mencapai nisab

15
Nisab adalah batasan minimal kepemilikan dari harga yang wajib dizakati.
Jumlahnya sudah mencapai nishab maka sudah waktunya dikeluarkan zakat
dengan ikut melihat haul-nya.
5) Harta telah haul
Haul dalam zakat bermakna telah dimiliki dalam waktu satu tahun penuh.
Haul dan nisab saling berkaitan dalam rangka pengeluaran zakat. Dalam
sebuah hadits dikatakan, “Abdullah ibnu Umar berkata, ‘Rasulullah SAW
bersabda ‘Tidak ada zakat pada harta seseorang yang belum sampai satu tahun
dimilikinya.” (HR Daruquthni).
b. Harta zakat
1) Dimiliki secara sempurna
Harta tersebut adalah milik di tangan individu dan tidak berkaitan dengan hak
orang lain, atau harta tersebut disalurkan atas pilihannya sendiri dan faedah
dari harta tersebut dapat ia peroleh.
2) Termasuk harta yang berkembang
Yang dimaksudkan di sini adalah harta tersebut mendatangkan keuntungan
dan manfaat bagi si empunya atau harta itu sendiri berkembang dengan
sendirinya. Oleh karena itu, para ulama membagi harta yang berkembang
menjadi dua macam:
(a) Harta yang berkembang secara hakiki (kuantitas), seperti harta
perdagangan dan hewan ternak hasil perkembangbiakan
(b) Harta yang berkembang secara takdiri (kualitas).
3) Telah mencapai nishob
Nishob adalah ukuran minimal suatu harta dikenai zakat. Untuk masing-
masing harta yang dikenai zakat, ada ketentuan nishob masing-masing yang
nanti akan dijelaskan.
4) Telah mencapai satu haul
Artinya harta yang dikenai zakat telah mencapai masa satu tahun atau 12 bulan
Hijriyah. Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata uang dan hewan ternak.
Sedangkan untuk zakat hasil pertanian tidak ada syarat haul. Zakat pertanian
dikeluarkan setiap kali panen.
5) Kelebihan dari kebutuhan pokok
Harta yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, itulah sebagai
barometer seseorang itu dianggap mampu atau berkecukupan. Sedangkan
16
harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, maka seperti
ini dikatakan tidak mampu. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan kebutuhan pokok adalah apabila kebutuhan tersebut dikeluarkan, maka
seseorang bisa jadi akan celaka, seperti nafkah, tempat tinggal, dan pakaian.

Landasan Hukum Zakat


Zakat merupakan ibadah yang diwajibkan kepada setiap muslim yang berkaitan
dengan harta dengan syarat-syarat tertentu. Dasar hukum kewajiban mengeluarkan zakat
adalah:
1. QS. Al-Baqarah: 43

٤٣ َ‫ُوا َم َع ٱل ٰ َّر ِك ِعين‬


ْ ‫وا ٱل َّز َك ٰوةَ َو ۡٱر َكع‬
ْ ُ‫ َو َءات‬Jَ‫صلَ ٰوة‬ ْ ‫َوَأقِي ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang
yang ruku'.”

2. QS. At- Taubah: 103

ُ ‫ن لَّهُمۡ ۗ َوٱهَّلل‬ٞ ‫ َك‬J‫ك َس‬ َ ‫لِّ َعلَ ۡي ِهمۡ ۖ ِإ َّن‬J‫ص‬


َ َ‫لَ ٰوت‬J‫ص‬ َ ۡ‫ُخ ۡذ ِم ۡن َأمۡ ٰ َولِ ِهم‬
َ ‫ا َو‬Jَ‫ َز ِّكي ِهم بِه‬Jُ‫ص َدقَ ٗة تُطَهِّ ُرهُمۡ َوت‬
١٠٣ ‫َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

3. QS. Al-Baqarah: 267


ْ J‫ض َواَل تَيَ َّم ُم‬
‫وا‬J ِ ۖ ‫ت َما َك َس ۡبتُمۡ َو ِم َّمٓا َأ ۡخ َر ۡجنَا لَ ُكم ِّمنَ ٱَأۡل ۡر‬
ِ َ‫وا ِمن طَيِّ ٰب‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا َأنفِق‬
٢٦٧ ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا َأ َّن ٱهَّلل َ َغنِ ٌّي َح ِمي ٌد‬ ْ ‫اخ ِذي ِه ِإٓاَّل َأن تُ ۡغ ِمض‬
ۡ ‫ُوا فِي ۚ ِه َو‬ ِ َِٔ‫يث ِم ۡنهُ تُنفِقُونَ َولَ ۡستُم ‍ب‬ َ ِ‫ۡٱل َخب‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.”
17
4. QS. Fushilat: 6-7

‫ل‬ٞ J‫ت َۡغفِرُو ۗهُ َو َو ۡي‬J‫ٱس‬ ۡ َ‫د ف‬ٞ ‫ ٰ َو ِح‬ٞ‫ي َأنَّ َمٓا ِإ ٰلَهُ ُكمۡ ِإ ٰلَه‬
ۡ ‫ ِه َو‬J‫تَقِي ُم ٓو ْا ِإلَ ۡي‬J‫ٱس‬ َّ َ‫يُو َح ٰ ٓى ِإل‬ ۡ‫ر ِّم ۡثلُ ُكم‬ٞ ‫قُ ۡل ِإنَّ َمٓا َأن َ۠ا بَ َش‬
٧ َ‫ي ُۡؤتُونَ ٱل َّز َك ٰوةَ َوهُم بِٱأۡل ٓ ِخ َر ِة هُمۡ ٰ َكفِرُون‬ ‫ ٱلَّ ِذينَ اَل‬٦ َ‫لِّ ۡل ُم ۡش ِر ِكين‬
Artinya: “Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu,
diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha
Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan
mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang
yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan
zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.”

5. QS. At-Taubah: 11

ِ َ‫ص ُل ٱأۡل ٓ ٰي‬


َ‫ت لِقَ ۡو ٖم يَ ۡعلَ ُمون‬ ِّ َ‫صلَ ٰوةَ َو َءاتَ ُو ْا ٱل َّز َك ٰوةَ فَِإ ۡخ ٰ َونُ ُكمۡ فِي ٱلدِّي ۗ ِن َونُف‬ ْ ‫ُوا َوَأقَا ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬ ْ ‫فَِإن تَاب‬
١١
Artinya: “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka
(mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan
ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.”
Selain dasar hukum Al-Qur’an, juga terdapat hadits tentang zakat, antara lain:
1. Dari Ibnu Umar r.a. Bahwa Rasulullah saw bersabda:
‫ا ِء‬Jَ‫ َو ِإ ْيت‬، ‫اَل ِة‬J‫الص‬ ِ Jَ‫ َو ِإق‬، ِ‫وْ ُل هللا‬J‫هَ ِإاَّل هللاُ َو َأ َّن ُم َح َّمدًا َر ُس‬J‫هَا َد ِة َأ ْن اَل ِإل‬J‫ َش‬: ‫س‬
َّ ‫ام‬J ٍ ‫اَل ُم َعلَى َخ ْم‬J‫بُنِ َي اِإْل ْس‬
‫ رواه البخاري و مسلم‬. َ‫ضان‬ َ ‫صوْ ِم َر َم‬ َ ‫ َو‬، ‫ت‬ ِ ‫ َو َحجِّ ْالبَ ْي‬، ‫ال َّز َكا ِة‬

“Islam dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah,
Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, pergi haji, dan puasa di
bulan ramadhan.” (HR Muslim)

2. Hadis dari Ibnu abbas ra., bahwa rasulullah ketika mengirim Mujaz ibn Jaba ke negeri
Yaman, bersabda:

18
“Dari Ibnu Abbas r.a., sesungguhnya rasulullah telah mengutus Mu’adz bin Jabal ke
negeri Yaman. Nabi Muhammad SAW bersabda: Serulah (ajaklah) mereka untuk
mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa saya (Muhammad)adalah
utusan Allah. Jika mereka telah menerima itu maka beritahukan bahwa Allah telah
mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika hal ini telah mereka taati,
sampaikanlah bahwa Allah ta’ala mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari
orang-orang mereka, dan diberikan kepada orang fakir meraka.”
3. “Kau akan berada di tengah-tengah umat Ahli Kitab (agama lain). Ajaklah mereka
mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan saya adalah RasulNya. Bila
mereka menerima, beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka diwajibkan salat
lima kali dalam sehari semalam. Bila mereka menjalankannya, beritahukan pula
bahwa mereka diwajibkan mengeluarkan zakat yang dipungut dari orangorang kaya
dan dikembalikan kepada orang-orang miskin. Dan bila mereka menjalankannya,
maka kau harus melindungi harakat kekayaan mereka itu, dan takutlah kepada doa
orangorang yang teraniaya, karena antara doa orang teraniaya dengan Allah tidak
terdapat penghalang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:
“Siapa yang dikaruniai oleh Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya,
maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi seekor ular jantan gundul yang
sangat berbisa dan menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya.” (HR
Bukhari)
5. Nabi SAW bersabda ketika memerintahkan pada Mu’adz yang ingin berdakwah ke
Yaman:

‫تُْؤ َخ ُذ ِم ْنَأ ْغنِيَاِئ ِه ْم َوتُ َر ُّد َعلَى‬،‫ص َدقَةًفِىَأ ْم َوالِ ِه ْم‬ َ ‫فَِإ ْنهُ ْمَأطَا ُعوالِ َذلِ َكفََأ ْعلِ ْمهُ ْمَأنَّاللَّهَا ْفتَ َر‬
َ ‫ض َعلَ ْي ِه ْم‬
‫فُقَ َراِئ ِه ْم‬
"… Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan Allah dan menunaikan
shalat), maka ajarilah mereka sedekah (zakat) yang diwajibkan atas mereka di mana
zakat tersebut diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian disebar
kembali oleh orang miskin di antara mereka.”

19
Selain dasar hukum yang bersumber dari Al-Qur’an, landasan hukum selain terdapat
dalam al-Qur’an, peraturan mengenai zakat juga terdapat dalam hukum positif
diantaranya yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang secara garis
besar berisi pedoman zakat mulai dari ketentuan umum, tujuan zakat, organisasi
pengelolaan zakat, pengumpulan, pendistribusian dan pelaporan, pembinaan dan
pengawasan, peran serta masyarakat, hingga sanksi dan larangan terkait dengan zakat.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 tetang Pelaksanaan
Undang undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
3. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 tentang
Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional Provinsi.
4. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Urusan Haji Nomor
D/291 Tahun 2000 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
5. Perlakuan Akuntansi (PSAK 109)
Perlakuan akuntansi terhadap zakat mengacu pada PSAK No 109, dengan ruang
lingkup untuk amil yang menerima dan menyalurkan zakat dan infak/sedekah. PSAK
ini wajib diterapkan oleh amil yang mendapat izin dari regulator namun amil yang
tidak mendapat izin juga dapat menerapkan PSAK ini. PSAK No 109 merujuk pada
fatwa MUI, yaitu:
 Fatwa MUI No.8/2011 tentang Amil Zakat, menjelaskan tentang kriteria, tugas
amil serta pembebanan biaya operasional kegiatan amil zakat yang dapat diambil
dari bagian amil atau dari bagian fisabilillah dalam batas kewajaran.
 Fatwa MUI No.13/2011 tentang Hukum Zakat atas Harta Haram dimana zakat
harus ditunaikan dari harta yang halal baik jenis maupun cara perolehannya.
 Fatwa MUI No.14/2011 tentang penyaluran harta zakat dalam bentuk aset
kelolaan. Yang dimaksud aset kekolaa adalah sarana dan/atau prasarana yang
diadakan dari harta zakatdan secara fisik berada didalam pengelolaan pengelola
sebagai wakil mustahik zakat, sementara manfaatnya diperuntukkan bagi
mustahik zakat. Jika digunakan oleh bukan mustahik zakat maka pengguna harus
membayar atas manfaat yang digunakannya dan diakui sebagai dana kebajikan
oleh amil zakat.

Fatwa MUI No.15/2011 tentang penarikan, pemeliharaan dan penyaluran harta zakat, tugas
amil zakat adalah melakukan penghimpunan, pemeliharaan dan penyaluran. Jika amil zakat

20
menyalurkan tidak langsung kepada mustahik zakat, maka tugas amil dianggap selesai pada
saat mustahik zakat menerima dana zakat. Ami harus mengelola zakat sesuai dengan prinsip
syariah dan tata kelola yang baik. Penyaluran dana zakat muqayyadah, apabila membutuhkan
biaya tambahan dapat dibebankan kepada muzakki.

21
BAB III
MACAM-MACAM HARTA DAN KETENTUAN ZAKAT

A.MACAM-MACAM HARTA

Hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Zakat, menjadikan zakat di


Indonesia semakin berkembang secara baik. Telah hadir banyak lembaga yang fokus dan
konsen dalam mengolah zakat, baik kegiatan penghimpunan dan pendistribusian zakat
dengan profesional. Zakat memberi peran penting dalam mengembangkan kegiatan sosial
kepada masyarakat. Zakat merupakan pemenuhan kewajiban bagi umat muslim, serta
memiliki potensi yang cukup besar yang harus dikelola secara maksimal. Pemerintah juga
memberikan perhatian terhadap keberadaan zakat, agar dapat terus dikembangkan karena
memberi kontribusi kepada masyarakat.

Salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang memiliki prinsip solidaritas ialah zakat. Zakat
merupakan ibadah maliyah yang mempunyai status dan peran penting, strategis dan
menentukan di dalam ajaran Islam. Zakat menyimpan beberapa dimensi yang kompleks
meliputi nilai privat, publik, vertikal, horizontal, serta ukhrawi dan duniawi.

Dengan demikian, zakat dan pengelolaannya diperlukan dan mutlak untuk dilaksanakan.
Persyariatan zakat dalam Islam dimulai sejak masa kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
Kewajiban dalam melaksanakan rukun Islam ini dikontrol langsung oleh Rasulullah yang
dibantu oleh Umar bin Khattab, Ibnu Lutabiyah, Abu Mas’ud, Abu Jahm, Uqbah bin Amir
Dhahaq, Ibnu Qais, dan Ubadah bin al-Shamit yang diangkat sebagai amil oleh
Rasulullah SAW., di samping Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman.

Anjuran untuk menunaikan zakat tercantum dalam Al-qur’an. Allah SWT berfirman,
“Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-
Taubah: 103). Selain itu, Allah SWT juga berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami
berikan kedudukan di bumi, mereka melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan kepada Allahlah kembali segala
urusan,” (QS. Al-Hajj: 41).

Anjuran untuk menunaikan zakat tercantum dalam Al-qur’an. Allah SWT berfirman,
“Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-
Taubah: 103).

Selain itu, Allah SWT juga berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami berikan
kedudukan di bumi, mereka melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan kepada Allahlah kembali segala urusan,” (QS.
Al-Hajj: 41).

Menurut Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’ oleh Muhammad Al-Baqir, setiap
muslim memiliki harta yang mencapai nishab (nisab/jumlah minimal tertentu yang ditetapkan
atas setiap jenis harta) diwajibkan mengeluarkan zakatnya. Termasuk anak yang belum balig

22
atau orang yang tidak waras akalnya, apabila memiliki harta sejumlah nishab, maka walinya
wajib mengeluarkan zakat atas nama mereka. Dan orang yang sudah meninggal dunia dan
diketahui belum sempat mengeluarkan zakat atas hartanya, maka wajib atas para ahli
warisnya membayarkan zakatnya sebelum harta tersebut dibagi-bagi ke mereka.

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan badan resmi dan satu-satunya yang
dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001 yang
memiliki tugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan zakat, infak, dan sedekah (ZIS)
pada tingkat nasional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat semakin mengukuhkan peran BAZNAS sebagai lembaga yang
berwenang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. Dalam UU tersebut,
BAZNAS dinyatakan sebagai lembaga pemerintah non struktural yang bersifat mandiri
dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Dengan demikian,
BAZNAS bersama Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawal pengelolaan
zakat yang berasaskan: syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum,
terintegrasi dan akuntabilitas. Selain menerima zakat, BAZNAS juga dapat menerima
infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan
infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan
syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi
dan harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri. Untuk melaksanakan
tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak
Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai
dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Asas-asas Lembaga Pengelola Zakat
Dalam UU No. 23 Tahun 2011, disebutkan bahwa Asas-asas Lembaga
Pengelola Zakat adalah Syariat Islam, Amanah, Keadilan, Kepastian hukum, Terintegrasi,
Akuntabilitas.

Namun demikian terdapat beberapa pendapat ulama tentang macam-macam harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya, diantaranya adalah :
1. Abdurrahman al-Jaziri mengatakan bahwa harta yang wajib dikeluarkan zakatnya
adala lima macam, yaitu hewan ternak (unta, sapi, dan kambing), emas dan perak,
barang dagangan, barang tambang, dan rikaz (barang temuan), serta tanam-tanaman,
dan buah- buahan.

2. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa harta yang wajib dikeluarkan zakatnya dalah emas
dan perak, hasil tanaman, buah-buahan, barang-barang perdagangan, binatang ternak,
arang tambang, dan barang temuan (harta karun).

23
3. Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa harta yang wajib dizakati ada lima yaitu:
Nuqud (emas, perak, dan surat-surat berharga), barang tambang, dan barang temuan,
barang perdagangan, tanam-tanaman, dan buah-buahan, dan hewan ternak (unta, sapi,
dan kambing). Kemudian Wahbah juga mengutip pendapat Abu Hanifah yang
mewajibkan kuda untuk dizakati.

4. Hasbi al-Shiddiqiy membagi harta yang wajib dizakati dibagi menjadi dua, yaitu
harta-harta dhahir (al-amwal al-zhahir), yaitu binatang, tumbuhtumbuhan, dan
buah-buahan, dan harta-harta yang tersembunyi (al-amwal al-batinah), yaitu emas,
perak, dan barang perniagaan.

5. Ibnu Rusyd juga membagi harta yang wajib dikeluarkan zakatnya menjadi dua,
yaitu, pertama yang disepakati dua macam dari barang tambang (emas dan perak),
tiga macam dari hewan (unta, sapi dan kambing), dua macam dari buah-buahan
(kurma dan kismis). Kedua, yang diperselisihkan yaitu emas yang dibuat menjadi
perhiasan. Menurut Mali, Laits dan Syafi‟i barang tersebut tidak dizakati, sedangkan
menurut Abu Hanifah wajib dikeluarkan zakatnya.

Dikutip dari buku Fiqih Sunnah 2 karya Sayyid Sabiq, berikut daftar harta dengan zakat yang
wajib dikeluarkan:

1. Zakat Emas dan Perak

Emas dan perak dibagi atas empat bagian, yaitu:


a) Emas dan perak yang disimpan, wajib dikeluakan zakatnya pada tiap-tiap setahun
seperempat puluh.

b) Emas dan perak yang ditambang, wajib dikeluarkan zakatnya pada tiap-tiap kali
diperoleh seperempat puluh.

c) Emas dan perak tanaman orang purba kala yang tidak beragama Islam yang dapat
tergali, wajib dikeluarkan zakatnya pada waktu diperoleh seperlima.

d) Emas dan perak perhiasan yang jadi pakaian perempuan dan anak-anak, tidak wajib
dizakati.

24
Nisab emas dan perak yaitu:
 Nisab emas beratnya dua puluh mitsqal, yaitu 89 2/7 gram,= 12 ½ pound sterling ( +
96 gram). Zaktnya 21/2 atau seperempat puluhnya.

 Nisab perak beratnya 200 dirham, yaitu 625 gram. Jika lebih dari nisab yang tersebut
walaupun sedikit, wajib juga dikeluarkan zakatnya.

2. Zakat Piutang
Harta piutang dibagi menjadi dua macam yakni pendapat pertama, piutang yang menjadi
tanggungan seseorang yang mau mengakui dan membayarnya. Hal itu berarti pemilik
piutang wajib mengeluarkan zakatnya ketika telah menerima piutangnya. Demikian pendapat
mahzab Ali, Tsauri, Abu Tsaur, Hanafiyah dan Hanabilah.
Pendapat kedua, piutang yang menjadi tanggungan seseorang yang sulit
membayarnya, mengingkarinya, atau menundanya. Pendapat Qatadah, Ishaq, Abu Tsaur, dan
Hanfiyah menyatakan bahwa piutang tersebut tidak wajib dizakati karena tidak dapat diambil
pemiliknya untuk dimanfaatkan.

3. Zakat Uang Kertas, Cek dan Sejenisnya


Cek adalah dokumen utang yang dijamin. Cek wajib dikeluarkan zakatnya ketika telah
mencapai nisab yaitu 27 Riyal Mesir karena seseorang dapat mencairkannya menjadi
uang dengan cepat.

4. Zakat Perhiasan

Para ulama telah sepakat bahwa intan, mutiara, yaqut, permata dan batu berlian tidak wajib
dizakati, kecuali jika dijadikan barang perniagaan.

5. Zakat Maskawin
Abu Hanifah berpendapat bahwa maskawin perempuan tidak wajib dikeluarkan zakatnya,
kecuali telah diterima olehnya. Sebab maskawin merupakan ganti atau imbalan dari selain
harta sehingga tidak ada kewajiban zakat di dalamnya sebelum diterima, seperti utang
kitabah (utang seorang budak yang harus ia bayar pada tuannya agar ia bisa merdeka).
Setelah maskawin diterima, zakatnya wajib dikeluarkan dengan syarat telah mencapai nisab
dan haul, kecuali jika perempuan yang berhak atas maskawin tersebut memiliki harta yang
telah mencapai nisab selain maskawin. Ulama Syafi’i berpendapat bahwa perempuan wajib
menzakati maskawinnya ketika telah mencapai haul walaupun belum ada dukhul (hubungan
intim).

25
6. Zakat Perniagaan
Harta dagangan yang mencapai 96 gram emas, wajib dikeluarkan zakatnya seperti zakat
emas, yaitu 21/2. Jika harga emas 1 gram Rp. 100,- = 9.600,- wajib dikeluarkan zakatnya 21/2
% = Rp. 240,-. Harta benda perdagangan perseroan, Firma, CV., atau perkongsian dan
sebagainya, tegasnya harta yang dimiliki oleh beberapa orang dan menjadi satu maka
hukumnya sebagai suatu perniagaan.
Nishab dan zakatnya: jika barang yang diperniagakan itu dibeli dengan uang emas, nishabnya
dua puluh mistqal, yaitu 89 2/7 gram emas dan jika dibeli dengan uang perak, nishabnya dua
ratus dirham, yaitu 625 gram perak.

7. Zakat Hasil Pertanian

Buah-buahan yang wajib dizakati hanya anggur dan kurma. Dan biji-bijian yang wajib
dizakati hanya biji-bijian yang menjadi makanan pokok dan tahan disimpan, seperti padi,
gandum, jagung dan kacang.
Nisab zakat buah-buahan dan biji-bijian yang sudah dibersihkan, ialah 5 wasaq = 700 kg.
Sedangkan yang masih ada kulitnya nisabnya 10 wasaq = 1.400 kg. Zakatnya 10%
(sepersepuluh) jika dialiri oleh air hujan, air sungai, atau air yang tidak berasal dari
pembelian (perongkosan). Tapi jika dialiri oleh air yang berasal dari perongkosan/pembelian
maka zakatnya 5% (seperduapuluh).

8. Zakat Hewan Ternak

Binatang ternak yang wajib dizakati hanya lembu, kambing, dan unta. Adapun kerbau dan
sapi, maka termasuk bagian lembu, demikian juga biri-biri termasuk kambing.

Nisab zakat binatang ternak, yaitu:


a) Lembu

Nishab Sapi
Banyak Zakat yang Wajib Dikeluarkan
Dari – sampai

5 – 9 ekor sapi 1 ekor domba

30 – 39 ekor sapi Seekor anak sapi jantan/betina (umur 1 tahun)

40 – 59 ekor sapi Seekor anak sapi betina (umur 2 tahun)

60 – 69 ekor sapi 2 ekor anak sapi jantan (umur 1 tahun)

26
70 -79 ekor sapi Seekor anak sapi betina (umur 2 tahun ditambah sekor
anak sapi jantan (umur 1 tahun)

b) Kambing

Nishab Kambing
Banyak Zakat yang Wajib Dikeluarkan
Dari – sampai

40 – 120 ekor 1 ekor kambing

121 – 200 ekor 2 ekor kambing

221 – 300 ekor 3 ekor kambing

c) Unta

Nishab Unta
Banyak Zakat yang Harus Dikeluarkan
Dari – sampai

5 – 9 ekor unta 1 ekor domba

10 – 14 ekor unta 2 ekor unta

15 – 19 ekor unta 3 ekor unta

20 – 24 ekor unta 4 ekor unta

25 – 35 ekor unta Seekor anak unta betina (berumur 1 tahun lebih)

36 – 45 ekor unta Seekor anak unta betina (berumur 2 tahun lebih)

46 – 60 ekor unta Seekor anak unta betina (berumur 3 tahun lebih)

61 – 75 ekor unta 2 ekor anak unta betina (berumur 4 tahun lebih)

76 – 90 ekor unta 2 ekor anak unta betina (berumur 2 tahun lebih)

91 – 120 ekor unta 3 ekor anak unta betina (berumur 3 tahun lebih)

130 – 139 ekor unta Seekor anak unta betina (berumur 3 tahun lebih)
ditambah 2 ekor anak unta betina (berumur 2 tahun

lebih)

27
140 – 149 ekor unta 2 ekor anak unta betina (berumur 3 tahun lebih)
ditambah 2 ekor anak unta betina (berumur 2 tahun

lebih)

9. Zakat Tabungan dan Investasi


Apabila seorang muslim memiliki harta yang telah disimpan terhitung mencapai satu tahun
dan nilainya setara 85 gran emas maka wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen.
Sementara, zakat investasi adalah zakat yang dikenakan atas harta yang diperoleh dari hasil
investasi yang dimiliki. Seperti bangunan atau kendaraan yang disewakan. Zakat investasi
ditunaikan saat sudah menghasilkan, sedangkan modal tidak dikenai zakat. Besar zakat yang
dikeluarkan sebesar 5 persen untuk penghasilan kotor dan 10 persen untuk penghasilan
bersih.

10.Zakat Barang Temuan


Hasil tambang yang wajib dikeluarkan zakatnya ialah emas dan perak yang diperoleh dari
hasil pertambangan. Rikaz ialah harta benda orang-orang purba kala yang berharga yang
diketemukan oleh orang-orang pada masa sekarang, wajib dikeluarkan zakatnya. Barang
rikaz itu umumnya berupa emas dan perak atau benda logam lainnya yang berharga.
Nishab dan zakatnya: nishab barang-barang tambang dan harta temuan, dengan nisab emas
dan perak; yakni 20 mitsqal = 96 gram untuk emas dan 200 dirham (672 gram) untuk perak.
Zakatnya masing-masing 21/2 % atau seperempat puluh.

11.ZakatFitrah
Zakat Fitrah adalah zakat yang wajib dibayarkan seorang muslim pada akhir bulan Ramadhan
hingga sebelum shalat idul fitri. Zakat fitrah harus ditunaikan setiap tahun pada waktunya
yang telah disebutkan sebelumnya.
Menunaikan zakat fitrah diwajibkan bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan, orang
yang merdeka atau budak, hingga anak kecil atau orang dewasa. Pengertian zakat fitrah ini
adalah zakat yang biasanya dikeluarkan dengan nilai setara 3,5 liter atau 2,5 kg makanan
pokok yang biasa dimakan oleh orang yang berzakat tersebut.

Sebagaimana tercantum pada hadist Rasulullah SAW mengatakan:

28
“Barangsiapa yang menunaikan zakat fitrah sebelum shalat Id maka zakatnya diterima dan
barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat Id maka itu hanya dianggap sebagai sedekah
di antara berbagai sedekah,”(HR, Abu Daud).

12.ZakatProfesi
Zakat penghasilan atau yang dikenal juga sebagai zakat profesi adalah bagian dari zakat
maal yang wajib dikeluarkan atas harta yang berasal dari pendapatan/penghasilan rutin
dari pekerjaan yang tidak melanggar syariah. Nishab zakat penghasilan sebesar 85 gram
emas per tahun. Kadar zakat penghasilan senilai 2,5. Dalam praktinya, zakat
penghasilan dapat ditunaikan setiap bulan dengan nisab per bulannya adalah setara
dengan nilai 1/12 dari 85 gram emas, dengan kadar 2,5. Jadi, apabila penghasilan setiap
bulan telah melebihi nisab bulanan, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 dari
penghasilannya tersebut. (Sumber : Al-Qur’an Surah Al- Baqarah 267, Peraturan
Menteri Agama No 31 Tahun 2019, Fatwa MUI No 3 Tahun 2003, dan Pendapat Syeikh
Yusuf Qardawi)

2.2KETENTUAN ZAKAT

Di antara syarat-syarat terpenting yang harus terpenuhi dalam harta yang wajib dizakati
adalah sebagai berikut:
1. Harta tersebut merupakan hak milik sempurna bagi muzaki (orang yang menunaikan
zakat).

2. Harta tersebut berkembang atau berpotensi untuk berkembang.


3. Harta tersebut mencapai nishab yang telah ditentukan.
4. Harta tersebut adalah kelebihan dari kebutuhan-kebutuhan pokok bagi muzaki dan
orang-orang yang menjadi tanggungannya, tanpa berlebihan atau bermewah-
mewahan.

5. Harta tersebut terbebas dari hutang. Artinya, harta tersebut sudah dikurangi dengan
hutang yang jatuh temponya.

6. Harta tersebut telah dimiliki selama satu haul (satu tahun), terhitung sejak dia
mencapai nishab, kecuali zakat hasil pertanian, buah-buahan, dan rikaz (harta karun).

7. Harta tersebut halal dan baik, karena Allah tidak menerima kecuali yang baik. Juga,
karena harta yang haram tidak memenuhi syarat kepemilikan

Sesuatu dapat disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

29
a. Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun, dikuasai
b. Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak,
hasil pertanian, uang, emas, perak, dll.

Adapun syarat-syarat kekayaan yang wajib zakat, yakni sebagai berikut :

1. Milik Penuh (Almilkuttam)


Harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat
diambil manfaatnya secara penuh. Harta tersebut didapatkan melalui proses
pemilikan yang dibenarkan menurut syariat islam, seperti : usaha, warisan, pemberian
negara atau orang lain dan cara-cara yang sah. Sedangkan apabila harta tersebut
diperoleh dengan cara yang haram, maka zakat atas harta tersebut tidaklah wajib,
sebab harta tersebut harus dibebaskan dari tugasnya dengan cara dikembalikan
kepada yang berhak atau ahli warisnya.

2. Berkembang
Harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai
potensi untuk berkembang.

3. Cukup Nishab
Harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'.
sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari Zakat.

4. Lebih Dari Kebutuhan Pokok (Alhajatul Ashliyah)


Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga
yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya apabila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak.
Kebutuhan tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum
(KHM), misal, belanja sehari-hari, pakaian, rumah, kesehatan, pendidikan, dsb.

5. Bebas Dari Hutang


Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar
pada waktu yang sama (dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut
terbebas dari zakat.

30
6. Berlalu Satu Tahun (Al-Haul)
Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu satu tahun. Persyaratan ini
hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedang hasil pertanian, buah-
buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat haul.

31
BAB IV

Sejarah dan Dasar Hukum Wakaf

A. Pengertian Wakaf dalam Islam

Wakaf (bahasa Arab: ‫وقف‬, [ˈwɑqf]; plural bahasa Arab: ‫اف‬JJ‫أوق‬, awqāf; bahasa Turki:
vakıf, bahasa Urdu: ‫ )وقف‬adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang melakukan wakaf)
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah.

Wakaf menurut Abu Hanifah adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap
milik wakif dalam rangka menggunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi
itu, maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari wakif, bahkan dia dibenarkan menarik
kembali dan boleh menjualnya. Jika wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan ahli
warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu,
Mazhab Hanafi mendefinisan wakaf adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu
benda yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada
suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.

Pengertian Wakaf Menurut Ahli Fiqih

Sementara Mazhab Maliki berpendapat, wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan
tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain. Wakif
berkewajiban menyedekahkan manfaatnya dan tidak boleh menarik kembali wakafnya.
Perbuatan wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mauquf alaih (penerima
manfaat wakaf), walaupun yang dimilikinya berbentuk upah atau menjadikan hasilnya untuk
dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafaz
wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik.

Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan,
tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat
benda secara wajar, sedangkan benda itu tetap menjadi milik wakif. Perwakafan itu berlaku
untuk suatu masa tertentu, karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal
(selamanya).

32
Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat, wakaf adalah melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak
boleh melakukan apa pun terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan
cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta
yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan
manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf) sebagai
sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya
tersebut.

Apabila wakif melarangnya, maka Qadli atau pemerintah berhak memaksanya, agar
memberikannya kepada mauquf ’alaih. Karena itu, Mazhab Syafi’i mendefinisan wakaf
adalah: tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah
Swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).

Menurut mazhab lain, mengutip Wahbah Az-Zuhaili, Drs H Ahmad Djunaidi dkk
menulis bahwa pandangannnya sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi
kepemilikan atas benda yang diwakafkan, yaitu menjadi milik mauquf ’alaih (penerima
manfaat wakaf), meskipun mauquf ’alaih tidak berhak melakukan suatu tidakan atas benda
wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.1

B. Sejarah Wakaf

Rasulullah SAW merupakan perintis kepada amalan wakaf berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh ‘Umar bin Syaibah daripada ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’az yang
bermaksud:“Kami bertanya tentang wakaf yang terawal dalam Islam? Orang-orang Ansar
mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.2” Orang Jahiliyah tidak mengenali akad wakaf
yang merupakan sebahagian daripada akad-akad tabaru lalu Rasulullah SAW
memperkenalkannya kerana beberapa ciri istimewa yang tidak wujud pada akad-akad
sedekah yang lain.

Institusi terawal yang diwakafkan oleh Rasulullah SAW ialah Masjid Quba yang
diasaskan sendiri oleh Baginda SAW apabila tiba di Madinah pada 622M atas dasar
ketaqwaan kepada Allah SWT. Ini diikuti pula dengan wakaf Masjid Nabawi enam bulan

1
http://baitulmal.acehprov.go.id/post/wakaf-menurut-mazhab-fikih
2
Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed. ‫[ كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل اإلسالم‬Sejarah Arab Sebelum
Islam–Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko,
Jemmy. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 168–169. ISBN 978-602-6577-28-3. Diarsipkan dari versi
asli tanggal 2020-08-08.

33
selepas pembinaan Masjid Quba’. Diriwayatkan bahawa Baginda SAW membeli tanah bagi
pembinaan masjid tersebut daripada dua saudara yatim piatu iaitu Sahl dan Suhail dengan
harga 100 dirham. Pandangan masyhur menyatakan individu pertama yang mengeluarkan
harta untuk diwakafkan adalah Saidina ‘Umar RA dengan mewakafkan 100 bahagian
daripada tanah Khaibar kepada umat Islam. Anaknya Abdullah bin Umar RA menyatakan
bahawa ayahnya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar lalu dia datang kepada Rasulullah
SAW untuk meminta pandangan tentang tanah itu, maka katanya:

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat sebidang tanah di Khaibar, dimana aku
tidak mendapat harta yang lebih berharga bagiku selain daripadanya, (walhal aku bercita-
cita untuk mendampingkan diri kepada Allah) apakah yang engkau perintahkan kepadaku
dengannya?. ”

Maka sabda Rasulullah SAW:

“Jika engkau hendak, tahanlah (bekukan) tanah itu, dan sedekahkan manfaatnya.” “Maka
’Umar telah mewakafkan hasil tanahnya itu, sesungguhnya tanah itu tidak boleh dijual, tidak
boleh dihibah (diberi) dan diwarisi kepada sesiapa.” Katanya lagi: “’Umar telah
menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba yang baru merdeka,
pejuang-pejuang di jalan Allah, Ibnus Sabil dan para tetamu. Tidaklah berdosa sesiapa yang
menyelia tanah wakaf itu memakan sebahagian hasilnya sekadar yang patut, boleh juga ia
memberi makan kawan-kawannya, tetapi tidaklah boleh ia memilikinya

Sejak itu amalan wakaf berkembang sehingga menjadi tulang belakang kepada menjadi
teras kepada pembangunan umat Islam terdahulu dan berkekalan sehingga ke hari ini. Banyak
institusi pendidikan seperti Universiti Cordova di Andalus, Universitas Al-Azhar al-Syarif di
Mesir, Madrasah Nizhamiyah di Baghdad, Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Maghribi, Al-
Jamiah al-Islamiyyah di Madinah, Pondok Pesantren Darunnajah di Indonesia, Madrasah Al-
Juneid di Singapura dan banyak institusi pondok dan sekolah agama di Malaysia adalah
berkembang berasaskan harta wakaf. Universiti Al-Azhar contohnya telah membangun dan
terus maju hasil sumbangan harta wakaf. Sehingga kini pembiayaan Univesiti Al-Azhar yang
dibina sejak 1000 tahun lalu telah memberikan khidmat percuma pengajian kepada ribuam
pelajar Islam dari seluruh dunia. Merekalah yang menjadi duta Al-Azhar untuk membimbing
umat Islam kearah penghayatan Islam di seluruh pelusuk dunia

34
C. Syarat dan Rukun Wakaf

Kegiatan wakaf tidak akan dapat terlaksana tanpa memenuhi rukun-rukunnya. Seperti yang
telah kita ketahui, rukun wakaf ada 5, sebagai berikut:

1. Adanya orang yang berwakaf (waqif)


2. Tersedianya benda yang diwakafkan (mauquf).
3. Adanya orang yang menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih).
4. Terucapnya lafadz atau ikrar wakaf (sighah)

Syarat Wakaf

Setelah mengetahui pengertian wakaf, Sahabat sebaiknya harus tahu juga bagaimana cara dan
ketentuan saat ingin melakukan wakaf. Setidaknya ada 4 syarat yang perlu dilakukan
seseorang saat berniat melakukan wakaf.

Mauquf

Syarat pertama adalah adanya mauquf. Mauquf sendiri adalah benda yang akan diwakafkan.
Akan tetapi harus diingat ya Sahabat, bahwa tidak semua benda dapat menjadi mauquf.
Benda tersebut setidaknya harus memenuhi 4 syarat. Pertama, mauquf dimiliki oleh
seseorang. Kedua, mauquf memiliki nilai manfaat. Ketiga, mauquf harus jelas keberadaannya
saat kegiatan wakaf berlangsung. Keempat, mauquf memang benar bertujuan untuk
diwakafkan.

Wakif

Syarat selanjutnya adalah adanya wakif. Serupa dengan mauquf, tidak semua orang
memenuhi syarat untuk menjadi wakif. Lalu apa saja syarat menjadi wakif? Seseorang dapat
menjadi wakif apabila orang tersebut dalam keadaan akal yang sehat, merdeka, dewasa, dan
tidak di bawah pengampunan.

Shighot

Shighot berhubungan dengan ucapan. Saat akan melakukan wakaf, perlu mengucapkan kata-
kata yang menunjukkan kepastian, sangat mungkin direalisasikan, kekal, dan tidak
mengucapkan syarat tambahan dan mengucapkan syarat yang bisa membatalkan kegiatan
wakaf.

35
Mauquf ‘alaih

Mauquf ‘alaih adalah pihak yang menerima barang yang diwakafkan. Ada dua jenis mauquf
‘alaih, yakni mu’ayyan dan ghairu mu’ayyan. Mauquf ‘alaih mu’ayyan adalah penerima
wakaf yang ditunjuk oleh wakif atau pemberi wakaf untuk menerima wakaf tersebut.
Contohnya seperti kerabat atau famili. Sementara mauquf ‘alaih ghairu mu’ayyan adalah
penerima wakaf yang tidak ditentukan. Sebagai contohnya yaitu tempat ibadah, kelompok
masyarakat tertentu, fakir, miskin, anak yatim piatu, dan sebagainya

Objek Wakaf dan Pemanfaatannya

Jenis wakaf selanjutnya adalah berdasarkan harta yang diwakafkan. Ada 3 jenis wakaf dalam
kategori ini, yakni harta benda tidak bergerak, harta benda bergerak kecuali uang, dan harta
benda yang berupa uang.

Benda Tidak Bergerak

Pilihan mauquf untuk jenis wakaf harta benda tidak bergerak, dapat berupa tanah, bangunan,
kebun, atau benda yang berhubungan dengan pertanahan.

Contoh pemanfaatan: Gedung sekolah, gedung rumah sakit, perkebunan yang masih
menghasilkan panen, dll.

Benda Bergerak

Pilihan mauquf untuk jenis wakaf harta benda bergerak kecuali uang adalah yang sifat
bendanya bisa berpindah dan utamanya bisa dihabiskan. Contohnya antara lain surat
berharga, kekayaan intelektual, benda yang dapat bergerak, dll.

Contoh pemanfaatan: Quran, alat salat, ambulans, binatang ternak, dll.

Uang

Sementara mauquf berupa uang, yakni dengan mewakafkan sejumlah uang yang dimiliki,
atau disebut juga dengan wakaf tunai.

36
BAB V

NAZHIR WAQAF

A. Pengertian Nazhir Waqaf


a.Nadzhir dan Kedudukannya dalam Waqaf
1.Pengertian Nadzhir
Nadzir berasal dari bahasa Arab nadzara-yandzuru-nadzaran yang mempunyai
arti, menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun nadzir adalah isim
fa’il dari kata nadzir yang kemudian dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan
pengawas (penjaga). Sedangkan nadzir waqaf atau biasa disebut nadzir adalah
orang yang diberi tugas mengelola waqaf.

Jadi, pengertian Nadzir menurut istilah adalah orang atau badan yang
memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta waqaf dengan
sebaikbaiknya sesuai dengan wujud dan tujuan harta waqaf.

Nadzir waqaf adalah orang atau badan hukum yang memegang amant untuk
memelihara dan mengurus harta waqaf sesuai dengan wujud dan tujuan waqaf
tersebut. Sedangkan menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 pasal 1 ayat (4)
tentang waqaf menjelaskan bahwa Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda
waqaf dari waqif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

Selain kata Nadzhir, dalam hukum islam juga dikenal istilah mutawwali.
Mutawwali merupakan sinonim dari kata Nadzhir yang mempunyai makna yang
sama yakni orang yang diberi kuasa dan kewajiban untuk mengurus harta waqaf.
Lebih jelas lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 di dalam
ketentuan umum, butir keempat menyebutkan bahwa Nadzir adalah kelompok
orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda
wakaf. Berdasarkan pasal 9 Undang-undang wakaf bahwa nadzir meliputi:

• Nadzir Perseorangan

• Nadzir Organisasi

• Nadzir Badan Hukum

37
2. Kedudkan Nadzhir menurut Empat Mazhab

 Kedudukan Nadzhir Menuru Mazhab Hanafi

Menurut golongan hanafiah penunjukan nadzir merupakan hak wakif.


Wakif bisa mengangkat dirinya sendiri sebagai nadzir, jika wakif tidak
menunjuk dirinya untuk menjadi nadzir atau menunjuk oranglain, maka yang
berhak menjadi nadzir adalah orang diberi wasiat (jika ada) dan jika tidak ada
maka yang berhak menunjuk nadzir adalah hakim.54

Abdul Wahab Khallaf juga menyebutkan bahwa menurut Abu Yusuf


(pengikut madzhab hanafi) orang yang paling berhak menentukan nadzir adalah
wakif, dengan alasan bahwa wakif adalah orang yang paling dekat dengan
hartanya. Wakif tentunya berharap agar harta yang diwakafkan itu bermanfaat
terus menerus, denag demikian sebenarnya dialah yang paling mengetahui
orang yang mampu mengurus dan memelihara harta yang diwakafkan. Menurut
Abu Yusuf apabila wakif meninggal dan tatkala ia hidup tidak menjelaskan
kepada siapa wakaf itu dikuasakan, maka yang menentukan masalah nadzir
adalah hakim, karena menurutnya hakim adalah pejabat yang berwenang untuk
membelanjakan harta wakaf apabila wakif tidak dapat lagi mengurusi harta
wakaf. Tetapi menurut Imam Muhammad Hasan Al-Syaibani bahwa apabila
wakif tidak menunjuk nadzir wakaf pada waktu ikrak wakaf, maka yang berhak
mengangkat nadzir adalah mauquf alaih. Menurutnya nadzir berkerja bukan
mewakili wakif tetapi mewakili mauquf‟alaih.

 Kedudukan Nadzhir Menurut Mazhab Maliki

Golongan Malikiah juga berpendapat bahwa orang yang berhak


mengangkat nadzir adalah wakif. Namun demikian Malik menolak wakif untuk
menguasai harta wakaf yang ia wakafkan. Jika wakif menunjuk dan
mengangkat dirinya untuk menjadi nadzir, hal ini seakan-akan ia mewakafkan
untuk dirinya. Sedangkan golongan malikiah berpendapat bahwa wakif tidak
boleh mengambil hasil benda yang diwakafkan. Menurut Ibnu Baththal, waktu
yang lama akan memungkinkan wakif lupa terhadap harta yang diwakafkan dan
apabila ia jatuh miskin kemungkinan ia akan membelanjakan untuk dirinya
sendiri. Disamping itu jika ia meninggal, kemungkinan ahli warisnya
membelanjakan harta wakaf itu untuk keperluan mereka sendiri jika wakif telah

38
meninggal. Untuk menghindari hal-hal diatas golongan malikiah berpendapat
bahwa wakif harus mengangkat nadzir untuk mengurus garta yang
diwakafkan.55 Pendapat ini tampaknya didasarkan pada kehati-hatiannya
dalam menetapkan nadzir agar wakaf yang ada tidak menyimpang dari tujuan
semula. Larangan wakif untuk mengangkat atau menunjuk dirinya sebagai
nadzir tidaklah mutlak. Golongan malikiah membolehkan wakif mengangkat
dirinya sebagai nadzir jika wakif mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang
memungkinkan tidak dapat berfungsinya wakaf sebagai mana semestinya
seperti dikemukakan Ibnu Baththal diatas.

Menurut Abu Zahrah, golongan malikiah juka memperbolehkan mauquf


alaihnya mu‟ayyan (tertentu). Kebolehan ini terjadi apabila wakif tidak
menjelaskan kepada siapa penguasaan wakaf itu diberikan.

 Kedudukan Nadzhir Menurut Mazhab Syafi’i

Golongan syafi‟iah berpendapat bahwa nadzir tidak ditentukan oleh wakif,


kecuali wakif mensyaratkan disaat terjadinya wakaf. Menurut syafi‟iah wakif
dapat menunjuk atau mengangkat dirinya atau orang lain sebagai nadzir. Akan
tetapi disaat terjadinya wakaf, wakif tidak menunjuk dirina maupun orang lain
sebagai nadzir, para ulama syafi‟iyah berbeda pendapat. Pendapat pertama
menyatakan bahwa yang berhak menjadi nadzir adalah wakif sendiri dan
penguasaan terhadap harta tetap ditangan wakif.

Pendapat kedua menyatakan bahwa yang menjadi nadzir adalah maukuf


alaih dan penguasaan harta wakaf ada pada maukuf alaih karean dialah yang
berhak atas hasil wakaf, sehingga dia pula yang mempunyai kewajiban untuk
memelihara harta wakaf tersebut. Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang
berhak mengangkat nadzir adalah hakim karena sesungguhnya tergantung
padanyalah hak maukuf alaih. Pendapat ketiga inilah tampaknya yang paling
mudah diterima dan lebih dekat kepada kebaikan, karena jika ada masalah yang
berkaitan dengan perwakafan hakim akan mudah mengatasinya.

 Kedudukan Nadzhir Menurut Mazhab Hambali


Menurut Hanabilah yang berhak mengangkat nadzir adalah wakif. Wakif
boleh menunjuk dirinya atau oaring lain sebagai nadzir ketika ia mengucapkan

39
ikrar wakaf. Tetapi apabila wakif tidak menunjuk nadzir ketiak ia mewakafkan
hartanya sedangkan wakaf itu ditujukan untuk kepentingan umum misalnya
masjid, jembatan, orang-orang miskin, dan sebagainya maka yang berhak
mengangkat nadzir adalah hakim yang beragama islam. Jika wakaf ditujuakan
untuk orang tertentu baik seorang atau lebih sedangakan wakif tidak menyebut
nadzirnya, maka hak nadzir ada pada mauquf alaih, karenanya pengawasan
mauquf alaih pada harta itu seperti miliknya secara mutlak. Ada yang
berpendapat bahwa hak nadzir ada pada hakim, tetapi pendapat yang terbanyak
mengatakan hak nadzir dalam hal ini ada pada maukuf alaih. Jika maukuf
alaihnya tidak berilmu (tidak cakap bertindak hukum), masih kecil atau gila
maka yang berhakmenjadi nadzir adalah walinya.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya para ulama
berpendapat bahwa yang paling berhak menetukan nadzir adalah wakif adapun jika
wakif tidak menunjuk nadzir disaat ia melakukan ikrar wakaf pada umunya ulama
berpendapat bahwa yang bberhak mengakat nadzir adalah hakim, kecuali sebaguan
golongan hanabilah yang berpendapat jika maukuf alaihnya mua‟yyan hak
pengangkatan nadzir ada pada mauquf alaih. Jika mauquf alaih-nya tidak mampu
melaksanakan tugasnya, tugas tidak kembali kepada hakim tetapi kepada wali
mauquf alaih.

Wewenang hakim untuk mengangkat nadzir ini kemudian diikuti oleh beberapa
Negara yang mengatur praktik perwakafan, termsuk Indonesia. Hal ini memang
tepat jika dihubungkan dengan makna wakaf itu sendiri. Pengangkatan nadzir yang
dilakukan oleh hakim pada umunya berdasarkan pertimbangnpertimbangan yangh
lebih matang. Disamping itu jika hakim mengangkat nadzir maka pengawasan
nnhakim terhadap nadzirpun lebih mudah.

3. Sebagai pelaksan hukum, nadzir memiliki tugas-tugas atau kewajiban dan hak.

a. Tugas-tugas nadzir menurut undang-undang adalah:

• Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.

40
• Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi dan peruntukannya.

• Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.

• Melaporkan pelaksaan tugas kepada badan wakaf Indonesia.

b. Sedangkan hak nadzir ada dua, ialah:

• Nadzir berhak mendapat imbalan, upah atau bagian maksimal 10% dari
keuntungan atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.

• Nadzir berhak mendapat pembinaan dari menteri yang menangani wakaf dan
badan wakaf Indonesia untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara baik dan
benar

b.Waqaf

Wakaf berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” bearti “menahan”
atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau berdiri”. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan”
sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”. Kata Al-Waqf dalam bahasa Arab
mengandung beberapa pengertian: Artinya: Menahan, menahan harta untuk
diwakafkan, tidak dipindahmilikkan.

Dalam peristilahan Syara‟, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya


dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal ( ‫ب حْ َت ِل صْ ْﻻَ ا‬
ِ ْ‫) سُ ي‬, lalu
menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud dengan ‫ب حْ َت ِل صْ َ ْﻻ ا‬
ِ ْ‫سُ ي‬
ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, digunakan dalam
bentuk dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan, dan sejenisnya.
Sedangkan cara pemanfaatannya adalah dengan menggunakannya sesuai dengan
kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.

Berdasarkan referensi lain, pengertian wakaf disajikan dalam beberapa pengertian,


sebagai berikut.

a. Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) memeberikan pengertian wakaf adalah


penahanan pokok sesuatu harta dalam tangan pemilikan wakaf dan penggunaan
hasil barang itu, yang dapat disebutkan ariyah dan commodate loan untuk
tujuan-tujuan amal shaleh.

b. Muhamammad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud


dengan waqaf adalah: Artinya: Penahanan harta yang memungkinkan untuk

41
dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan
(memotong) tasharruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas Mushrif
(pengelola) yang dibolehkan adanya.

c. Imam Taqy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni dalam kitab Kifayat al-
Akhyar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah: Artinya:
Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya
benda (zatnya), dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya
dalam kebaikan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.

d. Ahmad Azhar basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah
menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah seketika, dan
untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapat ridha
Allah.

e. Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah, menahan
harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekal zat („ain) –nya dan
menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentukan syara‟, serta dilarang
leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.

Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan oleh para ulama di atas, kiranya dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan sesuatu benda yang
kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan dijalan
kebaikan.

B. Syarat Nazhir

Pada dasarnya, siapapun dapat menjadi Nadzir sepanjang ia bisa melakukan tindakan
hukum. Tetapi, karena tugas Nadzir menyangkut harta benda yang manfaatnya harus
disampaikan pada pihak yang berhak menerimanya, maka jabatan Nadzir harus diberikan
kepada orang yang mampu menjalankan tugas itu.

Sesuai UU perwaqafan yang dikeluarkan tahun 2004, syarat-syarat menjadi Nadzir


adalah sebagai berikut :

1.Syarat Nadzir Perorangan

• Warga negara Indonesia

42
• Beragama islam

• Dewasa

• Amanah

• Mampu secara jasmani dan rohan, serta

• Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum

2.Sedangkan untuk Nadzir organisasi syaratnya adalah sebagai berikut :

• Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat n perorangan

• Organisasi yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan,


kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam.

3.Sedangkan syarat untuk Nadzir badan hukum adalah sebagai berikut :

• Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat nadzir


perorangan

• Badan hukum indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan


perundangundangan yang berlaku, dan

• Organisasi yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan dan atau


keagamaan Islam.

Nadzir baik perorangan, organisasi atau badan hukum harus terdaftar pada
kementrian yang menangani waqaf dan badan waqaf Indonesia. Dengan demikian, nadzir
perorangan, organisasi maupun badan hukum diharuskan warga negara Indonesia. Oleh
karena itu, warga negara asing, organisasi asing dan badan hukum asing tidak bisa
menjadi nadzir waqaf di Indonesia.

Sedangkan dalam buku yang diterbitkan oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf


Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Departemen Agama RI yang berjudul
paradigama baru wakaf di Indonesia membagi syarat-syarat untuk nadzir ketiga bagian.

2. Syarat moral

• Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah maupun
perundang-undangan negara RI.

43
• Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan
wakaf.

• Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha.

• Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan.

• Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual.

3. Syarat Manajemen

• Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.

• Visioner

• Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan pemberdayaan.

• Profesional dalam bidang pengelolaan harta.  Memiliki program kerja yang


jelas.

4. Syarat bisnis
• Mempunyai keinginan.

• Mempunyai pengalaman.

• Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrerpreneur.

Dari persyaratan diatas menunjukan bahwa nadzir menenpati pada pos yang sangat
sentral dalam pola pengelolaan harta wakaf. Ditinjaun dari segi tugas nadzir, dimana
nadzir berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan manfaat dari
harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya.

C. Nazhir dalam Konteks Hukum Islam dan Hukum Indonesia

a.Nazhir dalam konteks hukum islam

Kompilasi Hukum Islam telah menjadi Kitab rujukan dalam Pengadilan Agama di
Indonesia, yang selanjutnya Kompilasi Hukum Islam khususnya Buku III Tentang
Hukum Wakaf menginspirasi lahirnya Undang-undang no 41 tahun 2004 tentang
wakaf.Yang mana dalam undang-undang tersebut memiliki para digma baru
dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan wakaf sebelumnya .Secara

44
keseluruhan, Undang-Undang tersebut telah berjiwakan semangat untuk memajukan
perwakafan di Indonesia.

Di dalam kompilasi Hukum Islam pada Buku III Hukum Wakaf dalam BAB I
ketentuan umum pasal 215 ada yang menarik untuk kita bahas yaitu tentang Nazir,
karena yang sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kitab-kitab fiqh klasik khususnya
aliran syafi’iah yang berkembang di Indonesia hanya mencantumkan empat dalam
rukunya wakaf yaitu Waqif, Mauquf, Mauquf alaih,Sighot.

Didalam Kompilasi Hukum Islam Nazir di jelaskan dengan begitu panjang lebar
dan diatur sedemikian banyaknya seoalah-olah Keberadaan Nazir itu urgen dan sangat
penting sehingga seolah-olah jika dalam hal mewakafkan suatu harta atau benda tidak
ada Nazir maka wakafnya batal ataupun tidak sah.

Telah dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam di terangkan dalam pasal
215 ayat (4) bahwa Nazir yaitu kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan
pengertian Nazir dalam Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf, bahwa
Nazir yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari Waqif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

Dalam Pasal 219 Kompilasi Hukum Islam menerangkan bahwa :

1. Nazir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan
yangharus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:

• Warga Negara Indonesia

• Beragama Islam

• Sudah Dewasa

• Sehat Jasmani dan Rohani

• Tidak Berada di bawah Pengampuan

• Bertempat Tinggal di Kecamatan Tempat Letak Benda yang diwakafkannya.

2. Jika berbentuk badan hukum, maka Nazir harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:

• Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

45
• .mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang
diwakafkannya.

3. Nazir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan
Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat Majelis
Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.

4. Nazir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan


Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh
2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:

“DemiAllah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkatmenjadi Nazir


langsung atau tidak langsung dengannama atau dalih apapun tidak memberikan
ataumenjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepadasiapapun juga”. ”Saya
bersumpah, bahwa saya untukmelakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalamjabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsungatau tidak langsung
dari siapapun juga suatu janji ataupemberian”.”Saya bersumpah, bahwa saya
senantiasaakan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yangdibebankan
kepada saya selaku Nazir dalampengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud
dantujuannya”.
5. Jumlah Nazir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud
Pasal215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan
sebanyakbanyaknya 10 orangyang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

Adapun kewajiban dan hak-hak Nazir di terangkan dalam Kompilasi Hukum


Islam pada bagian ke tiga BAB II yaitu:

Pasal 220

1. Nazir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan


wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.

2. Nazir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang
menjaditanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada
Kepala KantorUrusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada
Majelis UlamaKecamatan dan Camat setempat.(3) Tata carapembuatan laporan

46
seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuaidengan peraturan Menteri
Agama.

Pasal 221

1. Nazir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena: 


meninggal dunia

• atas permohonan sendiri

• tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nazir

• melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.

2. Bilamana terdapat lowongan jabatan Nazir karena salah satu alasan


sebagaimanatersebut dalam ayat (1), maka diangkat oleh Kepala Kantor Urutan
Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

3. Seorang Nazir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a,
tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.

Pasal 222
Nazir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan
jumlahnyaditentukanberdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan
dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.

b.Nadzhir dalam Konteks Hukum Indonesia

Di antara instrumen ekonomi Islam selain zakat, infak, dan sedekah adalah wakaf.
Wakaf merupakan salah satu instrumen penting untuk pemberdayaan umat. Selain itu
wakaf juga menjadi instrumen keagamaan dan sosial yang telah memainkan peranan
penting dalam sejarah kehidupan masyarakat muslim. Konsistensi peran wakaf telah
diuji dan mampu bertahan lebih dari ribuan tahun. Dengan durasi eksistensi wakaf
yang sudah sangat lama, peran wakaf sebagai penyedia keperluan untuk kepentingan
umat dirasa sangat diperlukan. Berdasarkan fungsinya, harta benda wakaf
menghasilkan manfaat yang mengandung unsur kebajikan kepada sesama makluk di

47
dunia (birr), kebaikan antarumat manusia (ihsan) dan persaudaraan sesama muslim
(ukhuwah Islamiyah).

Lembaga pengelola wakaf sebagai lembaga swasta (sektor ketiga/lembaga


nonprofit) yang selama ini telah berdiri tanpa campur tangan pemerintah sebagai adat
tradisi Islam, dalam perjalanannya senantiasa perlu mendapatkan dukungan dari
pemerintah dalam bentuk legalitas dan perlindungan hukum. Peran pemerintah ini jauh
sebelumnya telah dilakukan oleh pemerintah Mesir baik ketika masih bersistem
khilafah, kemudian monarki hingga republik. Kemudian pada tahun 2004 disusul oleh
Pemerintah Indonesia untuk pemberdayaan wakaf dengan menerbitkan UU Nomor 41
Tahun 2004 tentang wakaf, dengan menyebutkan bahwa pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan
secara produktif. Yang dimaksud produktif di sini sesuai dengan penjelasan UU
tersebut adalah pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf secara produktif
dilakukan dengan berbagai cara, baik pengumpulan aset, investasi, produksi,
kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan
teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan,
pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan usaha-usaha yang
tidak bertentangan dengan syariah.

Sebagai instrumen ekonomi Islam dalam bidang filantropi, wakaf telah dikenal
dan diimplementasikan berikutnya, lembaga wakaf telah menjadi salah satu
pendukung kegiatan umat Islam, terutama di bidang agama, sosial dan pendidikan.
Pentingnya pendidikan termaktub dalam tujuan ke 4 yang tercantum dalam
Sustainable Development Goals, yaitu untuk memastikan pendidikan berkualitas
inklusif dan adil dan pembelajaran peluang hidup untuk semua manusia. Sejalan
dengan kerangka kerja SDGs, di antara negara-negara mayoritas Muslim, wakaf
merupakan skema baru dalam pembangunan pendekatan maqasid al-syariah (tujuan
yang lebih tinggi dari syariah). Harapan besar dari pengelolaan wakaf produktif adalah
dapat berkontribusi secara ekonomi pada lembaga pendidikan dengan cakupan yang
lebih luas, seperti dalam bentuk pendanaan operasional lembaga, penyediaan
beasiswa, kesejahteraan guru dan dosen. Kontribusi pengelolaan wakaf produktif
terhadap kemandirian lembaga pendidikan telah terbukti baik di luar negeri ataupun
dalam negeri Indonesia.

48
Untuk memproduktifkan wakaf maka tidak lepas dari peran penting pengelola
wakaf (nadzir) dalam mengembangkan wakaf agar dapat memberikan dampak yang
positif terhadap masyarakat dan negara. Nadzir wakaf dalam selayaknya manajer
perusahaan yang harus mampu membuat perencanaan dan pengelolaan asset wakaf.
penelitian ini lebih fokus pada proses institusionalisasi nadzir dalam aspek-aspek
pengelolaan wakaf itu sendiri. Penelitian ini akan menggunakan teori-teori ekonomi
kelembagaan baru yang semakin popular dalam beberapa dekade terakhir, khususnya
teori-teori tentang empat tingkat kelembagaan dan kerangka analisis dan
pengembangan kelembagaan.

Agar dapat dipaham dengan mudah mengenai Nadzhir dalam Konteks Hukum
Islam di Indonesia dapa dilihat dari (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No 41 tahun 2004 Tentang Waqaf )

49
BAB VI
KONSEP MUZAKKI DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Dan ketentuan Muzakki


Muzakki adalah seseorang yang berkewajiban mengeluarkan zakat 1.Menurut Undang-
Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 1, muzakki adalah orang
atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat.2
Zakat hanyalah diwajibkan atas orang yang telah memenuhi ketentuan dan syarat-
syarat sebagai berikut:
1. Islam
Dalil yang mendasarinya adalah perkataan Abu Bakar r.a:
ُ‫ت ال ِةَقَ َّد الص ُةَضْ يِ َر ف ِ ِه َذه ْنيِ ِم ْل ُس ْم ى ال َ َل ع َ َّملَسً و ِ ْهيَ َل ع ُ َّ ى ال ّل َّ َل ص َِّال ّل‬
َّ ِ‫ض َر ف ْى‬ َ ‫ْل ُو‬
َّ َ‫س ا ر َه‬
“Inilah kewajiban zakat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW atas
kaum muslimin.” (Riwayat al-Bukhari: 1386).
Dengan adanya kata-kata “atas kaum muslimin”, berarti jelas bahwa selain
orang Islam tidak dituntut mengeluarkan zakat. 3 Seorang Islam yang telah
memenuhi syarat wajib zakat kemudian ia murtad sebelum membayarkan
zakatnya maka menurut fuqaha Syafi’iyah, wajib baginya mengeluarkan zakat
yang dimilikinya sebelum murtad. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat,
murtadnya seseorang menggugurkan semua kewajibannya sebelum murtad,
sebab setelah murtad ia sudah menjadi kafir asli dalam pengertian semua amal
ibadahnya yang lalu tidak ada gunanya. 4
2. Merdeka
Keharusan merdeka bagi wajib zakat menafikan kewajiban zakat terhadap
hamba sahaya. Hal ini sebagai konsekuensi dari ketiadaan hak milik yang
diberikan kepadanya. Hamba sahaya dan semua yang ada padanya menjadi
milik tuannya. Demikian halnya hamba sahaya yang telah diberikan
kesempatan untuk memerdekakan dirinya dengan tebusan, karena ini belum
secara sempurna memiliki apa yang ada padanya.
11
Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat (Malang: UIN-
Maliki Press, 2010), hal. 37
22
Kementerian Agama, “UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat”, http://kemenag.go.id, diakses pada
Sabtu, 12 September 2015, 12:23 WIB
33
Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal.178 Anshory Umar
Sitanggal, Fiqh Syafi’i Sistimatis II (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1987) hal. 13
44
Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal.178

50
3. Baligh dan berakal sehat
Ahli fiqh mazhab Hanafi menetapkan baligh dan berakal sebagai syarat wajib
zakat. Menurut mereka, harta anak kecil dan orang gila tidak dikenakan wajib
zakat karena keduanya tidak dituntut membayarkan zakat hartanya seperti
halnya shalat dan puasa. Mayoritas ahli fiqh selain Hanafiyah tidak
menetapkan baligh dan berakal sebagai syarat wajib zakat. Oleh karena itu,
menurut mereka harta anak kecil dan orang gila wajib dikeluarkan zakatnya,
dan yang mengeluarkannya adalah walinya, berdasarkan hadits Nabi SAW
berikut:
َ J‫ُس ر ْنَ ع ِ ِه َد ج ْنَ ع ِ ْه بي َ أ ْنَ ع ٍ ْبيَ ُع ش ِْن وب ِرْ َم ع ْنَع َّ تَ ْي‬
ٌَ ‫ل ف‬J َ ‫م ق َِّ ال ّل ُ ول‬.‫يِ َل و ْنَ م َ ال َ ص‬
‫ال َ م ُهَ ا ل ً ْميِتَي ) (رواه البيهقى ُةَقَ َّد الص ُهَلُ ْكَأ ى ت َّتَ ح ُ ْه ُكرْ تَ ي َ َل و ُهَ ل ِْرج‬
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari neneknya, sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menjadi wali anak yatim yang
memiliki harta hendaklah dia memperdagangkannya (mengembangkannya)
dan dia tidak boleh meninggalkannya sampai harta itu termakan oleh zakat.”
(HR. Baihaqi)
4. Memiliki harta atau kekayaan yang cukup nisab.
Orang tersebut memiliki sejumlah harta yang telah cukup jumlahnya untuk
dikeluarkan zakatnya.
5. Memiliki harta atau kekayaan yang sudah memenuhi haul
Harta atau kekayaan yang dimiliki telah cukup waktu untuk mengeluarkan
zakat yang biasanya kekayaan itu telah dimilikinya dalam waktu satu tahun.
6. Memiliki harta secara sempurna
Maksudnya adalah bahwa orang tersebut memiliki harta yang tidak ada di
dalamnya hak orang lain yang wajib dibayarkan. Atas dasar syarat ini,
seseorang yang memiliki harta yang cukup satu nisab, tetapi karena ia masih
mempunyai hutang pada orang lain yang jika dibayarkan sisa hartanya tidak
lagi mencapai satu nisab, maka dalam hal ini tidak wajib zakat padanya;
karena hartanya bukanlah miliknya secara sempurna. Orang tersebut tidak
dapat disebut orang kaya melainkan orang miskin.5
7. Muzakki adalah orang yang berkecukupan atau kaya
Zakat itu wajib atas si kaya yaitu orangyang mempunyai kelebihan dari
kebutuhan-kebutuhan yang vital bagi seseorang, seperti untuk makan, pakaian,
55
Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal.179

51
dan tempat tinggal. Zakat tersebut dibagikan kepada fakir miskin atau orang
yang berhak menerima zakat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.:
) (‫رواه احمد والبخار ٍ يِنَ غ ٍرْ هَ ط ْنَ ع َّ ٍَل ا َةَقَ َد ص َ َل‬
“Tidak wajib zakat kecuali dari pihak si kaya.”6(HR. Ahmad dan Bukhari)

B. Pengertian Mustahiq Zakat dan bagian masing-masing


Menurut Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 1,
mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat. Para fuqaha
menetapkan lima syarat atas orang yang berhak menerima zakat sebagai berikut7:
1. Kefakiran atau kekurangan pemenuhan kebutuhannya
Kefakiran adalah keadaan ekonomi seseorang yang serba kekurangan atau yang
benar-benar membutuhkan. Kefakiran merupakan syarat umum atas semua zakat
wajib dan sedekah. Oleh karena itu, zakat dan sedekah tidak boleh diberikan kepada
orang kaya karena Nabi SAW pernah bersabda,
ِ ‫“ يِ َو س ٍةَّ ِر م‬Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya dan
ٍ ‫ْي ذ َ َل ٍو يِن َِغ ل ُةَقَ َّد الص ُّلِ َح ت َ لَو‬
orang yang memiliki kekuatan dan kesempurnaan anggota tubuh.”
2. Penerima zakat harus muslim
Orang yang menerima zakat dipersyaratkan harus orang Muslim, kecuali orang-
orang yang baru masuk Islam. Menurut mazhab Maliki dan Hambali, zakat tidak
boleh diberikan kepada orang kafir, apa pun alasannya; berasarkan hadits Mu’adz
r.a.

َ ْ ‫ْي ا ف َهَّ ُد َر و ْ ِم ِه ائ َيِ ْن َغ أ ْ ِن ام َ ْه ُذخ ِم ِه ائ‬


ِ ‫قف‬
َ ‫َر‬

“Ambillah zakat dari orang-orang kaya dari mereka (Muslim) dan berikan kepada
orang-orang fakir dari mereka (muslim).”

Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat boleh, berdasarkan firman Allah SWT
surat al-Baqarah ayat 271 di mana menurut mereka penjelasan ayat ini masih sangat
umum. Dalam hal ini menurut mereka tidak boleh membeda-bedakan antara orang
miskin yang satu dengan yang lainnya, kecuali orang-orang al-harbiy dengan alasan
bahwa bila kita memberikan sedekah itu kepada mereka, berarti kita membantu
mereka untuk memerangi kita. Abu Yusuf, Zafar, Syafi’i, dan jumhur menyatakan,

66
Slamet Abidin dan Suyono, Fiqih Ibadah (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 196
77Wahbah Al-Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 294-308

52
“Kita tidak boleh memberikan sedekah di luar zakat kepada orang-orang dzimmiy dan
orang-orang harbiy, jika dikiaskan dengan zakat.”

3. Penerima zakat bukan berasal dari keturunan Bani Hasyim


Keturunan Bangi Hasyim (Ahl al-Bayt) diharamkan menerima zakat. Mereka
diperbolehkan mengambil khumus dari Baitul Mal untuk mencukupi kebutuhan
mereka berdasarkan sabda Nabi SAW,

ِ ‫ا َل َهَّنِا َ و ِ اس َّ الن ُ اخ َ ْش َو ا‬
َ ٍ ‫َي ا ه َ َّم ِن ا ِ ات َقَ َّد الص ِ ِه َذ ه َّنِا َّد َم ُح م َِل ِ َل َ َل و ٍ َّد َمح ُِم ل ُّلِ َحت‬

“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah kotoran manusia. Dia tidak dihalalkan untuk
Muhammad dan juga tidak dihalalkan untuk keluarga Muhammad.”

4. Penerima zakat bukan orang yang lazim diberi nafkah


Zakat tidak boleh diberikan kepada karib kerabat dan istri walaupun berada pada masa
‘iddah, karena tindakan seperti ini akan menghalangi pemberian kepada orang fakir dari
satu segi, dan dari segi yang lain zakat itu akan kembali kepada dirinya sendiri.
5. Penerima zakat akil dan baligh
Menurut mazhab Hanafi, zakat tidak boleh diterima oleh anak kecil yang umurnya
belum tujuh tahun dan tidak boleh diterima oleh orang gila, kecuali bila anak kecil dan
orang gila itu ada yang mengasuhnya. Mazhab Syafi’i mempersyaratkan bahwa orang
yang menerima zakat itu hendaknya yang sudah baligh, akil dan waras pikirannya. Oleh
karena itu, zakat tidak boleh diberikan kepada anak kecil, orang gila, orang yang
kurang waras pikirannya, kecuali jika orang-orang itu ada yang mengasuhnya.

 Delapan Golongan Mustahiq dan bagiannya masing-masing


Zakat dalam Konteks Indonesia. Allah SWT telah menentukan golongan-golongan
tertentu yang berhak menerima zakat, dan bukan diserahkan kepada pemerintah
untuk membagikannya sesuai kehendaknya. Oleh karena itu, zakat harus dibagikan
kepada golongan-golongan yang telah ditentukan yakni seperti dalam surat at-
Taubah ayat 60 sebagai berikut:
ِ َ ‫ َّد ا الص َ َّمنِإ‬Jَ‫ ِل ل ُ ات َق‬J‫يِفَ و ْ ُمهُ وب ُ ُل ق ِةَفَّلَُؤ ْمال َ ا و َ ْهيَ َل ع َ ين ِ ِل ام َ ْعال َ و ِ ين ِ اك َ َس ْمال َ اء و َ َرقُ ْف‬
‫ ّل َ ِن م ًةَ يض‬J‫ َّل و ِ ال‬J‫ِب ي س ِفَو يم ِ َل ع ُ ال‬ َ ‫ق الر ٌ يلقل ى ِبَّ الس ِْن اب َ و ِ ال ّل ِ يل‬ ِ َ ‫ين ِِم ار َ ْغال َ و ِ اب‬
‫ (الت وبه‬: . ٦ ) ‫ِ َرف ٌ يم ِ َكح‬

53
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang
miskin, para pengurus zakat, para mu’allaf yangdibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah: 60).
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang berhak menerima zakat terdiri dari
delapan golongan. Berikut ini adalah penjelasan delapan golongan yang dimaksud
tersebut sekaligus mengkajinya untuk menyesuaikan atau paling tidak,
mewarnainya dengan kondisi Indonesia8.8.:
1. Kelompok Fakir
Termasuk dalam kelompok ini adalah orang yang tidak berharta dan tidak tercukupi
makanan, pakaian maupun tempat tinggalnya, tidak mempunyai pekerjaan yang
dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.
2. Kelompok Miskin
Artinya orang yang masih memiliki sesuatu untuk menutupi hajatnya, tetapi tidak
cukup.9 Dalam buku-buku Turasts (manuskrip), para ulama mazhab atau buku-buku
kajian fikih kontemporer, secara umum pengertian yang dipaparkan oleh para ulama
untuk fakir dan miskin tidak jauh dari indikator ketidakmampuannya secara materi
untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, indikator utama yang ditekankan
para imam mazhab adalah
a. Ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan materi;
b. Ketidakmampuan dalam mencari nafkah.
Kelompok fakir dikaitkan dengan kenihilan materi sedangkan kelompok miskin
dikaitkan dengan penghasilan yang tidak mencukupi. Untuk membahas mengenai
pengertian dan indikator kemiskinan di Indonesia, dapat dilihat dari model pemetaan
dan pengukuran kemiskinan yaitu antara lain:
a. Model tingkat konsumsi
Model ini diarahkan pada pemenuhan kebutuhan pokok, dalam hal ini
terutama beras. BPS mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk
memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan
makanan maupun nonmakanan.
b. Model kesejahteraan keluarga

8.8.
M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 177-206 10
99
Anshory Umar Sitanggal, Fiqh Syafi’i Sistimatis II (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1987) hal. 65

54
Model ini dikembangkan oleh BKKBN untuk memetakan tahapan keluarga
sejahtera. Sangat miskin (fakir) diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal seperti kebutuhan akan pengajaran
agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Dengan indikator belum dapat
memenuhi salah satu atau lebih indikator berikut:
• Indikator ekonomi: makan dua kali atau lebih sehari; memiliki pakaian
yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah, bekerja/sekolah, dan
bepergian); bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah
• Indikator non-ekonomi: melaksanakan ibadah; bila anak sakit dibawa ke
sarana kesehatan. Miskin diartikan sebagai keluarga yang mampu memenuhi
kebutuhan sosial psikologisnya. Yang dimaksud kebutuhan sosial psikologis
adalah kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam
keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal, dan transportasi.
Indikatornya:
• Indikator ekonomi: paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging
atau ikan atau telur; setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh
paling kurang satu pasang pakaian baru; dan luas lantai rumah paling kurang
8 m2 untuk tiap penghuni.
• Indikator non-ekonomi: ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, punya
penghasilan tetap, usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15
tahun bersekolah; dan anak lebih dari 2 orang, berKB.
c. Model pembangunan manusia Human Development Report (HDR) adalah
satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, di mana
pembangunan harus menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir,
bukan hanya menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Di dalam
konsep ini, juga dijelaskan bahwa pembangunan manusia pada dasarnya
adalah memperluas antara pilihan-pilihan bagi masyarakat. Hal yang paling
penting di antara pilihan-pilihan yang luas tersebut adalah hidup yang panjang
dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber
daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak.
3. Kelompok Amil Zakat
Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 8 Tahun 2011 tentang
amil zakat, pengertian amil zakat adalah seseorang atau sekelompok orang
yang diangkat oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat;
55
atau seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan
disahkan oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat. 1010
Dalam upaya optimalisasi sistem zakat sebagai salah satu proses redistribusi
income, posisi amil dalam kelompok delapan ashnaf memiliki peranan yang
sangat penting. Gaji para petugas pengumpulan zakat (amil) dihitung
berdasarkan kemampuan dan kadar kerjanya, pada umumnya berdasarkan
persentase dari jumlah harta yang terkumpul seperti yang dikatakan Imam
Syafi’i r.a. “Berikanlah kepada mereka jumlah tertentu, di mana jumlah ini
pada zaman Umar bin Abdul Aziz mencapai 3%”. Gaji tersebut wajib
diberikan kepada para amil zakat meskipun mereka termasuk orang yang
kaya dengan maksud untuk memberikan dorongan kepada mereka untuk
bekerja dan berhemat dalam mengeluarkan biaya pengumpulam zakat.1111
4. Kelompok Muallaf
Secara prinsip, pengertian muallaf adalah orang-orang yang baru memeluk
agama Islam. Para ahli fikih banyak memberikan masukan antara lain yang
menambah perluasan makna dari pengertian muallaf itu sendiri. Dalam kajian
fikih klasik, muallaf diklasifikan menjadi empat macam yaitu:
Pertama, muallaf muslim ialah orang yang sudah masuk Islam tetapi niat dan
imannya masih lemah.
Kedua, orang yang telah masuk Islam, niat dan imannya sudah cukup kuat, dan
juga terkemuka (tokoh) di kalangan kaumnya.
Ketiga, muallaf yang mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi tindak
kejahatan yang datang dari kaum kafir.
Keempat, muallaf yang mempunyai kemampuan mengantisipasi kejahatan yang
datang dari kelompok pembangkang wajib zakat. Zakat secara tidak langsung
dapat menjadi alat daya tarik yang menstimultan nonmuslim untuk masuk Islam
atau menstimultan orang Islam untuk lebih beriman dan menjauh dari tindak
kriminal. Tidak hanya itu, pencerahan distribusinya dapat diarahkan kepada
daerah atau tempat di mana orang Islam adalah minoritas, termarginalkan atau
berbatasan dengan daerah musuh.
5. Kelompok Riqab
1010
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta: Erlangga, 2011), hal. 271
1111
M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana, 2006), hal.186

56
Dalam kajian fikih klasik yang dimaksud dengan para budak adalah perjanjian
seorang muslim untuk bekerja dan mengabdi kepada majikannya, di mana
pengabdian tersebut dapat dibebaskan apabila si budak memenuhi kewajiban
pembayaran sejumlah uang, namun si budak tersebut tidak memiliki kemampuan
materi untuk membayar tebusan atas dirinya tersebut. Bila melihat konsep
tersebut, maka definisi tersebut sepintas tidak lagi bisa dipakai atau diterapkan
pada kondisi sekarang, sehubungan dengan adanya pelarangan secara syariat dan
bahkan konteks sekarang sudah menjadi isu pelarangan dalam skala internasional.
Penafsiran riqab mulai dari budak, bangsa terjajah, dan karyawan/buruh pada
dasarnya berporos pada adanya kekuasaan satu pihak terhadap pihak lain, dalam
hal ini yang menjadi pengait antara keduanya adalah kondisi perekonomian, di
mana yang satu surplus dan yang lain defisit. Selanjutnya untuk kajian
keindonesiaan, Arif Mufraini menyatakan ada sekelompok pekerja/buruh yang
hampir mirip dengan kondisi riqab di masa era kenabian dan mirip dengan
kelompok orang yang terjajah, namun tidak bisa dikatakan dengan sebagai
pekerja atau buruh yang layaknya karyawan perusahaan atau pegawai negeri atau
profesional tertentu, yaitu pembantu rumah tangga, kelompok pekerja atau buruh
yang bertugas sebagai pembantu urusan dan pekerjaan rumah tangga orang, di
dalam maupun luar negeri.1212
6. Kelompok Gharim
Menurut mazhab Abu Hanifah, gharim adalah orang yang mempunyai utang dan
aset yang dimiliki tidak mencukupi untuk memenuhi utangnya tersebut.
Sedangkan Imam Maliki, Syafi’i, dan Ahmad menyatakan bahwa orang yang
mempunyai utang terbagi kepada dua golongan, yaitu Pertama, kelompok orang
yang mempunyai utang untuk kebaikan dan kemaslahatan diri dan keluarganya.
Misalkan untuk membiayai dirinya atau keluarganya yang sakit, atau untuk
membiayai pendidikan anaknya. Kedua, kelompok orang yang berutang untuk
kemashlatahan orang atau pihak lain. Misalkan, orang yang terpaksa utang karena
mendamaikan dua pihak atau dua orang yang sedang bertengkar, sedangkan
untuk penyelesaiannya membutuhkan dana yang cukup besar. Atau kelompok
orang yang menjalankan misi kemanusiaan, yang terpaksa berutang untuk
memenuhi kebutuhan misi kelembagaan tersebut. Misalkan, yayasan sosial yang
memelihara anak yatim, orangorang lanjut usia (panti jompo), orang-orang fakir,
1212
M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 196

57
panitia pembangunan masjid, sekolah, perpustakaan, pondok pesantren dan lain-
lain. Dari beberapa pengertian di atas, untuk penerapannya di Indonesia,
Lembaga Amil Zakat (LAZ)akan sangat mungkin menemukan kesulitan
menyalurkan dana untuk kategori ini. Pengertian kondisi gharim akan sangat
lekat dan berkaitan dengan kondisi kemiskinan dan kefakiran, sedangkan
kelompok fakir dan miskin sudah ada jatahnya. Pada umumnya alasan orang
berutang dapat diindikasikan untuk kepentingan konsumtif maupun produktif.
Utang konsumtif adalah utang yang diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan utang produktif adalah utang yang
diperuntukkan untuk kepentingan menjalankan usaha, permodalan, menambah
faktor produksi dan pembelian investasi dan lain sebaginya. Motif konsumtif
sebagaimana di atas, menurut Arif Mufraini sangat tepat untuk dikategorikan
sebagai kelompok gharim namun untuk motif produktif masih perlu diadakan
kajian mendalam.
7. Kelompok Fi Sabilillah
Sabilillah kerap diartikan sebagai jihad (berperang), karena memang pada
sejumlah ayat al-Qur’an arti kata fi sabilillah sangat berdekatan dengan
pemahaman jihad berperang di jalan Allah. Namun demikian, apabila ditelaah
lebih dalam, memahami kata fi sabilillah ternyata lebih luas dari pengertian
berperang di jalan Allah. Tiap mazhab yang ada juga mengartikan fi sabilillah
dengan pengertian yang berbeda. Salah satunya adalah mazhab Syafi’i yang
menyatakan bahwa sabilillah itu adalah sukarelawan di medan perang yang tidak
mendapat tunjangan tetap dari pemerintah. Meskipun demikian, pengertian
tersebut pun tidak perlu dibatasi hanya karena jihad fisik militer. Kadang-kadang,
jihad pun dilakukan oleh lidah atau pena, sebagaimana yang dilakukan pedang
dan tombak.1313 Bagian untuk sabilillah diberikan kepada para angkatan perang
yang tidak mendapat gaji dari pemerintah. Tetapi menurut Imam Ahmad bin
Hanbal, bagian zakat untuk sabilillah bisa di-tasharruf-kan (dugunakan) untuk
membangun madrasah, masjid, jembatan, dan sarana umum lainnya. Agar zakat
berdaya guna dan tepat guna, kita perlu mengambil pengertian “sabilillah” dalam
makna yang luas, tidak membatasi pada pengertian berperang saja. Kalau kita
sepakat mengambil pengertian yang luas, maka segala hal yang berkaitan dengan

1313
Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini: Qardhawi Menjawab (Bandung: Trigenda Karya, 1995),
hal. 331

58
maslahat umum termasuk dalam kategori sabilillah. 1414 Apabila dikaitkan dengan
Indonesia sekarang yang tidak dalam kondisi berperang dengan pihak mana pun,
maka tentu dana ini harus dialihkan kepada bentuk lain dari berjihad di jalan
Allah. Bukan mereka yang mengangkat senjata api tapi bagi mereka yang
mengangkat pena, menuntut ilmu untuk mengibarkan panji agama Allah di muka
bumi ini. Perjuangan seorang muslim untuk meningkatkan SDM lebih realistis
untuk dikatakan sebagai pejuang di jalan Allah untuk era ini. Masih banyak putra
putri bangsa ini yang tidak sekolah atau putus sekolah karena kendala biaya. Dan
masih banyak komunitas umat Islam di Indonesia yang membutuhkan sarana dan
prasarana yang memadai dalam menyelenggarakan pendidikan.
8. Kelompok Ibnu Sabil
Ibnu sabil menurut jumhur ulama adalah kiasan untuk musafir (perantau), yaitu
orang yang melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lain. Imam Thabari
meriwayatkan dari Mujahid: “Ibnu sabil mempunyai hak dari dana zakat apabila
kehabisan akomodasi dan perbekalannya walaupun pada asal ekonominya
berkecukupan.” Dalam kemajuan tekonologi informasi saat ini, memang kondisi
ibnu sabil yang diilustrasikan pada artian klasik tampaknya sudah sangat kecil
terjadi kemungkinannya. Apabila kondisi tersebut terjadi, sangat dimungkinkan
karena orang yang bepergian tersebut berada pada kondisi ekonomi yang lemah,
artinya bepergian atau tidak bepergian kondisinya memang sudah sangat lemah
secara ekonomi. Pendekatan banyak dilakukan oleh sejumlah lembaga
pengumpul zakat mengategorikan para perantau yang mengalami kegagalan
dalam mengais rezeki di kota atau para pelajar yang merantau di kota lain untuk
menuntut ilmu dikategorikan sebagai ibnu sabil.

C. Konstruksi muzakki dan mustahiq zakat dalam perkembangan di indonesia


Pembangunan seharusnya membebaskan. Sementara kemiskinan adalah proses
tercerabutnya kemampuan guna meraih kebebasan. Demikian ujar Amartya Sen,
2000 dalam bukunya Development as Freedom. Kondisi kemiskinan di Indonesia
masih memprihatinkan.

1414
MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 2011), hal. 153

59
Penghitungan Badan Pusat Statistik 2008, dengan menggunakan pendekatan garis
kemiskinan, menunjukkan bahwa pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin di
Indonesia sebanyak 34,96 juta orang setara dengan 15,4%. Di samping itu, jumlah
penduduk miskin di kota jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk miskin di
desa, 12,77 juta orang di desa dibandingkan dengan 22,19 juta orang di kota. Pada
periode 1996-2008, jumlah dan persentase penduduk miskin mengalami fluktuasi
dengan adanya tren penurunan pada periode 2000-2005. Sementara itu, pada saat
krisis ekonomi melanda Indonesia (1996-1999) jumlah dan persentase penduduk
miskin mengalami peningkatan drastis 13,96 juta yaitu dari 34,01 juta (17,47%) pada
tahun 1996 menjadi 47,97 juta orang (23,43%) pada tahun 1999. Pada periode
berikutnya (1999-2005), terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 9,57 juta
orang yaitu dari 47,97 juta menjadi 35,1 juta orang (15,97%) pada tahun 2005.
Namun dari 20052006 terjadi peningkatan jumlah orang miskin dari 35,1 juta orang
menjadi 39,3 juta orang (17,75%) pada tahun 2006. Setelah itu, untuk periode 2006-
2008 terjadi penurunan jumlah orang miskin dimana saat ini masih ada 34,96 juta
penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan.

Masifnya jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah tantangan bagi semua pihak
untuk memperbaikinya. Pemerintah yang diberikan mandat untuk membantu mereka
yang tidak berdaya terbukti belum berhasil membuat perubahan signifikan dalam
upaya pengentasan kemiskinan. Zakat, rukun Islam ke 3 yang mengharuskan adanya
transfer pendapatan dari si kaya kepada si miskin, dapat dijadikan instrumen dalam
mengentaskan kemiskinan.

Dana zakat yang dihimpun dari para muzakki, pemilik harta yang telah mencapai
batas terendah (nisab) yang ditentukan dan telah sampai waktunya wajib
mengeluarkan zakat (haul) menurut ketentuan ajaran agama Islam, harus digunakan
sebaik-baiknya

untuk membiayai program-program pengentasan kemiskinan. Program-program


tersebut haruslah mampu menjadikan penduduk miskin mandiri dan berdaya guna.
Dompet Dhuafa Republika sebagai Lembaga Pengelola (amil) Zakat tingkat nasional
dapat mengambil peran aktif dalam proses ini. Lembaga yang bervisi
menumbuhkembangkan jiwa dan kemandirian masyarakat yang bertumpu pada
60
sumber daya lokal ini sangat potensial untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk
miskin melalui program yang berbasiskan potensi lokal.

Penerima zakat (mustahik) ialah orang yang berhak menerima zakat yang terdiri dari
fakir, miskin, amil zakat, mualaf, memerdekan budak, orang yang berhutang dan
musafir. Komponen utama mustahik yang relevan dalam konteks pengentasan
kemiskinan adalah fakir, orang yang tidak mempunyai mata pencaharian tetap dan
keadaan hidupnya dibawah standar hidup minimal, dan miskin, orang yang
mempunyai mata pencaharian tetap tetapi penghasilannya belum cukup untuk
keperluan minimal bagi diri dan keluarganya. Program pemberadayaan mustahik
akan lebih baik jika dipadukan dengan potensi yang ada diwilayah yang
bersangkutan.

Potensi wilayah dalam hal ini bisa dibagi menjadi empat yaitu potensi sumber daya
alam (SDA), potensi infrastruktur wilayah, potensi sumber daya manusia (SDM) dan
potensi modal sosial. Potensi sumber daya alam merupakan potensi alam yang bisa
digunakan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan meningkatkan pendapatan
masyarakat seperti barang tambang, hutan, minyak bumi dan lain-lain. Sementara itu,
potensi infrastruktur wilayah merupakan keberadaan infrastruktur dalam mendukung
kegiatan ekonomi seperti jalan, jembatan, listrik dan lain-lain. Sedangkan, potensi
sumber daya manusia dapat berupa banyaknya maupun berkualitasnya angkatan kerja
(penduduk usia kerja yang ingin bekerja) di wilayah tersebut. Semakin banyak
angkatan kerja yang berpendidikan tinggi dan memiliki kompetensi kerja di suatu
wilayah maka semakin banyak juga potensi sumber daya manusia yang dimiliki
wilayah tersebut. Terakhir dan paling utama adalah potensi modal sosial di suatu
wilayah yang sangat berperan dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin. Modal
sosial yang berakar pada berjalannya social network akan membantu percepatan
proses pemberdayaan masyarakat maupun sebagai jaring pengaman bagi penduduk
miskin.

BAB VII

61
LEMBAGA AMIL ZAKAT DAN WAQAF

A.Lembaga Amil Zakat.


1.Pengerttian Lembaga Amil Zakat.
Lembaga adalah badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu usaha,
menurut fatwa MUI no 8 Tahun 2011 yang dimaksud dengan amil zakat sendiri
adalah:
a. Seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh pemerintah untuk mengelola
pelaksanaan ibadah zakat.

b. Seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan
oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat.

Lembaga amil zakat menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2011 tentang


pengelolaan zakat pasal (1) ayat 8 disebutkan bahwa Lembaga Amil Zakat yang
selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat yang
memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat28.
Lembaga amil zakat juga didevenisikan sebagai institusi pengelolaan zakat yang
sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat yang bergerak
dibidang da’wah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam.
Lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina dan dilindungi pemerintah.
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 17 UU No.23 Tahun 2011 pembentukan LAZ oleh
masyarakat dimaksudkan untuk membantu BAZNAS dalam pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat. Jadi lembaga amil zakat adalah lembaga atau instansi atau badan
yang didalamnya terdapat sekelompok orang yang disahkan pemerintah, baik dibentuk oleh
pemerintah maupun masyarakat, bertugas membantu pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan zakat demi kemaslahatan umat.

2.Dasar Hukum Lembaga Amil Zakat.


Lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina dan dilindungi pemerintah.
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal:
a. UU No. 23 Tahun 20011 tentang Pengelolaan Zakat.
b. Peraturan Presiden No.14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor
23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

c. Keputusan Mentri Agama No 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan


UndangUndang No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

d. Keputusan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No


29/D Tahun 2000 tentang Pedoman teknis Pengelolaan Zakat.

e. Intruksi Presiden RI No. 3 tahun 2014.

62
f. Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No.1 Tahun 2014.
g. Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No.2 Tahun 2014.
h. Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No.1 Tahun 2016.
3.Prinsip, Azas dan Tujuan.
Zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat
merupakan salah satu implementasi asas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. Zakat
mempunyai enam prinsip antara lain :
a. Prinsip keyakinan keagamaan, yaitu bahwa orang yang membayar zakat
merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan agamanya.

b. Prinsip pemerataan dan keadilan, merupakan tujuan sosial zakat, yaitu membagi
kekayaan yang dibeikan Allah lebih merata dan adil kepada manusia.

c. Prinsip prodiktivitas, yaitu menekankan nahwa zakat memang harus dibayar karena
milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka waktu
tertentu.

d. Prinsip nalar, yaitu sangat rasional bahwa zakat harta yang menghasilkan itu harus
dikeluarkan.

e. Prinsip kebebasan, yaitu bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas dan
merdeka.
f. Prinsip etika dan kewajaran, yaitu zakat tidak dipungut secara semenamena tapi
melalui aturan yang disyariatkan.

Adapun azas-azas lembaga pengelolaan zakat adalah :


a. Syariat Islam, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, lembaga pengelola zakat
haruslah berpedoman dengan syariat Islam, mulai dari tata cara perekrutan
pegawai, hingga tata cara pendistribusian zakat.

b. Amanah, lembaga pengelola zakat haruslah menjadi lembaga yang dapat


dipercaya.

c. Kemanfaatan, lembaga pengelolaan zakat harus mampu memberikan manfaat yang


sebesar-besarnya kepada para mustahik.

d. Keadilan, dalam mendistribusikan zakat, lembaga pengelola zakat harus mampu


bertindak adil.

e. Kepastian hukum, muzakki atau mustahik harus memiliki jaminan dan kepastian
hukum dalam proses pengelolaan zakat.

63
f. Terintegrasi, pengelola zakat harus dilakukan secara hierarkis, sehingga mampu
meningkatkan kinerja pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

g. Akuntabilitas, pengelolaan zakat harus bisa dipertanggung jawabkan kepada


masyarakat dan mudah dikelola masyarakat dan pihak lain yang berkepentingan.

Berdasarkan pasal 3 UU No.23 tahun 2011 tujuan pengelolaan zakat adalah:


a. Meningkatkan efektifitas dan efesiansi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Pengelolaan zakat yang baik akan memudahkan langkah sebuah LPZ untuk
mencapai tujuan inti dari zakat itu sendiri, yaitu optimalisasi zakat. Dengan
bertindak dan efektif, LPZ mampu memanfaatkan dana yang ada dengan
maksimal.

b. Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan


penanggulangan kemiskinan, pengelolaan zakat dimaksudkan agar dana zakat yang
disalurkan benar-benar sampai pada orang yang tepat serta menyalurkan dana zakat
tersebut dalam bentuk yang produktif sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan zakat untuk hal yang produktif dapat
dilakukan dengan mendirikan Rumah Asuh, melakukan pelatihan home industry,
mendirikan sekolah gratis, dan sebagainya.

4.Fungsi Lembaga Amil Zakat.


Dalam melaksanakan tugasnya, sesuia dengan UU No 23 Tahun 2011, Pasal 7
ayat 1, lembaga amil zakat memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Perencanaan pengumpulan pendistrbusian, dan pendayagunaan zakat.
b. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
c. Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, da pendayagunaan zakat.
d. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.

Lembaga pengelolaan zakat yang berkualitas sebaiknya mampu mengelola zakat


yang ada secara efektif dan efesien. Program-program penyaluran zakat harus benar-
benar tersalurkan oleh para mustahik dan memiliki nilai manfaat bagi mustahik
tersebut. Selain itu, seluruh anggota organisasi pengelola zakat telah memahami
dengan baik syariat dan seluk beluk zakat sehingga pengelolaan zakat tetap berada
dalam hukum Islam dan tentunya hal ini harus sejalan dengan asasasas pengelolaan
zakat

5.Tugas dan Wewenang:


Tugas utama dari amil aakat adalah semua hal yang berhubungan dengan
pengaturan zakat. Amil mengetahui orang yang wajib zakat, macam-macam zakat

64
yang diwajibkan, besar harta yang wajib di zakat, mengetahui para mustahik:
keperluan mereka dan biaya yang cukup. Tugas amil zakat Sesuai dengan pasal 2
• Pemerintah membentuk BAZNAS untuk melaksanakan pengelolaan zakat.

• BAZNAS sebagaimana dimaksud paada ayat (1) berkedudukan di ibu kota


negara.
• BAZNAS merupakan Lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat
mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui mentri.

B.Badan Wakaf Indonesia.


Pengelolaan suatu perwakafan tidak dapat dipisahkan dari para nadzir. Hal ini
disebabkan karena berkembang tidaknya harta wakaf, salah satu diantaranya sangat
tergantung pada nadzir. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nadzir sebagai salah
satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa harus menunjuk nadzir wakif, di
Indonesia nadzir ditetapkan sebagai dasar pokok perwa kafan. Untuk mengelola wakaf
produktif di Indonesia, yang pertama-tama harus dilakukan adalah perlunya pembentukan
suatu badan atau lembaga yang khusus mengelola wakaf dan bersifat nasional yang oleh
undang-undang No. 41/2004 diberi nama Badan Wakaf Indonesia.
Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga negara independen yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. BWI memiliki tugas
untuk membina nazhir agar aset wakaf dikelola lebih baik dan lebih produktif sehingga
bisa memberikan manfaat lebih besar kepada masyarakat, baik dalam bentuk pelayanan
sosial, pemberdayaan ekonomi, maupun pembangunan infrastruktur publik.
Badan Wakaf Indonesia (BWI) diberi tugas mengembangkan wakaf secara
produktif, sehingga wakaf dapat berfungsi untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat.Tugas utama badan ini adalah memberdayakan wakaf, baik wakaf benda tidak
bergerak maupun benda bergerak yang ada di Indonesia sehingga dapat memberdayakan
ekonomi umat. Organisasi BWI sebaiknya ramping dan solid dan anggotanya terdiri dari
para ahli berbagai ilmu yang ada kaitannya dengan pengembangan.
Struktur dalam Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Dewan Pertimbangan (sebagai
pengawas) dan Badan Pelaksana. Selain itu, terdapat juga Pusat Kajian dan Transformasi
Digital di dalam Badan Pelaksana. Divisi-divisi yang terdapat pada BWI, yaitu:
1. Divisi Kerja Sama, Kelembagaan, dan Advokasi;
2. Divisi Humas, Sosialisasi, dan Literasi;
3. Divisi Pendataan, Legislasi, dan Ruilslag Aset;
4. Divisi Pengawasan Tata Kelola; serta
5. Divisi Pemberdayaan Nadzir dan Pengelolaan Aset.
BAB VIII
PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA

65
A. PENGERTIAN
Secara etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”.
Merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya
berartimenahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta
sepertitanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah
tertentu.Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta
yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada
perorangan atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan
yangtidak bertentangan dengan syari’at. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah
sebagai berikut:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi
benda(al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada
siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf tersebutmenjelaskan
bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti ditangan Wakif itu
sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yangdiwakafkannya,
manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk
asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu
hartayang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan
kepadaorang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu
sesuaidengan keinginan Wakif. Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian
wakafkepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa
memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak
pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir
yangdibolehkan oleh syariah Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan
harusharta yang kekal mater bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak
mudahrusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana,
yaitumenahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan. Itu
menurut para ulama ahli fiqih.
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan
perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentusesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umummenurut syariah.
Wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta
benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan
umum.Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, bantuan kepada fakir miskin.

66
B. SEJARAH
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karenawakaf
disyariatkan setelah nabi SAW tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang
berkembang di kalangan Fuqaha tentang siapa yang pertama kali melaksanakansyariat
wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertamakali
melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi
SAWuntuk dibangun masjid. Keberadaan wakaf sejak masa Rasulullah saw,
telahdiriwayatkan oleh Abdullah Bin Umar, bahwa umar bin khatab mendapat
sebidangtanah di khaibar. Lalu umar bin kahatab menghadap Rasul untuk memohon
petunjuktentang apa yang sepatutnya dilakukan terhadap tanah tersebut. Lalu Rasul
menjawab jika engkau mau tahanlah tanah itu laku engkau sedekahkan. Lalu
umarmenyedekahkan dan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak boleh diwariskan.
Umarasaluran hasil tanah itu untuk orang-orang fakir, ahli familinya, membebaskan
budak,orang-orang yang berjuang fisabililah. Masa-masa itu wakaf pertama dalam
islamyang dilakukan oleh Umar Bin khatab, kemudian disusul oleh abu thalhah
dansahabat-sahabat nabi Masa dinasti islam Praktek wakaf menjadi lebih luas pada
masadinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun
untukmelaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan
miskin saja,tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan,
membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan
beasiswa untuk parasiswa dan mahasiswa. Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan
seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola
secara individu tanpaada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam
merasakan betapa manfaatnyalembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk
mengatur perwakafan dengan baikKemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf
untuk mengelola, memelihara danmenggunakan harta wakaf, baik secara umum
seperti masjid atau secara individu ataukeluarga Pada masa dinasti Umayyah,
terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimanalembaga lainnya dibawah
pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kalidilakukan dalam
administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada masadinasti
Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang
mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian
perkembanganwakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya
dapat dirasakan olehmasyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan
pengaturan administrasinya.
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf
cukupmenggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta
wakafdan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal).
Lembagawakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima menjadi hukum adat
bangsaIndonesia sendiri. Di samping itu, suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia
terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak ataupun benda tak bergerak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang
bersamaandengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang
relevan seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak atas Kekayaan Intelektual (Haki). Di
Indonesia sendirisaat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan

67
diterbitkannyaUndang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 42
Tahun 2006.

C. DASAR HUKUM WAKAF


Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf
secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang
digunakan paraulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada
keumuman ayat-ayat al-Quranyang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah)sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kamikeluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-
buruk lalukamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnyamelainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah,
bahwa AllahMaha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).
Artinya : "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna),sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa
saja yangkamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Q.S ali
Imran:92).Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang
menceritakan tentangkisah Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di Khaibar.
Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar,
kemudianUmar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar
berkata: "HaiRasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya
belummendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan
kepadaku?"Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah
itu, danengkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya
untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar
berkata:"Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang
fakir,kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang
bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpukharta" (HR. Muslim).

68
D. PRINSIP-PRINSIP PENGELOLAAN WAKAF
Ada beberapa hal yang menjadi pokok pikiran dari undang-undang tersebut, paling
tidak meliputi lima prinsip yaitu :
1. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungiharta
benda wakaf, hal tersebut dapat dilihat adanya penegasan dalam undang-
undangini agar wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan
didaftarkan sertadiumumkan yang pelaksanaannnya dilakukan sesuai dengan tata
cara yang diaturdalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
wakaf yang harus dilaksanakan
2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderungterbatas
pada wakaf benda tidak bergerak, menurut undang-undang ini wakif dapat pula
mewakafkan sebagian kekayaan berupa harta benda bergerak, baik berwujud
dantak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak
kekayaanintelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya. Dalam hal benda
bergerak berupauang, wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan
Syariah. Yang dimaksuddengan Lembaga Keuangan Syariah di sini adalah badan
hukum Indonesia yangdibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang bergerak dibidang keuangan syari’ah, misalnya badan hukum
di bidang perbankan syari’ah.
3. Peruntukan harta wakaf tidak semata-mata kepentingan sarana ibadah dansosial,
tetapi juga dapat diperuntukkan memajukan kesejahteraan umum dengan
caramewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf.
4. Untuk mengamankan harta benda wakaf dan campurtangan pihak ketiga
yangmerugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional
Nazhir
5. Undang-undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia
yangdapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan
tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang
perwakafan yangmelakukan pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan
dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional,
memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf
dan memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan
kebijakan di bidang perwakafan.(Lihat penjelasan dari UU No.41 tahun 2004
tentang wakaf).
E. BENTUK-BENTUK DAN HARTA BENDA WAKAF
1. WAKAF AHLI
Wakaf ahli atau biasa disebut dengan wakaf keluarga adalah wakaf yang
dilakukan kepada keluarganya dan kerabatnya. Wakaf ahli dilakukan berdasarkan
hubungan darah atau nasab yang dimiliki antara wakif dan penerima wakaf. Di
beberapa negara, amalan wakaf ahli ini sudah dihapus seperti di Turki, Lebanon,
Syria, Mesir, Irak dan Libya. Wakaf ahli ini dihapus karena beberapa faktor
seperti tekanan dari penjajah, wakaf ahli dianggap melanggar hukum ahli waris,
selain itu wakaf ahli dianggap kurang memberi manfaat yang banyak untuk
masyarakat umum.

69
Di Indonesia, wakaf ahli masih berlaku, begitu juga di Singapura, Malaysia
dan Kuwait. Hal ini dianggap karena bisa mendorong orang-orang untuk
berwakaf.
Di Indonesia, wakaf ahli juga tertulis dalam Undang-Undang nomor 42 tahun
2006 Pasal 30. Di dalam Undang-Undang dituliskan bahwa, ‘Wakaf ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperuntukkan bagi kesejahteraan umum
sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan Wakif.’
‘Dalam hal sesama kerabat dari wakaf ahli telah punah, maka wakaf ahli
karena hukum beralih statusnya menjadi wakaf khairi yang peruntukannya
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.’

2. WAKAF KHAIRI
Wakaf khairi adalah wakaf yang diberikan untuk kepentingan umum. Wakaf
khairi adalah wakaf dimana pihak pewakaf memberikan syarat penggunaan
wakafnya untuk kebaikan-kebaikan yang terus menerus seperti pembangunan
masjid, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Wakaf khairi adalah jenis wakaf untuk
mereka yang tidak memiliki hubungan seperti hubungan keluarga, pertemanan
atau kekerabatan antara pewakaf dan orang penerima wakaf.

3. WAKAF MUSYTARAK
Wakaf musytarak adalah wakaf yang mana penggunaan harta wakaf tersebut
digunakan secara bersama-sama dan dimiliki oleh kegerunan si pewakaf. Wakaf
musytarak ini masih diterapkan oleh beberapa negara seperti di Malaysia dan
Singapura.

4. WAKAF BENDA TIDAK BERGERAK


Selain wakaf di atas, wakaf juga dibagi menjadi wakaf berdasarkan jenis harta.
Salah satunya adalah wakaf benda tidak bergerak. harta-harta yang dimaksud
adalah bangunan, hak tanah, tanaman dan benda-benda yang berhubungan dengan
tanah.

5. WAKAF BENDA BERGERAK SELAIN UANG


Ada juga wakaf benda bergerak selain uang yaitu benda-benda yang bisa
berpindah seperti kendaraan. Selain itu ada juga benda yang bisa dihabiskan dan
yang tidak, air, bahan bakar, surat berharga, hak kekayaan intelektual dan lain-
lain.
F. PERBEDAAN INFAK, ZAKAT, SEDEKAH, DAN WAKAF
1. ZAKAT
Zakat adalah harta tertentu yang dikeluarkan dengan jumlah tertentu
apabila telah mencapai haul dan nishob serta diberikan kepada orang-orang
tertentu. Zakat sendiri merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dan
merupakan salah satu rukun islam. Kewajiban zakat telah tercantum dalam
Al-Quran surah At-Taubah ayat 103 yang berbunyi “Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka. Dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu menjadi

70
ketentraman jiwa bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi
maha mengetahui.
Salah satu keistimewaan zakat yaitu orang-orang yang menerimanya pun
telah ditentukan oleh Allah, ketentuan tersebut terdapat dalam Al-Quran surah
At-Taubah ayat 60 yang berbunyi “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, mualaf yang di bujuk
hatinya, untuk hamba sahaya, orang yang telilit hutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.”

2. INFAQ
Infak berasal dari bahasa arab yang artinya yaitu membelanjakan atau
mewujudkan suatu usaha atau hal-hal yang berkaitan dengan perintah-perintah
Allah. Infak sendiri hukumnya sunnah yang sangat dianjurkan, bahkan dalam
Al-Quran sendiri Allah telah berjanji akan memberi balasan bagi orang-orang
yang berinfak dengan balasan yang lebih baik.

Adapun ciri-ciri orang yang beriman juga diberikan Allah sebagai orang
yang gemar berinfak. Sebagaimana firman Allah berikut “(yaitu) orang-orang
yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang mahupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS 3 : 134).

3. SEDEKAH
Sedekah merupakan suatu amalan kebaikan yang dilakukan oleh sahabat
semua, dan sedekah sendiri tidak diharuskan dengan mengeluarkan harta.
Senyum kepada orang lainpun juga termasuk sedekah, membersihkan jalan
dari duri juga termasuk sedekah, dan banyak lagi kebaikan-kebaikan yang lain.
Salah satu sedekah yang bisa kita lakukan yaitu melaksanakan sholat dhuha di
pagi hari, maka ia telah bersedekah kepada seluruh sendi-sendinya. Selain
amalan yang bisa menghapus dosa, sholat dhuha juga sangat bagus untuk
kesehatan.

4. WAKAF
Wakaf sendiri merupakan pemberian aset yaitu bisa berupa tanah, gedung,
rumah, kendaraan, masjid, dan aset lainnya yang bersifat produktif. Aset
tersebut nantinya akan dikelola oleh lembaga atau LAZnas agar bisa dikelola
dengan baik dan sesuai dengan syariat islam, makan aset yang telah
diwakafkan tersebut akan memberikan manfaat kepada umat.

Salah satu keutamaan berwakaf sendiri merupakan salah satu amal jariah
bagi orang yang melakukan, jika ia meninggal dunia maka amal kebaikan akan
terus mengalir kepadanya tanpa terputus. sebagaimana Rasulullah telah
bersabda dengan haditsnya berikut ini, “Jika seseorang meninggal dunia, maka
terputus lah amalannya kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu yang di
manfaatkan, dan doa anak yang shalih.” (HR. Muslim).

71
G. PROFIL LEMBAGA DANSISTEM PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA
1. Profil Lembaga
Tabungan Wakaf Indonesia merupakan lembaga wakaf yang didirikan
olehDompet Dhuafa dan diresmikan pada tanggal 14 Juli 2005. Berperan sebagai
lembagayang melakukan sosialisasi, edukasi dan advokasi wakaf kepada
masyarakat sekaligus berperan sebagai lembaga penampung dan pengelola harta
wakaf. Visi dalam tabungan wakafIndonesia ini adalah menjadi lembaga wakaf
berorientasi global yang mampu menjadi wakafsebagai salah satu pilar
kebangkitan ekonomi umat yang berbasiskan sistem ekonomi berkeadilan.
Misinya itu mendorong pertumbuhan ekonomi umat serta optimalisasi peranwakaf
dalam sektor sosial dan ekonomi produkti.

2. Sistem Pengelolaan Wakaf


Karena pada dasarnya lembaga ini adalah amil zakat, maka pengelolaan wakaf
juga baru ada setelah ada demand wakaf dari jamaah. Demikian terus berlanjut
hingasekarang. Laporan kegiatannya pun belum ada mengingat tanah wakaf yang
terletakdi bilanagn Ciputat itu baru dibangun sarana dan prasarananya. Wakaf
dalam lembagaini nantinya akan dikelola secara produktif yaitu nanti didalamnya
akan ada saranaibadah dan sarana pelatihan MQ, pendidikan formal, Balai
Latiahan Kerja, danSebagian Pemanfaatan Lahan untuk perikanan.
PERKEMBENGAN PENGELOLAAN HARTA WAKAF DI BEBERAPA NEGARA
MUSLIM
Wakaf mengalami kemajuan dan pengelolaan yang semakin profesional di
banyak negara muslim, seperti Arab Saudi, Mesir, Turki, Kuwait, dll. Harta
wakafdigunakan untuk membangun rumah sakit, hotel, sekolah, persawahan,
jembatan, jalan, dan sarana umum lainnya. Bahkan tanah wakaf di beberapa negara
tersebutlebih dari ¾ menjadi lahan produktif di negara tersebut. Di Mesir dan kuwait
bahkanAPBN negara mereka ditopang oleh Wakaf, dan di Universitas Aljazair Kairo
MesirMahasiswa bahkan dibiayai oleh negara dengan dana Wakaf. Prof. Dr. Abdul
Manan(Bangladesh) membuat terobosan baru dengan membuat Social Investment
Bank Ltd(SIBL) yaitu sebuah bank sosial yang mengelola wakaf tunai. Walaupun
Bangladeshtermasuk negara miskin tetapi masyarakatnya cukup antusias dalam
membayar wakaf,karena SIBL mengeluarkan sertifikat wakaf yang dapat digunakan
untuk mengurangi pajak penghasilan orang yang sudah berwakaf, dan selain itu
karena dana wakaf yangdikelola secara profesional dapat berperan dalam peningkatan
perekonomian umatIslam Bangladesh

72
BAB IX
PENGELOLA LEMBAGA ZAKAT INFAQ DAN SEDEKAH
A. Pengertian Lembaga Amil Zakat

Pada tahun 1999 dikeluarkan Undang-Undang tentang keberadaan badan maupun


lembaga zakat, yaitu Undang-Undang No.38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.1
Undang-Undang No.38 tahun 1999 pasal 6 ayat 1 tentang organisasi pengelola zakat
menyebutkan bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang
dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk dan dikelola oleh
masyarakat yang terhimpun dalam berbagai ormas (Organisasi Masyarakat) Islam, Yayasan
dan institusi lain.2
Badan Amil Zakat adalah institusi pengelola zakat yang sepenuhnya di bentuk oleh
pemerintah untuk melakukan kegiatan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat sesuai ketentuan agama islam, sedangkan Lembaga Amil Zakat adalah institusi
pengelola zakat yang sepenuhnya di bentuk oleh masyarakat dan di kukuhkan oleh
pemerintah untuk melakukan kegiatanpengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat sesuai ketentuan agama islam.
Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk sepenuhnya
atau prakarsa masyarakat dan merupakan badan hukum tersendiri, serta dikukuhkan oleh
pemerintah. Amil zakat adalah mereka yang melakukan segala kegiatan yang berkaitan
dengan urusan zakat, mulai dari proses penghimpunan, penjagaan, pemeliharaan, sampai ke
proses pendistribusiannya, serta tugas pencatatan masuk dan keluarnya zakat tersebut.
B. Pengertian Pengelolaan Zakat (LAZ)

Menurut UU N0.23 tahun 2011 pasal 1 ayat 1 tentang ketentuan umum pengelolaan
zakat, yang dimaksud dengan pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan
dan pengkoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Pengelolaan zakat melalui lembaga zakat akan bisa menjadikan zakat sebagai sumber dana
yang cukup potensial untuk menunjang pembiayaan pembangunan, terutama pembangunan
ekonomi dan agama guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat jasmani dan rohaninya.
C. Tujuan Pengelolaan Zakat

Dalam UU No.23 tahun 2011 pasal 3a tentang ketentuan umum pengelolaan zakat, telah
disebutkan tujuan pengelolaan zakat, yaitu:
1. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
2. Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan
D. Pendistribusian Zakat

Allah telah menegaskan bahwa penyaluran zakat hanyalah untuk yang berhak menerima
zakat (mustahik) yaitu sebanyak 8 asnaf. Sebagaimana Firman Allah dalam QS.At Taubah
Ayat 60:

73
Artinya: ”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang- orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-penguruszakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang
Dari arti diatas dapat diketahui dengan jelas bahwa orang yang berhak menerima zakat ada 8
golongan, antara lain:
1. Orang-orang Fakir (fuqarā’)

Golongan fakir yaitu orang yang tidak berharta dan tidak pula mempunyai pekerjaan atau
usaha tetap, guna mencukupi kebutuhan hidupnya (nafkah), sedang orang yang
menanggungnya tidak ada. Seperti memberikan kebutuhan bahan pokok, memberikan zakat
fitrah pada hari raya idul fitri dan bantuan langsung (zakat konsumtif) lainnya.
2. Orang-orang Miskin (masākīn)

Golongan miskin adalah orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya meskipun ia
mempunyai pekerjaan atau usaha tetap. Bentuk bantuan kecukupan dapat berupa bantuan
langsung atau alat kerja, modal dagang, dibelikan bangunan kemudian diambil hasil sewanya,
atau sarana-sarana lainnya.
3. Para pengurus zakat (amil)

Amil adalah orang yang mengumpulkan zakat dari para wajib zakat dan membagi-
bagikannya kepada mereka yang berhak menerima zakat. Mereka itu adalah kelengkapa
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana personil dan finasial untuk mengelola zakat. Amil berhak
memperoleh zakat meskipun dia kaya, sebab apa yang mereka terima adalah upah dari jerih
payahnya. Para amil mendapatkan kompensasi sesuai dengan pekerjaannya, tidak boleh lebih.
4. Orang yang perlu di bujuk hatinya (mu’allafah qulubuhum)

Mu’allaf qulubuhum adalah orang yang baru masuk islam, yang memerlukan bantuan materi
atau keuangan untuk mendekatkan hatinya kepada islam. Diperbolehkan juga di zaman
sekarang ini memberikan zakat kepada para muallaf bagi mereka yang telah masuk Islam
untuk memotivasi mereka, atau kepada sebagian organisasi tertentu untuk memberikan
dukungan terhadap kaum muslimiin. Juga dapat diberikan kepada sebagian penduduk muslim
yang miskin yang sedang dirakayasa musuh-musuh Islam untuk meninggalkan Islam. Dalam
kondisi ini mereka dapat pula diberikan dari selain zakat.
5. Orang yang terikat oleh hutang (gharim)

Gharim adalah orang yang menanggung hutang dan tidak mampu menyelesaikan hutangnya
dengan syarat hutangnya itu bukan dalam maksiat, akan tetapi untuk kemaslahatan orang lain.
Seperti untuk mendamaikan dua orang muslim yang sedang berselisih, dan harus
mengeluarkan
dana untuk meredam kemarahannya. Maka, siapapun yang mengeluarkan dana untuk
kemaslahatan umum yang diperbolehkan agama, lalu ia berhutang untuk itu, ia dibantu
melunasinya dari zakat.

74
6. Ibnu sabil

Ibnu sabil yaitu adalah para musafir yang kehabisan biaya di negera lain, meskipun ia kaya di
kampung halamannya. Mereka dapat menerima zakat sebesar biaya yang dapat
mengantarkannya pulang ke negerinya, meliputi ongkos jalan dan perbekalan, dengan syarat
ia membutuhkan di tempat ia kehabisan biaya, Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.8
7. Memerdekakan budak (riqab)

Yang dimaksud riqab adalah budak, yakni membebaskan dan memerdekakan budak. Inilah
salah satu pintu yang dibuka oleh Islam untuk memberantas perbudakan sedikit demi sedikit.
Pada zaman sekarang ini, sejak penghapusan sistem perbudakan di dunia, mereka sudah tidak
ada lagi. Pada zaman sekarang ini pembebasan tawanan muslim dari tangan musuh dengan
uang zakat termasuk dalam bab perbudakan. Dengan demikian maka mustahiq ini tetap akan
ada selama masih berlangsung peperangan antara kaum muslimin dengan musuhnya.
1. Sabilillah

Sabilillah yaitu orang-orang yang berperang di jalan Allah diberi bagian zakat agar dapat
memenuhi kebutuhan hidup mereka meskipun mereka itu kaya karena sesungguhnya orang-
orang yang berperang itu adalah untuk kepentingan orang banyak. Adapun pada zaman
sekarang ini, bentuk jihad itu tampil dengan warna yang bermacam-macam untuk
menegakkan agama Allah, menyampaikan dakwah, melindungi umat Islam, proyek kebaikan
umum seperti masjid, madrasah, rumah sakit, jalan, rel kereta, mempersiapkan para da’i, dll.

75
BAB X

PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN WAKAF

A. Pemberdayaan Wakaf
Sebelum membahas lebih lanjut tentang pemberdayaan wakaf maka kita harus
mengetahui lebih dahulu pengertian pemberdayaan. Istilah pemberdayaan mengacu
kepada kata empowerment yang berarti penguatan, yaitu sebagai upaya untuk
mengaktualisasikan potensi yang sudah dimilki sendiri oleh masyarakat.3
Pengertian pemberdayaan (empowerment) tersebut menekankan pada aspek
pendelegasian kekuasaan, memberi wewenang, atau pengalihan kekuasaan kepada
individu atau masyarakat sehingga mampu mengatur diri dan lingkungannya sesuai
dengan keinginan, potensi, dan kemampuan yang dimiliki.4
Pemberdayaan ini menyangkut beberapa segi yaitu: Pertama, penyadaran
tentang peningkatan kemampuan untuk mengidentifikasi persoalan dan permasalahan
yang ditimbulkan serta kesulitan hidup atau penderitaan. Kedua, meningkatkan
sumber daya yang telah ditemukan, pemberdayaan memerlukan upaya advokasi
kebijakan ekonomi politik yang pada pokoknya bertujuan untuk membuka akses
golongan bawah, lemah, dan tertindas tersebut terhadap sumber daya uang dikuasai
oleh golongan kuat yang terkungkung oleh peraturan pemerintah dan pranata sosial.5
Dalam upaya pemberdayaan wakafa tentunya kita harus memahami masalah
yang sering muncul daam upaya pemberdayaan wakaf. Karena masalah wakaf
merupakan masalah yang sampai saat ini kurang dibahas secara intensif karena umat
Islam hampir melupakan kegiatan-kegiatan yang berasal dari lembaga perwakafan.
Masalah mis-management dan korupsi diperkirakan menjadi penyebab utama,
sehingga kegiatan lembaga perwakafan ini kurang diminati atau bahkan ditinggalkan
oleh umat Islam kurang seabad yang lalu.6
Jika dilihat dari peran dan pemanfaatannya maka wakaf mempunyai peran
yang penting sebagai salah satu instrumen dalam memberdayakan ekonomi umat.
Dalam sejarah, wakaf telah memerankan peran penting dalam pengembangan sosial,

3
Misbahul Ulum, Zulkifli Lessy Dkk, Model-model Ksejahteraan Islam (Yogyakarta: Fakultas Dakwah, 2007),
79.
4
M. Anwas, Pemberdayaan Masyarakat di Era Global (Bandung: Alfabeta, 2013), 49.
5
Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 355.
6
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Panduan
Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2007), hlm.,45

76
ekonomi, dan budaya masyarakat. Hal-hal yang paling menonjol dari lembaga wakaf
adalah peranannya dalam membiayai berbagai pendidikan Islam dan kesehatan.
Adapun upaya yang dilakukan untuk meningkatkan dan menambah daya
pemanfaatan wakaf dalam masyarakat salah satunya yaitu diberlakukannya wakaf
produktif yang didirikan untuk menopang berbagai kegiatan sosial dan keagamaan.
Wakaf Produktif pada umumnya berupa tanah pertanian atau perkebunan, gedung-
gedung komersial, dikelola sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan
yang sebagian hasilnya dipergunakan untuk membiayai berbagai kegiatan tersebut.
Sehingga dengan demikian harta wakaf benar-benar menjadi sumber dana dari
masyarkat untuk masyarakat.7
Wakaf yang menjadi salah satu alternatif diharapkan mampu memberikan
solusi dalam penyelesaian masalah tersebut. Maka perlu pengelolaan secara optimal
terhadap benda wakaf. Namun saat ini banyak harta wakaf yang tidak dikelola secara
optimal.8
Hal ini menunjukkan sempitnya pemahaman masyarakat terhadap harta yang
diwakafkan, yaitu benda yang tidak bergerak dan hanya untuk kepentingan yang
bersifat ibadah, seperti masjid, musholla, madrasah, pemakaman, dan lain-lain.
Padahal tanah wakaf tersebut dapat dikelola secara produktif.
Selain itu, dalam upaya pengelolaan tanah wakaf secara produktif, peran
nazhir wakaf yaitu orang atau badan hukum yang diberi tugas untuk mengelola wakaf
sangat dibutuhkan. Nazhir merupakan salah satu dari rukun wakaf yang mempunyai
tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga, dan mengembangkan wakaf
serta menyalurkan hasil dan manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf. Sering kali
harta wakaf dikelola oleh nadzir yang tidak mempunyai kemampuan memadai,
sehingga harta wakaf tidak dikelola secara maksimal dan tidak memberikan manfaat
bagi sasaran wakaf.
Ketika harta wakaf dikelola secara optimal dan nazhir sebagai pengelola
wakaf mempunyai kemampuan memadai, maka perlu adanya dukungan politik
pemerintah dalam pemberdayaan Civil Society. Potensi besar yang dimiliki oleh
wakaf sebagai salah satu variabel penting dalam memberdayakan kesejahteraan
masyarakat banyak didorong oleh pemerintah secara politik dengan peraturan
7
Muhammad Yusuf, Pemberdayaan Wakaf Produktif Untuk Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Semarang:
Badan Wakaf Nusantara, 2009)
8
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Opcit, hlm.,37

77
perundang-undangan wakaf agar wakaf dapat berfungsi secara produktif. Dompet
Dhuafa Republika yang merupakan inovasi dari kalangan civil society merupakan
bentuk dari kepedulian yang muncul dari masyarakat. Dalam hal ini umat Islam
memiliki kebebasan untuk mengelola kekayaan yang dimiliki sesuai dengan sistem
keuangan syari’ah. Sistem ini tidak hanya menguntungkan masyarakat akan tetapi hal
ini mendukung program pemerintah. Dengan keadaan seperti ini akan membuka
peluang bagi pemberdayaan wakaf produktif sebagai upaya dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Demi terwujudnya tujuan utama wakaf yaitu untuk mengoptimalkan fungsi
harta wakaf sebagai prasarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan
sumber daya insani, maka perlu dilakukan perubahan terhadap pemahaman umat
Islam yang menganggap harta wakaf hanya sebatas harta tidak bergerak yang tidak
dapat diproduktifkan seperti kuburan, masjid, yayasan, pesantren dan sebagainya.
sebagaimana regulasi Peraturan Perundang-undangan Perwakafan berupa UU No. 41
Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang
pelaksanaannya. Kedua Peraturan Perundang-undangan tersebut memiliki urgensi,
yaitu selain untuk kepentingan ibadah mahdhah, juga menekankan perlunya
pemberdayaan wakaf secara produktif untuk kepentingan sosial (kesejahteraan umat).
Jika kita mengulas sejarah bahwa pada jaman kejayaan Islam, wakaf sudah
pernah mencapai kejayaan walaupun pengelolaannya masih sangat sederhana. Pada
abad ke-8 dan ke-9 Hijriyyah dipandang sebagai jaman keemasan perkembangan
wakaf. Sebagai contoh bentuk keberhasilan pemberdayaan wakaf diantaranya :
1. Turki
Pengelolaan wakaf di Turki tidak hanya dikelola oleh mutawalli, tapi
juga oleh lembaga Direktorat Jenderal Wakaf. Direktoral Jenderal Wakaf tidak
hanya mengelola wakaf tapi juga memberikan supervisi dan kontrol (auditing)
terhadap wakaf yang dikelola oleh mutawalli. Sedangkan sebuah lembaga
yang memobilisasi sumber-sumber wakaf untuk membiayai bermacam-macam
jenis proyek joint venture adalah Waqf Bank & Finance Corporation. Sejauh
ini ada dua pelayanan yang diberikan oleh Oirektoral Jenderal Wakaf, yaitu
pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan dan sosial. Pelayanan
kesehatan diberikan melalui wakaf-wakaf rumah sakit. Salah satu diantaranya
adalah rumah sakit yang didirikan pada tahun 1823 di Istambul oleh ibu dari
Sultan Abdul Mecit.
78
Sejauh ini ada berbagai macam harta yang telah dikelola Badan Wakaf.
Antara lain harta yang dikhususkan pemerintah untuk anggaran umum; barang
yang menjadi jaminan utang, hibah, wasiat, dan sedekah : dokumen,
uang/harta yang harus dibelanjakan dan benda lain yang berguna untuk
meningkatkan dan mengembangkan harta wakaf. Agar harta-harta ini
produktif dan bermanfaat bagi masyarakat luas, Badan Wakaf menetapkan
beberapa kebijakan. Pertama, menitipkan hasil harta wakaf di bank Islam agar
dapat berkembang. Kedua, melalui Wizaratu Auqaf, Badan Wakaf
berpartisipasi dalam mendirikan bank-bank Islam dan mengadakan kerjasama
dengan beberapa perusahaan. Ketiga, memanfaatkan tanah-tanah kosong
untuk dikelola secara produktif dengan cara mendirikan lembagalembaga
perekonomian bekerjasama dengan berbagai perusahaan. Keempat, membeli
saham dan obligasi perusahaan-perusahaan penting.
2. Mesir
Sama halnya dengan pemerintah Turki, pemerintah Mesir menempuh
langkah menertibkan tanah wakaf dan harta wakaf lainnya, dengan menjaga
dan mengawasi serta mengarahkan harta wakaf untuk tujuan-tujuan kebaikan
sesuai dengan garis Undang-undang. Awalnya, persoalan wakaf ini ditangani
oleh sebuah departemen. Namun, masalah-masalah terus bermunculan.
Sampai pada tahun 1971 dibentuk sebuah Badan Wakaf yang khusus
menangani masalah wakaf dan pengembangan-nya.
Untuk lebih mengoptimalkan upaya pengelolaan serta pemberdayaan
wakaf maka badan wakaf Mesir menetapkan beberapa kebijakan yaitu
Pertama, menitipkan hasil harta wakaf di bank Islam agar dapat berkembang.
Kedua, melalui Wizaratu Auqaf, Badan Wakaf berpartisipasi dalam
mendirikan bank-bank Islam dan mengadakan kerjasama dengan beberapa
perusahaan. Ketiga, memanfaatkan tanah-tanah kosong untuk dikelola secara
produktif dengan cara mendirikan lembagalembaga perekonomian
bekerjasama dengan berbagai perusahaan. Keempat, membeli saham dan
obligasi perusahaan-perusahaan penting.

3. Di Indonesia

79
Cerita keberhasilan wakaf di negara-negara muslim ternyata tidak
terjadi di Indonesia. Padahal kalau dilihat dari jumlahnya, harta wakaf di
seluruh tanah air terbilang cukup besar. Sebagian besar dari wakaf itu berupa
atau dibangun untuk rumah ibadah, lembaga pendidikan Islam, pekuburan dan
lain-lain yang rata-rata tidak produktif. Untuk itu, keadaan wakaf di Indonesia
saat ini perlu mendapat perhatian khusus, karena wakaf yang ada selama ini
pada umumnya berbentuk benda yang tidak bergerak, yang sesungguhnya
mempunyai potensi yang cukup besar seperti tanah-tanah produktis strategis
untuk dikelola secara produktif. Harta wakaf agar mempunyai bobot produktif
harus dikelola dengan manajemen yang baik dan moderen, namun tetap
berdasarkan Syari'at Islam oleh suatu badan yang dikoordinir oleh Badan
Wakaf Indonesia (BWI).
Dan pemberdayaan harta wakaf tersebut mutlak diperlukan dalam
rangka menjalin kekuatan ekonomi umat demi meningkatkan kesejahteraan
masyarakat banyak. Tentu saja pemberdayaan yang dimaksud membutuhkan
kerja sama dengan semua pihak, khususnya dunia perbankan yang mempunyai
kekuatan dana untuk memberikan pinjaman atau lembaga-lembaga pihak
ketiga lainnya yang tertarik dengan pengembangan wakaf. Kerja sama
kemitraan ini memerlukan dukungan dan komitmen oleh semua pihak seperti
pemerintah, ulama, kaum professional, cendekiawan, pengusaha, arsitektur,
perbankan, lembaga-lembaga bisnis, lembaga penjamin dan keuangan Syari'
ah serta masyarakat umum, khususnya umat Islam di seluruh Indonesia.
Sehingga potensi wakaf akan mempunyai peranan yang cukup penting dalam
tatanan ekonomi nasional, terlebih di saat Indonesia sedang mengalami krisis
yang sangat memprihatinkan.

B. Pengembangan Wakaf
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa dalam rangka meningkatkan peran
wakaf dalam bidang ekonomi, yang harus terus dikembangkan adalah berupa wakaf
tunai (uang). Karena wakaf tunai memiliki kekuatan yang bersifat umum dimana
setiap orang bisa menyumbangkan harta tanpa batas-batas tertentu.

Dilihat dari segi pemanfaatan, wakaf tunai sangat relevan memberikan model
mutual fund melalui mobilisasi dana abadi yang digarap melalui tantangan
80
professionalme yang amanah dalam fund managementnya di tengah keraguan
terhadap pengelolaan dana wakaf serta kecemasan krisis investasi domestik dan
sindrom capital flight. Ia sangat tepat merangsang kembalinya iklim investasi
kondusif yang dilatari motivasi emosional teologis berupa niat amal jariyah disamping
pertimbangan hikmah rasional ekonomis kesejahteraan sosial. Ia sekaligus sebagai
tantangan untuk mengubah pola dan preferensi konsumsi umat dengan filter moral
kesadaran akan solidaritas sosial sehingga tidak berlaku bagi konsep pareto optimum
yang tidak mengakui adanya solusi yang membutuhkan pengorbanan dari pihak
minoritas (kaya) guna meningkatkan kesejahteraan pihak yang mayoritas (miskin).
Salah satu upaya yang bisa dilakuakn untuk meningkatkan potensi dana wakaf
adalah dengan memberikan kredit mikro melalui mekanisme kontrak investasi
kolektif (KIK) semacam reksadana Syari'ah yang dihimpun melalui Sertifikat Wakaf
Tunai (SWT) kepada masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha
dan sedikit demi sedikit bangkit dari kemiskinan dan keterpurukan akibat krisis
berkepanjangan.
Kehadiran sertifikat wakaf tunai merupakan alternatif pembiayaan yang
bersifat sosial dan bisnis serta partisipasi aktif dari seluruh warga negara yang kaya
untuk berbagi kebahagiaan dengan saudaranya dalam menikmati pendidikan,
kesehatan dan kesejahteraan sosial lainnya dengan baik. Dengan tidak terlalu
menggantungkan diri dengan anggaran pemerintah dan pinjaman asing maka
diharapkan dengan penerapan instrumen sertifikat wakaf tunai ini mampu menjadi
alternatif sumber pendanaan sosial. Efek kemaslahatan dari SWT tersebut yang sudah
mulai terasa di Bangladesh adalah fasilitas pendidikan dan kesehatan masih lebih baik
dibandingkan dengan Indonesia, walaupun negara tersebut masih tergolong miskin.
Dari berbagai paparan di atas, keberadaan model wakaf tunai melalui SWT
dirasakan perlu dan mendesak sebagai instrumen keuangan alternatif yang dapat
mengatasi kekurangan-kekurangan badan sosial yang telah ada.
Oleh karena itu, wakaf tunai, saham dan surat berharga lainnya sudah saatnya
mendapat porsi yang seimbang dalam rangka memberikan wawasan akan pentingnya
sebuah instrumen keuangan dalam rangka ikut serta secara aktif mengentaskan
kemiskinan di Indonesia dan mewujudkan kesejahteraan sosial.
Namun yang jelas, dalam mengembangkan model wakaf jenis ini diperlukan
profesionalisme dan integritas pengelola wakaf (nadzir) yang didukung oleh semua
pihak yang berkepentingan, khususnya pemerintah yang memegang seluruh kebijakan
81
strategis, lembaga-lemabaga nadzir dan komponen sosial lainnya agar wakaf dapat
memberikan dampak langsung dalam perbaikan sosial. Sehingga dengan demikian
wakaf bukan saja menjadi rangkaian doktrin keagamaan yang tak tersentuh oleh
sebuah penafsiran baru, namun wakaf mampu menjawab berbagai problematika sosial
yang dialami oleh umat manusia.
Selain upaya diatas ada juga upaya lain yang bisa dilakukan yaitu penerapan
wakaf produktif. Upaya penerapan wakaf prduktif diharapkan dapat memberikan
kemudahan bagi pengeola wakaf untuk melakukan upaya pengembangan wakaf guna
membangun kesejahteraan umat.
Kehadiranwakaf produktif memang bukanlah hal yang baru, namun
pelaksanaan selama ini lebih banyak pada benda-benda wakaf tak bergerak serta
peruntukkannya lebih banyak untuk kepentingan ibadah mahdhah, seperti masjid,
musholla, pesantren, kuburan. Secara ekonomi, wakaf diharapkan dapat membangun
harta produktif melalui kegiatan investasi dan produksi saat ini, untuk dimanfaatkan
hasil bagi generasi yang akan datang. Wakaf juga mengorbankan kepentingan
sekarang untuk konsumsi demi tercapainya pengembangan harta produktif yang
berorientasi pada sosial, dan hasilnya juga akan dirasakan secara bersama oleh
masyarakat yang akan datang.9
Untuk lebih mudah dalam mekukan pengembangan wakaf maka kita harus
terebih dahulu membagi wakaf dalam dua bentuk yakni:
1. Harta wakaf yang menghasilkan pelayanan berupa barang untuk dikonsumsi
langsung oleh orang yang berhak atas wakaf, seperti rumah sakit, sekolah,
rumah yatim piatu, pemukiman. Hal ini dapat dikategorikan sebagai wakaf
langsung.
2. Harta wakaf yang dikelola untuk tujuan investasi dan memproduksi barang
atau jasa pelayanan yang secara syara‟ hukumnya mubah, apapun bentuknya
dan bisa dijual di pasar, agar keuntungannya yang bersih dapat disalurkan
sesuai dengan tujuan wakaf yang telah ditentukan wakif. Wakaf ini
dikategorikan sebagai wakaf produktif.

Jika dilihat dari hasil kekayaan yang dimiliki oleh negara Indonesia dengan
adanya kekayaan tanah dan bangunan yang jumlahnya sangat besar dan memiki
potensi tinggi. Karena jika dilihat dari segi letaknya Indonesia berada dikawasan yang

9
Qahaf, Mundzir, Ibid hlm 60

82
paling strategis dengan berada digaris katulistiwa dan sumber daya alam yang sangat
mendukung maka tidak heran jika kekayaan alam Indonesia seringkali menjadi
rebutan bangsa barat.

Untuk lebih menguatkan pemerintah dan badan yang mengurus dibidang


wakaf maka perlu diadakan aturan yang mendukung guna melancarkan kerja
pemerintah badan wakaf dalam membangun kesejahteraan umat maka dikeluarkannya
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, kata pengelolaan dan
pengembangan terdapat pada BAB V yakni pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf. Bahkan pada pasal 43 ayat (2), dibarengi juga dengan kata produktif.
Sedangkan pengembangan wakaf produktif adalah hasil wakaf produktif yang
dikelola dan dapat menjadikan harta wakaf tersebut menjadi bertambah banyak atau
bertambah luas. Bahkan dapat membentuk harta benda wakaf baru.

C. Pembinaan Wakaf
Dalam rangka pembinaan wakaf agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya,
hal-hal yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas dan
kewenangan, khususnya pemerintah, lembaga kenadziran, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pemberdayaan wakaf dan pihak terkait
lainnya adalah : Pertama, segera diundangkannya UU Wakaf.
Kehadiran UU Wakaf sangat penting bagi perlindungan tanah-tanah wakaf
yang selama ini terdata oleh Departemen Agama dan sebagai regulasi pemberdayaan
potensi wakaf secara lebih optimal, baik berupa benda bergerak maupun tidak
bergerak. Peraturan perundangan tentang wakaf selama ini masih bersifat sporadis
dan belum dibentuk dalam sebuah UU yang integral dan komprehensif. Sehingga
perlindungan, pemanfaatan dan pemberdayaan harta wakaf secara maksimal masih
mengalami hambatan yang sangat serius. Untuk itu, kehadiran UU Wakaf merupakan
keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Sehingga dengan demikian, kendala-kendala formil dalam pengelolaan,
pemberdayaan, pengembangan dan pembinaan harta wakaf dapat dilakukan secara
optimal. Kedua, membenahi kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang duduk
dalam lembaga-lembaga kenadziran. Karena lembaga kenadziran memiliki peran
sentral dalam pengelolaan harta wakaf secara umum. Untuk itu eksistensi dan kualitas
SDM nya harus betul-betul diperhatikan.

83
Tugas nazhir yang tercantum dalam pasal 11 UU No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf yakni :

1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf

2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,


fungsi dan peruntukannya

3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf

4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia

Pada poin 3 dinyatakan bahwa tugas nazhir juga mencakup mengawasi dan
melindungi harta benda wakaf. Pengawasan dan perlindungan terhadap harta benda
wakaf dimaksudkan untuk menjaga berkurangnya nilai harta benda wakaf, baik
karena peristiwa-peristiwa force majeur maupun karena kerugian/kegagalan investasi.

Bahkan menurut Dr. Idris Khalifah, Ketua Forum Ilmiyah di Tethwan


Magribi, dalam hasil penelitiannya yang berjudul Istitsmar Mawarid al Awqaf bahwa
tugas nazhir wakaf di antaranya adalah memperbaiki aset wakaf yang rusak sehingga
kembali bermanfaat, serta bertanggung jawab atas kerusakan harta wakaf yang
disebabkan kelalaiannya10.

Secara garis umum, kemampuan SDM nadzir dalam pengelolaan wakaf dapat
terarah dan terbina secara optimal. Dan yang paling penting selain professional adalah
dapat dipercaya (amanah).
Setidaknya, lembaga nadzir itu dapat dikatakan sebagai lembaga yang amanah
jika dapat memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Tanggung jawab

Tanpa adanya rasa tanggung jawab pada badan pengelola atau nadzir,
maka harta yang dipercayakan kepadanya akan terbengkelai dan tidak
terurus.Aspek tanggung jawab oleh seorang nadzir menjadi kunci yang paling
pokok dari seluruh rangkaian dunia perwakafan. Kalau rasa tanggung jawab
ini tidak dimiliki oleh orang atau lembaga nadzir, maka wakaf hanya sebagai
institusi keagamaan yang tidak berfungsi apapun, bahkan akan menjadi beban
masyarakat (umat Islam).

b. Efisien.

http://rol.republika.co.id, akses Kamis, 15 April 2013


10

84
Salah satu dari inti pengelolaan organisasi atau kelembagaan adalah
efisiensi. Tanpa adanya efisiensi lembaga kenadziran tidak akan optimal
dalam pengelolaan dan pemberdayaan wakaf. Efisiensi disini meliputi
penggunaan biaya administrsi dan kegiatan yang tarkait dengan aspek
pembiayaan dalam pengelolaan harta wakaf. Sehingga dengan pola yang
efisien, maka akan tercipta lembaga yang professional.
c. Rasional
Penalaran merupakan prinsip pokok dalam ketatalaksanaan organisasi.
Demikian juga dalam pengelolaan dan pemberdayaan harta wakaf. Oleh
karena itu, rasionalitas kebijakan dan pengambilan keputusan dalam
pengelolaan harta wakaf menjadi hal tidak bisa dihindarkan.Salah satu aspek
rasional yang tidak kalah pentingnya adalah menempatkan SDM sesuai
dengan kapasitas bidang yang dimiliki, bukan didasarkan pada hubungan
emosional tanpa mempertimbangkan kualitas.

Ketiga, mengamankan seluruh kekayaan wakaf, baik pada tingkat pusat


maupun daerah. Upaya pengamanan ini agar harta yang berstatus wakaf tidak
diganggu gugat oleh pihakpihak yang tidak beratanggung jawab. Oleh karena itu, jika
harta wakaf berupa tanah, maka yang harus dilakukan adalah:

1. Segera memberikan sertifikat tanah wakaf yang ada di seluruh pelosok tanah
air.
2. Melakukan dukungan advokasi terhadap tanah-tanah wakaf yang masih
sengketa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tanah-tanah wakaf yang
diserahkan kepada nadzir wakaf sebelum PP No. 28 Tahun 1977 banyak yang
tidak mempunyai bukti wakaf, sehingga tanah wakaf yang seharusnya menjadi
milik Allah dan hak masyarakat banyak berpindah ke tangan-tangan orang
yang tidak bertanggung jawab.
Menurut beberapa pengurus nadzir lembaga-lembaga keagamaan
seperti Muhammadiyah, NU, Persis dan lain-lain, bahwa tanah wakaf yang
diserahkan kepada lembaga-lemaga tersebut banyak yang digugat oleh ahli
waris dari si wakif. Apalagi misalnya tanah-tanah wakaf tersebut mempunyai
potensi strategis yang cukup besar terhadap pengembangan ekonomi di masa
depan, seperti di pinggir jalan, dekat pasar atau pusat perbelanjaan dan
sebagainya. Tugas pembentukan tim advokasi ini bisa dilakukan oleh

85
lembaga-lembaga nadzir yang bersangkutan dengan bekerjasama dengan
Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai pihak yang memberikan pengayoman
dan pembinaan secara kelembagaan.
3. Pemanfaatan dan pemberdayaan tanah wakaf secara produktif. Di samping
pengamanan di bidang hukum, pengamanan dalam bidang peruntukan dan
pengembangannya harus juga dilakukan. Pemanfaatan dan pemberdayaan
tanah,tanah wakaf yang harus diprioritaskan adalah tanah,tanah wakaf yang
memiliki potensi ekonomi yang besar, yaitu tanah,tanah yang berlokasi
strategis secara ekonomis, seperti di pinggir jalan, pasar atau tempat
keramaian lainnya.

Keempat, mengadakan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan


pengelolaan harta wakaf. Dukungan ini diperlukan agar harta-harta wakaf, khususnya
tanah wakaf produktif strastegis yang ada menjadi aman karena dirasakan adanya
upaya pihak-pihak tertentu, termasuk oknum nadzir yang ingin menukar dengan
tanah-tanah yang tidak strategis. Dukungan pengawasan yang bersifat internal sudah
menjadi keharusan, bersamaan dengan kepedulian masyarakat sekitar terhadap
keutuhan tanah,tanah wakaf.

Disamping pengawasan yang bersifat umum tersebut, juga diperlukan


pengawasan pengelolaan agar para pelaksana kenadziran yang mengurusi langsung
terhadap tanah,tanah wakaf tersebut dapat menjalankan perannya secara baik dan
benar, sehingga menghasilkan keuntungan yang memadai.

Kelima, menstimulasi atau mendorong secara lebih luas kepada masyarakat


agar lebih peduli terhadap pentingnya harta wakaf di tengah kehidupan sosial
kemasyarakatan. Melalui upaya sosialisasi wakaf secara optimal diharapkan
masyarakat semakin bergairah dalam mewakafkan sebagian harta untuk kepentingan
masyarakat banyak.

Selain kriteria diatas ada juga beberapa kriteria yang patut dipenuhi oleh
Nadzir wakaf untuk disebut sebagai nadzir profesional. Nazhir wakaf yang
profesional adalah jika memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Ahli di bidangnya. Keahlian dan keterampilan khusus ini umumnya dimiliki


berkat pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Oleh karenanya nazhir

86
professional dapat mengenali dengan cukup cepat dan tepat persoalan yang
dihadapi serta solusi yang tepat.

2. Meluangkan seluruh waktu, tenaga, perhatian untuk pekerjaannya atau


fulltimer. Sebagai konsekuensinya ia dibayar dengan gaji yang tinggi. Di
Indonesia bagian untuk nazhir adalah paling tinggi yakni 10 % dari hasil bersih
pengelolaan wakaf.

3. Komitmen pribadi yang mendalam yang menghasilkan tanggung jawab yang


besar atas pekerjaan.

Ada harapan yang besar akan lahirnya para nazhir wakaf yang professional. Yakni
boomingnya sistem ekonomi syariah tentu berdampak kepada kebutuhan akan sumber daya
manusia yang bekerja dan ditempatkan di lembaga keuangan syariah. Atau dibutuhkan SDM
dalam mengembangkan sistem ekonomi tersebut. Maka banyak bermunculan sekolah tinggi
ekonomi Islam atau universitas yang membuka program ekonomi Islam maka semakin besar
pula potensi wakaf untuk dikembangkan.

87
BAB XI
KEBIJAKAN PERPAJAKAN DAN HUBUNGAN DENGAN ZAKAT SECARA
UMUM DI INDONESIA

A. Pengertian Pajak Dalam Islam


Secara etimologi, pajak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah Dharibah, yang
berasal dari kata dasar ‫ربا‬JJ‫ ض‬yang artinya: mewajibkan, menetapkan, menentukan,
memukul, menerangkan atau membebankan, dan lain-lain. Sedangkan secara terminologi
Dharibah adalah harta yang dipungut secara wajib oleh negara untuk selain Al-Jizyah,
dan Al-Kharaj sekalipun keduanya secara awam bisa dikategorikan dharibah. Dalam
kitab Al Ahkam al Sulthaniyah karya Imam Al Mawardi, Kharaj diterjemahkan dengan
kata pajak, sedangkan Jizyah tidak diterjemahkan dengan pajak, melainkan tetap disebut
jizyah. Dalam kitab Shahih Abu Daud, seorang pemungut jizyah diterjemahkan dengan
seorang pemungut pajak, padahal yang dimaksud adalah petugas jizyah. Dalam kitab Al-
Umm karya Imam Syafi’i, jizyah diterjemahkan dengan pajak. Dari berbagai
penerjemahan ini tampaknya pengertian jizyah,kharaj, dan lain-lain disatukan ke dalam
istilah pajak.
Ada pun beberapa ulama yang memberikan definisi tentang pajak dalam Islam di
antaranya:
1. Yusuf Qardhawi berpendapat, “pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap
wajib pajak yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa
mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasi sebagian
tujuan ekonomi, sosial,politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh
negara”.
2. Gazi Inayah berpendapat, “pajak adalah kewajiban untuk membayar tunai yang
ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa
adanya imbalan tertentu. Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si
pemilik harta dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum
dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah”.
3. Abdul Qadim Zallum berpendapat, “pajak adalah harta yang diwajibkan Allah Swt.
Kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos
pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka pada kondisi baitul mal tidak
ada uang atau harta”.
88
4. Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Juwaini berpendapat, “pajak adalah apa yang
diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya
dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan
Negara dan masyarakat secara umum) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal”.
Adapun pajak (Dharibah) menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat
kepada kas negara (pemerintah) berdasarkan undangundang sehingga dapat
dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut
penguasa berdasarkan normanorma hukum untuk menutup biaya produksi barang-
barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dari berbagai definisi tersebut, penulis lebih setuju dengan definisi yang
dikemukakan oleh Abdul Qadim Zallum, karena dalam definisinya terdapat lima
unsur pokok yang merupakan unsur penting yang harus ada dalam ketentuan pajak
menurut syariah, yaitu:
 Diwajibkan oleh Allah Swt.
 Objeknya adalah harta (al mal).
 Subjeknya kaum muslimin yang kaya (ghaniyyun), tidak termasuk non-
Muslim.
 Tujuannya untuk membiayai kebutuhan mereka (kaum muslimin).
 Diberlakukannya karena adanya kondisi darurat (khusus), yang harus segera
diatasi oleh Ulil Amri.
Kelima unsur dasar tersebut harus sejalan dengan prinsipprinsip penerimaan
negara menurut Sistem Ekonomi Islam, yaitu harus memenuhi empat unsur
diantaranya: 1.
a) Harus adanya nash (Al Qur’an dan Hadist) yang nenerintahkan setiap
sumber pendapatan dan pemungutannya.
b) Adanya pemisahan sumber penerimaan dari kaum Muslimin dan non
Muslim.
c) Sistem pemungutan zakat dan pajak harus menjamin bahwa hanya golongan
kaya dan golongan makmur yang mempunyai kelebihan saja yang memikul
beban utama.
d) Adanya tuntutan kemaslahatan umum.

89
B. Ketentuan pajak dalam islamdan diindonesia
Ada beberapa ketentuan tentang pajak (dharibah) menurut syariat islam yang
sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sitem kapitalis, yaitu:
a) Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu, hanya boleh dipungut
ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul mal sudah terisi
kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan. Berbeda dengan zakat, yang
tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi pihak yang membutuhkan
(mustahik).Sedangkan pajak dalam perspektif konvensional adalah selamanya
(abadi).
b) Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan
kewajiban bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk
pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. Sedangkan pajak dalam perspektif
konvensional ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama.
c) Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim, tidak kaum non-muslim.
Sedangkan teori pajak konvensionaltidak membedakan muslim dan non-muslim
dengan alasan tidak boleh ada diskriminasi.
d) Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak dipungut
dari selainnya. Sedangkan pajak dalam perspektif konvensional, kadangkala juga
dipungut atas orang miskin, seperti PBB.
e) Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang
diperlukan, tidak boleh lebih. 6. Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak
diperlukan. Menurut teori pajak konvensional, tidak akan dihapus karena hanya
itulah sumber pendapatan
Hukum Pajak Dalam Islam
Berdasarkan uraian dari beberapa pendapat ulama terdapat perbedaan
pendapat mengenai pajak dalam islam, yaitu:
Pendapat pertama menyatakan bahwa pajak tidak boleh dibebankan
kepada kaum muslimin karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat.
Berdasarkan firman Allah swt dalam surat An Nisa: 29 “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil..” (QS. An-Nisa:29)
Dalam ayat ini Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta
sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan
yang batil untuk memakan harta sesamanya.
90
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan
keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah
SAW bersabda : َ”Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak diadzab di neraka”. (HR
Ahmad dan Abu Dawud).
Hadits inilah yang acap kali digunakan untuk mengharamkan memungut
pajak, dan juga sebagai dalih untuk tidak bayar pajak Serta untuk mengharamkan
secara total apa-apa yang berbau pajak. Dan ancamannya juga tidak main-main,
yaitu api neraka yang pedih.
Pendapat Kedua Para ulama menyatakan kebolehan mengambil pajak dari
kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk
menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat.
Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak
dari kaum muslimin adalah Imam Ghazali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm. Dan
ini sesuai dengan Hadis yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia
mendengar Rasulullah saw bersabda: ِ "Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak
(untuk dikeluarkan) selain zakat.” (HR Tirmidzi, No: 595 dan Darimi, No : 1581)
Dalam konteks Indonesia, payung hukum bagi Direktorat Jenderal (Ditjen)
Pajak untuk tidak tebang pilih dalam menerapakan aturan perpajakan pada berbasis
syariah di Indonesia telah terbit, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun
2009 dengan tajuk Pajak Penghasilan (PPh) Atas Bidang Usaha Berbasis Syariah.
Maka mulai tahun ini, penghasilan yang di dapat dari usaha maupun transaksi
berbasis syariah baik oleh wajib pajak (WP) pribadi maupun badan bakal dikenakan
PP. Penerbitan PP PPh Syariah ini merupakan bentuk aturan pelaksana yang
diamanatkan Pasal 31D UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh

C. Hubungan Zakat dan Pajak


Zakat dan pajak, meski keduanya sama-sama merupakan kewajiban dalam bidang
harta, namun keduanya mempunyai falsafah yang khusus, dan keduanya berbeda sifat
dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran, bagian serta kadarnya, disamping berbeda
pula mengenai prinsip, tujuan dan jaminannya. Sesungguhnya ummat Islam dapat
melihat bahwa zakat tetap menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan
hasilpemikiran keuangan dan perpajakan zaman modern, baik dari segi prinsip maupun
hukum-hukumnya.

91
Pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan
kepada negara sesuai  dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara
dan hasilnya untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umumdi satu pihak dan untuk
merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin
dicapai negara.
Zakat ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap
kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran disebut kalangan
fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan
hartanya.
1. Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak:
 Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan
 Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil
zakat)
 Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi.
 Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan
keuangan.
2. Adapun segi perbedaannya:
 Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat:
suci, tumbuh. Pajak (dharaba): upeti.
 Mengenai hakikat dan tujuannya Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah
dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
 Mengenai batas nisab dan ketentuannya. Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang
Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh
siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai
dengan polcy pemerintah.
 Mengenai kelestarian dan kelangsungannya, Zakat bersifat tetap dan terus
menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
 Mengenai pengeluarannya, Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk
pengeluaran umum negara.
 Hubungannya dengan penguasa, hubungan wajib pajak sangat erat dan
tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila
penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri.

92
 Maksud dan tujuan, zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi
dari pajak.

D. Kebijakan ketentuan zakat atas pajak diindonesia


Banyak orang yang belum memahami bahwa mengeluarkan zakat dapat mengurangi
pajak. Hal ini sesuai dengan UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Dasar
hukumnya terdapat pada pasal 22 dan 23 ayat 1-2. Aturan tersebut  berbunyi;
 Pasal 22: Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ
dikurangkan dari penghasilan kena pajak
 Pasal 23: Baznas atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap
muzaki (pemberi zakat), dan bukti tersebut digunakan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak.
Tujuan diberlakukan aturan ini adalah agar umat muslim yang hendak mengeluarkan
zakat tidak dikenakan double charge atau beban ganda. Selain itu, aturan ini mendorong
umat muslim untuk tetap taat beragama dan juga mendorong aspek kemanusiaan.
Lalu aturan zakat pengurang pajak juga ditegaskan pada Undang-Undang Nomor 36
tahun 2008 Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan, pasal 4 ayat (3) huruf a 1 tercantum:“Yang dikecualikan dari objek
pajak adalah bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.”
Kemudian pada pasal 9 ayat (1) huruf G, berbunyi:“Untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak
boleh dikurangkan dengan harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan
warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali
sumbangan sebagai mana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf 1 sampai dengan huruf
m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga

93
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
Ketentuan tentang zakat dapat mengurangi penghasilan kena pajak sesuai dengan PP
No. 60 Tahun 2010. Syarat zakat yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pajak
penghasilan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008, adalah:
a) Zakat yang bersifat wajib,
b) Zakat tersebut dibayarkan melalui badan atau lembaga penerima zakat yang
dibentuk dan disahkan pemerintah.
Lebih lanjut, ketentuan tentang lembaga penerima zakat tersebut di atas diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2018. Tidak hanya mengatur untuk
zakat bagi pemeluk agama Islam, dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut juga
mengatur tentang lembaga lain sejenis bagi masyarakat yang memeluk agama Buddha,
Katolik, serta Kristen.
Hal ini patut dipahami oleh masyarakat, karena tidak hanya umat muslim saja yang
zakatnya dapat menjadi pengurang pajak, melainkan agama lain pun dapat mendapatkan
fasilitas yang sejenis, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seperti halnya sumbangan
dalam bencana nasional, kewajiban keagamaan seperti zakat dan perpuluhan juga
menjadi pengurang pajak karena bersama-sama dengan pajak, dinilai dapat
mensejahterakan masyarakat secara umum

E. Upaya dan kajian serta upaya kebijakan singkronisasi zakat atas pajak
1. Zakat sebagai Pengurang Pajak
Mengenai proses regulasi pengelolaan zakat hingga zakat mengurangi
pembayaran pajak (dalam hal ini pajak penghasilan), hal ini sudah diatur sejak
adanya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan kemudian lebih
dipertegas oleh UU Zakat yang terbaru yang menggantikan UU 38/1999 yaitu UU
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Latar belakang dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat
(3) UU 38/1999 bahwa pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak
adalah dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban
membayar zakat dan pajak.
Ketentuan ini masih diatur dalam UU yang terbaru yakni dalam Pasal 22 UU
23/2011 “Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ
dikurangkan dari penghasilan kena pajak.”  Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan
94
perpajakan sejak adanya UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU
No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yakni diatur dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf a nomor 1 yang berbunyi: “Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:
bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima
zakat yang berhak.” Selain itu, Pasal 1 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat
atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Boleh Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto juga menentukan: “Zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a) Zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi
pemelukagama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
b) Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi
pemeluk agama selain agama Islam dan/ atau oleh Wajib Pajak badan dalam
negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di
Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah.”
Sedangkan, badan/lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.
PER-15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 Juni 2012 yang se belumnya diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/ PJ/2011, yang di antaranya
adalah: Badan Amil Zakat Nasional, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan
Rumah Zakat Indonesia, Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia
(LEMSAKTI), dan Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad
(BDDN YADP) yang keseluruhannya saat ini berjumlah 21 badan/lembaga.
Sedangkan mekanisme pengurangan zakat dari penghasilan bruto ini dapat kita
temui dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau
Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto.
2. Pandangan Ulama tentang ketenng jakat dan pajak

95
Dalam pergulatan pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia, integrasi
zakat dan pajak merupakan perbincangan baru yang selama satu dekade terakhir
menjadi lebih sering diperbincangkan dan dibahas baik dalam kacamata hukum
positif maupun hukum Islam. Perdebatan aling krusial terletak pada dasar
pengelolaan zakat dan pajak yang dianggap memiliki unsur-unsur yang berbeda
dengan pajak. Beberapa ulama yang mengeluarkan ijtihad syar’inya terkait dengan
integrasi zakat dan pajak antara lain Masdar Farid Mas’udi, Didin Hafiddudin, dan
MUI.
Meski demikian pembahasan terhadap integrasi zakat dan pajak sebenarnya
telah menjadi perdebatan ulama terdahulu hingga sekarang, namun perdebatan
tersebut muncul dalam bentuk yang berbeda. Abû Zahra misalnya, mengemukakan
bahwa pajakpajak itu sampai sekarang tidak memiliki nilai-nilai khusus yang dapat
memberikan jaminan sosial. Itulah mula-mula yang menjadi tuntun an zakat. Zakat
dapat memenuhi tuntutan pajak, akan tetapi pajak tidak mungkin dapat memenuhi
tuntutan zakat, karena pajak tidak menanggulangi kebutuhan fakir miskin yang
menuntut untuk dipenuhi.
Zakat dan pajak sebagai sesuatu yang berbeda dan tidak dapat disatukan
menurut Abu Zahrah. Di negara manapun ketentuan tersebut tetap berlaku selama
dia menjadi seorang Muslim. Berbeda dengan pajak, masing-masing negara
memiliki ketentuan dan undang-undang sendiri. Satu negara dengan negara lain
berbeda. Selain itu, zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus
berlangsung. Kewajiban zakat itu akan tetap berjalan selagi umat Islam berada di
muka bumi. Kewajiban zakat tidak akan dihapus oleh siapapun. Tidak berubah-
ubah. Berbeda dengan pajak yang bisa dihapus, misal melalui pemutihan, atau
berubah menurut kondisi satu negaradan sesuai dengan kebijakan pemerintahnya
masing-masing.
Zakat tidak dapat dicukupi oleh pajak. Mereka juga membenarkan kesulitan
yang dibebani oleh umat Islam karena dualisme zakat dan pajak, akan tetapi hal ini
sesuai dengan ketentuan syariah dan akan menjamin kelestarian kewajiban tersebut
dan mengekalkan hubungan antar Muslim melalui zakat, sehingga zakat tidak dapat
dihapus dan diganti nama pajak, dan pajak tak dapat dihilangkan begitu saja.
Pendapat MUI yang tetap mempertahankan disparitas zakat dan pajak
mengandaikan umat Islam di samping berkewajiban membayar zakat, juga
berkewajiban membayar pajak. Alasannya, zakat adalah kewajiban yang harus
96
ditunaikan atas dasar nas Alquran dan al-Sunnah, sedangkan pajak adalah kewajiban
yang harus ditunaikan atas dasar ketetapan pemerintah yang dibenarkan oleh ajaran
Islam berdasarkan prinsip kemaslahatan umum. Zakat merupakan kewajiban agama,
sedangkan pajak merupakan kewajiban sebagai warga negara. Jadi, umat Islam
diwajibkan menunaikan zakat sebagai realisasi perintah agama, sementara pajak
wajib pula mereka lunasi sebagai realisasi ketaatan warga negara kepada negara
bangsa. Dengan demikian, pendapat MUI ini melihat pembayaran zakat maupun
pembayaran pajak adalah dua hal yang berbeda, tapi samasama bersifat impertif, dan
karenanya wajib diamalkan oleh umat Islam kedua-duanya secara terpisah.
Memang, jika pendapat ini diamalkan akan menghasilkan input dana yang
maksimal. Hanya saja misalnya, bagi sebagian besar umat Islam, adanya dua
kewajiban itu sungguh merupakan beban yang sangat 18 Studi kritis tentang fatwa
MUI termasuk masalah zakat ini bisa dilihat dalam, M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa
Majelis Ulama Indonesia, Soedarso Soekanto (pent.), 1993, juga M. Atho Mudzhar,
Esai-esai Sejarah Sosial Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014).
memberatkan. Akibatnya, berhubung zakat ditunaikan berdasarkan iman atau
kesukarelaan, dan tidak ada kontrol dan pemberian sanksi bagi pelanggarnya, yang
diserahkan sepenuhnya kepada rasa ketakwaan seseorang, maka pembayarannya pun
tidak jarang terabaikan.
Dalam hal ini, zakat kalah pengaruh oleh pajak. Hal inilah yang seringkali menjadi kendala
utama dalam meningkatkan jumlah penerimaan zakat pada lembaga-lembaga pengumpul
zakat. Kenyataan itu berbeda sekali dengan pajak, yang karena didorong secara imperatif oleh
negara, pembayarannya selalu dilunasi setiap jatuh tempo. Bagi yang terlambat, ditegur, bagi
yang membayar tepat pada waktunya, diberikan diskon khusus atau diberi penghargaan. Di
negara Barat, bagi orang yang tidak membayar pajak atau menggelapkan pajak, dapat
dihukum pidana dengan hukuman yang cukup berat.

97
DAFTAR PUSTAKA

Aden Rosadi dan A.S.M. Romli, BAZ Jabar, 2004, zakat juga
diartikansebagaiibadahmaliyahijtima’iyyah, ibadahharta yang
mengandungdimensisosialkemasyarakatan. Zakat
bukansajasebagaisimbolkepatuhanatastitahIlahi, melainkan juga salah
satubentukkepeduliansosialatasdasarkemanusiaan.

Amirullah, A. (2020). Pengelolaan zakat, Infakdan shadaqah. 1–21.

Didiek Ahmad Supardi, Sistem Lembaga KeuanganEkonomi Islam


dalamPemberdayaanEkonomi Rakyat, (Semarang: PT. PustakaRezeki Putra, 2013), hlm. 37.

Elsi Kartika Sari, PengantarHukum Zakat dan Wakaf, PT Grasindo, Jakarta, 2006, h. 10

Faruq An-Nabahan, SistemEkonomi Islam Pilihan Setelah KegagalanSistemKapitalis dan


https://id.wikipedia.org/wiki/Zakat. Diunduh 5 November 2018

https://uin-suska.ac.id/2017/09/13/urgensi-zakat-dalammasyarakat-h-muhammad-el-
hakiemrachiemi-lc/, diunduh 5 November 2018.

JurnalEkonomi, Keuangan dan Perbankan Syariah

Lubis, R. H., & Latifah, F. N. (2019). Indonesia ( Analysis of Zakat , Infak , Shadaqoh and
Wakaf Development Strategies in Indonesia ). 3(1), 45–56.
https://doi.org/10.21070/perisai.v3i1.1999

Menurut H.O. Taufiqullah, dalambukuZakat dan PemberdayaanEkonomiUmat, ed.

Muhammad Abdul Mannan, Teori dan PraktikEkonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana
BaktiWakaf, 1993), hlm. 256.

Multazim A, A. (2014). 1 Dosen Senior Prodi Al-Ahwal Al-Syakhsyiyyah STAI Ibrahimy,


Genteng 2. 2, 2–14.

Referensi: https://tafsirweb.com/336-surat-al-baqarah-ayat-43.html

Sofyan Hasan, PengantarHukum Zakat dan Wakaf, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 26.

Sosialis, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 123.

Syafiq, A. (2018). PeningkatanKesadaran Masyarakat dalamMenunaikanZakar, Infak,


Sedekah dan Wakaf. Ziswaf, Jurnal Zakat Dan Wakaf, 5(2), 24.

98
Triantini, Z. E. (2010). PerkembanganPengelolaan Zakat di Indonesia. Al-Ahwal, 3, 87–100.
https://tafsirweb.com/3119-surat-at-taubah-ayat-103.html

Aini, A. 2019. Pengelolaan Zakat oleh Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) Global
Zakat Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Cabang Sumatera Barat Setelah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Skripsi. Padang:
Universitas Andalas

Anwar, I C. 2021. Apa Itu Muzakki dan Syarat Orang Yang Tekena Kewajiban
Berzakat.Online: https://tirto.id/apa-itu-muzakki-syarat-orang-yang-terkena-kewajiban-
berzakat-f9dD

Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten Sukabumi. 2019. Landasan Hukum. Online:
https://kabsukabumi.baznas.go.id/landasan-hukum/

Hasan, M. 2011. Manajemen Zakat Model Pengelolaan yang Efektif. Yogyakarta: Idea Press

Khomsatun. 2019. Efektivitas SIstem Pengelolaan Zakat Untuk Meningkatkan Usaha


Produktif Masyarakat (Studi Kasus Baznas Lampung Tengah). Skripsi. Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Metro

Suwandi. 2016. Pengertian Zakat, Dasar Hukum Zakat, Tata Cara Pengeluaran Zakat,
Tujuan, Rukun dan Syarat Zakat. STAIN Jurai Siwo Metro. Online:
https://suwandistar2004.wordpress.com/2016/04/25/pengertian-zakat-dasar-hukum-
zakat-tata-cara-pengeluaran-zakat-tujuan-rukun-dan-syarat-zakat/

Sururudin. 2008. Prinsip Pengelolaan Zakat.Online: Prinsip Pengelolaan Zakat – sururudin's


Weblog (wordpress.com)

Saifudin Zuhri. 2012. Zakat di Era Reformasi (Tata Kelola Baru). Semarang: Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo.

Sadunku. 2018. Kumpulan Dasar Hukum Zakat Menurut Al-Qur’an dan Hadits Serta
Penjelasannya. Online: https://adinawas.com/dasar-hukum-zakat-menurut-al-quran-
dan-hadits.html

Tuasikal, M A. 2010. Syarat-syarat Zakat. Rumaysho.com. Online:


https://rumaysho.com/1156-syarat-syarat-zakat.html

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.

99
https://baznas.go.id/artikel/baca/Harta-Kekayaan-Yang-Wajib-Dizakati/123https://
www.globalzakat.id/tentang/zakat-maal

Agustiano, Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Niriah, 2008 Al-Alabij,
Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia (Dalam Teori dan Praktek),

Jakarta: Rajawali Pers, 1992. Al-Hadi, ,Abu Azam Upaya Pemberdayaan Tanah Wakaf
Produktif Bagi

Kesejahteraan Ummat, dalam jurnal ISLAMICA, Vol. 4 No. 1, September 2009.

Budi , Iman Setya, Revitalisasi Wakaf sebagai Penggerak Ekonomi Masyarakat,

dalam jurnal: Al-Iqtishadiyah Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah,
Volume: II, Nomor II. Juni 2015 Chapra, M.Umar , Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000 Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Manajemen Pengelolaan Proyek Percontohan Wakaf Produktif,

Jakarta Departemen Agama RI, 2011 Direktorat Jendral Bisma Islam dan Penyelenggara
Haji, UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta: Departemen Agama RI, 2005

Adams, Wahiduddin, “Signifikan Peran dan Fungsi Nadzhir Menurut Hukum Islam dan UU
No. 41 Tahun 2004,” al-Awqaf, Januari 2011

Antonio, Muhammad Syafi’i, “Bank Syariah sebagai Pengelola Dana Waqaf”, Workshop
Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Waqaf Produktif,
Jakarta: DEPAG-111T, 2002.

Abu Zahrah, Muhammad, Muhadarat fi al-Wqaf, Bayru: Dar al-Fiqh al-Islami, 2005.

Abdul Hakim, Hukum Perwaqafan di Indonesia,(Ciputat: Ciputat press, 2005)

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang CV. Al


Waah, 2004)

Elsa Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan Waqaf, (Jakarta Grasindo, 2007)

Hadi Setya Tunggal, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Waqaf, (Jakarta: Harvindo 2005)
Abidin, Slamet dan Suyono. 1998. Fiqih Ibadah. Bandung: Pustaka Setia.

Al-Zuhayly, Wahbah. 2008. Zakat:Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya. Ekonomi Umat.Malang: UIN-Maliki Press.

Khasanah, Umrotul. 2010. Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan

100
Mahfudh, MA. Sahal. 2011. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKiS.

Majelis Ulama Indonesia. 2011. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta:
Erlangga

Mufraini, M. Arif. 2006. Akuntansi dan Manajemen Zakat. Jakarta: Kencana.

Qardhawi, Yusuf. 1995. Problematika Islam Masa Kini:Qardhawi

Menjawab. Bandung: Trigenda Karya.

Ritonga, Rahman dan Zainuddin.2002. Fiqh Ibadah.Jakarta: Gaya Media


Pratama.

Samsul SAB MA, Komitmen Perusahaan Menjadi Muzakki

Sitanggal, Anshory Umar. 1987. Fiqh Syafi’i Sistimatis II.Semarang:

CV. Asy-Syifa’.

Kementerian Agama, “UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat”,

http://kemenag.go.id, diakses pada Sabtu, 12 September 2015, 12:23 WIB

Trisno Wardy Putra Konsep Manajemen Pengumpulan Dana Zakat

Andri Soemitra, Bank dan lembaga keuangan syariah (Jakarta: Kencana, 2009).

Al-Islami Adilatuh, Wahabah. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: Pt Remaja


Rosdakarya, 1995.

Mohammad Daud Ali, Sistem ekonomi Islam: zakat dan wakaf, Cet. ke-1 (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1988).

Nurul Huda et al., Zakat Perspektif Mikro-Makro (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015).

Hanisyah Hasibuan, Strategi Peningkatan Pengumpulan Zakat Infaq Dan Shadaqah Pada
Badan Amil Zakat Nasional Sumatera Utara. (skripsi, Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara, 2019).

Usman, Rachmadi. Hukum Perwakafan Di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika,


2009.

https://www.academia.edu/37474125/_PENGELOLAAN_WAKAF_
Undang-undang NO. 41 tahun 2004 tentang wakaf
Q.S. Al-Baqarah (267) dan Ali-Imran (92)
Abdul halim, M.A. Hukum perwakafan di Indonesia, jakarta: CIPUTAT PRES, 2005,
h. 6-10

101
102

Anda mungkin juga menyukai