Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ZAKAT DAN WAKAF

DISUSUN

OLEH:
MUH. ABARUDDIN
NIM: 220020

YAYASAN PENDIDIKAN MAKASSAR


HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah yang maha Esa, karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyusun makala ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Dalam makala ini saya membahas mengenai filantrophy zakat dan wakaf.

Makala ini saya buat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama
Islam dan yang memberi saya tugas yaitu Ibu Dosen Hasmia Wahyunisa Saing P.

Saya berharap makala ini akan bermanfaat bagi teman-teman dan saya menerima kritik dan
saran apabila ada kesalahan dalam pembuatan makala ini

Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.


BAB.1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang bercorak sosial-ekonomi dari lima rukun
Islam (Qardawi, 2007:3). Menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat yang mampu
sesuai dengan syariat Islam. Orang – orang Islam sangat mempercayai dan meyakini bahwa
zakat merupakan salah satu dari pilar agama Islam yang bertujuan untuk meningkatkan
keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan. Kebanyakan orang
Islampun berkeyakinan bahwa zakat mempunyai peran yang sangat penting dalam
pemberdayaan ekonomi umat. Zakat juga merupakan salah satu rukun Islam yang selalu
disebutkan sejajar dengan shalat. Inilah yang menunjukkan betapa pentingnya zakat sebagai
salah satu rukun Islam (AlBa'ly, 2006:1).
Untuk memaksimal pengelolaan zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf, maka pemerintah
membentuk badan yang mengelola dana zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf yaitu Badan Amil
Zakat (BAZ) yang dibentuk olen pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk
oleh masyarakat kemudian dikukuhkan oleh pemerintah. Dalam hal ini lembaga zakat
berfungsi untuk melakukan pencatatan dan pelaporan atas penerimaan dan pengalokasian
zakat. Lembaga zakat berkewajiban untuk mencatat setiap setoran zakat dari muzzaki baik
jumlah maupun jenis zakat. Hak zakat di 2 berikan kepada 8 Asnaf yang telah dijelaskan
Allah SWT dalam Al - Qur’an surat At-Taubah ayat 60 :
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat,
yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan
orang yang berhutang, untuk yang berada di jalan Allah dan untuk orang yang sedang di
dalam perjalanan sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (QS Al-Taubah 9:60) Sedangkan, menurut Baqi dalam Mus'ab (2011:1)
mengatakan bahwa "Kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslim salah satunya ialah
zakat yang telah memenuhi kriteria tertentu. Didalam Al - Qur'an terdapat 32 kata zakat, dan
82 kali di ulang dengan menggunakan istilah dari kata zakat, yaitu sedekah dan infaq.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pokok dari masalah pembuatan
makalah ini adalah:
1. Pengertian zakat, wakaf dan dasar hukumnya
2. Sejarah pelaksanaan zakat di Indonesia
3. Manajemen pengelolaan zakat produktif
4. Sejarah pelaksanaan wakaf
5. Wakaf dan permasalahannya di Indonesia
6. Manajemen pengelolaan wakaf di Indonesia

1.3. Tujuan pembahasan


Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian zakat, wakaf dan dasar hukumnya
2. Mengetahui pengertian sejarah pelaksanaan zakat di Indonesia
3. Mengetahui pengertian manajemen pengelolaan zakat produktif
4. Mengetahui pengertian sejarah pelaksanaan wakaf
5. Mengetahui pengertian wakaf dan permasalahannya di Indonesia
6. Mengetahui pengertian manajemen pengelolaan wakaf di Indonesia
BAB. 2
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Zakat, Wakaf dan Dasar Hukumnya


A. Pengertian zakat
Zakat adalah sejumlah harta yang wajib dikeluarkan oleh umat Muslim untuk
diberikan kepada golongan yang berhak menerima, seperti fakir miskin dan semacamnya,
sesuai dengan yang ditetapkan oleh syariah. Zakat termasuk rukun Islam ke-4 dan
menjadi salah satu unsur paling penting dalam menegakkan syariat Islam.
Oleh karena itu, hukum zakat adalah wajib bagi setiap Muslim yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat juga merupakan bentuk ibadah seperti shalat,
puasa, dan lainnya dan telah diatur dengan rinci berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.
B. Pengertian wakaf
Wakaf adalah amalan yang luar biasa. Wakaf termasuk sedekah jariyah, yang
dimana tidak putus pahalanya selama terus memberikan manfaat untuk banyak orang.
Kata Wakaf berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Kata “Waqafa” berarti menahan atau
berhenti atau diam di tempat atau tetap berdiri”.
Adapun Para ahli fikih, memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian dari wakaf
tersebut:
a. Abu Hanifah

Menurut Abu Hanifah, pengertian wakaf adalah menahan suatu benda yang
menurut hukum, tetap di wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk
kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si
wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya.

Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi
yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Oleh sebab itu
mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan
atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan
datang”.

b. Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakat tersebut mencegah wakif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut
kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak
boleh menarik kembali wakafnya.

Perbuatan si wakif menjadi menfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq


(penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau
menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang.

c. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal

Pengertian wakaf berikutnya dijelaskan menurut Mazhab Syafi’I dan Ahmad bin Hambal. Syafi’i
dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan
wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan.

Jika wakif wakaf, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh warisnya. Wakif
menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannnya kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf)
sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya
tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksa agar memberikannya kepada
mauquf’alaih.

C. Dasar hukumnya
a. Dasar hukum zakat
Hukum zakat adalah wajib ‘aini dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak
mungkin dibebankan kepada orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya dapat diwakilkan kepada
orang lain.
b. Dasar hukum wakaf
“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu
yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-
Baqarah (2): 267).

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan
sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)

2.2. Sejarah pelaksanaan zakat di Indonesia


Sejak kedatangan Islam di Nusantara pada awal abad ke 7 M1), kesadaran masyarakat Islam terhadap zakat
pada waktu itu ternyata masih menganggap zakat tidak sepenting shalat dan puasa. Padahal walaupun tidak
menjadi aktivitas prioritas, kolonialis Belanda menganggap bahwa seluruh ajaran Islam termasuk zakat merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan Belanda kesulitan menjajah Indonesia khususnya di Aceh sebagai pintu
masuk.

Atas hal tersebut, Pemerintah Belanda melalui kebijakannya Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad
6200 tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah dari kepala desa sampai bupati, termasuk
priayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat. Peraturan tersebut mengakibatkan penduduk di bebe-rapa
tempat enggan mengeluarkan zakat atau tidak memberikannya kepada peng-hulu dan naib sebagai amil resmi
waktu itu, melainkan kepada ahli agama yang dihormati, yaitu kiyai atau guru mengaji.

Pada saat yang sama masyarakat Aceh sendiri telah menggunakan sebagian dana zakat untuk membiayai
perang dengan Belanda2), sebagaimana Belanda membiayai perangnya dengan sebagian dana pajak3). Sebagai
gambaran, pengumpulan zakat di Aceh sudah dimulai pada masa Kerajaan Aceh, yakni pada masa Sultan
Alaudin Riayat Syah (1539-1567). Pada Masa kerajaan Aceh penghimpunan zakat masih sa-ngat sederhana dan
hanya dihimpun pada waktu ramadhan saja yaitu zakat fitrah yang langsung diserahkan ke Meunasah (tempat
ibadah seperti masjid). Pada waktu itu sudah didirikan Balai Baitul Maal tetapi tidak dijelaskan fungsi spesifik
dalam mengelola zakat melainkan sebagai lembaga yang mengurus keuangan dan perben-daharaan negara, yang
dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja4).

Ketika terdapat tradisi zakat dikelola secara individual oleh umat Islam. K.H. Ahmad Dahlan sebagai
pemimpin Muhammadiyah mengambil langkah mengorganisir pe-ngumpulan zakat di kalangan anggotanya.5)

Menjelang kemerdekaan, praktek pengelolaan zakat juga pernah dilakukan oleh umat Islam ketika Majlis
Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), pada tahun 1943, membentuk Baitul Maal untuk mengorganisasikan pengelolaan
zakat secara terkoordinasi. Badan ini dikepalai oleh Ketua MIAI sendiri, Windoamiseno dengan anggota komite
yang berjumlah 5 orang, yaitu Mr. Kasman Singodimedjo, S.M. Kartosuwirjo, Moh. Safei, K. Taufiqurrachman,
dan Anwar Tjokroaminoto.

Dalam waktu singkat, Baitul Maal telah berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di
Jawa pada saat itu. Tetapi kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir akan munculnya gerakan anti-Jepang.
Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang memaksa MIAI untuk membubarkan diri6). Praktis sejak saat itu tidak
ditemukan lagi lembaga pengelola zakat yang eksis.

Perhatian Pemerintah terhadap pengelolaan zakat ditunjukkan dengan mener-bitkan Peraturan Menteri
Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No 5 Tahun
1968 tentang Pembentukan Baitul Maal di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadya. Keputusan terse-but
dikuatkan oleh pernyataan Presiden Soeharto dalam acara Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw di
Istana Negara 26 Oktober 1968 tentang kesediaan Presiden untuk mengurus pengumpulan zakat secara besar-
besaran.

Namun demikian pernyataan tersebut tidak ada tindaklanjut, yang tinggal hanya teranulirnya pelaksanaan
Peraturan Menteri Agama terkait dengan zakat dan baitul maal tersebut. Penganuliran Peraturan Menteri Agama
No. 5 Tahun 1968 semakin jelas dengan lahirnya Instruksi Menteri Agama No 1 Tahun 1969, yang menyatakan
pelaksanaan Peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun 1968 ditunda sampai batas waktu yang tidak
ditentukan.7)

Dengan latar belakang tanggapan atas pidato Presiden Soeharto 26 Oktober 1968, 11 orang alim ulama di
ibukota yang dihadiri antara lain oleh Buya Hamka menge-luarkan rekomendasi perlunya membentuk lembaga
zakat ditingkat wilayah yang kemudian direspon dengan pembentukan BAZIS DKI Jakarta melalui keputusan
Gubernur Ali Sadikin No. Cb-14/8/18/68 tentang pembentukan Badan Amil Zakat berdasarkan syariat Islam
tanggal 5 Desember 1968.8)

Pada tahun 1969 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1969 tentang Pembentukan
Panitia Penggunaan Uang Zakat yang diketuai Menko Kesra Dr. KH. Idham Chalid. Perkembangan selanjutnya
di lingkungan pegawai kemente-rian/lembaga/BUMN dibentuk pengelola zakat dibawah koordinasi badan kero-
hanian Islam setempat.9)

Keberadaan pengelola zakat semi-pemerintah secara nasional dikukuhkan dengan Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan
BAZIS yang diterbitkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah melalui Musyawarah Nasional
MUI IV tahun 1990. Langkah tersebut juga diikuti dengan dikeluarkan juga Instruksi Men-teri Agama No. 5
Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis BAZIS sebagai aturan pelaksanaannya.10)

Baru pada tahun 1999, pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat. Dalam Undang-Undang tersebut diakui adanya dua jenis organisasi pengelola zakat yaitu
Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh
masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. BAZ terdiri dari BAZNAS pusat, BAZNAS Propinsi, dan
BAZNAS kabupaten/kota.

Sebagai implementasi UU Nomor 38 Tahun 1999 dibentuk Badan Amil Zakat Na-sional (BAZNAS)
dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001. Dalam Surat Keputusan ini
disebutkan tugas dan fungsi BAZNAS yaitu untuk melakukan penghimpunan dan pendayagunaan zakat.
Langkah awal adalah mengupayakan memudahkan pelayanan, BAZNAS menerbitkan nomor pokok wajib zakat
(NPWZ) dan bukti setor zakat (BSZ) dan bekerjasama dengan perbankan dengan membuka rekening penerimaan
dengan nomor unik yaitu berakhiran 555 untuk zakat dan 777 untuk infak. Dengan dibantu oleh Kementerian
Agama, BAZNAS menyurati lembaga pemerintah serta luar negeri untuk membayar zakat ke BAZNAS.

Tingkat kesadaran masyarakat untuk berzakat melalui amil zakat terus ditingkat-kan melalui kegiatan
sosialisasi dan publikasi di media massa nasional. Sejak tahun 2002, total dana zakat yang berhasil dihimpun
BAZNAS dan LAZ mengalami pening-katan pada tiap tahunnya. Selain itu, pendayagunaan zakat juga semakin
bertambah bahkan menjangkau sampai ke pelosok-pelosok negeri. Pendayagunaan zakat mulai dilaksanakan pada
lima program yaitu kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, ekono-mi, dan dakwah.
Pada tanggal 27 Oktober 2011, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
menyetujui Undang-undang pengelolaan zakat pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang
kemudian diundangkan sebagai UU Nomor 23 Tahun 2011 pada tanggal 25 November 2011. UU ini
menetapkan bahwa pengelolaan zakat bertujuan (1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam
pengelolaan zakat dan (2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan dimaksud, UU mengatur bahwa kelembagaan pengelola
zakat harus terintegrasi dengan BAZNAS sebagai koordinator seluruh pengelola zakat, baik BAZNAS Provin-si,
BAZNAS Kabupaten/Kota maupun LAZ.

Mandat BAZNAS sebagai koordinator zakat nasional menjadi momentum era Ke-bangkitan Zakat di
Indonesia. Dengan berharap rahmat dan ridha Allah SWT, semo-ga kebangkitan zakat mampu mewujudkan
stabilitas negara, membangun ekonomi kerakyatan, dan mengatasi kesenjangan sosial.

2.3. Manajemen pengelolaan zakat produktif

Pengelolaan zakat produktif bisa dilakukan dengan tiga cara:


1. Penerima zakat menjadi kreditur dan debitur sekaligus
2. Transaksi dicatat dalam system bagi hasil
3. Zakat diserahkan secara penuh

2.4. Sejarah pelaksanaan wakaf

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi
SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi
Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik
Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad,
ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya
tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-
orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.” (Asy-Syaukani: 129).

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah;
diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian
Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya
mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau
perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan
engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah,
Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara
yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta”
(HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang
mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya,
seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak
keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib
mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan
“Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin
Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.

Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang
berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja,
tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar
gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada
pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk
membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang
dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan
betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik.
Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta
wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada
masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga
terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga
wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam.
Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga
wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang
berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang
mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa
dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf
berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir
semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara
(baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah
milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh
dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih
berbeda pendapat di antara para ulama.

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah
Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah
Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh
(jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik
negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara
untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah
mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model
mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan
Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby
menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang
wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’)
dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan
misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal)
menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab Syi’ah yang
dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang
dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah
tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk
terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini
dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang
mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.

Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga
untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan
mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf
untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang
dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah
Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi
pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal
mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa
perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277
M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing
empat mazhab Sunni.

Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf
yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain
(fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki
Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah
negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk
merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.
Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan
pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang
tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan
wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah
kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang
tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat
sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf
masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima
(diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di
Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita
perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal
sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju
perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak
Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang
cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun
2006 tentang pelaksanaannya.

2.5. Wakaf dan permasalahannya di Indonesia

 Perwakafan di Indonesia diatur menurut undang-undang dan peraturan-peraturan.


Departemen Agama dan Depaitemen Dalam Negeri serta instansi terkait lainnya, telah mengarribil langkah-
langkah berkenaan dengan 'pelaksanaan Peraturan Perrierintah Nomor 28 Tahun 1977 sebagaimana yang
diamanatkan oleh PP tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor6 tahut;l· 1977 tanggil 26Nopember 1977 tentang Tata
Cara Pendaftaran Tanah mengenaiperwakafan · tanah milik.
2. Peraturan ·Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
3. Iristruksi bersama antara Menteri Agama RI dan · Menteri · DalamNegeri RI nomor 1 Tahun 1978
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977tentangPerwakafan Tanah Milik.
4. Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala
Kantor Wilayah Departeme Agama;Propinsi/ setingkat di seluruh Indonesia untuk
mengangkat/memberhentikan setiap Kepala KUA Kecamatan sebagai PP AIW.
5. Instruksi Menteri Agama No. 3 tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Menteri Agama No. 73
tahun 1978. Tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama Propinsi/ setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai PP AIW.
6. Intruksi Menteri Agama No. 3 tahun 1987 tentang Bimbingan Dari Pembinaan Kepala Badan
Hukum Keagamaan Sebagai · Nadzir Dan Badan Hukum Keagamaan Yang Memiliki Tanah. .
7. Keputusan Menteri Agama Nomor 326 tahun 1989 tentang : Pembentukan Tim Koordinasi
Penertiban Tanah Wakaf seluruhIndonesia Tingkat Pusat.
8. Instruksi Menteri Agama No. 15 tahun 1989 tentang PembuatanAkta Ikrar Wakaf dan
Perisertifikatan Tanah Wakaf.
9. Keputusan Menteri Agama No. 126 tahun 1990. tentangPenyempurnaan Lampiran Keputusan
Menteri Agama No. 326 tahun1989 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penertiban
TanahWakafseluruh Indonesia Tingkat Pusat.
10. Keputusan Menteri Agama No 196 tahun 1991 tentang penyempurnaan Lampiran Keputusan
Menteri Agama No: 126 tahun 1990 tentang susunan personalia tim koordinasi penertiban tanah
wakaf seluruh Indonesia tingkat pusat.
11. Instruksi bersama Menteri Agama dan Kepala Badan .Pertanahan Nasional No. 4 tahun 1990/ No.
24 tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf.
12. Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. 15 tahun 1990tentang Penyempurnaan
Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik.
13. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. DII/5/Ed/07 /1981. tentang Pendaftaran Perwakafan
Tanah Milik.
14. Surat Dirjen Bimas.Islam dan Urusan Haji No. DII/5/Ed/II/1981.tentang Petunjuk Pengisian Nomor
pada Formulir PerwakafanTanah Milik.
15. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.DII/ 55/1 /KU.03.2/363 /1986 ten tang Bea Materai,
Akta Nikah. Akta Ikrar. Wakaf dan sebagainya dengan lampiran rekaman Surat Direktur Jenderal
Pajak No. 5-40 I/Pj.3/1986 tentang Bea Materai, Akta Nikah, Akta Ikrar Wakaf dan sebagainmya.
16. Surat . Edaran .· Dirjen · Bimas Islam dan Urusan Haji No. DII/5/HK/007 /901/1989 tentang
Petunjuk Peruhahan Status/Tukar menukar Tanah Wakaf.
17. Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D /Ed/BA.03.2/1990 tentang Petunjuk
Tekhnis Instruksi Menteri Agama No .15 tahun·1989 tentang Pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan
Pensertifikatan Tanah Wakaf.
18. Surat Dirjen Bimas Islam dan. Urusan Haji No. DII/5/HI(/004/2981 /1990 • ten tang Pejabat yang
Menandatangani Keputusan tentang Tim Koordinasi Penertiban Tanah Wakaf Tingkat Propinsi
dan Tingkat Kabupaten/ Kotamadya.
19. Surat Edaran Dirjen Bimis Islam dan urusan Haji No. DII/Ed/KU:03.1/03/1990tentang Penempatan
Materai Temple pada Blanko Wakaf dengan lampiran Rekaman Surat Dirjen Pajak no.
5-165/pj.5.3/1990 perihal Bea Materai, Akta Nikah, .1kta Ikrar Wakaf dan sebagainya.
20. Peraturan Kepala Badan Pertanahan· Nasional No. 2 tahun 1992 tentang Biaya Pendaftaran Tanah
kepada Badan Pertanahan Nasional.

2.6. Manajemen pengelolaan wakaf di Indonesia

Pengelolaan harta wakf, baik benda tidak bergerak maupun wakaf benda bergerak telah dilakukan oleh
Dompet Dhuafa Republika sejak tahun 2001. Hal ini terlihat dari berhasilnya Dompet Dhuafa Republik
menghimpun dana wakaf uang sebesar RP. 86.969.000,00. Penghimpunan dana wakaf uang ini meningkat
tahun 2002, sebesar RP. 822.451.600,00. Peningkatan ini nampaknya di pengaruhi oleh keluarnya fatwa MUI
tentang wakaf uang 11 Mei 2002. Peningkatan jumlah dana yang berhasil di himpun ini terus terjadi tahun 2004
di saat pembahasan dan pengesahaan undang-undang wakaf . Ini terlihat dari laporan keungan Dompet Dhuafa
tahun 1425 H yang menunjukkan terjadinya peningkatan yang signifikan yakni RP. 7.443.389.785,00. Hal ini
berarti sejak di tetapkan sebagai lembaga yang khusus mengelola wakaf uang, TWI mencoba melakukan
tanggung jawabnya secara professional. Sejak peresmian TWI menjadi lembaga pengelola wakaf yang diberi
kewenangan untuk mengakses potensi wakaf uang secara mandiri. Dana wakaf yang berhasil dihimpun
mengalami kenaikanyang cukup signifikan.
BAB. 3

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Zakat dan Wakaf mencakup kebutuhan bagi yang hartanya cukup untuk disedekahkan kepada yang
membutuhkan. Karena bermanfaat bukan hanyadalam segi agama juga dalam segi sosial, ekonomi, dan lain-lain.
Patut kitaketahui bahwa zakat jika dipraktekkan secara benar diIndonesia, kesenjanganantara yang kaya dan
miskin mungkin akan tidak ada.

3.2. SARAN

Keluarkanlah zakat jika mampu dan sedekahkan sebagian hartamu yangsebenarnya milik Allah.

Anda mungkin juga menyukai