Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FIKIH ZAKAT DAN WAKAF

“ Sejarah dan Dasar Hukum Wakaf “


( diajukan guna memenuhi mata kuliah :Fikih zakat dan wakaf

Dosen pengampu : Dr. Islandar. M.Sy )

Oleh
Kelompok 7 :
1. Nuril Hidayatullah Kadja ( 2011211019 }
2. Rifki Kinanggi ( 2011211020 }
3. Nurul Hidayati ( 201211021 }

PRODI AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG
2021/2022

Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah Ta’ala. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Sejarh dan Dasar Hukum Wakaf ini dengan " dengan
tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Wakaf. Selain itu, makalah ini bertujuan
menambah wawasan tentang manusia prasejarah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab
itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

1
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………ii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang …………………………………………………………….…4


1.2. Rumusan Masalah …………………………………...……………………….4
1.3. Tujuan Penulisan …………………………...………………………………...4

2
BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Wakaf dalam Islam………….………………………….……….4

2.2 Sejarah Wakaf Islam…..……………………………….……………………..5

2.3 Syarat dan Rukun Wakaf………………… ………………………………….6

BAB III : PENUTUP

3.1. Kesimpulan …………………………………………………………………….12

3.2. Saran ……………………………………………………………………………13

DAFTAR PUSTAKA………………………………...………………………………….14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wakaf merupakan salah satu tuntunan ajaran agama Islam yang

menyangkut kehidupan bermasyarakat dalam rangka ibadah itjima’iyah

(ibadah sosial). Karena wakaf adalah ibadah, maka tujuan utamanya adalah

pengabdian kepada Allah SWT dan ikhlas karena mencari ridho-Nya. Wakaf

dilaksanakan dengan lillahi ta’ala. Perbuatan tersebut murni dilandasi oleh

rasa iman dan ikhlas semata-mata pengabdian kepada Allah SWT.

Selama ini perwakafan belum diatur secara tuntas dalam peraturan

perundang-undangan yang ada. Wakaf mengalir begitu saja seperti apa

3
adanya, kurang memperoleh penanganan yang sungguh-sungguh baik ditinjau

dari pemberian motivasi maupun pengelolaannya. Akibatnya dapat dirasakan

hingga kini, yaitu terjadi penyimpangan pengelolaan wakaf dari tujuan wakaf

sesungguhnya. Disamping itu karena tidak adanya ketertiban pendataan,

banyak benda wakaf yang karena tidak diketahui datanya, jadi tidak terurus

bahkan wakaf itu masuk ke dalam siklus perdagangan.1

Keadaan demikian itu tidak selaras dengan maksud dari wakaf yang

sesungguhnya dan juga akan mengakibatkan kesan kurang baik terhadap

Islam sebagai ekses penyelewengan wakaf, sebab tidak jarang sengketa wakaf

terpaksa harus diselesaikan di pengadilan.

Padahal kalau dikaji dengan seksama, perkembangan Islam di

Indonesia tidak dapat dilepaskan dari adanya peranan wakaf. Kebiasaan

berwakaf sebenarnya sudah melembaga sedemikian rupa dikalangan umat

Islam, walaupun hasilnya belum maksimal seperti apa yang diharapkan. Artinya, jumlah
harta wakaf khususnya wakaf tanah dan uang belum

mencukupi dan berpengaruh secara signifikan di masyarakat. Kenyataan ini

memerlukan penanganan professional untuk mengembangkan potensi wakaf

sebagai penunjang dakwah Islamiyah.

Hubungan manusia dengan tanah adalah merupakan hubungan yang

bersifat abadi, baik manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk

sosial. Selamanya tanah selalu dibutuhkan dalam kehidupannya, misalnya

untuk tempat tinggal, lahan pertanian, tempat peribadatan, tempat pendidikan,

dan lain sebagainya. Sehingga segala sesuatu yang menyangkut tanah akan

4
selalu mendapatkan perhatian.2

Di dalam suatu masyarakat pasti terdapat suatu susunan yang

mengatur dan mempunyai norma-norma dengan disertai sanksi-sanksi

sebagai jaminan agar masyarakat tertib mematuhinya sehingga hubungan

manusia dengan tanah benar-benar memperoleh kedudukan yang amat

penting.

Di Indonesia, masalah pertanahan memperoleh kedudukan yang

penting, hal ini dapat diketahui di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945 yang berbunyi : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat”.

Pengaturan tentang pertanahan tersebut selanjutnya diatur dalam

Undang-Undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) yang lebih lanjut lagi diatur

dalam berbagai peraturan pelaksanaan. Salah satu masalah keagamaan yang menyangkut
hukum pertanahan

adalah masalah perwakafan tanah milik wakaf adalah suatu lembaga

keagamaan3

yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sarana pembangunan

dan pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat Islam dalam

rangka mencapai kesejahteraan materiil dan spirituil guna menuju masyarakat

yang adil dan makmur berdasarkan pancasila.

Di samping itu dalam agama Islam-pun wakaf merupakan salah satu

5
ibadah yang menduduki pahala yang amat penting. Hal ini didasarkan pada

pahala wakaf yang terus menerus mengalir meskipun orang yang berwakaf

telah meninggal dunia.

Sedangkan mengenai pemanfaatan benda wakaf biasanya digunakan

untuk tempat umum. Benda wakaf itu berupa tanah dan biasanya digunakan

untuk mendirikan masjid, mushola, sekolah, yayasan, rumah sakit.

Melihat fenomena itu, pemerintah merasa berkewajiban untuk menata

dalam rangka meminimalisir dampak negatif akibat kurang jelasnya status

wakaf. Untuk wakaf tanah, penataannya dimulai oleh pemerintah dengan

mengeluarkan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Dikeluarkannya peraturan

perundang-undangan tersebut adalah bentuk nyata perhatian pemerintah

terhadap penerbitan perwakafan di Indonesia.4 Pada prinsipnya Pasal 49 ayat

(3) Undang-Undang Pokok Agraris (UUPA) tersebut merupakan penjelasan

fungsi sosial hak-hak atas tanah yang bersandar pada Hukum Agama Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakaf dalam Islam

Wakaf (bahasa Arab: ‫وقف‬, [ˈwɑqf]; plural bahasa Arab: ‫أوقاف‬, awqāf; bahasa Turki: vakıf, bahasa
Urdu: ‫ )وقف‬adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk

6
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum sesuai syariah.

Wakaf menurut Abu Hanifah adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik
wakif dalam rangka menggunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu, maka
pemilikan harta wakaf tidak lepas dari wakif, bahkan dia dibenarkan menarik kembali dan boleh
menjualnya. Jika wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan ahli warisnya. Jadi yang timbul
dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu, Mazhab Hanafi mendefinisan wakaf
adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak milik,
dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun
akan datang”.

Pengertian Wakaf Menurut Ahli Fiqih

Sementara Mazhab Maliki berpendapat, wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat
melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain. Wakif berkewajiban
menyedekahkan manfaatnya dan tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan wakif
menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mauquf alaih (penerima manfaat wakaf),
walaupun yang dimilikinya berbentuk upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti
mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafaz wakaf untuk masa tertentu sesuai
dengan keinginan pemilik.

Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi
membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara
wajar, sedangkan benda itu tetap menjadi milik wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa
tertentu, karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan
dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa
pun terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada
yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak
dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada
mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat
melarang penyaluran sumbangannya tersebut.

7
Apabila wakif melarangnya, maka Qadli atau pemerintah berhak memaksanya, agar
memberikannya kepada mauquf ’alaih. Karena itu, Mazhab Syafi’i mendefinisan wakaf adalah: tidak
melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah Swt, dengan
menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).

Menurut mazhab lain, mengutip Wahbah Az-Zuhaili, Drs H Ahmad Djunaidi dkk menulis
bahwa pandangannnya sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda
yang diwakafkan, yaitu menjadi milik mauquf ’alaih (penerima manfaat wakaf), meskipun mauquf
’alaih tidak berhak melakukan suatu tidakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau
menghibahkannya.1

B. Sejarah Wakaf

Rasulullah SAW merupakan perintis kepada amalan wakaf berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh ‘Umar bin Syaibah daripada ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’az yang bermaksud:“Kami bertanya
tentang wakaf yang terawal dalam Islam? Orang-orang Ansar mengatakan adalah wakaf Rasulullah
SAW.2” Orang Jahiliyah tidak mengenali akad wakaf yang merupakan sebahagian daripada akad-
akad tabaru lalu Rasulullah SAW memperkenalkannya kerana beberapa ciri istimewa yang tidak
wujud pada akad-akad sedekah yang lain.

Institusi terawal yang diwakafkan oleh Rasulullah SAW ialah Masjid Quba yang diasaskan
sendiri oleh Baginda SAW apabila tiba di Madinah pada 622M atas dasar ketaqwaan kepada Allah
SWT. Ini diikuti pula dengan wakaf Masjid Nabawi enam bulan selepas pembinaan Masjid Quba’.
Diriwayatkan bahawa Baginda SAW membeli tanah bagi pembinaan masjid tersebut daripada dua
saudara yatim piatu iaitu Sahl dan Suhail dengan harga 100 dirham. Pandangan masyhur menyatakan
individu pertama yang mengeluarkan harta untuk diwakafkan adalah Saidina ‘Umar RA dengan
mewakafkan 100 bahagian daripada tanah Khaibar kepada umat Islam. Anaknya Abdullah bin Umar
RA menyatakan bahawa ayahnya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar lalu dia datang kepada
Rasulullah SAW untuk meminta pandangan tentang tanah itu, maka katanya:

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat sebidang tanah di Khaibar, dimana aku tidak
mendapat harta yang lebih berharga bagiku selain daripadanya, (walhal aku bercita-cita untuk
mendampingkan diri kepada Allah) apakah yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?. ”

1
http://baitulmal.acehprov.go.id/post/wakaf-menurut-mazhab-fikih
2
Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed. ‫[ كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل اإلسالم‬Sejarah Arab Sebelum Islam–
Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang
Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 168–169. ISBN 978-602-6577-28-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08.

8
Maka sabda Rasulullah SAW:

“Jika engkau hendak, tahanlah (bekukan) tanah itu, dan sedekahkan manfaatnya.” “Maka ’Umar
telah mewakafkan hasil tanahnya itu, sesungguhnya tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibah
(diberi) dan diwarisi kepada sesiapa.” Katanya lagi: “’Umar telah menyedekahkannya kepada
orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba yang baru merdeka, pejuang-pejuang di jalan Allah, Ibnus
Sabil dan para tetamu. Tidaklah berdosa sesiapa yang menyelia tanah wakaf itu memakan
sebahagian hasilnya sekadar yang patut, boleh juga ia memberi makan kawan-kawannya, tetapi
tidaklah boleh ia memilikinya

Sejak itu amalan wakaf berkembang sehingga menjadi tulang belakang kepada menjadi teras
kepada pembangunan umat Islam terdahulu dan berkekalan sehingga ke hari ini. Banyak institusi
pendidikan seperti Universiti Cordova di Andalus, Universitas Al-Azhar al-Syarif di Mesir,
Madrasah Nizhamiyah di Baghdad, Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Maghribi, Al-Jamiah al-
Islamiyyah di Madinah, Pondok Pesantren Darunnajah di Indonesia, Madrasah Al-Juneid di
Singapura dan banyak institusi pondok dan sekolah agama di Malaysia adalah berkembang
berasaskan harta wakaf. Universiti Al-Azhar contohnya telah membangun dan terus maju hasil
sumbangan harta wakaf. Sehingga kini pembiayaan Univesiti Al-Azhar yang dibina sejak 1000 tahun
lalu telah memberikan khidmat percuma pengajian kepada ribuam pelajar Islam dari seluruh dunia.
Merekalah yang menjadi duta Al-Azhar untuk membimbing umat Islam kearah penghayatan Islam di
seluruh pelusuk dunia

C. Syarat dan Rukun Wakaf

Kegiatan wakaf tidak akan dapat terlaksana tanpa memenuhi rukun-rukunnya. Seperti yang telah kita
ketahui, rukun wakaf ada 5, sebagai berikut:

1. Adanya orang yang berwakaf (waqif)


2. Tersedianya benda yang diwakafkan (mauquf).
3. Adanya orang yang menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih).
4. Terucapnya lafadz atau ikrar wakaf (sighah)

Syarat Wakaf

9
Setelah mengetahui pengertian wakaf, Sahabat sebaiknya harus tahu juga bagaimana cara dan
ketentuan saat ingin melakukan wakaf. Setidaknya ada 4 syarat yang perlu dilakukan seseorang saat
berniat melakukan wakaf.

Mauquf

Syarat pertama adalah adanya mauquf. Mauquf sendiri adalah benda yang akan diwakafkan. Akan
tetapi harus diingat ya Sahabat, bahwa tidak semua benda dapat menjadi mauquf. Benda tersebut
setidaknya harus memenuhi 4 syarat. Pertama, mauquf dimiliki oleh seseorang. Kedua, mauquf
memiliki nilai manfaat. Ketiga, mauquf harus jelas keberadaannya saat kegiatan wakaf berlangsung.
Keempat, mauquf memang benar bertujuan untuk diwakafkan.

Wakif

Syarat selanjutnya adalah adanya wakif. Serupa dengan mauquf, tidak semua orang memenuhi syarat
untuk menjadi wakif. Lalu apa saja syarat menjadi wakif? Seseorang dapat menjadi wakif apabila
orang tersebut dalam keadaan akal yang sehat, merdeka, dewasa, dan tidak di bawah pengampunan.

Shighot

Shighot berhubungan dengan ucapan. Saat akan melakukan wakaf, perlu mengucapkan kata-kata
yang menunjukkan kepastian, sangat mungkin direalisasikan, kekal, dan tidak mengucapkan syarat
tambahan dan mengucapkan syarat yang bisa membatalkan kegiatan wakaf.

Mauquf ‘alaih

Mauquf ‘alaih adalah pihak yang menerima barang yang diwakafkan. Ada dua jenis mauquf ‘alaih,
yakni mu’ayyan dan ghairu mu’ayyan. Mauquf ‘alaih mu’ayyan adalah penerima wakaf yang
ditunjuk oleh wakif atau pemberi wakaf untuk menerima wakaf tersebut. Contohnya seperti kerabat
atau famili. Sementara mauquf ‘alaih ghairu mu’ayyan adalah penerima wakaf yang tidak ditentukan.
Sebagai contohnya yaitu tempat ibadah, kelompok masyarakat tertentu, fakir, miskin, anak yatim
piatu, dan sebagainya

Objek Wakaf dan Pemanfaatannya

10
Jenis wakaf selanjutnya adalah berdasarkan harta yang diwakafkan. Ada 3 jenis wakaf dalam
kategori ini, yakni harta benda tidak bergerak, harta benda bergerak kecuali uang, dan harta benda
yang berupa uang.

Benda Tidak Bergerak

Pilihan mauquf untuk jenis wakaf harta benda tidak bergerak, dapat berupa tanah, bangunan, kebun,
atau benda yang berhubungan dengan pertanahan.

Contoh pemanfaatan: Gedung sekolah, gedung rumah sakit, perkebunan yang masih menghasilkan
panen, dll.

Benda Bergerak

Pilihan mauquf untuk jenis wakaf harta benda bergerak kecuali uang adalah yang sifat bendanya bisa
berpindah dan utamanya bisa dihabiskan. Contohnya antara lain surat berharga, kekayaan intelektual,
benda yang dapat bergerak, dll.

Contoh pemanfaatan: Quran, alat salat, ambulans, binatang ternak, dll.

Uang

Sementara mauquf berupa uang, yakni dengan mewakafkan sejumlah uang yang dimiliki, atau
disebut juga dengan wakaf tunai.

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Wakaf menurut Abu Hanifah adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik
wakif dalam rangka menggunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu, maka
pemilikan harta wakaf tidak lepas dari wakif, bahkan dia dibenarkan menarik kembali dan boleh
menjualnya. Jika wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan ahli warisnya. Jadi yang timbul
dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu, Mazhab Hanafi mendefinisan wakaf
adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak milik,

11
dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun
akan datang”.

Rasulullah SAW merupakan perintis kepada amalan wakaf berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh ‘Umar bin Syaibah daripada ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’az yang bermaksud:“Kami
bertanya tentang wakaf yang terawal dalam Islam? Orang-orang Ansar mengatakan adalah wakaf
Rasulullah SAW.3” Orang Jahiliyah tidak mengenali akad wakaf yang merupakan sebahagian
daripada akad-akad tabaru lalu Rasulullah SAW memperkenalkannya kerana beberapa ciri istimewa
yang tidak wujud pada akad-akad sedekah yang lain.

Kegiatan wakaf tidak akan dapat terlaksana tanpa memenuhi rukun-rukunnya. Seperti yang telah kita
ketahui, rukun wakaf ada 5, sebagai berikut:

1. Adanya orang yang berwakaf (waqif)


2. Tersedianya benda yang diwakafkan (mauquf).
3. Adanya orang yang menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih).
4. Terucapnya lafadz atau ikrar wakaf (sighah)

DAFTAR PUSTAKA

Agustiano, Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Niriah, 2008

Al-Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia (Dalam Teori dan Praktek),


3
Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed. ‫[ كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل اإلسالم‬Sejarah Arab Sebelum Islam–
Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang
Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 168–169. ISBN 978-602-6577-28-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08.

12
Jakarta: Rajawali Pers, 1992.

Al-Hadi, ,Abu Azam Upaya Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Bagi

Kesejahteraan Ummat, dalam jurnal ISLAMICA, Vol. 4 No. 1, September

2009.

Budi , Iman Setya, Revitalisasi Wakaf sebagai Penggerak Ekonomi Masyarakat,

dalam jurnal: Al-Iqtishadiyah Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi

Syariah, Volume: II, Nomor II. Juni 2015

Chapra, M.Umar , Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat Pemberdayaan

Wakaf, Manajemen Pengelolaan Proyek Percontohan Wakaf Produktif,

Jakarta Departemen Agama RI, 2011

Direktorat Jendral Bisma Islam dan Penyelenggara Haji, UU No.41 Tahun 2004

Tentang Wakaf, Jakarta: Departemen Agama RI, 2005

13

Anda mungkin juga menyukai