Disusun oleh
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anjuran tentang berfilantropi juga sering disinggung dalam ajaran Islam juga, agar tidak
terjadi kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin. Demikian juga, kedermawanan
umat Islam juga menyimpan potensi yang sangat besar dalam pengembangan filantropi
Islam. (Kasdi, 2016)
Sistem ekonomi Islam tidak pernah membenarkan menumpuk kekayaan hanya pada
orang tertentu saja, yang notabenenya menjadi dasar bagi sistem ekonomi kapitalisme.
Pemerintah maupun sistem birokrasi harusnya mendukung kebijakan distribusi tersebut agar
segala sesuatu bisa berjalan dengan baik. Pemerintah tentu memiliki posisi yang sangat
penting dalam menciptakan kebijakan tersebut. Salah satu intervensi yang bisa dilakukan
oleh pemerintah adalah mendirikan lembaga filantropi Islam. Dalam hal ini, lembaga
tersebut yang nantinya akan menjadi penggerak bagi proses penyaluran distribusi atribut
atribut filantropi Islam seperti halnya zakat, infak, sedekah dan wakaf (ZISWAF) yang
dengan atribut tersebut mampu menjadi poros bagi pemberdayaan ekonomi umat. (Murti,
2017)
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan filantropi atau lembaga keuangan sosial islam ?
2. Apa pengertian dari lembaga zakat ?
3. Bagaimana sejarah zakat ?
4. Apa pengertian dari lembaga wakaf ?
5. Bagaimana sejarah wakaf ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui tentang filantropi atau lembaga sosial islam
2. Mengetahui pengertian dari lembaga zakat
3. Mengetahui sejarah zakat
4. Mengetahui pengertian dari lembaga wakaf
5. Mengetahui sejarah wakaf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Secara Etimologi wakaf berasal dari bahasa arab “Waaf” yang berarti “al-habs”.
Ia merupakan kata yang berbentuk masdhar yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti,
atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti, tanah, binatang dan
yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. (Manzhur, n.d.)
Sebagai salah satu istilah dalam syariah islam, wakaf diartikan sebagai penahanan
hak milik atas materi benda (al-’ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya
(al-manfa’ah). Sedangkan dalam buku-buku fikih, para ulama berbeda pendapat dalam
memberi pengertian wakaf.perbedaan tersebut membawa akibat berbeda pada hukum yang
ditimbulkan. Definisi wakaf menurut para ahli fikih sebagai berikut : (Al-Kabisi &
Abdullah, 2004)
1. Hanafiyah
Wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan atau
mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan.
Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih tetap
tertahan atau terhenti di tangan wakif itu sendiri. Dengan artian, wakif masih menjadi
pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas
manfaaf harta tersebut bukan termasuk aset hartanya.
2. Malikiyah
Wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki untuk diberikan kepada
orang yang berhak dengan satu akad dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
keinginan wakif. Definisi wakad tesebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada
orang atau tempat yang berhak saja.
3. Syafi’iyah
Wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya
(al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk
diserahkan kepada nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan
harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya dengan artian harta
yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara
berterusan.
4. Hanabilah
Wakaf adalah menahan asal harta (tanah) dan menyedahkan manfaat yang dihasilkan.
(Al-Kabisi & Abdullah, 2004)
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang
bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang
relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan
lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup
serius dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan
PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya. (Dr. Andri Soemitra, 2009)
Belakangan, wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup tajam.
Perubahan paradigma itu terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai
instrumen menyejahterakan masyarakat Muslim. Oleh karena itu, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan bisnis dan manajemen. Konteks ini kemudian dikenal
dengan wakaf produktif. Achmad Junaidi dan kawan-kawan menawarkan dua hal
yang berkaitan dengan wakaf produktif, pertama, asas paradigma baru wakaf yaitu
asas keabadian manfaat, asas pertanggungjawaban/responsbility, asas profesionalitas
manajemen, dan asas keadilan. Kedua, aspek paradigma baru wakaf, yaitu
pembaruan/reformasi pemahaman mengenai wakaf, sistem manajemen
kenazhiran/manajemen sumber daya insani, dan sistem rekrutmen wakif. (Dr. Andri
Soemitra, 2009)
C. Dasar Hukum
Secara umum tidak terdapat ayat Al-Qur'an yang menerangkan secara jelas. Oleh
karena wakaf termasuk infaq fi sabililah, maka dasar yang digunakan para ulama
dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat Al-
Qur'an yangmenjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut
antara lain QS. al-Baqarah (2): 267, QS. Ali-Imraan (3): 92, QS. al-Baqarah (2): 261.
(Dr. Andri Soemitra, 2009)
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang
menceritakan tentang kisah Umar bin Khathab ketika memperoleh tanah di Khaibar.
Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk
menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. (Dr. Andri Soemitra, 2009)
Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah, "Umar memperoleh tanah di Khaibar,
lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; "Wahai Rasulullah, saya telah
memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh
yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya
untuk melakukannya?" Sabda Rasulullah: "Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan
sedekahkan manfaat atau faedahnya." Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh
dijual, diberikan, atau dijadikan warisan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin,
untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan
Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara
yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan
kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan." (Dr. Andri Soemitra,
2009)
Selain dasar dari Al-Qur'an dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma)
menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada
orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf
telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat
Nabi dan kaum Muslimin sejak masa awal Islam hingga sekarang. (Dr. Andri
Soemitra, 2009)
Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh
masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu, pihak
pemerintah telah menetapkan undang-undang khusus yang mengatur tentang
perwakafan di Indonesia, yaitu undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf. Untuk melengkapi undang-undang tersebut, pemerintah juga telah
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. (Dr. Andri Soemitra, 2009)
Al-Kabisi, & Abdullah, M. A. (2004). Hukum Wakaf. In Terjemahan, Ahkam Al-waaf fi al-
Syari’ah al islamiyah. Kerja Sama Dompet Dhuafa Republika dan Ilham Press.
Arif, M. N. R. Al. (2012). Lembaga keuangan syariah (M. A. M. Dr. Anwar.Abbas (ed.)). CV
PUSTAKA SETIA.
Kasdi, A. (2016). Filantropi Islam Untuk Pemberdayaan Ekonomi Umat (Model Pemberdayaan
ZISWAF di BMT Se-Kabupaten Demak). IQTISHADIA Jurnal Kajian Ekonomi Dan Bisnis
Islam, 9(2), 227. https://doi.org/10.21043/iqtishadia.v9i2.1729
Murti, A. (2017). Peran Lembaga Filantropi Islam Dalam Proses Distribusi ZISWAF (Zakat,
Infak, Sodaqoh, dan Wakaf) Sebagai Pemberdayaan Ekonomi Umat. LABATILA: Jurnal
Ilmu Ekonomi Islam, 1, 89–97.