Anda di halaman 1dari 10

PERWAKAFAN DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM

DAN HUKUM POSITIF


Kelompok 8
Nur Halizah (220102040249)
Siti Kamariah (220102040163)
Muhammad Zainul (220102040155)

I. PENDAHULUAN
Wakaf adalah menahan suatu benda yang mungkin diambil manfaatnya
(hasilnya) sedang bendanya tidak terganggu. Dengan wakaf itu hak penggunaan oleh
si wakif dan orang lain menjadi terputus. Hasil benda tersebut digunakan untuk
kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.. Atas dasar itu, benda
tersebut lepas dari pemilikan si wakif dan menjadi hak Allah Swt.. Kewenangan
wakif atas harta itu hilang, bahkan ia wajib menyedekahkannya sesuai
dengan tujuan wakaf.1
Sementara hukum nasional atau hukum positif tentang wakaf disuatu negara
merupakan aturan-aturan yang diterapkan untuk pengelolaan dan pengembangan
wakaf tersebut secara berkesinambungan agar tercapai tujuan untuk pemberdayaan
ekonomi umat sehingga terwujud masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.2
Wakaf sebagai sebuah pranata yang berasal dari hukum Islam memegang
peranan penting dalam kehidupan keagamaan dan sosial umat Islam. Oleh karena itu,
Pemerintah berupaya untuk mempositifkan hukum Islam sebagai bagian dari hukum
nasional.3

II. PEMBAHASAN
A. Perwakafan dalam Perspektif Hukum Islam
1
Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Darul Ulun Press, 1999), h. 23 & 25.
2
Zaldi, Dhiauddin Tanjung, “Wakaf dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”, Jurnal
Rayah Al-Islam, Vol.7, No. 1 (April 2023), h. 449.
3
Cipto Genandi Gonibala, “Wakaf atas Tanah Menurut Hukum Islam”, Jurnal Lex Privatum, Vol. 3
No. 4 (Oktober, 2015), h. 120.

1
1. Pengertian Wakaf
Pranata wakaf adalah suatu pranata yang berasal dari Hukum Islam,
oleh karena itu apabila membicarakan tentang masalah perwakafan pada
umumnya dan perwakafan tanah pada khususnya, tidak mungkin untuk
melepaskan diri dari pembicaraan tentang konsepsi wakaf menurut Hukum
Islam. Akan tetapi, dalam Hukum Islam tidak ada konsep yang tunggal
tentang wakaf ini, karena banyak pendapat yang sangat beragam4
Dalam perspektif hukum Islam, khususnya menurut pandangan Imam
Mazhab mengenai Perkembangan harta wakaf ada perbedaan. Imam Malik
dan Imam Syafi'i yang menekankan pentingnya keabadian benda wakaf,
bahwa harta benda yang telah diwakafkan, khususnya benda tak bergerak
seperti harta, tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau fungsi.
Pendapat kedua Imam nampaknya kurang fleksibel tersebut hingga kini
sangat mempengaruhi pandangan mayoritas masyarakat Islam Indonesia.
Akibatnya, banyak benda wakaf yang hanya dijaga eksistensinya, meskipun
telah rusak dimakan usia atau karena tidak strategis dan tidak memberi
manfaat apa apa kepada masyarakat. Akan tetapi, menurut Imam Abu
Hanifah dan Ahmad bin Hambal, boleh menukar atau menjual harta benda
wakaf yang sudah tidak memiliki manfaat. Pendapat kedua Imam tersebut
cukup fleksibel sehingga memberikan peluang terhadap pemahaman baru
bahwa wakaf itu seharusnya lebih tepat disandarkan pada aspek
kemanfaatannya (maslahah mursalah) untuk kebajikan umum.5

2. Sejarah Penentuan Istilah Wakaf dan Perintah mengenai Wakaf

4
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), h.15.
5
Nur Afifuddin, Sutrisno Lilik Rosidah, Edy Sutrisno, Sejarah Perkembangan Wakaf dalam
Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia (Sukabumi: CV Jejak,
2021), h. 104.

2
Penentuan kapan istilah wakaf untuk pertama sekali terdapat
perbedaan para ulama yang disebabkan tidak ditemukan sumbernya dari
kitab-kitab fikih yang secara khusus menyebutkannya. Mereka sepakat
bahwa Wakaf belum dikenal dan belum diketahui sejak zaman sebelum
kelahiran Nabi Muhammad walaupun dalam praktek sehari-hari konsep
wakaf sudah dilaksanakan sejak lama seperti pada zaman pemerintahan
Ramses II di Mesir dimana pengelolaan tanah kerajaan dan tanah milik
orang kaya diserahkan hasilnya untuk kepentingan para tokoh agama pada
masa itu.
Imam Syafii berpendapat bahwa tidak ada petunjuk bahwa pada zaman
Jahiliyah masyarakatnya mereka pernah melakukan hal tersebut dengan
alasan tidak ada bukti mereka pernah menghibahkan rumah atau tanahnya
untuk kepentingan masyarakat. Karena itu beliau berpendapat bahwa wakaf
hanya dimiliki oleh umat Islam.6
Pendapat serupa datang dari Imam An-Nawawi yang menyatakan
bahwa wakaf belum diketahui, terutama untuk umat Islam dimana pada masa
sebelum datangnya Islam. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa istilah wakaf
muncul setelah lahir dan berkembangnya Islam. Kemudian menjadi lebih
populer setelah Nabi Muhammad SAW mempraktekkannya secara langsung.
Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Umar bin
Khattab memiliki tanah di kota Khaibar dan kemudian bertanya kepada
Rasulullah, "Apa yang Anda katakan kepada saya wahai Rasulullah, tentang
tanah yang saya miliki ini? " “Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Jika
kamu mau, peliharalah bumi (asalnya) dan bersedekahlah dari
keuntungannya!”. Maka di bawah bimbingan Rasulullah, Umar mewakafkan
hartanya dengan syarat tidak menjual tanahnya, tidak memberikan kepada

6
Zaldi, Dhiauddin Tanjung, “Wakaf dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”, Jurnal
Rayah Al-Islam, Vol.7 No 1 (April, 2023), h. 450.

3
orang lain, dan tidak menjadi warisan. (Hadis Bukhari Muslim). Berdasarkan
hadits ini para ulama sepakat bahwa syariat wakaf dimulai pada saat ini.7
Adapun ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan perintah
pelaksanaan wakaf, yang dijadikan dasar hukum wakaf, yaitu sebagai
berikut:
a. Surat Al-Baqarah ayat (267):
Hai orang-orang yang beriman, nafkahlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu.
b. Surat Ali 'Imran ayat (92):
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.8
3. Klasifikasi Wakaf
Klasifikasi lain, wakaf dapat dibedakan atas wakaf ahli (wakaf
keluarga atau wakaf khusus) dan wakaf khairi (wakaf umum).
Wakaf ahli adalah wakaf yang tujuan peruntukannya ditujukan kepada
orang-orang tertentu saja atau di lingkungan keluarganya. Misalnya
seseorang mewakafkan buku-bukunya kepada anak-anaknya dan diteruskan
ke cucu-cucunya saja yang dapat menggunakannya. Namun di sini akan
timbul permasalahan, andaikata anak atau keturunannya tersebut tidak ada
lagi lalu bagaimanakaha kedudukan daripada harta wakaf tersebut.
Wakaf khairi atau wakaf umum adalah wakaf yang tujuan
peruntukannya sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum (orang
banyak). Wakaf khairi inilah yang sejalan benar dengan jiwa a amalan wakaf
yang amat digembirakan dalam ajaran Islam itu, yang dinyatakan bahwa

7
Zaldi, Dhiauddin Tanjung, “Wakaf dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”, Jurnal
Rayah Al-Islam, Vol.7 No 1 (April, 2023), h. 450.
8
Esa Putra Yambo, Perwakafan dalam Perspektif Sistem Hukum Islam”, Jurnal Lex Privatum Vol. 6
No. 10 (Desember, 2018), h. 99.

4
pahalanya akan terus. mengalir, sampaipun bila wakif telah meninggal,
apalagi harta wakaf masih tetap dapat diambil manfaatnya. Wakaf khairi
inilah yang benar henar dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat secara luas
dan dapat merupakan salah satu sarana untuk menyelenggarakan
kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang sosial ekonomi, pendidikan,
kebu dayaan maupun keagamaan.
Diperbolehkan wakaf untuk umum, karena Umar ra., telah
mewakafkan seratus anak panah di Khaibar, sedang anak panah itu tidak
dibagi-bagi. Hal ini diriwayatkan di dalam kitab Al-Bahr dari Al-Hadi, Al-
Qasim, An-Nashir, Asy-Syafi'i, Abu Yusuf, dan Malika Sebagian ulama
berpendapat tidak sahnya wakaf umum, karena din antara syarat wakaf itu
adalah tertentu seperti pendapat Muhammad Ibnul Hasan.9

B. Perwakafan dalam Perspektif Hukum Positif


1. Pengertian Wakaf
Pengertian wakaf menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam
Dalam rumusan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dimana disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya
guna kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. (Pasal
215 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)).10
b. Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977
Wakaf adalah perbuatan hukum seorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah

9
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 58-59.
10
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 215 Ayat 1.

5
milik dan kelembagaannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan
atau keperluan umat lainnya sesuai ajaran Islam.11
c. Undang-undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
Di dalam Pasal 1 ayat 1 Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf, bahwa yang dimaksud dengan wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian dari harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.12
2. Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Tentang Wakaf UUD RI No. 41
Tahun 2004
Tuiuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain
memajukan kesejahteraan umum. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut,
perlu diusahakan menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat
dalam. lembaga keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis.
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum,
dipandang perlu meningkatkan peran wakaf sebagai lembaga keagamaan
yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial,
melainkan juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi antara lain
untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan
pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.

11
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Wakaf.
12
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.

6
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum
sepenuh nya berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta
wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, telantar atau beralih ke
tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian
disebabkan tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nazhir dalam
mengelola dan mengembangkan benda wakaf, melainkan juga sikap
masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status benda wakaf
yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan
tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Berdasarkan pertimbangan diatas dan untuk memenuhi kebutuhan
hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional perlu dibentuk Undang-
Undang tentang Wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan
berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan dicantumkan
kembali dalam undang-undang ini, namun terdapat pula berbagai pokok
pengaturan yang baru antara lain sebagai berikut:13
a) Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna
melindungi harta benda wakaf, Undang-undang ini menegaskan
bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam
akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan
harus dilaksanakan. Undang-undang ini tidak memisahkan antara
wakaf-ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf
terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf-khairi yang
dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat umum sesuai dengan
tujuan dan fungsi wakaf.

13
Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

7
b) Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum
cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah
dan bangunan, menurut undang-undang ini Wakif dapat pula
mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta benda wakaf
bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam
mulia, Surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak
sewa, dan benda bergerak lainnya. Dalam hal benda bergerak berupa
uang, Wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syariah.
Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa uang melalui
Lembaga Keuangan Syariah dimaksudkan agar memudahkan Wakif
untuk mewakafkan uang miliknya.
c) Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan
sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan
kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat
ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan
harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam
arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip
manajemen dan ekonomi syariah
d) Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak
ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan
kemampuan profesional Nazhir.
e) Undang-undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakif
Indonesia yang dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai
dengan kebutuhan. Badan tersebut merupakan lembaga independen
yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan
pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf, dan memberikan saran dan

8
pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di
bidang perwakafan.

III. KESIMPULAN
Dalam pembahasan makalah, dapat disimpulkan bahwa perwakafan dalam
perspektif hukum Islam melibatkan konsep wakaf yang bervariasi menurut
pandangan Imam Mazhab. Perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Syafi'i
yang menekankan keabadian benda wakaf dengan Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin
Hambal yang lebih fleksibel, memberikan ruang bagi pemahaman baru bahwa wakaf
seharusnya lebih terfokus pada aspek kemanfaatannya untuk kebajikan umum.
Sejarah penentuan istilah wakaf dan perintah mengenai wakaf dapat ditelusuri dari
zaman Jahiliyah hingga hadits yang merinci praktik wakaf oleh Umar bin Khattab,
menandai dimulainya syariat wakaf.
Sementara itu, dalam perspektif hukum positif di Indonesia, pengertian wakaf
disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan, seperti Kompilasi Hukum Islam,
Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977, Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun
2004, dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. Undang-undang ini
menekankan pentingnya pencatatan, perlindungan, dan pemanfaatan harta benda
wakaf sesuai prinsip syariah. Upaya untuk meningkatkan peran wakaf dalam
meningkatkan kesejahteraan umum termasuk pembentukan Badan Wakif Indonesia
sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab atas pengelolaan harta benda
wakaf secara nasional dan internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1994. Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf
di Negara Kita. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Afififuddin, Nur, Sutrisno Lilik Rosidah dan Edy Sutrisno. 2021. Sejarah
Perkembangan Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia. Sukabumi: CV Jejak.

9
Gonibala, Cipto Genandi. 2015. "Wakaf atas Tanah menurut Hukum Islam." Jurnal
Lex Privatum 3 (4).
Usman, Rachmadi. 2013. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Usman, Suparman. 1999. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Darul Ulun
Press.
Yambo, Esa Putra. 2018. "Perwakafan dalam Perspektif Sistem Hukum Islam."
Jurnal Lex Privatum 6 (10).
Zaldi, Dhiauddin Tanjung. 2023. "Wakaf dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum
Islam." Rayah Al-Islam 7 (1).
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Wakaf.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

10

Anda mungkin juga menyukai