Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

WAKAF TUNAI

Makalah ini
Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah lembaga keuangan syariah

DOSEN PENGAMPU:
ERMAWATI S.E M.E

Diusun Oleh

LALU WAHYU HARIADI

NIM.2230206010

Program Studi Perbankan Syari’ah


Institut Studi islam Sunan Doe
Tahun Ajaran 2024/2025

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “WAKAF TUNAI”Pada makalah ini saya banyak mengambil dari
berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh
sebab itu, dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih sebesar-
sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.

Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari


sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.

Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak yang membaca

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbincangan tentang wakaf uang mulai mengemuka dalam beberapa

tahun terakhir. Hal ini terjadi seiring berkembangnya sistem perekonomian

dan pembangunan yang memunculkan inovasi-inovasi baru. Wakaf uang

sebagai instrumen finansial (financial instrument), keuangan sosial dan

perbankan sosial (social finance and voluntary sector banking) dipelopori oleh

Prof. M.A. Mannan (2002), pakar ekonomi asal Bangladesh. Wakaf uang yang

digagas oleh Mannan merupakan suatu produk baru dalam sejarah

perekonomian Islam.

Wakaf adalah instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan

fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan

(ukhuwah). Ciri utama wakaf yang sangat membedakan adalah ketika wakaf

ditunaikan terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah

SWT yang diharapkan abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan.

Melalui wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi

masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju

manfaat masyarakat (social benefit).

Mayoritas umat Islam Indonesia mempersepsikan, bahwa wakaf

keagamaan lebih penting daripada wakaf untuk tujuan pemberdayaan sosial.

Sehingga mereka lebih banyak mempraktikkan wakaf keagamaan. Seperti

masjid, musalla, makam dan sebagainya. Sementara untuk tujuan

pemberdayaan, seperti wakaf pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat belum dipandang penting.

Padahal sejarah telah membuktikan sejak masa Rasulullah, dinasti-

dinasti Islam, dan sampai sekarang di beberapa negara Muslim, pengelolaan


wakaf yang efektif dan efisien mampu membiayai Negara dan membangun

peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan. Potensi wakaf yang begitu besar,

tidak sepantasnya dibiarkan mubazir, paradigma wakaf produktif harus

dibangun. Wakaf uang, dalam bentuknya, dipandang sebagai salah satu solusi

yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Karena uang di sini tidak

lagi dijadikan sebagai alat tukar menukar saja, lebih dari itu; ia merupakan

komoditas yang siap memproduksi dalam hal pengembangan yang lain. Sebab

itu, sama dengan jenis komoditas yang lain, wakaf uang juga dipandang dapat

memunculkan sesuatu hasil yang lebih banyak.

Di Indonesia harta wakaf juga lebih banyak yang tidak menghasilkan

(77 persen) daripada yang menghasilkan atau produktif (23 persen).

Pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79 persen) daripada

peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di pedesaan (59 persen)

daripada perkotaan (41 persen). Selain itu, diketahui bahwa jumlah nadzir

yang bekerja secara penuh itu minim (16 persen). Umumnya mereka bekerja

sambilan dan tidak diberi upah (92 persen).1

Belakangan umat Islam di Indonesia menyadari perlunya hijrah

menuju era wakaf produktif sebagaimana yang telah sukses dilakukan negara-

negara muslim seperti Mesir, Bangladesh, Qatar, dan lain-lain. Meskipun

mungkin akan sangat sulit merubah paradigma wakaf yang terlanjur

berkembang di masyarakat Indonesia selama ini menjadi paradigma wakaf

produktif. Pada tahun 2002 MUI telah memfatwakan kebolehan wakaf uang,

selanjutnya pada tahun 2008 Badan Wakaf Indonesia (BWI) menunjuk lima

1
Bank Syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang

(LKS-PWU).

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dasar hukum wakaf tunai di Indonesia?

2. Bagaimana potensi wakaf tunai di Indonesia?

3. Bagaimana sistem pengelolaan wakaf tunai di Indonesia?

4. Bagaimana pemanfaatan hasil wakaf tunai di Indonesia?

BAB II

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN WAKAF

A. Konsep Dasar Wakaf

Definisi wakaf menurut PP No. 28 Tahun 1997, adalah perbuatan

hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta

kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-

lamanya untuk kepentingan peribadadat atau keperluan lain sesuai dengan

ajaran Islam.2

Dalam buku III Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa

wakaf adalah perbuatan hukum seseorang, kelompok orang, atau badan


2
hukum dengan memisahkan sebagian harta benda miliknya dan

melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau

keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.3

Rukun wakaf adalah orang yang berwakaf (wakif), orang yang

menerima wakaf (mauquf lahu), barang yang diwakafkan (mauquf), dan

lafaz/sighat wakaf.

Dalam fiqh klasik, wakaf biasanya diharuskan mengandung tiga

syarat:

a. Barang yang diwakafkan itu berupa barang tetap yang dapat diambil

manfaatnya, sehingga tidak seperti mewakafkan makanan yang akan habis

setelah dimakan;

b. Yang diberi wakaf sudah jelas, bukan yang aka nada, sehingga tidak

mungkin memberikan wakaf kepada orang yang belum lahir, sudah

meninggal, mesjid yang belum ada, dan semacamnya;

c. Barang yang diwakafkan bukan barang haram, tidak dibenarkan

mewakafkan tempat perjudian atau tempat lokalisasi pelacuran, atau

semacamnya.

B. Dasar Hukum dan Sejarah Perkembangan Wakaf

Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep

wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi> sabi>lillah, maka

dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini

didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang

infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:


3
.
“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari

hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan

dari bumi untuk kamu” (Q.S. al-Baqarah: 267).

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum

kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai” (Q.S. Ali Imran: 92).

Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah:

Hadits dari Abdullah ibn ‘Umar: “‘Umar memperoleh tanah di

K}aibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah,

saya telah memperoleh tanah di K}aibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah

saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda

perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau

kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya. ” Lalu

‘Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan

wariskan. ‘Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk

memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang

musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang

sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan

kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan” (HR. Bukhari dan

Muslim).

Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh

imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang

manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali

dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa

diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya” (HR. Muslim)


Dalam sejarah Islam wakaf telah dikenal sejak masa Rasulullah SAW,

wakaf disyariatkan setelah hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah.

Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti

Abbasiyah di mana wakaf juga menjadi modal untuk membangun dan

membiayai lembaga pendidikan, serta dikelola secara melembaga dibawah

Departemen Kehakiman. Selanjutnya wakaf mengalami perkembangan pesat

pada masa dinasti Mamluk dan Turki Uthmani karena pada masa itu dibuat

undang-undang pengelolaan wakaf. Sampai saat ini wakaf masih dilakukan di

negara-negara muslim, termasuk Indonesia, dan senantiasa berkembang

menuju ke arah produktif dengan berbagai inovasi seperti wakaf tunai, wakaf

HaKI, dan lainnya. 4

C. Tujuan Wakaf Tunai dan Kontribusinya di Berbagai Negara Muslim

Umumnya kita mengenal wakaf berupa properti seperti tanah dan

bangunan, namun demikian dewasa ini telah disepakati secara luas oleh para

ulama bahawa salah satu bentuk wakaf dapat berupa uang tunai. Secara umum

definisi wakaf tunai adalah penyerahan asset wakaf berupa uang tunai yang

tidak dapat dipindahtangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum

yang tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya (substansi

esensial wakaf).

Sertifikat wakaf tunai merupakan semacam dana abadi yang diberikan

oleh individu maupun lembaga muslim yang mana keuntungan dari

pengelolaan dana tersebut akan digunakan untuk pengentasan kemiskinan dan


4
peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Secara teknis, sertifikat wakaf

tunai ini dapat dikelola oleh suatu badan investasi sosial tersendiri seperti

halnya Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh atau dapat juga

menjadi salah satu produk dari institusi/perbankan syariah yang ada.

Untuk lebih jelasnya tujuan sertifikat wakaf tunai adalah sebagai

berikut:

1. Membantu dalam pemberdayaan tabungan sosial.

2. Melengkapi jasa perbankan sebagai fasilitator yang menciptakan Wakaf

Tunai serta membantu pengelolaan wakaf yang mentransformasi tabungan

sosial menjadi modal sosial.

3. Keuntungan pengelolaannya untuk masyarakat miskin.

4. Menciptakan kesadaran di kalangan orang-orang kaya mengenai tanggung

jawab sosial mereka terhadap masyarakat miskin.

5. Untuk membantu mengembangkan sumber modal sosial.

6. Untuk membantu pengembangan negara secara umum dan untuk

menciptakan integrasi yang unik antara keamanan sosial dan kedamaian

sosial.

Masyarakat Muslim dianjurkan menunaikan wakaf menggunakan dinar

dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, serta pendidikan umat

Islam. Caranya, menjadikan uang itu sebagai modal usaha kemudian

menyalurkan keuntungannya untuk wakaf.

Di luar negeri, wakaf tunai sudah lama dipraktikkan. Misalnya di

Mesir, Universitas Al Azhar menjalankan aktivitasnya dengan menggunakan

dana wakaf. Universitas tersebut mengelola gudang atau perusahaan di


Terusan Suez. Universitas Al Azhar selaku naz}ir atau pengelola wakaf hanya

mengambil hasilnya untuk keperluan pendidikan. Bahkan kemudian

pemerintah Mesir meminjam dana wakaf Al Azhar untuk operasionalnya. Di

Qatar dan Kuwait, dana wakaf tunai sudah berbentuk bangunan perkantoran.

Areal tersebut disewakan dan hasilnya digunakan untuk kegiatan umat Islam.

Bisa dibayangkan bagaimana lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam

Al-Azhar University di Kairo, Universitas Zaituniyyah di Tunis, serta Madaris

Imam Lisesi di Turki begitu besar dan mampu bertahan hingga kini meski

mereka tak berorientasi pada keuntungan. Mereka tak hanya mengandalkan

dana pengembangan dari pemerintah, melainkan pada wakaf tunai sebagai

sumber pembiayaan segala aktivitas baik administratif maupun akademis.5

Eksperimen manajemen wakaf di Sudan dimulai pada tahun 1987

dengan kembali mengatur manajemen wakaf dengan nama badan wakaf Islam

untuk bekerja tanpa ada keterikatakn secara biroktratis dengan kementrian

wakaf. Badan wakaf ini telah diberi wewenang yang luas dalam memanaj dan

melaksanakan semua tugas yang berhubungan dengan wakaf yang tidak

diketahui akte dan syarat-syarat wakifnya.6 Pembaharuan dilakukan pada

sistem pengaturan pada program penggalakan wakaf dan sistem pengaturan

pada manajemen dan investasi harta wakaf yang ada.

5
.
6
.
A. Dasar Hukum Wakaf Tunai di Indonesia

Sejarah mencatat bahwa wakaf tunai (cash wakaf) telah dijalankan

sejak awal abad kedua hijriah. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf tunai sudah

dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah, dan berkembang dengan baik pada

zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari

bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan

peletak dasar tadwin al-hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan

Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan,

dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah

dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif)

kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf 7. Kebolehan wakaf

tunai juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian

ulama Mazhab Shafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang

disebut Al-Mawardy, ”Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi ’iy tentang

kebolehan wakaf dinar dan dirham”. 8

Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam

melegitimasi wakaf tunai. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya

wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak

dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut

sebagai berikut :

8
1. Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang,

atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.

2. Termasuk dalam uang adalah surat-surat berharga.

3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).

4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang

dibolehkan syar’i.

5. Nilai pokok uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual,

dihibahkan, dan atau diwariskan.9

Keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Wakaf Uang

tertanggal 28 S}afar 1423 H/11 Mei 2002 M. Fatwa MUI tersebut merupakan

upaya MUI dalam memberikan pengertian dan pemahaman kepada umat Islam

bahwa wakaf uang dapat menjadi alternatif untuk berwakaf. Beberapa alasan

yang dijadikan dasar keluarnya fatwa tersebut adalah bahwa wakaf uang

memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki

oleh benda lain, sehingga Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang

perlu menetapkan fatwa tentang hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman

oleh masyarakat.

Demikian landasan dibolehkannya wakaf uang sebelum di atur dalam

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Dengan

diundangkannya UU No 41 Tahun 2004, kedudukan wakaf uang semakin

jelas, tidak saja dari segi fikih (hukum Islam), tetapi juga dari segi tata hukum

nasional. Artinya, dengan diundangkannya UU tersebut maka wakaf tunai

9
.
telah menjadi hukum positif, sehingga persoalan k}ilafiyah tentang wakaf

tunai telah selesai.10

B. Potensi Wakaf Tunai di Indonesia

Kegiatan wakaf bagi sebagian besar kalangan Muslim di tanah air,

masih terfokus pada tanah dan bangunan. Padahal secara filosofis harta wakaf

tak semestinya didiamkan dan tidak memberikan hasil bermanfaat. Di atas

pijakan filosofis ini, wakaf seharusnya menumbuhkan dampak kesejahteraan

bagi mereka yang berhak menerimanya tanpa mengenal batas pula. Dana

wakaf juga dapat menopang kesulitan keuangan di lembaga-lembaga

pendidikan Islam. Pada akhirnya, membuat umat Islam mampu

mengembangkan pendidikan yang mandiri.

Pondok Pesantren Gontor di Jawa Timur merupakan salah satu contoh

lembaga yang dibiayai dari wakaf. Sedangkan yang tidak kalah monumental

adalah Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa Republika.

Lembaga otonom Dompet Dhuafa Republika ini memberikan fasilitas

permanen untuk kaum dhuafa di gedung berlantai empat, lengkap dengan

operasional medis 24 jam dan mobile-service. LKC adalah obyek wakaf tunai

yang efektif, memberi cercah harapan semangat hidup sehat kaum dhuafa.11

Dengan adanya lembaga layanan kesehatan ini, golongan masyarakat

yang dhuafa bisa memperoleh haknya tanpa perlu dibebankan oleh biaya-

biaya seperti halnya rumah–rumah sakit konvensional. Direktur

Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama RI Tulus menyatakan

10

11
bahwa wakaf tunai produktif memang hendak dipopulerkan di Indonesia

seiring perkembangan zaman.

Jumlah umat Islam yang terbesar di seluruh dunia merupakan aset

besar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Jika wakaf tunai

dapat diimplementasikan maka ada dana potensial yang sangat besar yang bisa

dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Jika 20 juta umat

Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap

bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika

50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf

sebesar Rp 60 triliun. Jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang

mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, per bulan maka akan diperoleh

pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 miliar setiap bulan (Rp 1,2 triliun

per tahun). Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka

akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp

120 miliar per tahun). Sungguh suatu potensi yang luar biasa.12

Sedemikian besarnya potensi yang dikandung, maka pengelolaan

secara tekun, amanah, profesional dan penuh komitmen tentu akan mampu

melepaskan ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri. Dengan

pengelolaan wakaf tunai, Indonesia tidak perlu lagi berutang kepada lembaga-

lembaga kreditor multilateral sebagai salah satu sumber pembiayaan

pembangunannya, karena dana wakaf tunai sendiri telah mampu melengkapi

penerimaan negara di samping pajak, zakat dan pendapatan lainnya. Sebagai

negara yang berpenduduk mayoritas muslim, eksistensi instrumen syariah ini

12
.
akan sangat acceptable sehingga wakaf tunai diperkirakan akan memberikan

kontribusi besar bagi percepatan pembangunan di Indonesia.13

C. Sistem Pengelolaan Wakaf Tunai di Indonesia

Pengelolaan dana wakaf merupakan pengelolaan dana publik. Untuk

itulah, agar wakaf tunai dapat memberikan manfaat nyata yang seluas-luasnya,

maka diperlukan system pengelolaan (manajemen) yang berstandar

professional. Manajemen wakaf tunai melibatkan tiga pihak utama yaitu:

1. Pemberi wakaf (wa>kif)

2. Pengelola wakaf (naz}ir), sekaligus bertindak sebagai manajer investasi,

3. Beneficiary (mauquf ‘alaihi).

Wakif akan memberikan wakaf kepada pengelola dan benefitnya akan

didistribusikan kepada mauquf ‘alaihi.

Untuk konteks Indonesia, lembaga wakaf yang secara khusus

mengelola dana wakaf tunai dan beroperasi secara nasional itu berupa Badan

Wakaf Indonesia (BWI). Tugasnya adalah mengkoordinir naz}ir-naz}ir yang

sudah ada dan atau mengelola secara mandiri terhadap harta wakaf yang

dipercayakan kepadanya, khususnya wakaf tunai. Hasilnya kemudian

dipergunakan secara optimal untuk keperluan sosial, seperti meningkatkan

pendidikan Islam, pengembangan rumah sakit Islam, bantuan pemberdayaan

ekonomi umat dan atau pengembangan sarana prasarana ibadah.14

13

14
Dalam melakukan pengelolaan wakaf ini diperlukan sebuah institusi

yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Kemampuan akses kepada calon wakif

2. Kemampuan melakukan investasi dana wakaf

3. Kemampuan melakukan administrasi rekening beneficiary

4. Kemampuan melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf

5. Mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan harus dikontrol oleh

hukum/regulasi yang ketat.

Sejauh ini Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang tepat berdasarkan

kriteria di atas adalah Bank Syariah.15 LKS berperan sebagai mitra kerja BWI

dan para naz}ir. Dalam menggalang wakaf uang. Jika seseorang akan

mewakafkan sebagian uangnya dapat dilakukan melalui LKS yang ditunjuk

oleh Menteri berdasarkan pertimbangan BWI sebagai LKS Penerima Wakaf

Uang (LKS-PWU).16

Ada beberapa alternatif peran dan posisi perbankan syariah dalam

pengelolaan wakaf tunai yaitu:17

1. Bank Syariah sebgai naz}ir penerima, penyalur dan pengelola wakaf

Bank syariah mendapat kewenangan penuh untuk menjadi naz}ir, mulai

dari penerima, pengelola dan penyalur dana wakaf, sebagaimana yang

dilakukan SIBL di Banglades. Wakif yang menyetorkan dana wakaf ke

bank syariah akan menerima Sertifikat Wakaf Tunai (SWT), sehingga

tanggungjawab penggalangan dan pengelolaan dana wakaf serta

penyaluran hasil pengelolaan tersebut, sepenuhnya ada pada bank syariah.


15

16

17
2. Bank Syariah sebgai naz}ir penerima dan penyalur wakaf

Bank syariah hanya sebagai naz}ir penerima dan penyalur, sedangkan

fungsi pengelola dana akan dilakukan oleh lembaga lain misalnya BWI,

yang dengan sendirinya tanggungjawab pengelolaan dana, termasuk

hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada pada BWI ini. Jadi

kemampuan professional perbankan syariah dalam pengelolaan dana tidak

digunakan.

3. Bank Syariah sebagai pengelola (Fund Manager) dana wakaf

Dalam alternative ini, tanggungjawab pengelolaan dana serta hubungan

kerjasamadengan lembaga penjamin berada pada lembaga perbankan

syariah.

4. Bank Syariah sebagai kustodi

Kustodian adalah kegiatan penitipan harta untuk kepentingan pihak lain

berdasarkan suatu kontrak; dalam melakukan penitipan, baik menerima

titipan harta penitip dengan mengadministrasikannya secara terpisah dari

kekayaan bank; mutasi dari barang titipan dilaksanakan oleh bank atas

perintah penitip. Wakif menyetorkan uangnya ke bank syariah atas nama

rekening BWI, dan akan mendapatkan SWT yang diterbitkan oleh BWI

dan dititipkan di bank syariah.

5. Bank Syariah sebagai kasir BWI

Peran bank syariah sangat terbatas, hampir sama dengan alternatif ke

empat, perbedaannya adalah bank syariah tidak mengadministrasikan

SWT yang diterbitkan oleh BWI.


Meskipun bolehnya (jawaz) wakaf uang telah difatwakan sejak tahun

2002, BWI belum bisa memulainya. Pasalnya, harus menunggu keputusan

Menteri Agama mengenai nama-nama Lembaga Keuangan Syariah (LKS)

sebagai penerima wakaf uang yang baru terlaksana pada 9 September 2008.

Menteri Agama Maftuh Basyuni memutuskan lima nama LKS Penerima

Wakaf Uang (PWU), yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri,

BNI Syariah, Bank DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah.18

LKS Penerima Wakaf Uang bertugas:

1. mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima

Wakaf Uang;

2. menyediakan blangko Sertifikat Wakaf Uang;

3. menerima secara tunai wakaf uang dari Wakif atas nama Naz}ir;

4. menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama

Naz}ir yang ditunjuk Wakif;

5. menerima pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan secara tertulis

dalam formulir pernyataan kehendak Wakif;

6. menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan sertifikat tersebut

kepada Wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada Naz}ir yang

ditunjuk oleh Wakif; dan

7. mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama Naz}ir.19

Sedangkan Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) sekurang-kurangnya

memuat keterangan mengenai:

1. nama LKS Penerima Wakaf Uang;

18

19
2. nama Wakif;

3. alamat Wakif;

4. jumlah wakaf uang;

5. peruntukan wakaf;

6. jangka waktu wakaf;

7. nama Naz}ir yang dipilih; dan

8. tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat Wakaf Uang.20

Alur penyetoran wakaf uang secara konkrit adalah sebagai berikut:

1. Wa>kif datang ke LKS-PWU

2. Mengisi akta Ikrar Wakaf (AIW) dan melampirkan fotokopi kartu identitas

diri yang berlaku

3. Wa>kif menyetor nominal wakaf dan secara otomatis dana masuk ke

rekening BWI

4. Wa>kif mengucapkan Shighah wakaf dan menandatangani AIW bersama

dengan:

- 2 orang saksi

- 1 pejabat bank sebagai Pejabat Pembuat AIW (PPAIW)

5. LKS-PWU mencetak Sertifikat Wakaf Uang (SWU)

6. LKS-PWU memberikan AIW dan SWU ke wa>kif.21

Sebagai sebuah konsep yang masih baru, pengelolaan wakaf tunai

harus betul-betul safety (aman) karena terkait dengan keabadian benda wakaf

yang tidak boleh berkurang apalagi hilang karena lost dalam usahanya, maka

20

21
diperlukan Lembaga Penjamin Syariah (LPS). Oleh karena itu, usaha

pemberdayaan wakaf tunai akan dipayungi oleh asuransi syariah sebagai

Lembaga Penjamin Syariah (LPS), dalam kontrak tolong-menolong (takafuli),

inilah yang disebut dengan akad tabarru’.

Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan dana kebajikan

dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang lain

sesame peserta asuransi Syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah

(lost). Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khusus,

dimana bila terjadi resiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening

dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan

tolong-menolong. MAksudnya adalah hibah yang dialokasikan bila terjadi

musibah (lost).

Dalam konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak mengenal dana

hangus. Peserta yang baru masuk selakipun karena satu dan lain hal ingin

mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya yang sudah

dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah

diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil. Jika habis masa

kontrak dan habis masa klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan

sebagian dari premi tersebut dengan pola bagi hasil. Dengan demikian,

pengelolaan dana wakaf tunai dapat dijaga eksistensinya jika terjadi lost. 22

D. Pemanfaatan Hasil Pengelolaan Wakaf Tunai di Indonesia

Dana-dana segar yang didapatkan dari hasil pemberdayaan wakaf tunai

tersebut tidak hanya untuk kepentingan yang selalu terkait dengan ibadah
22
secara sempit seperti bangunan masjid, mushalla, makanan, pondok pesantren,

dan lain-lain, tapi juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sosial yang lebih

luas dan menyeluruh. Jika selama ini aspek kesejahteraan masyarakat kurang

atau bahkan tidak tertangani secara memadai oleh pemerintah, dana-dana yang

dihasilkan dari pengelolaan wakaf tunia dapat membantu meringankan tugas-

tugas negara, minimal untuk kalangan umat Islam sendiri yang menduduki

jumlah mayoritas namun masih jauh dari sejahtera.

Aspek kesejahteraan masyarakat itu sendiri memiliki variable yang

sangat luas, meliputi pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial dan

pengembangan ekonomi melalui pemberdayaan usaha kecil dan menengah.23

Pengembangan wakaf tunai memiliki nilai ekonomi yang strategis.

Dengan dikembangkannya wakaf tunai, maka akan didapat sejumlah

keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, wakaf uang

jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas

sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi

orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf

tunai akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah

wakaf. Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah

kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah

untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian

lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya kembang-kempis dan

menggaji civitas akademika ala kadarnya. Keempat, pada gilirannya, insya

Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia

pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara


23
yang memang semakin lama semakin terbatas. Kelima, dana wakaf tunai bisa

memberdayakan usaha kecil yang masih dominan di negeri ini (99,9 %

pengusaha di Indonesia adalah usaha kecil). Dana yang terkumpul dapat

disalurkan kepada para pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk

kepentingan sosial, dsb. Keenam, dana wakaf tunai dapat membantu

perkembangan bank-bank syariah, khususnya BPR Syariah.24

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:

1. Wakaf uang hukumnya boleh, dasar hukum wakaf di Indonesia adalah

Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf

Uang tanggal 11 Mei 2002. Selanjutnya juga di atur dalam Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Dengan diundangkannya

UU No 41 Tahun 2004, kedudukan wakaf uang semakin jelas, tidak saja

dari segi fikih (hukum Islam), tetapi juga dari segi tata hukum nasional.

2. Potensi wakaf uang di Indonesia sangat besar. Dilihat dari jumlah umat

Islam di Indonesia adalah terbesar di dunia merupakan aset besar untuk

penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Jika wakaf tunai dapat

diimplementasikan maka ada dana potensial yang sangat besar yang bisa

dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat.

3. Sistem pengelolaan wakaf tunai di Indonesia, polanya terkait dengan hal-

hal sebagai berikut: lembaga yang secara khusus mengelola dana wakaf

tunai dan beroperasi secara nasional adalah Badan Wakaf Indonesia; untuk

menjamin keabadian benda wakaf agar tidak berkurang apalagi hilang

(lost), maka dalam hal ini Asuransi Syari’ah diberikan peran sebagai

Lembaga Penjamin Syariah yang akan memayingi usaha pemberdayaan


wakaf tunai dengan kontrak tabarru’; jika dilihat dari Undang-Undang saat

ini maka peran bank syariah sebagai LKS PWU di optimalkan sebagai

penerima, pengelola dan penyalur wakaf tunai, jadi wa>kif menyetorkan

dananya ke Bank Syariah akan mendapatkan SWT yang langsung

diterbitkan oleh Bank Syariah, sehingga tanggungjawab penggalangan

serta penyaluran hasil pengelolaan dana tersebut sepenuhnya ada pada

Bank Syariah.

4. Dana-dana segar yang didapatkan dari hasil pemberdayaan wakaf tunai

dapat disalurkan untuk memenuhi aspek kesejahteraan masyarakat

meliputi pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial dan pengembangan

ekonomi melalui pemberdayaan usaha kecil dan menengah.

B. Saran

Sistem pengelolaan wakaf tunai yang telah dibuat ini sangat applicable

dan visible diterapkan di Indonesia dengan melibatkan infrastruktur yang

sudah ada sebelumnya. Tentunya akan membuahkan hasil maksimal

sebagaimana yang diharapkan apabila dalam tataran praktis pengelolaannya

dilakukan secara optimal pula.

Untuk itu, harus tetap dan terus dikedepankan tiga ciri utama

pemberdayaan wakaf produktif sebagaimana yang dikemukanan Syafi ’i

Antonio meliputi pola manajemen wakaf harus terintegrasi; memperhatikan

asas kesejahteraan naz}ir; asas transparansi dan tanggungjawab

(accountability).

DAFTAR PUSTAKA
Abid Abdullah al-Kabisi, Muhammad. Hukum Wakaf, terj oleh Ahrul Sani
Faturrahman, Jakarta: IIMaN Press, 2004.
Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, Beirut: Dar Ibn Hazm,
1997.
Al-Mawardy, Al-Hawi al-Kabir , Juz IX, Tahqiq, Mahmud Mukhraji, Beirut Dar
al-Fikri, 1994.
Azizy, Qodri. Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Badan Wakaf Indonesia (BWI), “Wakaf Uang”,
http://bw-indonesia.net/index.php?option=comcontent
=view&id=83&Itemid=84
Cholil Nafis, Muhammad. “Menghitung Potensi Wakaf Uang Indonesia ”,
http://malangraya.web.id/2009/05/04/menghitung-potensi-wakaf-uang/
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di
Indonesia, Jakarta, 2006.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di
Indonesia, Jakarta, 2007.
Djunaidi, Achmad dan Thobieb al-asyhar. Menuju Era Wakaf Produktif: Sebuah
Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Mitra Abadi Press,
2006.
Hasan, Sofyan. Pengantar hukum Zakat dan Wakaf, Surabaya: al-Ikhlas, 1995.
Hasan, Thalhah. Peran LKS di Era Wakaf Produktif,
http://www.pkesinteraktif.com /content/view/3277/36/lang,id/.
Kompilasi Hukum Islam (KHI), bab I, pasal 215, ayat (1).
Maryadi, Dadang “Wakaf Tunai”, Makalah, IAIN Raden Patah: Palembang, 2008.
Masyita Telaga, Dian. “A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of
the Alternative Instruments for the Poverty Alleviation in Indonesia”,
Research Paper (Boston: Massachussets Institute of Technology (MIT),
2005).
Mubarok, Jaih. Wakaf Produktif , Bandung: Simbiosa Rektama Media, 2008.
PMII KOMFAKSYAHUM, “Menggali Sumber Dana Umat Melalui Wakaf
Uang”, http://www.PMII KOMFAKSYAHUM online.com, 2007.
Qahaf, Muhammad. Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Khalifah, 2005.
Wahyudi, “Sejarah dan Perkembangan Wakaf”,
http://bw-indonesia.net/index.php? option=com_content&task=view&id

Anda mungkin juga menyukai