Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1. Jelaskan mengenai defenisi wakaf ?

2. Bagaimana sejarah wakaf pada masa Rasulullah SAW dan para

sahabat serta masa dinasti-dinasti islam ?

3. Jelaskan jenis – jenis wakaf ?

4. Bagaimana dasar – dasar syariah wakaf ?

5. Jelaskan akuntansi wakaf ?

1.3 Tujuan Pembelajaran

1. Menjelaskan definisi wakaf

2. Menjelaskan sejarah wakaf pada masa Rasulullah SAW dan para

sahabat serta masa dinasti-dinasti islam

3. Menjelaskan jenis – jenis wakaf

4. Menjelaskan dasar – dasar syariah wakaf

5. Menjelaskan akuntansi wakaf

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI WAKAF

Wakaf menurut bahasa,, waqafa berarti menahan atau mencegah,

misalnya “ saya menahan diri dari berjalan”. Dalam peristilahan syara’, wakaf

adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan

menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. yang

dimaksud dengan menahan (pemilikan) asal ialah menahan barang yang

diwakafkan itu agar tidakdiwariskan, digunakan dalam bentuk dijual,

dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan, dan sejenisnya.

Sedangkan cara pemanfaatannya adalah dengan menggunakannya sesuai

dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.

Ada beberapa pengertian mengenai wakaf diantarnya yaitu:

1. Menurut mazhab syafi’i dan hambali berpendapat bahwa wakaf adalah

menahan harta pewakaf untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang

kemashalatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut

sebagai taqarrub (Mendekatkan diri) Kepada Allah SWT.Pewakaf tidak

boleh melakukan apa pun terhadap harta yang diwakafkan dan tidak

dapat di wariskan. Pewakaf meenyalurkan manfaat harta yang di

wakafkan untuk kemaslahatan/kebaikan ummat sehingga bukan untuk

urusan yang haram. Menganggap wakaf itu sebagai sedekah yang

mengikat sehingga harta yang diwakafkan harus memberi manfaat baik

pada saat di serahkan juga di masa yang akan datang.Pewakaf tidak

dapat melarang penyaluran harta tersebut.Apabila pewakaf

2
melarangnya,maka hakim berhak memaksanya agar memberikannya

sesuai dengan peruntukan wakaf yang telah diikrarkan/dilafalkan. Kerana

itu Mzahab Syafi’I mendefinisikan wakaf dengan “tidak malakukan suatu

tindakan atas suatu benda yang bestatus sebagai milik Allah

SWT,dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu

kebijakan(sosial).

2. Menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi

hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu

berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya

kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara

tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.

3. Menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan

orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan

manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya.

Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam

pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan

bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk

dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang

dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah

itu sendiri

4. Menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari

harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi

manfaat tersebut walaupun sesaat.

5. Menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan

hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta

3
kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk

selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum

lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian

wakaf ialah mengalihkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan atau

organisasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat dengan tujuan untuk

mendapatkan kebaikan dan ridha Allah SWT. Wakaf juga dapat diartikan

pemindahan kepemilikan suatu barangyang dapat bertahan lama untuk

diambil manfaatnya bagi masyarakat dengantujuan ibadah dan mencari

ridha Allah SWT.

2.2 SEJARAH WAKAF

Masa Rasulullah dan Para Sahabat

Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam.Orang Muhajirin

mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Anshar

mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW”(Asy-Syaukani:129). Selanjutnya

Rasulullah SAW pernah mewakafkan tujuh kebun kurma di madinah;

diantaranya kebun A’raf,Shafiyah,Dalal,Barqah dan kebun lainnya pada

tahun ke-3 hijriah.Selanjutnya oleh para sahabat lainnya,seperti:Abu Thalhah

yang mewakafkan kebun kesanyangannya ,Bairaha,Abu Bakar yang

mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang di peruntukan kepada anak

keturunannyayang dating ke Mekkah.Utsman bin Affan menyedekahkan

hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanah nya yang

subur.Muadz bin jabal mewakafkan rumahnya,yang dikenal dengan dar al-

4
anshar.kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik,Abdullah

bin Umar,Zubir bin Awwam dan Aisyah istri Rasulullah SAW.

Masa Dinasti-DInasti Islam

Pada zaman dinasti umuyyah dan Abbasiyah ,pelaksanaan wakaf

menjadi lebih luas lagi,yaitu untuk membangun solidaritas umat dan ekonomi

masyarakat karena selain untuk membantu fakir miskin wakaf juga dilakukan

untuk membangun pendidikan baik fisik bangunan,para pengajar maupun

beasiswa bagi pelajar dan perpustakaan.

Bahkan pada masa dinasti umayyah di mesir,pertama kali didirikan

lembaga wakaf khususnya administrasi wakaf pertama kali di mesir dibawah

pengawasan hakim yaitu pada saat kekhalifahan dipimpin oleh khalifah

Hisyam bin Abd.malik dengan hakim mesir adalah Tauban bin Gharal-

Hadhramiy.Dilanjutkan dengan pendirian di basrah hingga di seluruh wilayah

kekhalifahan.Selanjutnya,pengololaan lembaga wakaf yang dilakukan oleh

Departemen Kehakiman secara baik dan hasil nya disalurkan kepada yang

berhak dan membutuhkan.

Pada masa Ayyubiyah,terjadi lompatan besar dalam berwakaf,yaitu

saat Shalahuddin al- Ayyubi dan Nuruddin Zanki mendapatkan fatwa dari

seorang fuquha terkenal Ibnu Abi’Ashrun 482-585 H/1088-188 M yang

menfatwa bahwa mewakafkan tanah-tanah baitul mal bagi kemaslahatan

umat seperti pembangunan madrasah hukumnya adalah boleh (jawaz)

dengan alasan bahwa tanah tersebut merupakan pemberian kepada yang

berhak. Dampak fatwa ini meningkatkan perkembangan pendidikan dan

system pendidikan.

5
2.3 JENIS WAKAF

Berdasarkan Peruntukkan

1. Wakaf ahli (Wakaf dzurri). Yaitu Wakaf yang ditunjukkan kepada orang-

orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf

seperti ini juga disebut Wakaf Dzurri. Apabila ada seseorang yang

mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya , lalu kepada cucunya ,

wakafnya sah dan yang berhak yang mengambil manfaatnya adalah

mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini (wakaf

ahli/dzurri) kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf

yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan social dalam lingkungan

keluarga (family), lingkungan kerabat sendiri. Dalam satu segi, wakaf

(dzurri) ini baik sekali , karena si wakif akan mendapat dua kebaikan dari

amal ibadah wakafnya , juga kebaikan dari silaturahmi terhadap keluarga

yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi, pada sisi lain wakaf ahli ini

sering menimbulkan masalah , seperti: Bagaimana kalau anak cucu yang

sudah tidak ada lagi (punah)? Siapa yang berhak mengambil manfaat

benda (harta wakaf) itu? Sebaliknya, bagaimana jika anak cucu siwakif

yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang cara meratakan pembagian

hasil harta wakaf? Pada perkembangan selanjutnya, wakaf ahli untuk

saat ini dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan

umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan

pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf. Di beberapa

negara tertentu seperti : Mesir, Turki, Maroko dan Aljazair, wakaf untuk

keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai segi,

tanah-tanah wakaf dalam bentuk ini dinilai tidak produktif. Untuk itu,

6
dalam pandangan KH.Ahmad Azhar Basyir,MA. Bahwa keberadaan jenis

wakaf ahli ini sudah selayaknya ditinjau kembali untuk dihapuskan.

2. Wakaf Khairi (kebijakan). Yaitu Wakaf yang secara tegas untuk

kepentingan keagaman atau kemasyarakatan (kebajikan umum), seperti

wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah,

jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.

Dalam tinjauan penggunaanya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak

manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak

terbatasnya pihak-pihak yang mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah

yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri

secara umum. Dalam jenis ini juga, si wakif dapat mengambil manfaat

dari harta yang diwakafkan itu, seperti wakaf masjid maka si wakif boleh

saja beribadah disana, atau mewakafkan sumur, maka si wakif boleh

mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana yang telah pernah

dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat Ustman bin Affan.

Secara substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari

cara membelanjakannya (memanfaatkan) harta dijalan Allah SWT. Dan

tentunya dilihat manfaat kegunaannya merupakan salah satu sarana

pembangunan, baik dibidang keagamaan, khususnya peribadatanya,

perokonomian, kebudayaan, kesehatan, keamanan dan sebagainya.

Berdasarkan Jenis Harta

1. Benda tidak bergerak,yang kemudian dapat dibagi lagi menjadi

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan,terdiri dari hak milik atas tanah baik yang sudah atau

7
belum terdaftar, hak atas tanah bersama dari satuan rumah susun

sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hak guna bangunan,

hak guna usaha atau hak pakai yang berada di atas tanah negara

hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah

pengelolaan atau hak milik pribadi yang harus mendapat izin tertulis

dari pemengang hak pengelolaan atau hak milik.

b. Bangunan atau bangian bangunan yang berdiri di atas tanah

c. Tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangan-undangan

e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan prinsip syariah

dan perundang-undangan

2. Benda bergerak selain uang,terdiri atas

a. Benda di golongkan sebagai benda bergerak kerena sifat nya yang

dapat berpindah atau di pindahkan atua karena ketetapan undang-

undang

b. Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat di

habiskan dan yang tidak di habiskan karena pemakaian.

c. Benda bergerak yang dapat dihabiskan kerena pemakaian tidak

dapat di wakafkan,kecuali air dah bahan bakar minyak yang

persediaannya berkelanjutan

d. Benda bergerak karena sifat nya yang dapat di wakafkan,meliputi

 kapal

 pesawat terbang

 mesin atau peralatan industry

8
 logam dadn batu mulia

e. Benda bergerak selain uang kerena peraturan perundangan-

undangan yang dapat di wakafkan sepanjang tidak bertentangan

dengan prinsip syariah sebagai berikut:

 Surat beharga yang berupa :saham, surat Utang Negara, obligasi,

dan surat berharga lain yang dapat di nilai dengan uang

 Hak atas kekayaan intelektual: hak cipta, hak merk, hak paten, hak

desain, hak desain industri, hak rahasia dangang, hak sirkuit

terpadu, hak perlindungan varietas tanaman, hak lainnya,

 hak atas benda bergerak lainnya yang berupa:hak sewa, hak

pakai, hak pakai hasil atas benda bergerak, perikatan, tuntutan

atas jumlah uang yang dapat di tagih benda bergerak.

3. Benda bergerak berupa uang (wakaf tunai,cash waqf) yang merupakan

inovasi dalam keuangan publik islam (Islamic society finance),karena

jarang ditemukan pada fikih klasik. Wakaf tunai membuka peluang yang

unik bagi penciptaan investasi di bidang keagamaan ,pendidikan dan

pelayanan sosial, karena lebih fleksibel pengelolaanya.Pendapatan yang

di peroleh dari pengelolaan wakaf tunai tersebut dapat di belanjakan

untuk berbagai tujuan yang berbeda seperti pemeliharaan harta-harta

wakaf itu sendiri.

Berdasarkan Waktu

1. Muabbad, yaitu wakaf yang di berikan untuk selamanya

2. Mu’aqqot, yaitu wakaf yang diberikan dalam jangka waktu tertentu

Berdasarkan Penggunaan Harta yang Diwakafkan

9
1. Mubasyir/dzati yaitu harta wakaf yang menghasilkan pelayanan

masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan

rumah sakit.

2. Istitsmary,yaitu harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal

dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang di bolehkan syara’

dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan

pewakaf.

2.4 DASAR SYARIAH WAKAF

Sumber Hukum

1. Al-Qur’an

Kendatipun wakaf tidak dengan tegas disebutkan di dalam al-Qur’an,

namun beberapa ayat al-Qur’an yang memberi petunjuk dan dapat

dijadikan rujukan sebagai sumber hukum perwakafan. Ayat-ayat tersebut

adalah:

a. Al-Hajj [22]: 77

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu,

sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu

mendapat kemenangan”.(QS. Al-Hajj (22):77).

Kata khair (kebaikan) yang secara umum dimaknai salah satunya

dalam bentuk memberi seperti wakaf, dan berlaku untuk bentuk-

bentuk charity atau endowment yang lain yang bersifat filantropi,

tentunya dalam ajaran Islam. (Isfandiar, 2008:55)

b. Ali-Imran [3]: 92

10
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),

sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan

apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah

mengetahuinya”. (QS: Ali-Imran(3):92).

Berbeda dengan kata khair (kebaikan), kata birr (kebaikan) terkait

erat dengan kata infaq (memberi). Kata birr ini terletak antara

huruf lan (mengandung makna tidak untuk selamanya)

dan hatta (hingga atau sampai yang berhubungan dengan tindakan).

Sehingga ada 3 kata kunci pada ayat ini sehingga sering kali dijadikan

dalil utama dalam wakaf yang bersumber dari al-Qur’an, (1) kebaikan,

(2) tindakan infak, dan (3) harta yang dimiliki adalah paling dicintai.

Psikoanalisis mengatakan tidak mungkin orang memberikan harta

yang paling dicintai kepada orang lain demi kebaikan. Salah satu

analisis itulah sehingga kebaikan dalam konteks kata birr sulit untuk

dilakukan. Oleh para penafsir model infak seperti ini, digolongkan

sebagai wakaf, bukan bentuk pemberian yang lain. Surat ali-Imran ayat

92 ini berisi anjuran bagi umat muslim untuk berinfaq atau shadaqah.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan isnadnya darti Abu Ishaq bin

Abdullah bin Abi Thalhah. Dia mendengar Anas bin Malik berkata,

”Abu Thalhah adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya, dan

yang paling dicintainya adalah kebun Bairuha.” maka ketika turun ayat

ini, Abu Thalhah segera menyedekahkan kebun Bairuha’ yang

dimilikinya tersebut. (Isfandiar, 2008: 55).

c. Al-Baqarah [2]: 261-262

11
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang

menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir

benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.

Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan

Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk

kepentingan jihad, pembangunan perguruan Tinggi, rumah sakit,

usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian

mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan

menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti

(perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan

mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)

mereka bersedih hati”.

Dalam surat al-Baqarah ayat 261-262 diatas berisi tentang pesan

kepada yang berwaqaf tidak merasa berat membantu, karena apa

yang dinafkahkan akan tumbuh berkembang dengan berlipat ganda.

Dengan perumpamaan yang telah disebutkan pada surat al-Baqarah

ayat 261 yang sangat mengagumkan itu, sebagaimana dipahami dari

kata matsal, ayat tersebut mendorong manusia untuk berinfak. Hal-hal

inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa ayat-ayat di atas menjadi

dalil dalam disyariatkannya ibadah wakaf yang merupakan salah satu

bentuk dari sedekah atau infak. (Huda, 2009:22).

2. Hadits

12
Di samping ayat-ayat Al-Qur’an di atas, terdapat pula hadist yang

dijadikan dasar perwakafan:

“Dari Abu Hurairah ra.., sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:

“Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya,

kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak

sholeh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim).

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar bin al-Khathab

r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi

Saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata,

“wahaiRasulullah Saw saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum

pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut;

apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya? ”Rasulullah Saw

menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan

(hasil)-nya”.

Ibnu Umar berkata ”Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut,

(dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan

tidak diwariskan. Ia menyedekahkan hasilnya kepada fuqara’, kerabat,

riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu.

Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil)

tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain)

tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.”

Rawi berkata: “saya menceritakan hadist tersebut kepada Ibnu Sirin,

lalu ia berkata ‘ghaira mutaatststilin malan’ (tanpa menyimpannya sebagai

harta hak milik)”.(H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i).

13
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, ia berkata Umar ra. berkata kepada

Rasulullah Saw, “saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di

Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi

melebihi tanah itu, saya bermaksud menyedekahkannya. ”Rasulullah Saw

berkata: ”tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.”

(HR. al-Nasa’i).

3. Ulama

Selain ulama madzhab Hanafi, sebagian ulama madzhab Syafi’i juga

membolehkan wakaf tunai. “Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i

tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham (uang).”

Komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf

tunai. Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002.

Argumentasi didasarkan kepada hadist Ibn Umar (seperti yang

disebutkan di atas). Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan

definisi baru tentang wakaf, yaitu:

“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya

atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap

benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk

disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”

Rukun dan Ketentuan Syariah

Rukun wakaf ada 4 (empat) (Depag, 2006), yaitu:

1. Pelaku terdiri atas orang yang menakafkan harta (wakil/pewakaf). Namun,

ada pihak yang memiliki peranan penting walaupun di luar rukun wakaf

yaitu pihak yang diberi wakaf/diamanahkan untuk mengelola wakaf yang

disebut nazhir

14
2. Barang atau harta yang diwakafkan (mauquf bih)

3. Peruntukan wakaf (mauquf’alaih)

4. Shighat (pernyataan atau ikrar sebagai suatu kehendak untuk

mewakafkan sebagian harta bendanya termasuk penetapan jangka waktu

dan peruntukan)

Pewakaf

Pewakaf disyaratkan memiliki keccakapan hukum atau kamalul ahliyah

(legally competent) dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak

di sini meliputi empat kriteria, yaitu:

a. Merdeka, wakaf yang dilakukan oleh seorang budak tidak sah karena

tidak memiliki hak pribadi, sedankan wakaf adalah pengguguran hak milik

dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain.

b. Berakal sehat, wakaf yang dilakukan oleh seorang gila, lemah mental

atau berubah akal karena masalah usia, sakit atau kecelakaan tidak sah

hukumnya, sebab ia tidak mampu dan tida cakap melakukan akad serta

tindakan lainnya.

c. Dewasa (baligh), wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa

hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidakk cakap melakukan akad

dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.

d. Tidak berada di bawah pengampuan. Tujuan dari pengampuan ialah

untuk menjaga harta supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang

tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang

lain. Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap

untuk berbuat kebaikan, maka wakaf yang dilakukannya hukumannya

15
tidak sah. Wakaf juga harus didasarkan kemauan sendiri, bukan atas

tekanan atau paksaan dari pihak mana pun.

Ada kalanya seseorang mewakafkan hartanya, tetapi wakaf tersebut tidak

langsung terlaksana, dan pelaksanaannya dikaitkan dengan keberadaan

orang lain. Ada beberapa hukum wakaf yang berkaitan degan masalah ini:

1. Orang yang mempunyai utang, maka wakafnya ada 3 macam:

a. Jika ia berada di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan

seluruh atau sebagian hartanya, sedang utangnya meliputi seluruh

harta yang dimiliki, hukum wakafnya sah. Tetapi pelaksanaannya

tergantung pada kerelaan para kreditormya

b. Jika ia berada di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan

seluruh atau sebagian hartanya ketika sedang menderita sakit parah,

maka wakafnya sah. Akan tetapi pelaksanaannya bergantung pada

kerelaan para kreditor

c. Jika dia tidak di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan

seluruh atau sebgaian hartanya ketika dalam keadaan sehat, maka

wakafnya sah dan dapat dilaksanakan, baik utangnya meliputi

seluruh harta yang dimiliki atau hanya sebagian saja

2. Apabila pewakaf mewakafkan hartanya ketika sedang sakit parah, dan

ketika mewakafkan harta tersebut dia masih cakap untuk melakukan

perbuatan baik (tabarru’), maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan

selama dia masih hidup. Hal ini karena penyakitnya tidak bisa dipastikan

sebagai penyakit kematian. Jika kemudian pewakaf meninggal, maka

hukum wakafnya sebagai berikut:

16
a. Jika dia meninggal sebagai debitor, maka hukum wakafnya seperti

yang telah diuraikan dalam butir (1) di atas

b. Jika dia meninggal tidak sebagai debitor, maka hukum wakaf yang

terjadi ketika dia sedang sakit keras seperti wasiat. Yaitu jika yang

diberi wakaf bukan ahli warisnya dan harta yang diwakafkan tidak

lebih dari 1/3 hartanya, maka wakaf terlaksana hanya sebatas 1/3

hartanya saja, jika harta yang diwakafkan lebih dari 1/3, maka

kelebihan dari 1/3 tersebut bergantung pada kerelaan ahli waris

sebagai pemilik harta tersebut.

Syarat seorang Nazhir atau pengelola wakaf:

1. Muslim

2. Berakal

3. Dewasa

4. Adil

5. Cakap hukum

Mauquf Bih (Harta yang Diwakafkan)

Dalam UU No.41/2004 dinyatakan tidak ada pembatasan dalam jumlah

harta yang diwakafkan.Namun terkait dengan hukum wasiat, maka sangat

relevan bahwa pembatasan wakaf adalah 1/3 dari jumlah harta yang

dimiliki.Tujuannya adalah untuk kesejahteraan anggota keluarga

pewakaf.Sebagaiman hadist nabi Muhammad SAW.

Oleh karena itu, seseorang diharamkan memberikan wakaf yang

merugikan ahli waris.Barang yang diwakafkan harus memenuhi kriteria harta

benda yang bernilai (mutaqowwam), dapat diketahui (ma’lum) dan milik

sempurna (tidak dalam keadaan khiyar).

17
Syarat sahnya harta wakaf, adalah :

1. Harta yang diwakafkan harus merupakan harta yang bernilai (mal

mutaqowwam). Mutaqowwam adalah segala sesuatu yang dapat

disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam

keadaan darurat) dan memiliki nilai (harga). Contoh barang yang tidak

mutaqowwam yaitu buku-buku anti Islam, peternakan babi, dan lain

sebagainya.

2. Harta yang akan diwakafkan harus jelas sehingga tidak akan

menimbulkan persengketaan.

3. Milik pewakaf secara penuh. Contoh : X mewasiatkan pemberian rumah

kepada Y. Kemudian Y mewakafkannya kepada Z, sementara X masih

hidup. Wakaf ini tidak syah karena syarat kepemilikan pada wasiat ialah

setelah yang berwasiat wafat. Contoh lain mewakafkan barang gadai,

barang curian, dsb.

4. Harta tersebut bukan milik bersama (musya’) dan terpisah. Para ulama

sepakat bahwa harta wakaf tidak boleh berupa harta yang bercampur,

khususnya untuk masjid dan kuburan karena wakaf tidak terlaksana

kecuali harta itu terpisah dan bebas (independen). Contoh : A

mewakafkan sebagian dari harta bersama untuk dijadikan masjid atau

pemakama n maka ini tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum,

kecuali apabila bagian yang diwakafkan tersebut dipisahkan dan

ditetapkan batas-batasnya.

5. Syarat-syarat yang ditetapkan pewakaf terkait harta wakaf. Syarat yang

ditetapkan pewakaf dapat diterima asalkan tidak melanggar prinsip dan

18
hukum syariah/wakaf ataupun menghambat pemanfaatan barang yang

diwakafkan.

Syarat Mauquf’alaih

Yang dimaksud mauquf’alaih adalah tujuan/peruntukkan wakaf.Wakaf

harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan

syariat Islam. Ada perbedaan pendapat dari para ahli fikih terkait dengan

syarat peruntukkan wakaf yaitu :

1. Mazhab Hanafi, menyaratkan agar peruntukkan wakaf ditujukan untuk

ibadah dan syiar Islam menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan

pewakaf.

2. Mazhab Maliki, mensyaratkan agar peruntukkan wakaf untuk ibadat

menurut pandangan pewakaf.

3. Mazhab Syafi’i dan Hambali, mensyaratkan agar peruntukkan wakaf

adalah ibadat menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang

keyakinan pewakaf.

Imam Syafi’i membagi tempat penyaluran wakaf menjadi 2 bagian, yaitu :

1. Kepada orang-orang tertentu (satu orang atau jamaah tertentu), seperti

wakaf kepada muslim dan wakaf kepada nonmuslim tertentu-kepada kafir

dzimmi dari muslim-adalah sah, sebagaimana Syafiyah binti Huyyai istri

nabi SAW telah mewakafkan kepada saudaranya yang yahudi.

Sedangkan wakaf kepada kafir harbi dan orang murtad dari muslim tidak

sah hukumnya.

2. Kepada pihak yang tidak tertentu , tujuan wakaf ini untuk memberikan

wakaf kepada pihak yang menderita kefakiran dan kemiskinan secara

19
umum atau untuk Syiar Islam dengan tujuan ibadah adalah sah. Seperti

wakaf kepada fakir miskin, mujahid, masjid, sekolah, pengurusan jenazah,

tempat penampungan anak yatim piatu dan jihad.

Syarat Shighat (Ikrar Wakaf)

Pengertian shighat adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang

yang berwakaf untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang

diinginkannya. Namun, shighat wakaf cukup dengan pernyataan/ikrar ijab

atau penyerahan dari pewakaf tanpa memerlukan qabul dari penerima

wakaf. Pernyataan dalam bentuk ijab/penyerahan harus dilakukan karena

wakaf adalah melepaskan hak milik atas suatu benda dan manfaatnya atau

dari manfaatnya saja, dan mengalihkannya kepada pihak lain. Ijab pewakaf

mengungkapkan dengan jelas keinginan /peruntukkan wakaf dari pewakaf.

Adapun lafal shighat wakaf ada dua macam, yaitu :

1. Lafal yang jelas (sharih), dalam lafal ini, tidak ada kata yang mengandung

suatu pengertian lain kecuali wakaf. Ada tiga jenis wakaf yang termasuk

dalam kelompok ini yaitu : 1. Al waqf (wakaf); 2. Al-habs (menahan); 3. Al-

asbil (berderma). Ibnu Qodamah berkata,”lafal-lafal yang sharih (jelas)

yaitu : waqaftu (saya mewakafkan), habistu (saya menahan harta ), dan

sabbaltu (saya mendermakan).

2. Lafal kiasan (kinayah), lafal kinayah merupakan lafal yang menunjukkan

beberapa kemungkinan makna, bisa berarti wakaf bisa juga bermakna

lain. Lafal sedekah atau nazar adalah lafal kiasan jika tidak disertai

dengan indikasi yang mengisyaratkan makna wakaf. Menurut Ibnu

Qodimah , lafal-lafal kiasan semisal ,”saya bersedekah” atau “saya

abadikan”.

20
Syarat sahnya shighat ijab, baik berupa ucapan maupun tulisan ialah :

1. Shighat harus munajah (terjadi seketika/selesai). Maksudnya ialah shighat

menunjukkan terjadi dan terlaksananya wakaf seketika setelah shighat

ijab diucapkan atau ditulis. Shighat harus singkat dan tidak bertele-tele,

jelas, dan tegas.

2. Shighat tidak diikuti syarat batil (palsu). Maksudnya ialah syarat yang

menodai dasar atau meniadakan hukum wakaf.

3. Shighat tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali

wakaf yang sudah dilakukan. Tidak ada syarat yang mengikat, yang bisa

mempengaruhi hakikat wakaf dan bertentangan dengan ketentuan wakaf.

Apabila dihasilkan keuntungan dari pendayagunaan harta wakaf maka

hasilnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkan awal ketika pewakafan

itu terjadi.

2.5 AKUNTANSI WAKAF

Pengelola Wakaf

Pengelola wakaf (Nazhir)adalah pihak yang menerima harta benda wakaf

dari pewakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan

peruntukannya.Pengelola wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam

pewakafan yang bertugas untuk memelihara dan mengelola harta

wakaf.Pengelola wakaf dapat dijalankan oleh perseorangan maupun

lembaga (baik berbadan hukum atau organisasi

kemasyarakatan).Sedemikian pentingnya pengelola wakaf dalam

perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf sangat bergantung

21
padanya.Meskipun demikian tidak berarti pengelola wakaf mempunyai

kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanahkan / dititipkan kepadanya.

Hal-hal yang wajib dilakukan oleh pengelola wakaf (Alkabisi, 2004), yaitu :

1. Melakukan pengelolaan dan pemeliharaan barang yang diwakafkan, baik

pewakaf mensyaratkan secara tertulis atau tidak (pendapat jumhur ahli

fikih). Sumber dana wakaf harus terus dikelola, baik diperoleh dari dana

khusus yang disiapkan pewakaf untuk pembangunan, ataupun harta

wakaf yang siap dimanfaatkan secara langsung.

2. Melaksanakan syarat dari pewakaf. Pengelola wakaf wajib menjalankan

semua syarat-syarat yang dibuat oleh pewakaf dengan tidak menyalahi

aturan syariah dan wakaf.Contoh : menyamaratakan pembagian atau

memprioritaskan pembagian pada mustahik tertentu, atau siapa yang

harus menerima terlebih dahulu saat pembagian hasil, dan dalam hal apa

saja dana itu digunakan. Pengelola wakaf boleh melanggar syarat

pewakaf apabila :

a. Adanya maslahat yang mendorong pengelola wakaf untuk melanggar

syarat tersebut.

b. Perkara itu diajukan ke hadapan hakim, agar pengelola wakaf

diberikan izin untuk melanggar syarat yang telah dibuat oleh pewakaf,

karena hakim memiliki hak perwalian umum.

3. Membela dan mempertahankan kepentingan harta wakaf. Usaha ini dapat

dilakukan sendiri atau dengan bantuan pihak lain (wakilnya), seperti

pengacara atau penasihat hukum.

4. Melunasi hutang wakaf dengan menggunakan pendapatan atau hasil

produksi harta wakaf tersebut.

22
5. Menunaikan hak-hak mustahik dari harta wakaf, tanpa menundanya,

kecuali terjadi sesuatu yang mengakibatkan pembagian tersebut tertunda.

Misalnya, kebutuhan mendesak guna merenovasi atau memperbaiki harta

wakaf yang menuntut wakaf dialokasikan untuk kepentingan tersebut,

atau melunasi utang terkait dengan harta wakaf. Hal ini harus didahulukan

ketimbang menyerahkannya kepada para mustahik.

Hal-hal yang boleh dilakukan pengelola wakaf ( Alkabisi, 2004), yaitu :

1. Menyewakan harta wakaf. Pengelola wakaf berwenang untuk

menyewakan wakaf jika menurutnya akan mendatangkan keuntungan

dan tidak ada pihak yang melarangnya, sehingga dari penerimaan itu,

pengelola wakaf dapat membiayai hal-halyang ditentuka oleh pewakaf

atau untuk kepentingan wakaf dan penerima wakaf, seperti membangun,

mengembangkan, maupun memperbaiki kerusakannya.

2. Menanami tanah wakaf. Pengelola boleh memanfaatkan tanah wakaf

dengan cara menanaminya dengan aneka jenis tanaman perkebunan,

dengan memperhatikan dampaknya pada tanah wakaf dan kepentingan

para mustahik.

3. Membangun pemukiman di atas tanah wakaf untuk disewakan. Pengelola

wakaf berwenang mendirikan bangunan berupa gedung untuk disewakan,

seperti membangun rumah kediaman, dalam hal ini jika keuntungan yang

didapat dari hasil sewa bangunan lebih besar ketimbang jika digunakan

untuk lahan pertanian.

4. Mengubah kondisi harta wakaf menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi

para fakir miskin dan mustahik. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa

dalam pengubahan tersebut dia harus menjaga dan memperhatikan

23
kondisi harta wakaf dan kebutuhan penerima wakaf, sehingga dapat

dipadukan antara pelaksanaan syarat dari pewakaf dan tujuan dari wakaf.

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan pengelola wakaf ( Alkabisi, 2004) :

1. Tidak melakukan dominasi atas harta wakaf, karena dua pihak yang

bertransaksi tidak bolehterkumpul pada satu orang ( misalnya, pengelola

wakaf merangkap sebagai penyewa harta wakaf ). Pengelola wakaf juga

tidak boleh menyewakan harta wakaf kepada orang yang tidak diterima

atau diragukan kesaksiannya, baik orang tua, anak atau istrinya, untuk

mencegah timbulnya fitnah dan untuk berhati-hati dalam melakukan

tindakan.

2. Tidak boleh berutang atas nama wakaf, baik melalui pinjaman ataupun

dengan membeli keperluan yang dibutuhkan untuk perawatan harta wakaf

secara kredit. Di mana ia berjanji untuk membayar harganya setelah

adanya keuntungan yang dihasilkan dari harta wakaf. Hal ini untuk

menghindari sita atas harta wakaf atau hasil yang didapatkan untuk

dapat melunasi hutangnya, sehingga harta wakaf menjadi hilang dan para

mustahik tidak dapat mendapatkan keuntungan darinya.

3. Tidak boleh menggadaikan harta wakaf dengan membebankan biaya

tebusan kepada kekayaan wakaf, atau dirinya, atau kepada salah

seorang mustahik. Hal tersebut dapat mengakibatkan hilangnya harta

wakaf, dan dapat menghilangkan manfaat dari harta wakaf itu sendiri.

4. Tidak boleh mengizinkan seseorang menggunakan harta wakaf tanpa

bayaran, kecuali dengan alasan hukum. Apabila pengelola wakaf

menempatkan seseorang di rumah wakaf tanpa bayaran, maka orang

24
yang emnempati rumah tersebut haus membayar ongkos sewa dengan

harga yang pantas, baik rumah dalam kondisi siap pakai maupun tidak.

5. Tidak boleh meminjamkan harta wakaf kepada pihak yang tidak termasuk

dalam golongan peruntukkan wakaf. Sebab, tindakannya itu termasuk

dalam pemakaian harta secara gratis yang menyebabkan tidak adanya

keuntungan bagi wakaf dan mengabaikan hak-hak para mustahik. Orang

yang telah meminjam harat wakaf dan mengambil manfaat darinya harus

membayar ongkos sewa dengan harga yang pantas.

Pengelola wakaf tidak wajib memberikan ganti rugi apabila harta atau

sumber wakaf rusak jika penyebabnya adalah kekuatan besar yang sulit

dihindari atau bencana yang tidak bisa dicegah, sementara dia tidak lalai

dalam menjaga harta wakaf tersebut. Pengelola wakaf diperbolehkan

memakan sebagian dari hasil wakaf itu, sesuai dengan hadis yang

diriwayatkan oleh Ibnu Umar :

“Dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan

sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf (besaran yang wajar).”

Akuntansi Lembaga Wakaf

Secara umum, lembaga wakaf dibentuk atau didirikan untuk mengelola

sebuah atau sejumlah kekayaan wakaf, agar manfaat maksimalnya dapat

dicapai untuk kesejahteraan umat umumnya, dan menolong mereka yang

kurang mampu khususnya.Hingga saat ini belum ada PSAK yang mengatur

tentang akuntansi lembaga wakaf. Namun merujuk pada akuntansi

konvensional serta praktik dari lembaga wakaf yang telah beroperasi di

Indonesia saat ini, maka perlakuan akuntansi untuk zakat, infak/sedekah

dengan wakaf tidak akan berbeda jauh. Hal ini disebabkan akuntansi untuk

25
zakat, infak/sedekah harus dilakukan pencatatannya secara terpisah atas

setiap dana yang diterima.

Permasalahan Dalam Praktik Perwakafan

1. Masalah pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf. Pada

umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan

benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud

disyariatkan wakaf. Selain itu, masih cukup banyak masyarakat yang

memahami bahwa benda yang diwakafkan hanyalah benda tidak

bergerak, seperti tanah, bangunan dan benda-benda tidak bergerak

lainnya. Dengan demikian, peruntukkannya pun menjadi sangat terbatas,

seperti masjid , mushalla, rumah yatim piatu, madrasah, dan sejenisnya.

Sehingga perlu disosialisasikan kepada masyarakat perlu

dikembangkannya wakaf benda bergerak, selain benda tiak bergerak.

Pewakaf pun kurang mempertimbangkan kemampuan nadzir untuk

mengelola harta wakaf sehingga tujuan wakaf untuk meningkatkan

perekonomian dan kesejahteraan umat tidak optimal. Sementara di

masa lalu cukup banyak wakaf berupa kebun yang produktif, yang

hasilnya diperuntukkan bagi mereka yang memerlukan.Untuk itu,

kompetensi pengelola wakaf harus diperhatikan agar sasaran wakaf

dapat tercapai optimal.

2. Pengelolaan dan manajemen wakaf. Pengelolaan dan manajemen wakaf

yang lemah dapat mengakibatkan pengelolaan harta wakaf tidak optimal,

harta wakaf terlantar, bahkan harta wakaf dapat hilang.Untuk mengatasi

masalah ini, paradigma baru dalam pengelolaan wakaf harus

diterapkan.Wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan

26
manajemen modern.Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada

beberapa yang perlu dilakukan.Selain perumusan konsepsi fikih wakaf

dan peraturan perundang-undangan, pengelola wakaf harus dibina dan

dilatih menjadi pengelola wakaf profesional untuk dapat

mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi jika harta itu berupa

uang. Di samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional,

diperlukan badan khusus untuk melakukan pembinaan pengelola wakaf,

antara lain Badan Wakaf Mesir, Badan Wakaf Sudan, Badan Wakaf

Indonesia, dan lain-lain. Pengelola wakaf adalah salah satu unsur

penting dalam perwakafan.Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat

tergantung pada kemampuan pengelola wakaf. Apabila pengelola wakaf

kurang cakap dalam mengelola harta wakaf, dapat mengakibatkan

potensi harta wakaf sebagai sarana untuk meningkatkan perekonomian

masyarakat muslim tidak optimal. Bahkan dalam bebagai kasus ada

pengelola wakaf yang kurang memegang amanah, seperti melakukan

penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf, dan

kecurang-kecurangan lain sehingga memungkinkan harta tersbut

berpindah tangan. Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya calon

pewakaf sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu apa yanfg

diperlukan masyarakat, dan dalam memilih pengelola hendaknya

dipertimbangkan kompetensinya.

27
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

Makalah ini hanyalah sebuah ulasan yang sangat sederhana, jadi

tentunya banyak sekali hal-hal yang belum tercantum dalam makalah ini.

Tidak ada salahnya untuk pembaca yang kebetulan membaca makalah ini,

untuk lebih mencari lagi data-data yang lebih banyak baik dari buku maupun

dari media lainnya.

28

Anda mungkin juga menyukai