Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia telah mengenal wakaf baik setelah Islam masuk maupun sebelum Islam
masuk. Di tanah jawa, lembaga-lembaga wakaf telah dikenal pada masa Hindu- Buddha yaitu
dengan istilah Sima dan Dharma. Akan tetapi lembaga tersebut tidak persis sama dengan
lembaga wakaf dalam hukum Islam. Dan peruntukannya hanya pada bidang tanah hutan saja
atau berupa tanah saja. Umumnya, wakaf yang dikenal pada masa sebelum Islam atau oleh
agama-agama lain diluar Islam hampir sama dengan Islam, yaitu untuk peribadatan.

Dengan kata lain lambaga wakaf telah dikenal oleh masyarakat pada peradaban yang
cukup jauh dari masa sekarang. Namun tujuan utama dari wakafnya yang berbeda-beda
(untuk mendapat pahala, hanya untuk masyarakat umum, dll). Sedangkan setelah
masuknya Islam istilah wakaf mulai dikenal. Menurut (Abdoerraoef) wakaf adalah
menyediakan suatu harta benda yang dipergunakan hasilnya untuk kemaslahatan umat.
Sehingga ketika wakaf dikenal di Indonesia juga mempengaruhi pengaturan perwakafan
tanah di Indonesia yang peruntukannya sebagai tempat-tempat peribadatan dan
sosial yang dibuatnya peraturan-peraturan yang lebih khusus mengenai wakaf di era
setelah kemerdekaan.

Hal ini dapat dilihat dari UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) yang terdapat pada Pasal 49
tentang Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian wakaf serta Bagaimana Prinsip – prinsip pengelolaan wakaf?
2. Aplikasi dan pengelolaan wakaf tunai?
3. Jelaskan Peraturan perwakafan dan profil pengelola wakaf serta prospek

C. Tujuan
Pemanfaatan wakaf tidak hanya sebatas untuk kegiatan-kegiatan keagamaan dan sosial
belaka, namun juga hendaknya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi yang
bersifat makro. Selain itu, dengan dilakukannya investasi terhadap tanah wakaf. Sehingga
tujuan dan manfaat diadakannya wakaf tersebut dapat terlaksana dengan baik dan
benar-benar berguna bagi masyarakat umum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”.
Merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti
menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah,
binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Dalam
pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat
bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada
perorangan atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak
bertentangan dengan syari’at. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain)


milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun
yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf tersebut menjelaskan
bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri.
Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala
perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang
dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang
berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan
Wakif. Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau
tempat yang berhak saja.

Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bias


memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak
pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang
dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang
kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah
serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu
menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan. Itu menurut para
ulama ahli fiqih. Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan
dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.

Wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda
wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kemajuan dan
peningkatan ekonomi umat, bantuan kepada fakir miskin.

B. Sejarah Wakaf
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf
disyariatkan setelah nabi SAW tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di
kalangan Fuqaha tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf.
Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan
wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.
Keberadaan wakaf sejak masa Rasulullah saw, telah diriwayatkan oleh Abdullah Bin
Umar, bahwa umar bin khatab mendapat sebidang tanah di khaibar. Lalu umar bin kahatab
menghadap Rasul untuk memohon petunjuk tentang apa yang sepatutnya dilakukan terhadap
tanah tersebut. Lalu Rasul menjawab jika engkau mau tahanlah tanah itu laku
engkau sedekahkan. Lalu umar menyedekahkan dan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak
boleh diwariskan. Umara saluran hasil tanah itu untuk orang-orang fakir, ahli familinya,
membebaskan budak, orang-orang yang berjuang fisabililah. Masa-masa itu wakaf pertama
dalam islam yang dilakukan oleh Umar Bin khatab, kemudian disusul oleh abu
thalhah dan sahabat-sahabat nabi Masa dinasti islam Praktek wakaf menjadi lebih luas pada
masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk
melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi
wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan
membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan
yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah
masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan
untuk mengatur perwakafan dengan baik.
Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan
menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau
keluarga Pada masa dinasti Umayyah, terbentuk lembaga wakaf tersendiri
sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang
pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam.
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-
Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian
perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat
dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan
pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup


menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan
semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Lembaga wakaf yang
berasal dari agama Islam ini telah diterima menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Di
samping itu, suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik
wakaf benda bergerak ataupun benda tak bergerak. Dalam perjalanan sejarah wakaf terus
berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan
berbagai inovasi-inovasi yang relevan seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak atas Kekayaan
Intelektual (Haki). Di Indonesia sendiri saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup
serius dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan PP No.
42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya.

C. Dasar Hukum Wakaf


Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara
jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang
digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada
keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Artinya : "Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah
kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).
Artinya : "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka
Sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Q.S ali Imran:92).

Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang menceritakan tentang kisah
Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di Khaibar.

Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra.
menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw.,
saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik
itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila
engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian
Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di
wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah)
kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu.
Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara
yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta" (HR. Muslim).

Dalil Ijma' :Imam Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya permasalahan wakaf adalah ijma
(sudah disepakati) diantara para sahabat Nabi; yang demikian karena Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash, Ibnu Zubair, dan Jabir, seluruhnya
mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-wakaf mereka, baik di Makkah maupun Madinah,
sudah dikenal masyhur oleh khalayak ramai. (Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 6/339, Al
Mustadrah 4/200, Sunan Al-Daraquthny 4/200, Sunan Al-Baihaqy 6/160, Al-Muhalla 9/180).
D. Prinsip – Prinsip Pengelolaan Wakaf
Ada beberapa hal yang menjadi pokok pikiran dari undang-undang tersebut, paling tidak
meliputi lima prinsip yaitu :
1. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda
wakaf, hal tersebut dapat dilihat adanya penegasan dalam undang-undang ini agar wajib
dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang
pelaksanaannnya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf yang harus dilaksanakan.
2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas
pada wakaf benda tidak bergerak, menurut undang-undang ini wakif dapat pula
mewakafkan sebagian kekayaan berupa harta benda bergerak, baik berwujud dan tak
berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual,
hak sewa dan benda bergerak lainnya. Dalam hal benda bergerak berupa uang, wakif
dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syariah. Yang dimaksud dengan
Lembaga Keuangan Syariah di sini adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang keuangan
syari’ah, misalnya badan hukum di bidang perbankan syari’ah.
3. Peruntukan harta wakaf tidak semata-mata kepentingan sarana ibadah dan sosial, tetapi
juga dapat diperuntukkan memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan
potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf.
4. Untuk mengamankan harta benda wakaf dan campurtangan pihak ketiga yang merugikan
kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional Nazhir.
5. Undang-undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang dapat
mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan tersebut merupakan
lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan
pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas perubahan
peruntukan dan status harta benda wakaf dan memberikan saran dan pertimbangan
kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. (Lihat penjelasan
dari UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf)

E. Perkembangan Pengelolaan Harta Wakaf di Beberapa Negara Muslim


Wakaf mengalami kemajuan dan pengelolaan yang semakin profesional di banyak
negara muslim, seperti Arab Saudi, Mesir, Turki, Kuwait, dll. Harta wakaf digunakan
untuk membangun rumah sakit, hotel, sekolah, persawahan, jembatan, jalan, dan sarana
umum lainnya. Bahkan tanah wakaf di beberapa negara tersebut lebih dari ¾ menjadi
lahan produktif di negara tersebut. Di Mesir dan kuwait bahkan APBN negara mereka
ditopang oleh Wakaf, dan di Universitas Aljazair Kairo Mesir Mahasiswa bahkan dibiayai
oleh negara dengan dana Wakaf. Prof. Dr. Abdul Manan (Bangladesh) membuat
terobosan baru dengan membuat Social Investment Bank Ltd (SIBL) yaitu sebuah bank
sosial yang mengelola wakaf tunai. Walaupun Bangladesh termasuk negara miskin tetapi
masyarakatnya cukup antusias dalam membayar wakaf, karena SIBL mengeluarkan
sertifikat wakaf yang dapat digunakan untuk mengurangi pajak penghasilan orang yang
sudah berwakaf, dan selain itu karena dana wakaf yang dikelola secara profesional dapat
berperan dalam peningkatan perekonomian umat Islam Bangladesh.

F. Profil Lembaga dan Sistem Pengelolaan Wakaf di Indonesia


1. Profil Lembaga
Tabungan Wakaf Indonesia merupakan lembaga wakaf yang didirikan oleh
Dompet Dhuafa dan diresmikan pada tanggal 14 Juli 2005. Berperan sebagai lembaga
yang melakukan sosialisasi, edukasi dan advokasi wakaf kepada masyarakat sekaligus
berperan sebagai lembaga penampung dan pengelola harta wakaf. Visi dalam
tabungan wakaf Indonesia ini adalah menjadi lembaga wakaf berorientasi global yang
mampu menjadi wakaf sebagai salah satu pilar kebangkitan ekonomi umat yang
berbasiskan sistem ekonomi berkeadilan. Misinya itu mendorong pertumbuhan
ekonomi umat serta optimalisasi peran wakaf dalam sektor sosial dan
ekonomi produktif
2. Sistem Pengelolaan Wakaf
Karena pada dasarnya lembaga ini adalah amil zakat, maka pengelolaan wakaf juga baru
ada setelah ada demand wakaf dari jamaah. Demikian terus berlanjut hinga sekarang.
Laporan kegiatannya pun belum ada mengingat tanah wakaf yang terletak di bilanagn
Ciputat itu baru dibangun sarana dan prasarananya. Wakaf dalam lembaga ini nantinya
akan dikelola secara produktif yaitu nanti didalamnya akan ada sarana ibadah dan
sarana pelatihan MQ, pendidikan formal, Balai Latiahan Kerja, dan Sebagian
Pemanfaatan Lahan untuk perikanan.

G. Rukun dan Syarat Wakaf


Rukun wakaf ada empat, yaitu: pertama, orang yang berwakaf (al - wakif). Kedua, benda
yang diwakafkan (al - mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al –
mauquf ‘alaihi). Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (sighah).

1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat,


pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia
merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia
mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang
sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang
mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang
sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah
dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan
oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga
Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak
diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga,
harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat,
harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau
disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi
klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu
(mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah,
jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan
yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya
tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang
untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima
wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk
memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang
memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya,
dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira
mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat
menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada
Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat.
Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya
(ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu
dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat
tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh
syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi
maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf
tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan
penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap
pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
H. Bentuk-bentuk wakaf
1 Wakaf ahli
yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga
si wakif atau bukan. Wakaf ahli juga sering disebut wakaf dzurri atau wakaf ‘alal aulad
yakni wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan
keluarga atau lingkungan kerabat sendiri. Dalam satu segi, wakaf ahli ini mempunyai dua
aspek kebaikan, yaitu (1) kebaikan sebagai amal ibadah wakaf, (2) kebaikan silaturrahmi
terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf.

2 Wakaf Khoiri
Wakaf khoiri yaitu wakaf yang secara tegas untuk kepentingan keagamaan atau
kemasyarakatan (kepentingan umum). Wakaf ini ditujukan untuk kepentingan umum
dengan tidak terbatas pada aspek penggunannya yang mencakup semua aspek untuk
kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya.

I. Hak dan Kewajiban Nadzir


A. TUGAS DAN KEWAJIBAN NADZIR
Sesuai dengan UU wakaf No. 41 tahun 2004, seorang nadzir, baik perseorangan, organisasi
atau badan hukum memiliki beberapa tugas sebagai berikut:
1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf
2. Menjaga, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, sesuai dengan tujuan,
fungsi peruntukannya.
3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf
4. Melaporkan pelaksanaan berbagai kegiatan dalam rangka menumbuh kembangkan
harta wakaf dimaksud. Pada intinya, baik nadzir perseorangan, organisasi ataupun
badan hukum memiliki kewajiban yang sama, yaitu memegang amanat untuk
memelihara, mengurus dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan tujuannya.
Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang nadzir yang begitu berat, maka
seorang nadzir yang begitu berat, maka seorang nadzir hendaknya memiliki beberapa
kemampuan, diantaranya:
1. Kemampuan atau keahlian teknis, misalnya mengoperasikan komputer, mendesain
ruangan dan lainnya.
2. Keahlian berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat, khususnya kepada
pihak-pihak yang secara langsung terkait dengan wakaf.
3. Keahlian konseptual dalam rangka memeneg dan memproduktifkan harta wakaf .
4. Tegas dalam mengambil keputusan, setelah dimusyawarahkan dan dipikir secara
matang
5. Keahlian dalam mengelola waktu
6. Termasuk didalamnya memiliki energi maksimal, berani mengambil resiko, antusias,
dan percaya diri.
Nadzir sebagai manager harta wakaf, juga berhak mempekerjakan seseorang atau lebih dalam
rangka menjaga, memelihara, dan menumbuhkembangkan harta wakaf. Nadzir juga memiliki
kewajiban untuk membagikan hasil dari harta wakaf tersebut kepada yang berhak
menerimanya sesuai dengan peruntukannya. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa
harta wakaf boleh disewakan dan hasilnya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat.

B. HAK-HAK NADZIR
Seorang nadzir berhak mendapatkan bagian dari hasil usaha wakaf produktif yang ia kelola
dan kembangkan. Hal ini berdasarkan praktek sahabat Umar Bin Khatab Dan Ali Bin Abu
Thalib. Menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Imam Ahmad nadzir berhak mendapat upah
dari hasil usaha harta wakaf yang telah dikembangkan. Adapun besarnya berbeda satu sama
lain sesuai dengan tanggung jawab dan tugas yang diembankan. Tetap sesuai dengan
ketentuan wakif, jika wakif tidak menetapkan, maka ditetapkan oleh hakim atau kesepakatan
para pengelola/managemen wakaf yang ada. Sementara madzhab Syafi’i menyatakan bahwa
wakif tidak berhak mendapatkan bagian.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan
hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya
guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Prinsip-prinsip
Pengelolaan Wakaf adalah Seluruh harta benda wakaf harus diterima sebagai sumbangan dari
wakif dengan status wakaf sesuai dengan syariah, Wakaf dilakukan dengan tanpa batas
waktu, Wakif mempunyai kebebasan memilih tujuan-tujuan sebagaimana yang
diperkenankan oleh Syariah, Jumlah harta wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja
yang akan dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh Wakif, dan
Wakif dapat meminta keseluruhan keuntungannya untuk tujuan-tujuan yang telah ia
tentukan. Menurut pandangan dari DT wakaf sangat menarik untuk dikembangkan dan
disosialisasikan kepada masyarakt khususnya untuk wakaf yang dikelola secara
produktif dan hasilnya untuk kegiatan social. DPU Dt memandang wakaf boleh dikata tidak
memiliki kendala, namun tantangan selalu ada karena mereka berfikir bagaiman wakaf ini
bias berkembang dan terus mengalirakn manfaat bagi ummat dan menghasilkan
pahala bagi Muwakif. Strategi dan Rencana kedepan DPU DT dalam mengelola Wakaf
adalah Perbanyak sosialisasi dan promosi tentang wakaf, Pembuatan akuntabilitas
dalam kinerja lembaga, Buat replikasi di Tanah wakaf tertentu yang telah ada atqau
sedang dikembangkan untuk dikloning ditempat lain.

B. Saran dan Kritik


Dengan kerendahan hati, penulis merasa makalah ini sangat sederhana dan jauh dari
kesempurnaan,. Saran dan kritik yang konstruktif sangat diperlukan demi kesempurnaan
makalah sehingga akan lebih bermanfaat dalam kontribusinya bagi keilmuan. Wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai