Kelas: Pba 1a Ilmu Pengantar Fiqih Contoh-contoh masalah fikij kontemporer
1. Hukum zakat onlen
Di zaman yang serba maju seperti sekarang ini, pembayaran dan pendistribusian zakat sudah banyak dilakukan secara online. Bisa melalui online dengan cara akses di website maupun sudah pada wadah yang bernama e-commerce. ketika melakukan transaksi atau perjanjian, berkewajiban menunjukkan kejujuran. Zakat yang diakses melalui website ini merupakan hal utama yang akan kita bahas di pembahasan kali ini. Zakat online ialah suatu proses pembayaran zakat yang dilakukan melalui bantuan sistem digital atau online, yang dimana muzakki tidak bertemu langsung dengan amil zakat dalam melakukan pembayran zakat. Dilembaga amil zakat BAZNAS ini, menyediakan layanan zakat fitrah dan zakat maal dan jenis-jenis zakat maal. Zakat maal menurut bahasa ialah segala sesuatu yang diinginkan sekali-kali oleh manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan menyimpannya. Menurut istilah adalah segala sesuatau yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim). Nah, diantara beberapa jenis zakat tersebut muzakki dapat memilih salah satu untuk disalurkan hartanya melalui lembaga amil yang dipilih. Menurut Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Hasanuddin A.F. menuturkan secara hukum Islam zakat yang disalurkan melalui online tidak menjadi masalah. Justru, menurut dia, zakat online bisa memudahkan masyarakat dalam menunaikan zakatnya. Menurutnya, zakat yang untuk memudahkan muzakki menyalurkan zakatnya sah-sah saja, secara hukum tidak dijadikan masalah. Namun, tak luput juga berharap supaya lembaga amil zakat tetap bertanggung jawab walaupun disalurkan secara online, serta yang dilakukan sesuai dengan prinsip dalam ketentuan syariah. 8 Keabsahan zakat online tetap pada muzakki, harta yang dikeluarkan zakatnya, dan mustahiq. Mereka yang termasuk golongan muzakki ialah mereka yang mempunyai harta yang sudah mencapai nisabnya serta dapat memenuhi kriteria wajib zakat. Kemudian, harta zakat merupakan harta yang wajib dikeluarkan zakat. Serta yang terakhir ialah mustahiq atau orang yang berhak menerima zakat dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ada. Menurut sebagian ulama, hukum ijab qabul pada zakat tidaklah wajib. Melainkan cukup dengan menyerahkannya saja sudah dianggapsah. Dengan atau tanpa pengucapan ijab qabul ketika penyerahan zakat, maka zakat tersebut tetap dianggap sah. Unisma.co.id Menurut saya ketika disekitar kita masih banyak mustahiq yang lebih membutuhkan (dimana tidak ada fasilitas zakat onlen di sekitar kita) lebih baik tidak dilakukan secara onlen. Yakni diserahkan kepada amil kepada llembaga didaerah kita untuk dibagikan kepada musthaiq.
2. Mystery Box di Marketplace
Beberapa marketplace dewasa ini ditemui telah menerapkan praktik pola jual beli yang menyimpan unsur gharar (ketidakpastian/spekulatif). Dalam mazhab Syafi’i, jual beli secara online (jual beli salam), pada hakikatnya sudah merupakan bagian dari adanya gharar, namun hal itu diperbolehkan sebagai kemurahan syariat (samahah) sebab adanya dlarurat hajat masyarakat. Meskipun jual beli salam itu diperbolehkan, akan tetapi pembolehan ini tidak serta merta tanpa adanya batasan. Ada sejumlah batasan yang digariskan oleh para ulama, yang pada intinya memiliki muara yang sama, yaitu tidak boleh adanya dua gharar yang secara bersama-sama mewujud dalam satu transaksi. Sebagaimana pola transaksi jual beli mystery box yang bisa Anda temui di Shopee, Bukalapak, dan Tokopedia, Blibli, Lazada, atau marketplace lainnya [arsip] adalah termasuk yang menerapkan praktik gharar itu. Mekanisme yang diterapkan oleh para pelapak adalah pembeli diminta untuk memesan sebuah kotak yang di dalamnya terdapat produk tertentu dengan besaran harga yang ditetapkan pula. Jika pembeli itu beruntung maka ia bisa mendapatkan barang semacam ponsel atau merchandise lain dengan kisaran harga di atas dari harga yang tertera di mystery box . Namun, bagi pihak yang tidak beruntung, ia akan mendapatkan barang dari mystery box yang pembeli sendiri tidak bisa memastikan di awal. Alhasil, terjadi unsur ketidaktahuan terhadap barang yang dibeli. Tak urung, praktik jual beli mystery box merupakan jenis praktik jual beli gharar dan jahalah. Unsur gharar-nya disebabkan karena sifatnya adalah untung-untungan sehingga spekulatif. Sementara unsur jahalah-nya diakibatkan karena pembeli tidak tahu apa yang ada di dalam box yang dipromosikan semacam itu. Praktik jual beli semacam ini adalah secara sharih (jelas dan tegas) dinyatakan sebagai haram disebabkan potensi timbulnya kerugian (dlarar) yang bisa diderita oleh pembeli. Selain itu, keberadaan gharar menjadikan praktik semacam ini merupakan bagian yang dilarang oleh syariat, bahkan oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam secara langsung lewat sebuah hadits yang menyatakan naha rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ‘an bai’i al-gharar (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang aktivitas jual beli spekulatif). Walhasil, masyarakat Muslim hendaknya menjauhi praktik jual beli tersebut dengan niat mengikut pada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Harapannya, supaya kita terhindar dari mendapatkan rezeki yang haram dan tidak berkah, serta kelak di akhirat bisa selamat dari siksa api neraka. Wallahu a’lam bish shawab. Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/125203/praktik-haram-jual-beli-mystery-box-di- marketplace
3. HUKIM TRANSFER UANG
Transfer Dana adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari Pengirim Asal (Sender) yang bertujuan memindahkan sejumlah Dana kepada Penerima (Beneficery) yang disebutkan dalam Perintah Transfer Dana sampai dengan diterimanya Dana oleh Penerima. Kata “Transfer” diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan kata “Al-Hiwa-lah”, yang secara etimologi berasal dari akar kata ”Al-Tahwil” yang berarti perpindahan (Al-Naql), dan pengalihan. Sedangkan menurut terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan hiwalah sebagai pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Hal ini merupakan pemindahan hutang dari penghutang (al-muhil) menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar hutang (muhal ‘alaih). Dari definisi transfer di atas, dapat kita ketahui bahwa aktifitas transfer dapat diklasifikasikan menjadi dua: transfer dalam negeri dan transfer lintas negara. Kedua macam transfer ini mempunyai metode dan karakteristik yang berbeda, satu dengan yang lainya, sehingga hukum keduanya pun akan berbeda. Hukum Transfer Dalam Negeri Di atas telah dijelaskan transaksi transfer dalam negeri dalam perspektif fiqh, yang mana akad ini masuk dalam kategori pemberian kuasa dengan upah (Wakalah bi ajr). Pihak bank berposisi sebagai wakil dari nasabah pengirim, dengan imbalan yang berupa biaya administrasi yang meliputi: komisi, biaya penggunaan alat-alat komunikasi17 dan upah pengiriman uang. Pengambilan komisi (Umulah) atas suatu jasa diperbolehkan oleh syara’, apalagi jika tidak berupa prosentase dari modal, tetapi berupa upah tertentu dari aktifitas (pelayanan) ini. Begitu juga, biaya atas penggunaan sarana ko-munikasi sah hukumnya karena merupakan pengganti dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan bank saat proses transfer. Adapun upah jenis ketiga yaitu upah atas pengiriman uang, merupakan satu hal yang hampir menyeret akad ini menjadi akad ilegal. Karena pada riil-nya, pihak bank pengirim tidak mengirimkan uang tersebut, melainkan cuma mengirim pemberitahuan atau permohonan agar pihak bank partner membayar sejumlah uang kepada nasabah yang dituju, sedangkan nasabah pengirim Sudah menyerahkan kepada bank pengirim sejumlah uang yang akan dikirim. Dari sini dapat diambil konklusi bahwa transfer dalam negeri diperbolehkan dalam syariat Islam dengan syarat jasa-jasa yang berikan oleh bank berkenaan dengan aktivitas transfer tersebut tidak melebihi batas garis kewajaran, dan bank tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan dari setiap jasa yang ditawarkan. Hukum Transfer Lintas Negara Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum transfer lintas Negara menjadi dua kelompok. Pertama, sebagian ulama seperti Dr. Khadijah Nabrawi berpendapat bahwa transfer lintas Negara tidak boleh karena pihak bank mengambil keuntungan dari proses transfer ini tepatnya berupa keuntungan selisih nilai jual dan nilai beli dalam jual beli valuta asing. Pihak bank menjual uang asing kepada nasabah dengan satu harga dan membeli uang serupa darinya dengan harga lain, padahal hal ini dilarang oleh Rasul sae, karena masuk dalam kategori menjual satu barang dengan dua harga (bai;atani fi bai’ah) sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Nasa’i dan Al-Turmudzi “bahwa Nabi saw. Melarang dua transaksi dalam satu transaksi”. Di samping itu, keuntungan lain yang didapat oleh pihak bank berupa biaya administrasi selama proses transfer uang, masuk dalam kategori riba fadhl yang diharamkan, sebab pihak bank mengenakan biaya yang jumlahnya riil atas jasa (administrasi) yang tidak riil.30 Transaksi ini juga mengandung unsur penipuan di mana pihak bank membeli uang nasabah dengan harga rendah lalu menjualnya dengan harga tinggi. Kedua, kebanyakan ulama kontemporer seperti Wahbah Zuhaili, Usman Syubeir, Muhammad Rawwas Qal’ahji, Abbas Ahmad Muhammad Al Bas dan Muhammad Ibrahim Abu Syadi memperbolehkan transaksi lintas Negara dengan ketentuan sebagai berikut:Pertama, pengirim tidak memiliki tabungan pada bank pengirim, sehingga untuk mentransfer uang ke luar negeri ia harus menyetorkan uang ke bank, kemudian bank itu menukarnya dengan uang asing dalam bentuk cek atau lainnya dan menyerahkannya kepada pengirim.Hukum transfer ini sah, karena masuk dalam akad pemberian kuasa dengan upah, (wakalah bi ajr) dan akad penukaran uang (sharf). Dalam akad penukaran (sharf), disyaratkan harus ada serah terima barang, dan di sini sudah terjadi serah terima secara simbolis (hukman) tatkala pihak bank menyerahkan uang asing kepada nasabah dalam bentuk cek, atau bank meregistrasi sejumlah uang nasabah atas nama dia dalam catatan registrasi perbankan. Kedua, mekanisme transfer jenis kedua ini hamper sama dengan jenis per-tama, hanya saja kalau pada jenis pertama akad penukaran uangnya berlangsung di bank tempat nasabah menyetorkan uang, sementara pada jenis kedua ini terjadi di bank luar negeri. Hukum transfer ini juga sah menurut syara’ dengan argumentasi sama dengan alas an bentuk pertama. Ketiga, tentang transfer yang diikuti tukar menukar uang dalam tanggungan (al-musharafah fi al-dzimmah). Para ulama memperbolehkan bentuk ketiga dari transfer lintas Negara meskipun pada akad penukaran uangnya tidak terjadi serah terima secara hakiki, cukup serah terima secara simbolis yang dapat terdeteksi di saat bank meregistrasi uang asing kerekening nasabah. Karena setelah bank melakukan registrasi, secara otomatis uang tersebut sudah menjadi milik nasabah, terbukti ia dapat langsung membelanjakan jumlah uang tersebut. Di samping alasan di atas, para ulama yang mengesahkan transaksi ini berpedoman pada sahnya hukum penukaran uang dalam tanggungan (musharafah fi al-dzimmah) sebagaimana pendapat yang rajah di atas. Di sini penulis merajihkan pendapat kedua yang menyatakan keabsahan transaksi transfer lintas Negara, sebab transfer ini merupakan hal urgen dalam kehidupan masyarakat global, seperti untuk pembayaran uang sekolah, tagihan listrik, tagihan telepon, pembayaran transaksi bisnis dan bahkan untuk kepentingan sosial. Sementara, pengharaman transaksi yang bersifat demikian menimbulkan kesulitan (masyaqqah) bagi manusia. sementara syariah Islam jauh dari unsur kesulitan dan memberatkan, sebagaimana firman Allah yang artinya “Allah swt. menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesulitan". (al-Baqarah: 185). Sedangkan kalau transfer tersebut memakai bank Islam, maka hukum-nya boleh menurut ulama’ yang membolehkan kedua jenis transfer di atas, karena dalam operasionalnya tidak mengandung nilai-nilai yang bertentang dengan syariat Islam.