Anda di halaman 1dari 14

JENIS, PENGALIHAN DAN NADZIR WAKAF PERSPEKTIF IMAM

MADZHAB

Oleh:
Rindi Yani, Salsabilla Rahmawati Oktaberliana, Ricky Dwi Septian
Program Study Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Pendahuluan
Wakaf adalah salah satu institusi Islam yang bertujuan meningkatkan
taraf hidup umat Islam. Allah Swt menciptakan manusia dalam berbagai aspek,
termasuk tingkat ekonominya, di antara mereka ada yang kaya dan miskin,
bahkan ada yang sangat kaya di satu sisi dan sangat miskin. Oleh karena itu,
perbedaan merupakan sunatullah yang dimaksudkan agar kehidupan berjalan
dengan baik dan seimbang. Dengan wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah, maka
distribusi kekayaan bisa berjalan sehingga kekayaan atau harta tidak hanya
berputar di kalangan tertentu saja.1
Wakaf merupakan ajaran islam yang ada sejak zaman dahulu, terdapat
beberapa jenis dan macam dengan perbedaan pendapat dianatara para imam
madzhab, mengenai perbedaan pendapat diantara Imam Madzhab itu juga
berhubungan dengan jenis, pengalihan, dan nadzir waqaf berdasarkan perspektif
mereka masing-masing. Namun perbedaan tersebut tidak sampai merubah esensi
dari wakaf itu sendiri. Sebab semua imam madzhab merujuk kepada Al-Qur’an,
Hadits, ijma’ serta Qiyas sehingga perubahan tersebut tidak bersifat fatal.

Pembahasan
A. Macam-Macam Wakaf
Ada beberapa macam wakaf yang dikenal di dalam islam, yang dapat
dibedakan berdasarkan beberapa kriteria.Wakaf tersebut dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu wakaf berdasarkan peruntukannya dan wakaf
berdasarkan waktunya.
a. Wakaf berdasarkan Peruntukannya.

1
Fakhruddin, “Pengaruh Mazhab Dalam Regulasi Wakaf Di Indonesia,” Jurnal Hukum dan Syariah, 2
(2019).254
1) Wakaf Ahli (Keluarga/khusus)
Wakaf ahli atau disebut juga wakaf dzurri, merupakan
wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seseorang
atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan, contohnya
mewakafkan buku-buku untuk anak-anaknya yang mampu
mempergunakan, kemudian diteruskan kepada cucu-cucunya.
Wakaf seperti ini dipandang sah dan yang berhak menikmati
harta wakaf adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan
wakaf.
2) Wakaf Khairi(umum)
Wakaf khairi merupakan wakaf yang ditujukan untuk
kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang
tertentu. Wakaf khairi ini sejalan dengan amalan wakaf yang
menyatakan bahwa pahalanya akan terus mengalir sampai wakif
telah meninggal. Dan apabila harta wakaf masih ada, tetap dapat
diambil manfaatnya sehingga wakaf tersebut dapat dinikmati oleh
banyak masyarakat secara luas dan merupakan sarana untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang
sosial-ekonomi, pendidikan, keagamaan, dan juga kebudayaan.2
b. Wakaf berdasarkan Waktunya.
1) Muabbad
Wakaf muabbad merupakan wakaf yang diberikan untuk
selamanya. Dalam hal ini hak kepemilikan harta sepenuhnya
diserahkan demi kebaikan umat tanpa batas waktu.
2) Mu’aqqot
Wakaf mu’aqqot merupakan wakaf yang diberikan hak
guna dalam jangka waktu tertentu. Selama jangka waktu yang
diberikan benda, tanah, atau uang harus dimanfaatkan untuk
mendapat nilai tambah untuk kepentingan sosial.
B. Objek Wakaf

2
Elsi kartika sari, “Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf”,(Jakarta : Grasindo, 2006), hal.66.
Wakaf adalah menahan suatu benda dan memanfaatkan hasilnya, benda
wakaf harus bertaham lama, tidak cepat rusak ataupun habis sekali pakai. Tetapi
wakaf sebenarnya tidak hanya terbatas pada benda-benda tidak bergerak saja,
melainkan dapat berupa benda yang bergerak. Maka dari itu objek atau benda
wakaf yang dapat diwakafkan, terbagi menjadi tiga yaitu :
a. Benda tidak bergerak
Benda tidak bergerak ini contohnya seperti tanah, sawah, dan
bangunan. Dalam pasal 16 ayat 2 UU No.41 Tahun 2004, benda tidak
bergerak meliputi :
1) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum
terdaftar.
2) Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri diatas sebagaimana
dimaksud pada huruf 1.
3) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan
syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.3

Benda wakaf tidak bergerak inilah yang paling dianjurkan untuk


diwakafkan dan banyak diminati untuk diwakafkan karena mempunyai nilai
jariyah yang lama. Wakaf dalam bentuk seperti ini merupakan wakaf yang
paling awal dilakukan oleh Umar bin Khattab atas tanah khaibar atas perintah
Rasulullah saw.

b. Benda bergerak
Benda bergerak ini contohnya seperti mobil, sepeda motor,
binatang ternak, atau benda lainnya. Benda-benda bergerak ini, meskipun
nilai jariyahnya terbatas tetapi juga dapat diwakafkan. Dalam hal ini ada
batasannya, batasnya adalah sampai dengan benda wakaf itu tidak dapat lagi
dipertahankan keberadaannya lagi, maka dalam hal ini selesailah wakaf

3
Elsi kartika sari, “Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf”,(Jakarta : Grasindo, 2006), hal.71.
tersebut. Pengecualian apabila masih dimungkinkan diupayakan adanya
tukar atau diganti dengan benda baru yang lainnya.
c. Benda bergerak berupa uang
Imam al-Zuhri berpendapat baha boleh wakaf dalam bentuk dinar
maupun dirham dengan cara menjadikannya modal usaha perdagangan
kemudian menyalurkan keuntungnnya sebagai nilai wakaf.4

Dalam prespektif imam mazhab yang empat, yaitu mazhab hanafi,


maliki, syafii dan hanbali, keempatnya memiliki perbedaan pendapat tentang
objek dan macam-macam wakaf, diantaranya yaitu :
a. Mazhab Hanafi (Ulama Hanafiyyah)
Para pengikut mazhab hanafi berpendapat bahwa pada dasarnya
benda yang dapat diwakafkan adalah benda yang tidak bergerak. Karena
menurutnya objek wakaf itu bersifat tetap dzat/pokoknya yang
memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus. Menurut wahbah al-
zuhaili menyebutkan bahwa Mazhab Hanafi membolehkan wakaf benda
bergerak berupa uang, alasannya adalah karena hal tersebut sudah
banyak dipraktekkan dimasyarakat.
b. Mazhab Maliki
Beliau berpendapat bahwa boleh mewakafkan benda tidak
bergerak, benda bergerak dan benda berupa uang. Menurut beliau boleh
mewakafkan benda bergerak tetapi dengan syarat dapat dimanfaatkan
untuk selamanya atau dalam jangka waktu tertentu. Pendapat ini
berdasarkan pada tidak terdapatnya persyaratan dalam mewakafkan
benda tidak bergerak maupun bend bergerak. Jika diperbolehkan
mewakafkan benda untuk selamanya, berarti dibolehkan pula
mewakafkan benda untuk sementara. Menurut wahbah zuhaili dalam
bukunya, al fiqh al islami wa adilatuhu, menyatakan bahwa mazhab
maliki membolehkan wakaf makanan, uang dan benda bergerak lainnya.
Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw, yang artinya:

4
Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara,“Konsep Wakaf Dalam Islam”,(Sumatera Utara, 2019),hal.49.
“ Tahanlah asal (pokok)nya, dan jalankanlah manfaatnya” (HR. Al Nasai
dan Ibnu Majah)
c. Mazhab Imam Syafi’i
Beliau berpendapat bahwa boleh mewakafkan benda apapun
dengan syarat benda yang diwakafkan yaitu benda yang kekal
manfaatnya, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
Dan sebagian para ulama mazhab syafi’i ada yang memperbolehkan
wakaf uang dan ada juga yang tidak.
d. Mazhab Hambali
Mazhab hambali dengan mazhab maliki memiliki pendapat yang
sama, bahwa boleh mewakafkan harta, baik itu benda bergerak, seperti
mewakafkan kendaraan, senjata untuk berperang, hewan ternak maupun
benda tidak bergerak, seperti rumah, tanaman, tanah dan benda tetap
lainnya.5

Jadi, dari perbedaan pendapat pada imam mazhab inilah maka


semua barang yang bermanfaat boleh diwakafkan. Adapun sifat fisik
barang bukanlah sesuatu yang prinsipal. Meskipun benar adanya bahwa
barang yang sifat fisiknya dapat bertahan lama, apalagi bisa kekal akan
lebih baik agar pahalanya tetap kekal dan berlangsung secara terus
menerus.

C. Peralihan Benda Wakaf


Peralihan benda atau harta wakaf berarti menjual atau menukarnya,
dalam permasalahan ini terdapat perbedaan pendapat diantara ulama madzhab
disebabkan perbedaan dalam memahami Firman Allah Swt dan Hadits Nabi
Muhammad Saw serta pengaruh lingkungan para ulama madzhab.
Dalam pendapat ulama madzhab ada yang melarang atau mengalihkan
harta wakaf sama sekali, ada yang memperbolehkan dalam beberapa kasus
dengan syarat-syarat tertentu da nada pula yang berdiam. Berikut merupakan
pendapat ulama’ madzhab terkait peralihan benda atau harta wakaf
a. Imam Syafi’i

5
Direktorat pemberdayaan wakaf, “Pedoman Pengelolaan dan Perkembangan Wakaf”,(Jakarta : Juli
2013),hal.36-39.
Menurut pandangan mażhab Syafi’i, bahwa harta benda yang
telah diwakafkan bukan lagi milik wakif (orang yang mewakafkan harta),
melainkan telah menjadi milik publik (umum). Akibatnya bahwa harta
benda yang telah diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan, diwariskan
dan dialihfungsikan karena memang ia bukan lagi milik perorangan,
melainkan milik umum (milik umat).
Imam Syafi’i menegaskan bahwa harta wakaf yang telah
diberikan oleh wakif sudah bukan lagi milik wakif. Karena imam syafi’i
menyamakan wakaf dengan ṣadaqah, yang mana ṣadaqah itu tidak bisa
diambil lagi. Sehingga harta yang telah diwakafkan oleh wakif bukan
lagi milik wakif.
Para ulama Syafi’i (ulama bermażhab syafi’i) pada umumnya
membatasi secara ketat penukaran atau penjualan terhadap harta wakaf.
Hanya dalam keadaan yang sangat terpaksa saja harta wakaf itu dapat
ditukar atau dialihkan. Misalnya, bila sebuah bangunan masjid wakaf
runtuh sehingga orang tidak mungkin lagi shalat didalamnya, maka hal
itu tidak diserahkan kepada seseorang, termasuk kepada wakif atau ahli
warisnya, dan tidak boleh pula dijual atau diganti oleh orang lain karena
bangunan itu sepenuhnya merupakan hak Allāh Swt. Akan tetapi, bila
dalam keadaan terpaksa, seperti bangunan masjid itu sudah terlalu
sempit, maka bangunan tersebut boleh dijual atau ditukar yang uang
penjualan atau harta penukaran itu dijadikan untuk dana pembangunan
masjid yang lebih besar.6
Ulama Syafi’i (ulama bermażhab Syafi’i) berpendapat, bahwa
benda wakaf yang sudah tidak berfungsi, tetap tidak boleh dijual, ditukar,
dan atau dialihkan. Karena dasar wakaf itu sendiri bersifat abadi,
sehingga dalam kondisi apapun benda wakaf tersebut harus dibiarkan
sedemikian rupa. Dasar yang digunakan oleh mażhab Syafi’i adalah
hadiṡ Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, dimana dalam hadiṡ
dikatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan
dan tidak boleh diwariskan. Namun dilain pihak berpendapat, bahwa

6
Helmi Karim, fiqih muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997). 115
benda wakaf yang sudah atau kurang berfungsi lagi dimana sudah tidak
sesuai dengan peruntukan yang dimaksud wakif (orang yang
mewakafkan) maka Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Abu Tsur dan Ibnu
Taimiyah berpendapat dalam bolehnya menjual, mengubah, mengganti
atau memindahkan benda wakaf tersebut. Kebolehan itu, baik dengan
alasan supaya benda wakaf tersebut bisa berfungsi atau mendapatkan
manfaat yang lebih besar bagi keperluan umum, khususnya untuk umat
Islam.7
b. Imam Hanafi
Menurut Abu Hanifah harta benda yang menjadi obyek wakaf
tidak akan hilang dari wakif (pemberi wakaf) akibat adanya akad
wakaf.Hal ini diindikasikan dengan adanya hadiṡ Nabi yang menyatakan
(jika kamu menghendaki maka tahanlah asalnya dan sedekahkanlah
darinya) yang berarti bahwa yang menjadi obyek sedekah dalam wakaf
adalah manfaat dari benda yang diwakafkan sementara hak milik tetap
berada di tangan wakif. Hal ini yang kemudian memunculkan pemikiran
Abu Hanifah mengenai penyandaran wakaf pada pinjam meminjam
(ariyah) sebagaimana dinyatakan oleh Burhanudin Ali bin Abu Bakar al-
Murghinaniy: “Dan sebagaimana pemilik kitab Hidayah (Burhanudin
Ali bin Abu Bakar al-Murghinaniy) ketika mengartikan wakaf dengan
perkataannya: dan menurut Abu Hanifah menahannya hamba atas
kepemilikan waqif dan menyedekahkan manfaatnya seperti halnya
pinjam meminjam.”
Abu Hanifah berpendapat bahwa harta benda yang telah
diwakafkan masih tetap milik pihak yang mewakafkan karena akad
(transaksi) wakaf termasuk akad ghayru lazim (tidak menyebabkan
pindahnya kepemilikan benda wakaf), oleh karena itu mażhab Hanafi
mendifinisikan bahwa wakaf adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan
atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan

7
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf, 2005, hal. 80
menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik
sekarang maupun akan datang.”
Ulama Hanafi (ulama’ bermażhab hanafi) membolehkan
penjualan atau pengalihan harta wakaf yang berupa masjid karena
keadaan darurat dan mengizinkan untuk bangunan non masjid secara
lebih longgar. Kalau bukan karena keadaan terpaksa. Bagi Mażhab
Hanafi, wakaf berupa masjid tidak boleh dijual atau dialihkan dengan
materi lain. Kalau wakif pernah berpesan bahwa harta wakaf yang
diberikannya boleh dialihkan, pengalihan atau penjualan terhadap harta
wakaf itu dibolehkan. Pengalihan dan penjualan harta wakaf juga
dibolehkan bila didasarkan atas perintah hakim. Akan tetapi, bila mauquf
itu bukan masjid, harta itu boleh dialihkan atau dijual.8

Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa madzhab syafi’I


memberikan penjelasan bahwa wakaf tidak boleh dijual, ditukar atau dialihkan
sedangkan madzhab Hanafi memperbolehkan dengan syarat-syarat dan sebab-
sebab tertentu.

D. Nadzir Wakaf
a. Nadzir dan Kedudukannya Dalam Waqaf

Secara bahasa kata nadzir berasal dari kata nadzron-yandzuru-nadzoro yang


berarti mengurus atau mengatur. Dan secara istilah nadzir berarti orang atau badan
hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta waqaf sebaik-
baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya, mereka bertugas untuk memelihara,
mengurus, mengelola, mengembangkan, dan mendistribusikan harta waqaf tersebut.

Dalam kitab-kitab fiqh pada umumnya tidak dicantumkan nadzir waqaf sebagai
salah satu rukun waqaf. Namun jika dilihat tujuan waqaf itu ingin melestarikan manfaat
dari benda yang di waqafkan, maka kehadiran nadzir waqaf sangat diperlukan.
Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nadzir sebagai salah satu rukun waqaf,
namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nadzir waqaf, baik nadzir
tersebut adalah si wakif itu sendiri maupun dari pihak lain.

8
Muhammmad Sanuri, “Studi Komparatif antara Mażhab Syafi'i dan Mażhab Hanafi dalam Pengalihan
Harta Wakaf” Skipsi, (Yogyakarta, 2019). 48
b. Syarat Nadzir

Para Fuqaha telah menentukan bebrapa syarat bagi seorang nadzir, diantara
syarat-syarat tersebut adalah :

1) Islam
2) Baligh
3) Berakal
4) Adil (mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang
menurut syariah)
5) Mampu (kemampuan dalam mentasarrufkan apa yang di jaganya)9

c. Kedudukan Nadzir Menurut Imam Madzhab

1. Menurut Madzhab Hanafi


Menurut madzhab Hanafi yang berhak menunjuk nadzir adalah pihak
wakif itu sendiri, bahkan wakif bisa menunjuk dirinya sendiri sebagai nadzir.
Jika wakif tidak menunjuk dirinya sendiri untuk menjadi nadzir dan tidak
menunjuk orang lain untuk itu, maka yang berhak menjadi nadzir adalah orang
yang diberi wasiat, namun apabila tidak ada juga orang yang diberi wasiat untuk
menjadi nadzir, maka yang berhak menunjuk nadzir adalah hakim.
Abu Yusuf sebagai salah satu pengikut madzhab Hanafi juga
memberikan pendapat bahwa yang paling berhak menentukan nadzir adalah
wakif, dengan alasan bahwa wakif adalah orang yang paling dekat dengan
hartanya, dan tentunya wakif berharap agar harta yang diwaqafkan itu
bermanfaat terus-menerus, sehingga dialah yang paling tau mana orang yang
mampu mengurus dan memelihara harta yang di waqafkan tersebut. Apabila
wakif telah wafat dan semasa hidupnya tidak menjelaskan kepada siapa waqaf
itu dikuasakan, maka yang menentukan masalah nadzir adalah hakim, karena
menurut beliau hakim adalah pejabat yang berkompeten di bidang tersebut.
Imam Muhammad Hasan Al-Syaibani memberikan pendapat yang
berbeda dari kedua pendapat sebelumnya yang mana beliau berpendapat bahwa

9
Jaharuddin dan Radiana Dhewayani, Potensi dan Konsep Wakaf Buku 1 Serial Manajemen Wakaf
Produktif (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2020). 51
apabila wakif tidak menunjuk nadzir waqaf pada saat ikrar waqaf, maka yang
berhak mengangkat nadzir adalah mauquf ‘alaih. Menurutnya nadzir itu bekerja
bukan mewakili wakif akan tetapi mewakili mauquf ‘alaih.

2. Menurut Madzhab Maliki


Madzhab Malikiah juga berpendapat bahwa orang yang berhak
mengangkat nadzir adalah wakif. Namun Madzhab Malikiah menolak wakif
untuk menguasai harta waqaf yang telah ia waqafkan. Jika wakif menunjuk dan
mengangkat dirinya untuk menjadi nadzir, hal ini seakan-akan ia mewaqafkan
untuk dirinya sendiri. Sedangkan golongan Malikiah berpendapat bahwa wakif
tidak boleh mengambil hasil benda yang telah diwaqafkan.
Ibnu Baththal berpendapat jika wakif diperbolehkan menguasai harta
yang telah di waqafkan tadi dan dalam waktu yang lama akan memungkinkan
wakif lupa terhadap harta yang telah diwaqafkan tersebut dan apabila ia jatuh
miskin kemungkinan ia akan membelanjakan untuk dirinya sendiri. Selain itu
jika ia meninggal, kemungkinan ahli warisnya membelanjakan harta waqaf itu
untuk keperluan mereka sendiri. Untuk menghindari hal-hal tersebut golongan
Malikiah berpendapat bahwa wakif harus mengangkat nadzir dari pihak lain
untuk mengurus harta yang diwaqafkan.
Larangan wakif untuk mengangkat atau menunjuk dirinya sebagai nadzir
tidaklah mutlak begitu saja. Madzhab Malikiah membolehkan wakif
mengangkat dirinya sebagai nadzir jika wakif mampu menghindarkan diri dari
hal-hal yang memungkinkan tidak dapat berfungsinya waqaf sebagai mana
semestinya seperti yang dikemukakan Ibnu Baththal diatas.

3. Kedudukan Nadzir Menurut Madzhab Syafi’i


Madzhab Syafi’iah berpendapat bahwa nadzir tidak ditentukan oleh
wakif, kecuali wakif mensyaratkan disaat terjadinya waqaf. Para ulama
syafi’iyah berbeda pendapat :
1) Pendapat pertama menyatakan bahwa yang berhak menjadi nadzir adalah
wakif sendiri dan penguasaan terhadap harta tetap ditangan wakif.
2) Pendapat kedua menyatakan bahwa yang menjadi nadzir adalah mauquf
‘alaih dan penguasaan harta waqaf ada pada mauquf ‘alaih karena dialah
yang berhak atas hasil waqaf, sehingga dia pula yang mempunyai
kewajiban untuk memelihara harta waqaf tersebut.
3) Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang berhak mengangkat nadzir
adalah hakim karena sesungguhnya tergantung padanyalah hak mauquf
alaih.

Pendapat ketiga inilah tampaknya yang paling mudah diterima dan lebih
dekat kepada kebaikan, karena jika ada masalah yang berkaitan dengan
perwaqafan hakim akan mudah mengatasinya.

4. Kedudukan Nadzir Menurut Madzhab Hambali


Menurut Hanabilah yang berhak mengangkat nadzir adalah wakif. Wakif
boleh menunjuk dirinya atau orang lain sebagai nadzir ketika ia mengucapkan
ikrar waqaf. Tetapi apabila wakif tidak menunjuk nadzir ketika ia mewaqafkan
hartanya sedangkan waqaf itu ditujukan untuk kepentingan umum maka yang
berhak mengangkat nadzir adalah hakim. Jika waqaf ditujukan untuk orang
tertentu baik seorang atau lebih sedangakan wakif tidak menyebut nadzirnya,
maka hak nadzir ada pada mauquf alaih, karenanya pengawasan mauquf alaih
pada harta itu seperti miliknya secara mutlak.
Pendapat lain mengatakan bahwa hak nadzir ada pada hakim, tetapi
pendapat yang terbanyak mengatakan hak nadzir ada pada mauquf ‘alaih.
Apabila mauquf ‘alaihnya tidak berilmu (tidak cakap bertindak hukum), masih
kecil atau gila maka yang berhak menjadi nadzir adalah walinya.10

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya para


ulama berpendapat bahwa yang paling berhak menetukan nadzir adalah wakif
adapun jika wakif tidak menunjuk nadzir disaat ia melakukan ikrar waqaf pada
umunya ulama berpendapat bahwa yang berhak mengakat nadzir adalah hakim,
kecuali sebagian dari golongan Hanabilah yang berpendapat jika mauquf
alaihnya mua’yan (tertentu) maka hak pengangkatan nadzir ada pada mauquf

10
S Mubarok, “Kedudukan Nadzir Dalam Perspektif Empat Madzhab,’’ Iain Tulungagung Institutional
Repository, (2019), h. 63-67.
alaih. Jika mauquf alaih-nya tidak mampu melaksanakan tugasnya, tugas tidak
kembali kepada hakim tetapi kepada wali mauquf alaih.
Mengenai wewenang hakim untuk mengangkat nadzir, hal ini memang
tepat jika dihubungkan dengan makna waqaf itu sendiri. Pengangkatan nadzir
yang dilakukan oleh hakim pada umunya berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang lebih matang. Disamping itu jika hakim mengangkat nadzir
maka pengawasan hakim terhadap nadzir pun lebih mudah.
Kesimpulan

Wakaf merupakan salah satu tradisi islam yang berlaku hingga saat ini, dianatara
macam dan jenis wakaf adalah:

1. Wakaf berdasarkan Peruntukannya.


2. Wakaf berdasarkan Waktunya.

Objek wakaf meliputi 2 hak yaitu

1. Benda bergerak
2. Benda Tidak Bergerak

Dalam menyikapi persoalan wakaf, ulama madzhab memiliki beberapa


perbedaan pendapat. Namun perbedaan tersebut tidak sampai merubah esesnsi
dari wakaf itu sendiri. Sebab mereka berpatokan dengan sumber yang sama yaitu
Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas.

Kritik dan Saran

Dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Termasuk


diantaranya kurangnya sumber data, kurangnya penjabaran yang lebih detail dan
pemilihan kata dan diksi yang kurang tepat. Oleh karena itu, saran yang membangun
kami butuhkan untuk menyempurnakan makalah selanjutnya.
Daftar Pustaka

Direktorat Pemberdayaan Wakaf. Pedoman Pengelolaan dan Perkembangan Wakaf


(Jakarta : Juli 2013).
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji. Fiqih Wakaf. 2005.
Fakhruddin, Pengaruh Mazhab Dalam Regulasi Wakaf Di Indonesia, Jurnal Hukum
dan Syariah, 2 (2019).

Jaharuddin dan Radiana Dhewayani. Potensi dan Konsep Wakaf Buku 1 Serial
Manajemen Wakaf Produktif (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2020).
Karim, Helmi. Fiqih Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997).
Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara. Konsep Wakaf Dalam Islam (Sumatera Utara,
2019).
S Mubarok. Kedudukan Nadzir Dalam Perspektif Empat Madzhab. Iain Tulungagung
Institutional Repository (2019).
Sanuri, Muhammmad. Studi Komparatif antara Mażhab Syafi'i dan Mażhab Hanafi
dalam Pengalihan Harta Wakaf. Skipsi, (Yogyakarta, 2019).
Sari, Elsi Kartika. Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf (Jakarta : Grasindo, 2006).

Anda mungkin juga menyukai