Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Wakaf di zaman Islam telah dimulai bersamaan dengan dimulainya masa

kenabian Muhammad saw di Madinah yang ditandai dengan pembangunan Masjid

Quba’, yaitu masjid yang dibangun atas dasar takwa sejak dari pertama, agar menjadi

wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan agama. Wakaf berasal dari bahasa Arab

waqf yang berarti “menahan, berhenti, diam di tempat, atau tetap berdiri”. Wakaf

menurut syara’ adalah menahan zat (asal) benda dan mempergunakan hasilnya, yakni

menahan benda dan mempergunakan manfaatnya di jalan Allah (sabilillah).1 Menurut Ali

bin Muhammad Al-Jurjani, wakaf adalah menahan zat suatu benda dalam pemilikan si

wakif dan memanfaatkan (mempergunakan) manfaatnya. 2

Wakaf itu suatu ibadah yang disyariatkan dan elah menjadi lazim (telah berlaku)

dengan sebutan lafadz, walaupun tidak diputuskan oleh hakim, dan lepas miiknya,

walaupun barang itu tetap ada di tangannya.3 Wakaf berarti penetapan yang bersifat abadi

untuk memngut hasil dari barang yang diwakafkan guna kepentingan orang-orang atau

yang bersifat keagamaan atau untuk tujuan amal.4 Perwakafan tanah sangat penting bagi

kepentingan manusia karena fungsi dan perannya mekonomi, politik maupun budaya.

1
Sayid Sabiq. 197. Fiqih Sunnah. PT Al-Ma’arif. Bandung. hlm. 378.
2
Suparman, Usman. 2006. Hukum Perwakafan Indonesia. Darul Ulum Perss. Jakarta. hlm. 27.
3
Hasbi Ashiddiqi. 1975. Pengantar Hukum Fiqih Islam. Bulan Bintang. Jakarta. hlm. 159.
4
Maulana Muhammad Ali. 1980. The Religion of Islam (Penerjemah R. Kalang dan HM. Buchrun) PT Ichtiar Baru.
Jakarta. hlm . 467.

1
Jumlah penduduk yang selalu bertambah sedangkan lahan tanah yang sangat

terbatas ditambah dengan perkembangan pembangunan sehingga mengakibatkan fungsi

tanah sangat dominan karena lahan tanah tidak sebanding dengan kebutuhan yang

diperlukan. Tanah merupakan objek benda tidak bergerak yang penguasaannya berada

pada negara, manfaat dari tanah tersebut adalah digunakan oleh negara melalui

pemerintahan yang tujuannya adalah mewujudkan kemakmuran masyarakat.

Wakaf adalah perikatan antara orang yang memberikan wakaf (wakif) kepada

orang yang menerima wakaf untuk tujuan wakaf (Nazir). Perikatan adalah suatu

hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar

mana pihak yang satu berhak dan pihak lain berkewajiban atas suatu prestasi.5 Apabila

tanah wakaf kehilagan manfaat sesuai dengan tujuannya, tanah wakaf tersebut dapat

dijual oleh nazir. Penjualannya wajib dibelikan tanah lain yang nilai dan manfaatnya

harus sama dengan harta wakaf awal yang dijual. Jika perikatan terjadi maka secara

otomatis didalamnya mengandung sebuah kata “sepakat” sesuai dengan Asas

Konsensualisme.

Pemberdayaan wakaf di Idonesia dilihat dari jumlahnya, harta wakaf diseluruh

tanah air terbilang cukup besar. Sebagian besar dari wakaf itu berupa tanah yang

dibangun untuk rumah ibadah, lembaga pendidikan Islam, pekuburan dan lain-lain yang

rata-rata tidak produktif. Harta wakaf agar mempunyai bobot roduktif harus di kelola

dengan majemen yang baik dan modern, namun tetap berdasarkan Syari’at Islam dibawah

koordinasi Badan Wakaf Indonesia (BWI). Pemberdayaan harta wakaf tersebut mutlak

5
R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung:Binacipta, 1987, Cet.IV), hal. 1 .

2
diperlukan dalam rangka menjalin kekuatan ekonomi umat demi meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

Karena itu perlu suatu upaya pemberdayaan wakaf berkesinambungan dengan

memperhatikan tanah wakaf agar tercpai tujuan optimal. Mengingat wakaf merupakan

perbuatan hukum yang berkembang da dilaksanakan masyarakat, yang pengaurannya

belum maksimal. Perbuatan mewakafkan adalah perbuatan yang suci, mulia dan terpuji

sesuai dengan ajaran agama Islam. Berhubungan dengan itu maka tanahyang hendak

diwkafkan itu harus betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacatnya ari sudut

kepemilikan.

Pasal 40 Undang-undang No.41 Tahun 2004 mengatur setelah benda diwakafkan

dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau

dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Apabila terjadi sengketa wakaf hal

tersebut atur dalam Pasal 62 Undang-undang No.41 Tahun 2004 bahwa Penyelesaian

sengketa perwakafan dapat ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mfakat.

Apabila cara penyelesaian sengketa secara musyawarahtidak berhasil maka dapat

diseleaikan melalui mediasi, arbitrase, dan pengadilan.

Diharapkan degan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004,

pengembangan wakaf pada masa yang akan datang akan memperoleh dasar hukum yang

kuat, terutama adanya kepastian hukum kepada nazir, wakif, dan peruntukkan wakaf.

Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya

berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak

terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ketangan pihak ketiga dengan

3
cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidak

mampuan nadir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf tetapi karena juga

sikap masyarakat yang kurang peduli ataubelum memahami status harta benda wakaf

yang sehausnya dilindungi demi kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan

peruntukan wakaf.

Terhadap pendapat yang mengatakan bahwa benda wakaf tidak boleh diganti atau

ditkar dengan benda yang lain, menyebabkan banya benda wakaf tidak dapat dikelola

dengan baik, banyak benda wakaf tidak berfungsi karena sudah using dimakan usia, atau

tidak strategis lagi karena terletak di lingkungan yang kumuh dan tidak ada manfaat apa

pun kepada masyarakat. Bahkan banyak sekali benda wakaf justru membebani

masyarakat di sekitarnya. Padahal tujuan perwakafan itu sebagaimana petunjuk

Rasulullah SAW. Adalah harus memberi manfaat untuk kepentingan masyarakat banyak.

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan

sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu

tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan

umum menurut syariat (Pasal 1 Undang-undang No.41 Tahun 2004). Dari uraian tersebut

dapat dsimpulkan, bahwa wakaf adalah melepaskan atau menahan hak milik atas harta

benda untuk dimanfaatkan guna kepentingan ibadah (umum) yang diridhai Allah. 6

Dasar hukum keberadaan wakaf tercantum di dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi

Muhammad saw berikut:

“Berbuatlah kebajian agar kamu mendapat kebahagiaan/kemenangan (QS. Al-Hajj: 77)

6
Umar Said Sugiharto. 1993. Efektifitas Pendaftaran anah di Kota Malang Setelah Berlakunya PP No. 28 Tahun
1977 (Thesis). Hlm. 86.

4
“Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, kecuali kamu belanjakan sebagian harta yang

kamu cintai (QS. Al-Imran: 92).

Apabila anak Adammeninggal dunia, putuslah amalnya, kecuali tiga perkara,

yakni shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaa, dan anak sholeh yang mendoakan orang

tuanya (HR, Abu Hurairah).

Menurut Asy-Syaukani, bahwa para ulama menafsirkan shodaqoh jariyah sama

dengan wakaf. Yangdimaksud dengan shodaqoh jariyah adalah wakaf.

Praktik wakaf yang dilaksanakan di Indonesia masih melaksanakan secara

konvensional yang memungkinkan rentan terhadap berbagai masalah dan tidak sedikit

yang berakhir di pengadilan. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya penyimpangan

terhadap benda-benda wakaf yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,

dan juga sudah menjadi rahasia umum ada benda-benda wakaf yang di perjualbelikan.

Keadaan ini tidak hanya berdampak buruk kepada perkembangan wakaf di Indonesia,

tetapi merusak nilai-nilai luhur ajaran Islam yang semestinya harus dijaga kelestariannya

sebab ia merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.

Dalam Pasal 225 Kompilasi Hukum Islam ditentukan, bahwa benda yang telah

diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang

dimaksud dalam ikrar wakaf. Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat

dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan

5
tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis

Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan : 7

a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;

b. Karena kepentingan umum.

Namun, pada kenyataannya jual-beli tanah wakaf pernah dilakukan baik dari

keluarga wakif, pihak pemerintah, maupun orang-orang yang tidak bertanggung jawab

dengan tidak memperhatikan syarat dan tata cara yang berlaku.

Hal tersebut terjadi dalam sebuah kasus yang penulis angkat yang mengenai jual-

beli tanah wakaf pemakaman yang dikategorikan melawan hukum. Kasus jual-beli tanah

wakaf pemakaman tersebut terjadi di Kampung Bantarbaru, Desa Buahbatu, Kecamatan

Bojongsoang, Kabupaten Bandung yang melanggar Undang-Undang No.41 Tahun 2004

tentang Wakaf yang dimana Tanah Wakaf tersebut di jual oleh Ketua Rw 05, kasus di

tangani oleh Kuasa Hukum Anton Suhartono dan Leni Anggraeni kasus tersebut sangat

janggal karena pada pengembangan penyidikan penyelidik mengesampingkan fakta jual-

beli yang ada. Menurut Kuasa Hukum Leni Anggraeni pada fakta jual-beli yang ada

terdapat tandatangan warga yang di duga dipalsukan dan belum di uji penyidik, padahal

ada bukti penguat lainnya. Bukti tersebut adalah surat pernyataan dari terlapor tersendiri

yang menyatakan bahwa tanah tersebut adalah milik warga Rw 05. Kemudian di tambah

dengan surat pernyataan H. Amas sebagai penjul tanah tersebut bahwa tanah tersebut

sudah dijual ke warga RW 05. Jadi bagaiman mungkin akta jual beli disejajarkan dengan

surat pernyataan. Jadi arahnya bukan ke sana lanjut Leni Anggraeni karena akta jual beli

7
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 71.

6
harus mengetahui asal muasalnya. Apakah terlapor mempunyai hak penuh dalam menjual

tanah tersebut. Dan bagaimana juga dengan Kepala Dea Supriatna yang mengakui

menerima hasil penjualan tanah tersebut. 8

Leni Anggraeni juga mengatakan dari hasil BAP (berita acara pemeriksaan) yang

dilakukan oleh penyidik menurut Kepala Unit Harta Benda Polresta Bandung hal itu

harus dilporkan kembali. Tetapi kan sulit rasanya warga menuntut keadilan bila proses

hukum harus seperti ini jika harus melapor kembali. Ada berapa banyakwarga lagi tersita.

Padahal Tanah tersebut lanjut Leni Anggraeni, adalah untuk kepentingan umum yaitu

tanah untuk kuburan. Karena sah-sah saja berbeda pendapat hukum, karena akan kita uji

lag di pra peradilan ucap Leni Anggraeni, oleh karenanya Leni pun akan melakkan upaya

hukum lain yaitu dengan cara pra peradilan tersebut dalam waktu dekat.

Leni Anggraeni juga menyatakan kasus penjualan Tanah Wakaf ini sama seperti

kasus tanah waris. Jadi apabila salah satu ahli waris tidak setuju maka dinyatakan

penjualan tidak sah secara hukum. Ini sesuai dengan Pasal 1471 Kitab Undang-undan

Hukum Perdata yang isi nya yaitu :

“Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada

pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak

mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain”.

Jadi penjualan tanah wakaf yang dilakukan oleh Ketua RW 05 dan Kepala Desa

setempat ini tidak sah, karena tidak melalui persetujuan warga seutuhnya. Tetapi

8
https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01567260/kasus-tanah-wakaf-kuburan-diduga-dijual-ketua-rw-
di-sp3-kuasa-hukum-ajukan-praperadilan. Diakses tanggal 28 Oktober 2021.

7
seharusnya tanah yang sudah berubah menjadi tanah wakaf tidak boleh di ganggu gugat

atau di perjual belikan.

Dalam kasus ini sebanyak 13 saksi yang akan diperiksa oleh Polresta Bandung

atas adanya dugaan tandatangan palsu penjualan tanah kuburan untuk wakaf di Kampung

Bantarbaru, Desa Buahbatu, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Jadi 13

orang ini diduga terkait tanda tangan palsu yang tercantum di penjualan tanah wakaf

tersebut. Pada persetujuan yang ada, tiga orang di antaranya menggunakan tanda tangan

palsu kata kuasa Hukum Warga RW 05 yaitu Leni Anggraeni. Sebelumnya warga RW

05, Kampung Bantarbaru, Desa Buahbatu, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung

pertanyakan nasib tanah wakaf untuk pekuburan yang dijual oleh warga lainnya yang

diberi mandate.Bahkan yang warga diberi mandate ini pu didukung oleh kepala dsa

setempat dalam menjual tanahnya. Pada tahun 2000 lalu Pemkab Bandung lakuan

normalisasi Sungai Citarum, sehingga tanah wakaf pekuburan di lokasi Kampung Bantar

terpaksa dindahkan. Pengganti tanah wakaf tersebut langsung diberikan ke ahli waris,

sedangkan biaya pemindahan jenazah dibayarkan oleh para ahli warisnya masing-masing

menurut Anton.

Lalu lanjut Anton warga setempat yang terdiri dari tokoh masyarakat, Ketua

DKM dan lainnya bersepakat untuk mengurus pemindahan jenazah tersebut. Tetapi

warga pun sepakat biaya dari pemindahan ini akan diajukan lahan baru pekuburan,

mengingat taka da lokasipekuburan di tempat tersebut. Hanya saja selama beberapa bulan

belum ditemukan tanh baru untuk pekuburan ini yang lokasinya tidak jauh. Jadi untuk

mengurangi isu dan suudzan warga maka biaya ganti rugi wakaf tersebut dibelikan dulu

sawah di sekitar lokasi tak lama dari kejadian tersebut warga akhirnya menemukan tanah

8
di RW 04 milik Bapak Amas adi untuk pekuburan baru. Tetapi untuk mempermudah

menjualnya ata Anton maka warga pun berembg untuk menjadikan tanah tersebut atas

nama wakil dari warga, kami kuasakan ke Pak Dede Sutisna saat itu merupakan Ketua

RW 05. Sehingga tanah tersebut atas nama Pak Dede Sutisna dengan Nomor Akta Jual

Beli No 207 Tahun 2002 yang dikeluarkan PPAT Keamatan Bojongsoang.

Tanah itu pun selama beberapa tahun menjadi asset berjalan bagi warga

khususnya bagi DKM, pengurus masjid. Lumayan untuk memberi gaji para guru ngaji di

masjid setempat. Hanya saja pada tahun 2013 tanah tersebut dijual begitu saja oleh Pak

Dede Sutisna sehingga membuat keadaan kisruh, jadi tanpa koordinasi dengan warga atau

ahli waris dan uangnya diserahkan ke kepala desa tidak jelas. Setelah ditelusuri ternyata

yang setuju ini hanya segelintir orang ahkan beberapa di antaranya hanya nama dengan

tanda angan jiplakan saja.

Seseorang yang mewakafkan harta benda berupa tanah yang dimiliki untup

kegiatan pembangunana yayasan tertentu. Dalam hal ini, tanah tidak diperbolehkan dijual

maupun dihibahkan kepada orang lain setelah diterima. Melainkan, pengelolaan yayasan

hanya diperkenankan mengatur pemanfaatan tanah kepentingan yayasan saja. Dapat di

pahami bahwa wakaf merupakan upaya bersedekah, yaitu dengan menyedekahkan harta

secara permanen kepada orang lain untuk di jadikan kepentingan umum misalnya masjid,

sekolahan, yayasan, atau pemakaman atau yang lainnya. Maka dari sumber inilah penulis

berkeinginan dan tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP TANAH WAKAF PEMAKAMAN YANG DIJUAL DAAM

PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG

WAKAF”

9
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka topik-topik yang akan dibahas dalam penelitian

ini :

1. Bagaimana aturan hukum terhadap tanah wakaf pemakaman yang dijual dalam

persefektif Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?

2. Bagaimana Pelaksanaan wakaf dalam Masyarakat?

3. Bagaimana solusi penyelesaian sengketa tanah wakaf pemakaman yang di jual

dalam persefektif Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis bagaimana aturan hukum terhadap

tanah wakaf pemakaman yang dijual dalam persefektif Undang-Undang Nomor

41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

2. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis bagaimana Pelaksanaan wakaf

dalam Masyarakat.

3. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis bagaimana solusi penyelesaian

sengketa tanah wakaf pemakaman yang di jual dalam persefektif Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik dari segi teoritis

maupun segi praktis, sebagai berikut :

1. Kegunaan Secara Teoritis

10
a) Menambah pengetahuan dan pengalaman, khususnya Hukum Islam

terkait dengan wakaf. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

menjadikan bahan literature untuk dipergunakan dalam penelitian

lebih lanjut untuk memperdalam pengetahuan mengenai wakaf di

Indonesia;

b) Hasil dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi

pembaca ataupun manfaat bagi pengembangan ilmu ilmu pengetahuan

dalam bidang Ilmu Hukum Islam;

c) Hasil dari penelitian ini semoga bisa dipakai sebagai acuan terhadap

penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya;

2. Kegunaan Secara Praktis

a) Hasi penelitian ini semoga menjadi pedoman dan masukan bagi

pemerintah, pradilan dan praktisi-praktisi hukum dalam menentukan

kebijakan dan langkah-langkang bagi masyarakat dalam bagaimana

pandangannya mengenai pemberian tanah wakaf;

b) Sebagai bahan kajian bagi akademis untuk menambah wawasan ilmu

hukum islam terutama mengenai wakaf tanah;

c) Terutama bagi peneliti, sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan

pendidikan pada Fakultas Hukum Pasundan Bandung;

Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembangunan

pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat agar tidak ada penyalahgunaan tanah

wakaf di Indonesia, serta menjadi masukan dan pedoman bagi aparat hukum terutama

dalam pemberian tanah wakaf.

11
E. Kerangka Pemikiran

Landasan konstitusional bangsa Indonesia yakni pancasila yang pada sila

kesatunya berbunyi “Ketuhan Yang Maha Esa” menunjukan bahwa Negara Indonesia

mengakui keberadaan masyarakat yang tumbuh di Indonesia diiringi dengan nilai-nilai ke

Tuhanan yang menjadi landasan moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat.

Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 alinea ketiga menjelaskan

pemikiran religious bangsa Indonesia bahwa msyarakat Indonesia merupakan masyarakat

yang begitu kental dengan nilai-nilai ketuhanan. Dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang

Dasar (UUD) Tahun 1945 juga dinyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas

Ketuhanan Yang Maha Esa dengan demikian agama dijadikan landasan moral dan etika

dalam kehidupan sosial dimasyarakat.9

Indonesia sebagai Negara konstitusional, menjamin dan melindungi hak-hak

warga Negara untuk melaksanakan hak-hak mereka. Dalam hal ini, paragraph pertama

dari Pasal 28 D Konstitusi Republik Indonesia menegaskan bahwa setiap orang memiliki

hak untuk dijamin atas perlindungan yang adil dan jaminan hukum dan perlakuan yang

sama di hadapan hukum, termasuk pengawasan hukum dalam pelaksanaan wakaf.

Wakaf adalah bagian hukum Islam yang mendapat pengaturan secara khusus

dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 41

Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dengan demikian, wakaf merupakan salah satu lembaga

hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia. Yaitu sebagai suatu

lembaga keagamaan, dan berfungsi sebagai ibadah kepada Allah SWT, wakif juga

9
Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003,hlm.77.

12
berfungsi social. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi

kehidupan wakif (pemberi wakaf) di akhirat karena pahalanya akan terus menerus

mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan.

Kemudian wakaf juga di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Wakaf menyebutkan bahwa wakaf

adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta

benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai

dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut

syariah.

Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan tentang fungsi

wakaf, yaitu untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk

kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini yang tentunya

akan menjadi sasaran pokok dan perhatian pengelola. Ini pula yang menjadi

pertimbangan pentingnya benda wakaf itu dikelola oleh lembaga Negara, dalam hal ini

BWI (Badan Wakaf Indonesia) secara langsung. Atau lembaga-lembaga lain yang

independen, bukan afiliasi dari salah satu ormas. Dapat dibayangkan, apabila benda

wakaf wakaf itu dikelola oleh suatu ormas, maka lingkup kemaslahatan wakaf akan

terbatas yang pemanfaatannya mungkin hanya berkisar pada mereka yang terkait dengan

ormas itu saja.

Di samping niat dan dorongan wakif yang mengharapkan mendapatkan pahala

sebanyak-banyaknya, mereka pun berkeinginan agar wakafnya bermanfaat bagi

masyarakat banyak dengan interval waktu yang tidak terbatas. Selanjutnya dalam Pasal

13
22 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa rangka mencapai tujuan

dan fungsi wakaf, benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi :

a. Sarana dan kegiatan ibadah;

b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;

d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau

e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan

peraturan perundang-undangan.

Di kalangan ulama fiqih terdapat silang pendapat tentang boleh tidaknya harta

benda wakaf ditukarkan atau ruslag. Meskipun ulama fiqih berbeda pendapat, tetapi

alasan mereka masing-masing sama, yaitu didasari oleh pertimbangan aspek maslahat

dan mafsadatnya. Pendapat yang membolehkan lebih melihat pada keberlangsungan

manfaat dari pada ketetapan harta wakafnya sendiri, sedangkan pendapat kedua lebih

melihat pada kemaslahatan harta yang diwakafkannya, yaitu keabadian harta wakaf.10

Dengan mengacu pada pendapat para ahli itu, maka yang harus menjadi perhatian

dan rujukan adalah tujuan bagi masyarakat luas. Secara jujur, siapapun tidak mungkin

memaksakan untuk tidak mengganti benda wakaf apabila sudah tidak produktif atau tidak

dapat lagi dimanfaatkan. Untuk itu, tentu saja perlu adanya pemahaman yang sama dalam

mengartikulasikan makna abadi dari benda wakaf itu sendiri, apabila benda wakaf itu

dapat terus berguna dan memberikan manfaat. Siapapun juga akan menyatakan sesuatu

10
Ibid., hlm. 39-44.

14
itu “rusak” apabila memang sudah tidak dapat digunakan lagi. Apapun yang diberi label

“rusak” itu berarti berbanding tidak lurus dengan makna abadi itu sendiri.

Wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan

orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya dan atau menyalurkan manfaat dari

harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Asas-asas perwakafan yang pertama

ialah asas pertanggung jawaban dalam wakaf terdapat dua dimensi pertanggung jawaban

akhirat, pada prinsipnya sama bahwa kedua dimensi pertanggungjawaban


11
mengeksplisitkan pada pengelolaan harta wakaf dengan sebaik-baiknya. Beberapa

prinsip untuk mengelola wakaf tersebut yaitu mempunyai prinsip keabadian dan juga

prinsip kemanfaatan, benda yang menjadi benda wakaf nantinya akan menerima status

sebagai benda wakaf sesuai dengan syariah Islam, dan orang yang mengelola wakaf

tersebut disebut dengan nazira yang telah menerima pelatihan secara khusus, pengelola

untuk benda wakaf harus produktif dan berkembang. 12

Dalam Pasal 215 angka (1) Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa

wakaf adalah perbuatan hukum seorang atau kelompok orang atau badan hukum yang

memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya

guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama. Ini

berarti wakaf adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh seseorang, kelompok

orang atau badan hukum dengan cara memisahkan sebagian harta benda milik dan itu

dilembagakan untuk selama-lamanya bagi kepentingan ibadat atau umum lainnya sesuai

dengan ajaran agama Islam. Benda milik yang dimaksud tidak hanya benda tidak

11
Abdul Shomad, Hukum Islam, Kencana, Jakarta, 2010,hlm371.
12
Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf, Alkabisi, Jakarta, 2006, hlm
16.

15
bergerak (benda tetap), tetapi juga dapat benda bergerak asalkan benda yang

bersangkutan memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut

ajaran Islam.13

Badan Wakaf Indonesia (BWI) Badan wakaf Indonesia baik di pusat ataupun

Perwakilan BWI di provinsi dan kabupaten/kota dibentuk dalam rangka memajukan dan

mengembangkan perwakafan di Indonesia. Ia memiliki tugas dan wewenang yang

strategis dalam pengembangan wakaf.

Undang-undang Wakaf dengan tegas menyebutkan bahwa Tugas dan Wewenang

BWI adalah sebagai berikut :

1) Melakukan pembinaan terhadap Nazir dalam mengelola dan mengembangkan harta

benda wakaf;

2) Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan

internasional;

3) Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta

benda wakaf;

4) Memberhentikan dan mengganti Nazir;

5) Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf; dan

6) Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan

kebijakan di bidang perwakafan.14

Dalam melaksanakan tugas tersebut, Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama

dengan instansi Pemerintah, baik pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli,

13
Ibid., hlm. 65-66.
14
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Bab VI Pasal 49 ayat 1.

16
badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu. Setelah memerhatikan saran

dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia.15

Tugas dan Wewenang BWI cukup luas mencakup pembinaan pengelolaan dan

pengawasan, bahkan BWI dapat bertindak sebagai Nazir yakni “mengelola dan

mengembangkan harta benda wakaf”.16 BWI sebagai lembaga Pembina bahkan dapat

memberhentikan dan mengganti nadzir tidak lazim untuk bertugas sebagai pengelola

(Nazir) pada saat yang bersamaan, karenanya masalah ini harus menjadi kajian sungguh-

sungguh berbagai pihak terkait untuk menjamin rasionalitas, proporsionalitas, dan

profesionalitas pengembangan wakaf ke depan. Di samping itu, dalam menjalankan tugas

dan wewenangnya, BWI perlu diawasi public, wewenang dan tugasnya hendaknya

dibatasi sehingga tidak melampaui tugas dan wewenang lembaga lain.

Perwakafan tanah di Indonesia telah ada sejak lama yaitu sejak agama Islam

masuk ke Indonesia. Wakaf adalah suatu lembaga keagamaan, khususnya bagi umat yang

beraga Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. 17 Allah telah

mensyariatkan wakaf, menganjurkan dan menjadikannya sebagai salah satu cara untuk

mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan

perintah melaksanakan wakaf, yang dijadikan dasar hukum wakaf, yaitu sebagai berikut :

1. Surah Al-hadiid ayat (18)

“Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki

maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya

15
Ibid., Pasal 49 ayat (2) dan Pasal 50.
16
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 11 poin b.
17
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan HAM RI, Aspek Hukum Perwakafan Hak Atas
Tanah Selain Hak Milik, Jakarta, 2002, hlm. 22.

17
akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang

banyak”.18

2. Surah An-Nahl ayat (97) :

”Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam

keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang

baik”.

3. Surah al-Baqarah ayat 261-265, yang terjemahannya berbunyi :

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan

hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh

bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa

yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak

mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan

dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi

Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka

bersedih hati. 19

Kemudian Hadits-hadits yang memberikan isyarat kepada kita untuk melakukan

ibadah wakaf tersebut, yaitu :

Hadits riwayat Ibnu Majah, bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

“Sesungguhnya sebagian amalan dan kebaikan orang yang beriman yang dapat

mengikutinya sesudah ia meninggal ialah: ilmu yang disebar luaskan, anak saleh yang

18
Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, Surabaya, 1997, hlm.66.
19
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 65-66.

18
ditinggalkan, Al-Quran yang diwariskan, masjid yang didirikan, rumah yang dibangun

untuk musafir, sungai yang ia alirkan, atau sedekah yang dikeluarkan dari harta bendanya

pada waktu ia masih sehat atau hidup”.

Praktik wakaf yang dilaksanakan di Indonesia masih dilaksanakan secara

konvensional yang memungkinkan rentan terhadap berbagai masalah dan tidak sedikit

yang berakhir di Pengadilan. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya penyimpangan

terhadap benda-benda wakaf yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,

dan juga sudah menjadi rahasia umum ada benda-benda wakaf yang diperjualbelikan.

Keadaan ini tidak hanya berdampak buruk kepada perkembangan wakaf di Indonesia,

tetapi termasuk nilai-nilai luhur ajaran Islam yang semestinya harus dijaga kelestariannya

sebab ia merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Menyadari tentang keadaan

ini, para pihak yang berwenang telah memberlakukan beberapa peraturan tentang wakaf

untuk dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Namun peraturan-peraturan yang telah

dikeluarkan itu dianggap masih belum memadai dalam menghadapi arus globalisasi saat

ini, maka di perlukan peraturan baru tentang wakaf yang sesuai dengan situasi dan

kondisi saat ini.

Dibandingkan dengan pelaksanaan wakaf di Negara-negara Islam, pelaksanaan

wakaf di Indonesia masih jauh ketinggalan. Selama ini pelaksanaan wakaf di Indonesia

masih berorientasi kepada sarana peribadatan seperti masjid, sekolah, kuburan, dan

sarana keagamaan lainnya. Pengelolaan wakaf di beberapa Negara Islam seperti Mesir,

Arab Saudi, Qatar, Turki sudah dilakukan dengan manajemen yang baik, wakaf tidak lagi

terfokus kepada sarana peribadatan, tetapi ruang lingkupnya sudah diperluas yakni

seluruh harta kekayaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang berwujud

19
dan tidak berwujud, juga sudah dikenal dengan wakaf uang, logam mulia, surat berharga,

kendaraan transfortasi, hak kekayaan intelektual, hak sewa, hak pakai, dan sejenisnya.

Negara-negara Islam telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk melindungi dan

memberi rasa aman kepada para pengelola wakaf dengan pengawasan yang cukup ketat.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf20 rukun wakaf ada empat macam yaitu :

1. Orang yang berwakaf (Wakif)

Yang dimaksud dengan wakif adalah pemilik harta benda yang melakukan

perbuatan hukum. Menurut para pakar hukum Islam, suatu wakaf dianggap sah dan

dapat dilaksanakan apabila wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan “tabarru”

yakni melepas hak milik tanpa mengharapkan imbalan materiil. Oleh karena itu

seorang wakif haruslah orang yang merdeka, berakal sehat, balig dan rasyid serta

betul-betul memiliki harta benda.

Wakaf harus didasarkan atas kemauan sendiri, bukan atas tekanan atau

paksaan dari pihak manapun. Para ahli hukum Islam sudah sepakat bahwa wakaf dari

orang yang dipaksa adalah tidak sah hukumnya, bagitu pula hukum atau ketentuan

bagi setiap perbuatannya.

2. Harta yang diwakafkan (mauqul bih)

Agar harta benda yang diwakafkan sah, maka harta benda tersebut harus

pertama: mutaqawwin (mal mutaqawwin) yakni harta pribadi milik si wakif secara

sah dan halal, dapat benda bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau tidak

berwujud, kedua: benda yang diwakafkan itu jelas wujudnya dan pasti batas-batasnya

dan tidak dalam keadaan sengketa, ketiga: benda yang diwakafkan itu harus kekal

20
Abdul Wahhab Khallaf, Ahkam al-Waqf, Matba’ah al Misr, Kairo, Mesir, 1951, hlm. 24.

20
yang memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Namun demikian

menurut Imam Malik dan golongan Syiah Imamiyah wakaf dapat atau boleh dibatasi

waktunya.

3. Tujuan wakaf (mauquf alaih)

Yang dinamakan dengan mauquf adalah tujuan wakaf yang harus

dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Oleh

karena itu, benda-benda yang dijadikan sebagai objek wakaf hendaknya benda-benda

yang termasuk dalam bidang mendekatkan diri (qurbat) kepada Allah SWT.

Tidak dibenarkan pelaksanaan wakaf itu didasarkan kepada tujuan yang tidak

baik dan mendatangkan kemudaratan kepada masyarakat. Wakaf hendaknya

dilaksanakan dengan tujuan untuk kebaikan sesame manusia dengan mendapat ridha

dan pahala dari Allah SWT., misalnya untuk pelaksanaan pendidikan dan untuk

kepentingan umum lainnya seperti mendirikan rumah sakit dan sebagainya.

4. Ikrar wakaf (Sighat wakaf)

Tentang sighat wakaf ini merupakan rukun wakaf yang disepakati oleh

Jumhur Fuqaha. Tanpa adanya ikrar wakaf, para Fuqaha menganggap wakaf belum

sempurna dilaksanakan. Yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan yang

merupakan penyerahan barang-barang wakaf kepada nazir untuk dikelola

sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi wakaf.

Ikrar wakaf yang diucapkan pemberi wakaf pada umumnya sebagai berikut

“saya wakafkan harta saya ini kepada Madrasah Polan untuk dipakai pembelanjaan

21
dan penyelenggaraannya” atau “saya wakafkan kebun kelapa ini untuk digunakan

hasilnya bagi penyelenggaraan yayasan yatim piatu polan” dan sebagai nya.

Dibawah ini adalah Asas-asas dari pewakafan, yaitu :

1. Asas manfaat

Di dalam kalangan mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah sangat menekankan

pada keabadian benda wakaf, walaupun sudah rusak sekalipun, tidak boleh benda

wakaf itu ditukarkan dengan benda yang lain walaupun benda akan rusak atau

menghasilkan sesuatu. Ada sebagian ahli hukum di kalangan mazhab Malikiyah

dan Syafi’iyah berpendapat bahwa benda wakaf boleh diganti asal dengan benda

yang lebih bermanfaat sebab dengan adanya pergantian itu, maka benda tidak

akan sia-sia. Berbeda dengan Abu Hanifa dan Imam Ahmad Ibnu Hambali

mengatakan bahwa benda wakaf boleh saja ditukar atau dijual karena sudah tidak

memiliki nilai manfaat lagi, diganti yang lebih bermanfaat untuk masyarakat

umum.

Asas kemanfaatan benda wakaf menjadi penting karena ibadah wakaf

dikategorikan sebagai ibadah yang memiliki nilai pahala yang terus menerus

mengalir walaupun wakif (orang yang wakaf) telah meninggal.

Suatu benda wakaf dikategorikan yaitu memiliki keabadian manfaat,

paling tidak ada empat hal harus ada, antara lain :

a) Benda wakaf tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang banyak. Misalnya

wakaf tanah untuk didirikan Madrasah.

22
b) Benda wakaf memberi nilai yang lebih nyata bagi wakif itu sendiri.

Apabila harta wakaf itu memberikan manfaat kepada orang lain, maka si

wakif akan merasakan kepuasan batin.

c) Manfaat imater bantial lebih besar dari manfaat materialnya.

d) Benda wakaf tidak menimbulkan bahaya bagi orang banyak maupun bagi

wakaf sendiri.

2. Asas pertanggungjawaban

Wakaf merupakan ibadah yang memiliki dimensi ilahiyah dan insaniyah,

maka perlu dipertanggungjawabkan pelaksanaannya di dunia dan akhirat.

Pelaksanaan Wakaf harus dikelola dengan baik dan transparan dengan

mempertanggung jawabkan kepada Allah SWT maupun pertanggung jawaban

sosial kemasyarakatan.

Pertanggungjawaban kepada Allah SWT termasuk didalamnya. Tanggung

jawab wakif yang harus memberikan wakaf dengan penuh keikhlasan serta niatan

yang baik. Serta tanggung jawab nazir yang harus mengelola atau menjalankan

harta wakaf dengan sungguh-sungguh, professional, jujur, amanah, serta niat yang

tulus.

Sedangkan tanggung jawab sosial berkaitan erat dengan kehidupan

masyarakat pada umumnya. Tidak boleh benda wakaf digunakan untuk

kepentingan yang merugikan kehidupan masyarakat. Pertanggung jawaban sosial

identik dengan terhadap norma-norma sosial yang berkembang di tengah

masyarakat.21

3. Asas profesionalitas manajemen


21
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 261-263. Ibid, hlm. 263

23
Wakaf yang dikelola dengan manajemen yang baik dan benar akan menghasilkan

manfaat yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat. Dalam pengelolaan wakaf

juga diperlukan manajemen yang terbuka dengan prinsip transparansi,

akuntabilitasi serta profesionalitas dalam pengelolaannya.

Oleh karena dalam pelaksanaan wakaf termasuk ibadah, maka pelaksanaannya

tidak boleh lepas dari tuntutan yang digariskan oleh Rasulullah SAW, yakni

menciptakan manajemen yang baik agar mendatangkan manfaat yang sebanyak

mungkin untuk kepentingan masyarakat. Dalam kaitan ini, para pakar hukum

Islam menganjurkan agar mengelola manajemen wakaf dengan hukum Islam

menganjurkan agar mengelola manajemen wakaf dengan berpedoman kepada

sifat-sifat Rasulullah SAW seperti shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya),

fathanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan).

4. Asas keadilan sosial

Agama Islam mencontohkan prinsip keadilan sosial dalam surat al-ma’un, dalam

ibadah wakaf prinsip keadilan sosial dapat dilihat dari sifat kedewmawanan yang

terkandung dalam ibadah tersebut, dimana kedermawanan yang ada merupakan

sebuah anjuran yang ada merupakan sebuah anjuran yang bertujuan untuk

menciptakan kemakmuran untuk mencapai keadilan sosial bagi sesama makhluk

Allah.

Perubahan atau penggantian dalam bahasa Arab disebut dengan ibdal, artinya

menggantikan, mengeluarkan, atau mengubah benda wakaf serta menjualnya, sedangkan

istibdal dengan menggunakan sin dan ma’na thalab adalah membeli barang lain dan

dijadikan pengganti benda wakaf yang telah dijual (Abu Zahrah, 1959: 172-123). Oleh

24
karena itu, istibdal dan ibdal merupakan dua hal yang harus ada dalam kasus/peristiwa

wakaf. Jika benda dijual dan dikeluarkan dari wakaf, harus ada benda lain yang menjadi

penggantinya.

Maksud perubahan dan penggantinya lain fungsi benda atau harta wakaf

sebagaimana terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 225 ayat (1) adalah sebagai

berikut:

1. Sebelum terjadinya perubahan atau penggantian telah terjadi ikrar wakaf antara wakif

dengan nadzir;

2. Wakif telah menetapkan niyat mewakafkan hartanya, misalnya mewakafkan tanah

untuk pembangunan mesjid;

3. Proses ikrar wakaf disaksikan oleh pihak KUA, MUI, Camat dan pihak-pihak lainnya

yang diundang atau diperlukan, misalnya ahli waris wakif yang sudah baligh.

4. Untuk melaksanakan pembangunan mesjid atau lainnya sesuai dengan ikrar wakaf

membutuhkan dana yang banyak, sehingga pelaksanaan pembangunan mesjid tidak

akan dapat dilakukan;

5. Dengan alas an-alasan di atas, maka pihak-pihak yang terkait langsung dengan ikrar

wakaf diundang untuk membicarakan perubahan atau penggantian fungsi benda atau

harta wakaf yang dimaksudkan;

6. Atau ikrar wakaf yang telah dilakukan menyimpang dari kebutuhan umum.

Dengan enam hal diatas, dapat diambil pemahaman bahwa maksud perubahan

atau penggantian lain harta wakaf adalah mengubah fungsi harta wakaf sesuai dengan

25
Undang-Undang Perwakafan dan kepentingan umum yang tidak menyimpang dari

syariat.22

Dalam kasus yang diteliti oleh penulis, wakaf yang di lakukan yaitu mengenai

penjualan tanah wakaf pemakan oleh ketua RW 05 yang berada di Kampung Bantarbaru,

Desa Buahbatu, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Seharus nya tanah wakaf

tidak boleh di perjual belikan, disita, diwariskan dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 40

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, disebutkan bahwa :

Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :

1. Dijadikan Jaminan;

2. Disita;

3. Dihibahkan;

4. Dijual;

5. Diwariskan;

6. Ditukar; atau

7. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

“Tindakan-tindakan yang tidak boleh dilakuakn, baik atas nama wakif maupun

atas nama mauquf “alaih karena dapat merusak kelestarian wakaf, yaitu :

1. Menjual lepas, artinya transaksi memindahkan hak atas tanah atau barang-barang

yang telah diwakafkan untuk selama-lamanya.

2. Mewariskan, artinya memindahkan harta wakaf secara turun temurun kepada anak

cucu setelah meninggal dunia.

22
H. Moh. Fauzan Januri, Pengantar Hukum Islam Pranata Sosial, 2013, hlm 196-197.

26
3. Menghibahkan, artinya menyerahkan harta wakaf kepada pihak lain tanpa imbalan.

Namun praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum

sepenuhnya berjalan dengan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus mengenai

wakaf sebagaimana mestinya, terlantar, beralih ke tangan pihak ketiga atau ke tangan ahli

warisnya dengan cara melawan hukum. Keadaan ini hanya karena kelalaian atau ketidak

mampuan nazir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf. Hal itu juga

karena sikap masyarakat terhadap kurang nya kepedulian atau memahami status harta

benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan,

fungsi, dan peruntukan wakaf.

F. Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu usaha untuk

menganalisis serta mengadakan konstruksi secara metodologis, sistematis dan konsisten.


23
Metodologis artinya suatu penelitian dilakukan dengan mengikuti metode atau tata cara

tertentu, sistematis artinya suatu penelitian harus mengikuti langkah-langkah maupun

tahap-tahap tertentu, dan konsisten berarti penelitian dilakukan secara taat asas.

Dan pada dasarnya sesuatu yang dicari dalam penelitian ini tak lain adalah

“pemahaman” apabila kita sudah paham tentu kita mengetahuinya yang disebut sebagai

“pengetahuan”, di mana pengetahuan yang bener ini nantinya dapat dipakai untuk

menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.

Langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam penyusunan penulisan hukum

ini menggunakan spesifik metode penelitian, diantaranya :

23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI,1986), hlm.43

27
1. Spesifikasi Penelitian

Dalam spesifik penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Deskriptif Analisis,

yaitu merupakan ketentuan-ketentuan yang berhubungan serat dengan tema yang

diambil oleh peneliti yaitu Perlindungan hukum terhadap tanah wakaf

pemakaman yang dijual dalam persefektif Undang-Undang Nomor 41 Tahun

2004 Tentang Wakaf yang kemudian akan di analisis oleh peneliti.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif, karena

menggunakan data sekunder sebagai data utama.24 Pendekatan Yuridis-Normatif

yaitu pendekatan/teori/konsep dan metode analisis yang termasuk dalam disiplin

Ilmu Hukum yang dogmatis.

Perolehan data dilakukan melalui studi kepustakaan, yaitu suatu teknik

pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literature yang dapat

memberikan landasan teori yang relevan dengan masalah yang akan dibahas

antara lain dapat bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia, literature-literatur, karya-karya ilmiah, makalah, artikel, media massa,

serta sumber data sekunder lainnya yang terkait dengan permasalahan yang akan

dibahas mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Tanah Wakaf Pemakaman

yang Dijual Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang

Wakaf.

3. Tahap Penelitian

Adapun tahap penelitian sebagai berikut :

a. Penelitian kepustakaan ( Library Research )


24
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 93.

28
Penelitian kepustakaan ( Library Research), yaitu suatu penelitian yang

dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari berbagai literature dan

peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah-masalah yang di

bahas. Adapun bahan yang dipergunakan terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu

1) Bahan hukum Primer yaitu, bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum mengikat seperti norma dasar maupun peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan penelitian ini yaitu :

a) Undang-Undang Dasar 1945

b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

c) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang

Wakaf

d) Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991

Tentang Kompilasi Hukum Islam

2) Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum Primer. Bahan hukum yang

dimaksud di sini tidak mengikat, yang terdiri dari buku-buku teks

(textbooks), makalah, artikel, jurnal, internet, pendapat para sarjana,

kasus-kasus hukum, yurisprudensi dan hasil-hasil penelitian yang

berkaitan dengan penelitian ini.

29
3) Bahan hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum Primer dan bahan hukum

Sekunder.25 Yang terdiri atas :

 Kamus Hukum

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung

dengan cara observasi terhadap objek penelitian untuk mendapatkan

keterangan-keterangan yang akan diolah dan dikaji untuk memeproleh

data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

masyarakat, penelitian ini sebagai data pendukung untuk data

kepustakaan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik dalam Pengumpulan Data yang dilakukan oleh penulis dalam

penulisan hukum ini adalah menggunakan teknik :

a. Penelitian Kepustakaan

Terhadap data sekunder, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi

dokumen meliputi bahan primer, bahan sekunder dan bahan hukum

tersier,26 melalui penelitian kepustakaan, yaitu peneliti akan melakukan

penelaahan bahan-bahan pustaka guna mendapatkan landasan teoritis

berupa pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan para ahli ataupun dari

pihak-pihak lain yang berwenang dan juga memperoleh informasi baik

dalam bentuk formal, maupun data melalui naskah resmi yang ada.

25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, CV. Rajawali, Jakarta, 1999, hlm. 15.
26
Amirudin dan Zaeulani Asikin, Op.Cit, hlm. 68.

30
b. Penelitian Lapangan

Terhadap data primer, teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui

penelitian lapangan yaitu dilakukannya dengan wawancara (interview).

Wawancara adalah cara memperoleh informasi dengan bertanya langsung

pada yang diwawancarai.

5. Alat Pengumpulan Data

a. Dalam penelitian kepustakaan alat yang digunakan yaitu berupa catatan

inventarisasi bahan hukum baik bahan hukum sekunder, bahan hukum

primer dan bahan hukum tersier.

b. Dalam penelitian lapangan alay yang akan digunakan yaitu berupa daftar

pertanyaan, yang menggunakan alat tulis, handphone, recorder, flashdisk,

dan pedoman wawancara.

6. Analisis Data

Analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah

menggunakan Metode analisis Yuridis Kualitatif, yaitu merupakan cara penelitian

yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh

responden secara tertulis ataupun lisan. Dengan menggunakan metode Yuridis

Kualitatif dengan menggunakan kontribusi hukum, dalam penelitian kepustakaan

tanpa menggunakan rumus dan grafik-grafik, tetapi dengan mengklasifikasikan

masalah yang ada dan melakukan penelitian langsung kepada instansi-instansi

yang terkait dan berhubungan dengan masalah dalam penulisan hukum ini dan

menganalisis kasus ataupun melangsungkan wawancara terkait masalah kepada

seseorang/individu yang cakap akan masalah yang dianalisis dalam penulisan

31
hukum ini. Dalam penelitian ini metode Yuridis Kualitatif yaitu data yang

diperoleh dari berbagai sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data

yang bermacam-macam dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya

jenuh. Dengan pengamatan yang terus menerus tersebut mengakibatkan variasi

data tinggi sekali.

7. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat diperolehnya data-data yang

dibutuhkan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Perpustakaan

1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Jalan

Lengkong Dalam Nomor 17 Bandung.

2) Perpustakaan Universitas Singaperbangsa Karawang, Jalan HS.

Ronggo Waluyo, Telukjambe Timur, Karawang.

b. Instansi

1) Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Karawang

8. Jadwal Penelitian

Bulan

No Kegiatan Sep Okt Nov Des Jan Feb

1. Persiapan

judul

penyusunan

penulisan

32
hukum

2. Seminar

proposal

3. Persiapan

penelitian

4. Pengumpulan

data

5. Pengelolaan

data

6. Analisis data

7. Penyusunan

hasil

penelitian ke

dalam bentuk

penulisan

hukum

8. Siding

komprehensif

9. Perbaikan

10. Penjilidan

11. Pengesahan

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan disajikan secara sistematis, sebagai berikut :

33
BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang, identifikasi masalah,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode

penelitian, dan sistematika penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka yang berkaitan dengan memuat mengenai teori-teori atau

doktrin, konsep-konsep yang relevan tentang wakaf secara umum.

BAB III PENERAPAN WAKAF DALAM MASYARAKAT

Dalam bab ini mengatur mengenai penerapan wakaf dalam masyarakat

apakah sudah berjalan dengan baik.

BAB IV SOLUSI PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WAKAF

PEMAKAMAN YANG DIJUAL DALAM PERSEFEKTIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

DALAM KASUS YANG ADA DI KAMPUNG BANTARBARU

KABUPATEN BANDUNG

Dalam bab ini diuraikan mengenai solusi dalam penyelesaian sengketa

tanah wakaf pemakaman yang dijual dalam persefektif Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini berisi mengenai kesimpulan dan saran berdasarkan hasil

pembahasan dari bab-bab yang sudah dibahas sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

34
A. Buku

Abdul Shomad, Hukum Islam, Kencana, Jakarta, 2010,

Abdul Wahhab Khallaf, Ahkam al-Waqf, Matba’ah al Misr, Kairo, Mesir, 1951,

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam, Kencana, Jakarta, 2008,

Amirudin dan Zaeulani Asikin,

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan HAM RI, Aspek

Hukum Perwakafan Hak Atas Tanah Selain Hak Milik, Jakarta, 2002,

Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, Surabaya, 1997,

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989),

Hasbi Ashiddiqi. 1975. Pengantar Hukum Fiqih Islam. Bulan Bintang. Jakarta.

Maulana Muhammad Ali. 1980. The Religion of Islam (Penerjemah R. Kalang dan HM.

Buchrun) PT Ichtiar Baru. Jakarta.

Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf,

Alkabisi, Jakarta, 2006,

Moh. Fauzan Januri, Pengantar Hukum Islam Pranata Sosial, 2013,

R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung:Binacipta, 1987, Cet.IV).

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1990,

Sayid Sabiq. 197. Fiqih Sunnah. PT Al-Ma’arif. Bandung.

Suparman, Usman. 2006. Hukum Perwakafan Indonesia. Darul Ulum Perss. Jakarta.

Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003,

35
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI,1986),

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, CV. Rajawali, Jakarta,

1999,

Umar Said Sugiharto. 1993. Efektifitas Pendaftaran anah di Kota Malang Setelah

Berlakunya PP No. 28 Tahun 1977 (Thesis).

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum

Islam

C. Sumber Linnya

https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01567260/kasus-tanah-wakaf-kuburan-

diduga-dijual-ketua-rw-di-sp3-kuasa-hukum-ajukan-praperadilan. Diakses tanggal 28

Oktober 2021.

36

Anda mungkin juga menyukai