Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Hukum Zakat dan Wakaf
DISUSUN OLEH:
1. Hiryani (2120104042)
2. Wasti Irayani (2120104065)
3. Aldi Putra Pratama (2120104056)
DOSEN PENGAMPU:
2023/2024
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Wakaf adalah bentuk perbuatan ibadah yang sangat mulia di mata Allah Swt
karena memberikan harta bendanya secara cuma–cuma, yang tidak setiap orang bisa
melakukannya dan merupakan bentuk kepedulian, tanggung jawab terhadap sesama
dan kepentingan umum yang banyak memberikan manfaat. Wakaf dikenal sejak masa
Nabi Muhammad Saw. Wakaf disyariatkan saat beliau hijrah ke Madinah, pada tahun
kedua Hijriah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi
Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut
sebagian pendapat Ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf
adalah Nabi Muhammad Saw ialah wakaf tanah milik Nabi Muhammad Saw untuk
dibangun masjid.1
Kemudian ada pendapat sebagian Ulama yang mengatakan bahwa yang pertama
kali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar bin Khathab. Kemudian syariat wakaf
yang telah dilakukan Umar bin Khathab disusul oleh Abu Thalhah yang selanjutnya
disusul oleh Abu Bakar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, Anas
bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah isteri Nabi Muhammad
Saw. Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama
Islam masuk Indonesia pada pertengahan abad ke-13 M atau kurang lebih 900 tahun
yang lalu hingga sekarang, yang merupakan salah satu sarana keagamaan yang
erat hubungannya dengan sosial ekonomi. Wakaf telah banyak membantu
pembangunan secara menyeluruh di Indonesia, baik dalam pembangunan sumber daya
manusia maupun dalam pembangunan sumber daya sosial. Tak dapat dipungkiri,
bahwa sebagian besar rumah ibadah, perguruan Islam dan Lembaga lembaga Islam
lainnya dibangun di atas tanah wakaf.2
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Saja Rukun dan Syarat Wakaf?
2. Apa Yang Dimaksud dengan Nadzhir Wakaf?
3. Apa Saja Jenis-Jenis Wakaf?
1
Direktori Pemberdayaan Wakaf. Fiqih Wakaf (Dirjend Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI,
Jakarta) 2007, hlm. 4
2
Ibid, Hlm. 5
1
C. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Rukun dan Syarat Wakaf
2. Untuk Mengetahui yang Dimaksud dengan Nadzhir Wakaf
3. Untuk Mengetahui Jenis-Jenis Wakaf
2
PEMBAHASAN
5
Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, (Bairut: Dar al-Fikr), Juz II, hal. 44
6
Asy-Syarbini, op cit., hal. 377
4
ma’lumun), sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. Karena itu tidak
sah mewakafkan yang tidak jelas seperti satu dari dua rumah. Serta Penentuan
benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlah seperti seratus juta rupiah, atau
juga bisa menyebutkan dengan nisab terhadap benda tertentu, misalnya separuh
tanah yang dimiliki dan lain sebagainya. Wakaf yang tidak menyebutkan secara
jelas terhadap harta yang akan diwakafkan tidak sah hukumnya seperti
mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku, dan sebagainya.7
iii. Harta yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik orang yang berwakaf
ketika terjadi akad wakaf. dengan demikian jika seseorang mewakafkan
benda yang bukan atau belum miliknya, walaupun nantinya akan menjadi
miliknya maka hukumnya tidak sah, seperti mewakafkan tanah yang masih
dalam sengketa atau jaminan jual beli dan lain sebagainya.
iv. Harta yang di Wakafkan tidak terikat dengan harta lain
d. Syarat Sighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk
mewakafkan sebagian harta bendanya)
Sighat (lafadz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan tulisan,
lisan atau suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan
tulisan atau lisan dapat digunakan untuk menyatakan wakaf oleh siapa saja,
sedangkan cara isyarat hanya bagi orang yang tidak dapat menggunakan dengan
cara tulisan atau lisan. Tentu pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai
benar-benar dimengerti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari
9
Elsa Kartika Sari, loc. cit.
10
Ibnu Qudama, Al Mughni, juz 6, dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al- Kabisi, hlm. 89
6
B. NAZHIR WAKAF
1. Pengertian Nazhir Wakaf
Nazhir adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap harta wakaf yang
dipercayakan padanya, baik menyangkut pemeliharaan harta wakaf, maupun
terhadap hasil dan upaya-upaya pengembangannya. Setiap kegiatan nazhir terhadap
harta wakaf harus dalam pertimbangan kesinambungan harta wakaf dengan
mengalirkan manfaatnya untuk kepentingan mauqûf ‘alaih. Karena itu, peran para
nazhir bukan cuma memobilisasi dana wakaf dan langsung membelanjakannya
sebagai sedekah, tetapi mewujudkannya terlebih dahulu menjadi aset, lalu
mengelolanya secara produktif baru memanfaatkan hasilnya sebagai sedekah.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 11 juga menyebutkan bahwa nazhir
meliputi perseorangan, organisasi, atau badan hukum, yang bertugas melakukan
pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta wakaf
sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya. Selain itu, nazhir juga bertugas
mengawasi dan melindungi harta wakaf serta melaporkan pelaksanaan tugasnya
kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Begitu besar keutamaan dan manfaat wakaf bagi kehidupan masyarakat dan
peningkatan taraf hidup serta kesejahteraan dalam berbangsa dan bernegara. Jika wakaf
didayagunakan dengan baik dan benar maka kesejahteraan umat bukanlah sesuatu yang
muhal. Di Indonesia aset wakaf terbilang besar. Berdasarkan data yang dihimpun
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama Republik Indonesia, sampai
dengan 2009 aset tanah wakaf yang terdata di seluruh wilayah Indonesia terletak pada
367,438 lokasi dengan luas 2.719.854.759,72 meter persegi. Dari total jumlah tersebut,
75% di antaranya sudah bersertifikat wakaf dan 10 % memiliki potensi ekonomi tinggi
(Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, 2009). Sayangnya, potensi itu masih belum
dimanfaatkan secara optimal dalam menyejahterakan rakyat dan memperkuat
perekonomian bangsa Indonesia. Lembaga kenadziran memiliki peran sentral dalam
pengelolaan harta wakaf secara umum. Oleh karena itu eksistensi dan kualitas SDM
nadzir harus betul-betul diperhatikan. Nadzir (baik perorangan, organisasi maupun
7
badan hukum) haruslah terdiri dari orang-orang yang berakhlak mulia, amanah,
berkelakuan baik, berpengalaman, menguasai ilmu administrasi dan keuangan yang
dianggap perlu untuk melaksanakan tugastugasnya sesuai dengan jenis wakaf dan
tujuannya. Secara umum, pengelolaan wakaf dapat terarah dan terbina secara
optimalapabila nadzirnya amanah (dapat dipercaya) dan profesional. Karena dua hal ini
akan menentukan apakah lembaga tersebut pada akhirnya bisa dipercaya atau tidak.
Nadzir dapat dikatakan sebagai lembaga yang Amanah jika memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
Pertama, tanggung jawab tanpa adanya rasa tanggung jawab pada badan pengelola
atau nadzir, maka harta yang dipercayakan kepadanya akan terbengkalai dan tidak
terurus. Oleh karena itu, setiap orang yang dipercaya menduduki lembaga kenadziran
harus dipastikan bahwa orang tersebut memiliki tanggung jawab moral, sehingga di
kemudian hari tidak akan terjadi kesewenangan, penyimpangan dan atau
ketidakmampuan manajemen dalam pengelolaan wakaf. Aspek tanggung jawab oleh
seorang nadzir menjadi kunci yang paling pokok dari seluruh rangkaian dunia
perwakafan. Jika rasa tanggung jawab ini tidak dimiliki oleh orang atau lembaga nadzir,
maka wakaf hanya akan menjadi institusi keagamaan yang tidak berfungsi apa-apa.
Kedua, efisien. Salah satu dari inti pengelolaan organisasi dan kelembagaan nadzir
adalah efisien. Tanpa adanya efisiensi, lembaga kenadziran tidak akan optimal dalam
pengelolaan dan pemberdayaan wakaf. Efisiensi di sini meliputi penggunaan biaya
administrasi dan kegiatan yang terkait dengan aspek pembiayaan dalam pengelolaan
harta wakaf.Ketiga, rasional. Syarat ini merupakan prinsip pokok dalam ketatalaksanaan
organisasi, demikian juga dalam pengelolaan dan pemberdayaan harta wakaf. Oleh
karena itu, rasionalitas kebijakan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan harta
wakaf menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Pola pengelolaan yang didasarkan pada
aspek irrasional, seperti kepercayaan yang bersifat klinis dan emosional, maka akan
menghambat laju perkembangan wakaf secara umum. Salah satu aspek rasional yang
tidak kalah pentingnya adalah menempatkan seseorang sesuai dengan kapasitas bidang
yang dimiliki, bukan karena hubungan emosional dan nepotisme11
9
diterima oleh kerabat beliau dan masyarakat.12
4. Berdasarkan Waktu
a. Muabbad, wakaf yang diberikan untuk selamanya
b. Mu’aqqot, wakaf yang diberikan dalam jangka waktu tertentu
PENUTUP
12
BWI, “Ada 3 Jenis Wakaf Berdasarkan Peruntukkan Yang Perlu Anda Ketahui!,” BADAN WAKAF
INDONESIA, 2021, 1
13
Ahmad, “Pengertian Wakaf: Jenis, Rukun, Saksi Dan Keutamaan Berwakaf,”
10
KESIMPULAN
a. Berdasarkan Peruntuan ada Wakaf ahli (wakaf Dzurri/wakaf ’alal aulad), Wakaf
Khairi (kebajikan), Wakaf musytarak.
b. Berdasarkan Jenis Harta yakni ada benda tidak bergerak dan benda bergerak selain
uang.
11
c. Benda bergerak berupa uang (wakaf tunai dan cash wakaf).
12
DAFTAR PUSTAKA
Maskur, Gunawan S, 2005. Unsur-unsur dan Syarat Wakaf dalam Kajian Para Ulama dan
Undang- Undang di Indonesia.
Jumaria, Khaerunnisa, I., & Mega, W. T. (2021). Prinsip-prinsip dan Jenis-jenis Wakaf.
Jurnal Ekonomi Syariah, 6.
Mewujudkan Ketangguhan
Ekonomi Pada Era Modern”, Jurnal Zakat dan Wakaf, Vol. 1 No.2
13