Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara sederhana wasiat diartikan dengan “Penyerahan harta kepada pihak lain yang
secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya”. Dari kata “penyerahan harta kepada pihak
lain”, wasiat itu termasuk dalam lingkup hibah. Namun karena harta yang diserahkan itu baru
dimiliki oleh yang menerima setelah matinya pemilik, dia merupakan pemberian dalam
bentuk khusus. Perbedaannya dengan warisan – meskipun sama-sama dimiliki setelah
matinya pemilik – ialah bahwa dalam wasiat peralihan harta atas kehendak si pemilik yang
diucapkannya semasih hidup, pada warisan tidak ada kehendak dari pemilik harta selama dia
masih hidup.
Adapun hikmah dan tujuan hukum dari wasiat ini adalah manfaat bagi sesama hamba
Allah dan tidak ada pihak yang dirugikan. Dengan cara ini umat akan mendapatkan
kemudahan dari tindakan ini. Di samping itu, wakaf dalam arti kata ialah menahan dan
menghentikan. Secara terminology diartikan dengan “menghentikan pengalihan hak atas
suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri
kepada Allah”. Walaupun bentuk nyatanya wakaf itu menyerahkan harta kepada orang lain
dan oleh karenanya dapat disebut pemberian, namun ia mempunyai bentuk tersendiri dengan
nama sendiri. Menghentikan pengalihan hak mengandung arti tidak dapat lagi dijual,
dihibahkan dan diwariskan oleh orang yang punya. Dengan demikian dia berarti sudah lepas
dari yang punya; namun dia tidak lagi dimiliki oleh siapa-siapa. Karena itu barang yang
diwakafkan itu telah menjadi milik Allah sebagai pemilik mutlak dari harta. Karena hasilnya
digunakan untuk kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah, dia menyerupai
shadaqah. Dia berbeda dengan shadaqah dalam beberapa hal, pertama yang dimiliki oleh
yang menerima waqaf hanyalah manfaatnya dan bukan bendanya. Kedua: pahala yang
didapat dari yang memberi shadaqah hanyalah sekali waktu memberikannya, sedangkan
pahala yang diterima oleh yang berwakaf adalah berkepanjangan selama barang tersebut
dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena itu, wakaf itu disebut juga “shadaqah yang
mengalir terus”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. WAKAF
1. Pengertian Wakaf
Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti
“menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Menurut istilah
“waqaf/wakaf” adalah menahan suatu benda yang kekal abadi secara fisik zatnya serta dapat
digunakan untuk sesuatu yang benar dan bermanfaat.
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik
atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-
manfa‘ah). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi
pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang
ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.

1
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik
Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan
untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa
kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan
artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya
terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang
dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang
berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan
Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf
kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat
serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki
oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini:
2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi
bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat
diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hambali mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan
asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu
menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam
Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah
2. Dasar Wakaf
Dasar wakaf terdapat dalam QS. Al-Imron : 92, yang artinya: “Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta
yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah
mengetahuinya”.
3. Rukun Wakaf
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang
yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang
menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
4. Syarat-Syarat Wakaf
1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)
Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki
secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang
ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila,
atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang
yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang
muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)
2
Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi
beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah
barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi
apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu
tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif).
Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau
disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih)
Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu
(mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah,
jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang
semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat
berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang
fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini
(al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-
tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh
memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah
menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa
yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang
dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk
kepentingan Islam saja.
4. Syarat-syarat Shigah
Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu
mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf
kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera
(tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu
bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila
semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima
wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah
kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum
ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
5. Jenis-jenis Wakaf
1. Wakaf Mutlak (‘AM) - merujuk kepada amalan menyerahkan harta wakaf dengan
tidak menyatakan sesuatu tujuan tertentu dalam perwakafan hartanya. Harta itu boleh
dibangunkan bagi apa-apa maksud, selagi tidak bertentangan dengan syarak.
2. Wakaf Muqayyad (KHAS) – amalan mewakafkan harta dimana pewakaf menyatakan
tujuan wakaf secara spesifik semasa menwakafkan hartanya. Harta wakaf tersebut
hendaklah digunakan hanya untuk tujuan yang dinyatakan secara khusus itu.
Contohnya mewakafkan tanah khas untuk pembinaan masjid, surau, perkuburan dan
sebagainya.

6. Harta Yang Bisa Diwakafkan

3
Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa dikatakan sebagai sedekah
biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta yang tidak habis dipakai, tapi bermanfaat
secara terus menerus dan tidak boleh pula dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik
penuh. Oleh karena itu, harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan
bermanfaat untuk orang banyak, misalnya:
a. sebidang tanah
b. pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
c. bangunan masjid, madrasah, atau jembatan

B. WASIAT
1. Pengertian Wasiat
Dalam definisi wasiat secara lughawi, wasiat berasal dari bahasa arab yang berarti "pesan,
menyambung, menaruh belas kasihan, menjadikan, memerintahkan, dan mewajibkan".Makna
wasiat (‫صييِةة‬
‫ )وو ص‬menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang
untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia. Secara
umum pemberian wasiat dikaitkan dengan kondisi seseorang (yang memberi wasiat) dalam
keadaan sakit menjelang kematian. Sementara wasiat meliputi atas sesuatu pekerjaan, jasa,
maupun harta peninggalan. Dengan demikian, lingkup wasiat dalam pembahasan fiqih
meliputi pesan atas sesuatu harta dari seseorang menjelang kematian.
2. Dasar hukum wasiat
Dasar hukum wasiat terdapat dalam QS. Al-baqarah: 180, yang artinya: “Diwajibkan atas
kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) akan mati, apabila ia
mempunyai harta yang banyak, berwasiat untuk walidani (ibu dan bapak) dan aqrobun (kaum
kerabatnya), secara makruf ini adalah kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.”
3. Rukun Wasiat
Ada 3 macam rukun wasiat, yaitu:
Pertama : Harus ada orang yang berwasiat (mushi), harus memenuhi persyaratan, yaitu:
1. Baligh (dewasa),
2. Berakal sehat (aqil)
3. Bebas menyatakan kehendaknya,
4. Merupakan tindakan tabarru’ (derma sukarela atau amal),
5. Beragama islam
Kedua : Harus ada seseorang atau badan hukum yang menerima wasiat (musha-lahu).
Dan orang yang menerima wasiat (musha-lahu) ia harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Harus data diketahui dengan jelas siapa orang atau badan hukum yang menerima
wasiat itu,nama orang tersebut,badan organisasi tertentu,atau mesjid-mesjid.
2. Telah wujud (ada) pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada suara
yuridis misalnya anak yang masih dalam kandungan.
3. Bukan tujuan kemaksiatan
Ketiga : Sesuatu yang di wasiatkan (musha-bihi) :

4
1. Dapat berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tak bergerak,
atau dapat menjadi objek perjanjian,
2. Benda itu sudah (wujud pada waktu diwasiatkan),
3. Hak milik itu betul-betul kepunyaan si pewasiat (mushi)

C. HIBAH
1. Pengertian Hibah
Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Quran beserta
kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan jika
subyeknya Allah berati memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8, Maryam,
19:5, 49, 50, 53). Secara bahasa, dalam kamus al-Munjid, hibah berasal dari akar kata
wahaba-yahabu-hibatan, berarti memberi atau pemberian. Demikian pula dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu
kepada orang lain.
Menurut istilah, pengertian hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda, di
antaranya: Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, merumuskan pengertian hibah
sebagai: "Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup
dan dilakukan secara sukarela". Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela
seseorang kepada orang lain tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan
harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.
Abd al-Rahman al-Jazirî dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba ’ah, menghimpun
empat pengertian hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab Hanafi, hibah adalah
memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut
mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang
diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah
menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.
Dari beberapa pengertian hibah tersebut dapat disimpulkan bahwa hibah adalah akad atau
perjanjian yang menyatakan perpindahan milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih
hidup tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun.
2. Rukun dan Syarat Hibah
a. Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan
sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak
ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam
kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c. Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya,
barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat
dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.

5
d. Akad (Ijab dan Qabul),
Akad (ijab qobul) misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkaatau kuberikan tanah
ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.
3. Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
1. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup
materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada
tendensi (harapan) apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan
sebagainya.
2. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta
atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi
milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah
hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah
berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat
juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu,
barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.

4. Hukum Mencabut Hibah


Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecuali hibah
orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
Artinya: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik
kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
Sabda Rasulullah SAW. Artinya: “Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana
anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim)
5. Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :

1. Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut
itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
2. Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah.
3. Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah
dari pihak lain.

6. Hukum hibah
Pada dasarnya memberikan sesuatu kepada oranglain hukumnya adalah mubah(jaiz).
Dalam hukum asal mubah tersebut hukum hibah dapat menjadi wajib, haram dan makruh.
a. Wajib.
Hibah yang diberikan kepada istri dan anak hukumnya wajib sesuai dengan
kemampuannya. Rosululloh SAW bersabda yang artinya: “Bertaqwalah kalian kepada Allah
dan adillah terhadap anak anak kalian”.
b. Haram

6
Hibah menjadi haram hukumnya apabila harta yang telah dihibahkan ditarik kembali.
c. Makruh
Menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapatkan imbalan sesuatu baik berimbang
maupun lebih banyak hukumnya adalah makhruh.
7. Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
1. Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesame
2. Menumbuhkan sikap saling tolong menolon
3. Dapat mempererat tali silaturahmi
4. Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.

d. Persamaan dan perbedaan wakaf wasiat dan hibah :


Beberapa persamaan dan perbedaan antara wakaf dan hibah antara lain adalah:
1. Dalam wakaf dan hibah terdapat orang yang memberikan hartanya (yang disebut
wakif dan wahib), barang yang diberikan, dan orang yang menerimanya.
2. Apabila seseorang yang berwakaf telah mengatakan dengan tegas atau berbuat sesuatu
yang menunjukkan kepada adanya kehendak untuk mewakafkan hartanya atau
mengucapkan kata-kata, maka telah terjadi wakaf itu tanpa diperlukan penerimaan
(qabul) dari pihak lain. Sedangkan hibah, selain adanya perkataan dan perbuatan yang
tegas dari wahib untuk menyerahkan barangnya (ijab) perlu ada pula penerimaan dari
penerima harta yang dihibahkan (qabul).
3. Benda wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang
memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
Sedangkan benda atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang hanya
sekali pakai maupun tahan lama. Tidak diperbolehkan mewakafkan ataupun
menghibahkan barang yang terlarang untuk untuk diperjualbelikan, seperti barang
tanggungan (borg), barang haram dan sejenisnya.
4. Benda wakaf hanya boleh diberikan kepada sekelompok orang yang bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Sedangkan hibah bisa diberikan
kepada perorangan ataupun kelompok baik untuk kepentingan orang banyak maupun
kepentingan individu.
5. Barang wakaf tidak bisa menjadi milik seseorang sedangkan barang yang dihibahkan
bsa menjadi milik seseorang
6. Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-
cuma pada masa hidupnya.
7. Harta Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan
seseorang tersebut baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat meninggal
dunia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

7
Menurut pendapat kelompok kami wakaf, wasiat, dan hibah adalah sama-sama
memberikan sesuatu kepada orang lain, namun ada perbedaan antara ketiganya. Benda yang
boleh diwakafkan adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang
memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
Sedangkan benda atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang hanya sekali pakai
maupun tahan lama.

DAFTAR PUSTAKA

Ramulyo, M. Idris, 2000, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan


Kewarisan Menurut Kitab Undanag-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika
Departemen Agama RI, 2007, Fiqih Wakaf, Jakarta
Ayunda, Ayu. 2014, Ayunda Ayu: WAKAF WASIAT HIBAH
http://seeayunda.blogspot.co.id/2014/09/wakaf-wasiat-hibah.html( Diakses tanggal 29 Maret
2018)

Anda mungkin juga menyukai