Anda di halaman 1dari 12

Perjanjian Pemberian Kuasa

Disusun oleh :

Erwin Nurul Farida (20140610189 )

Abdul Mujahid S. Ngou ( 20160610444 )

Ganda Wibowo Sakti ( 20150610149 )

Dwi Risky Faulam Utami ( 20170610154 )

Yonisha Sumual ( 20170610178 )

KELAS J

UNIVERSITAS MUAMMADYAH YOGYAKARTA

2018
BAB I

PENDAHLUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pemberian kuasa secara sosiologis, dapat dikatakan sebagai lembaga yang terbentuk
didalam kehidupan kemasyarakatan, yang kemudian dituangkan dalam peraturan yang
disahkan negara atau dalam undang-undang. Sebagai suatu lembaga, pemberian kuasa
dapat disejajarkan dengan hak milik, jual beli, dan lain-lain yang kesemuanya itu tumbuh
sebagai suatu kebiasaan yang ada dalam masyarakat.
Menurut Mac Iver dan Page 1 . Kebiasaan merupakan perikelakuan yang diakui dan
diterima masyarakat. Apabila kebiasaan tersebut tidak semata-mata dianggap sebagai cara
berperilakukan saja, akan tetapi bahkan diterima sebagai norma pengatur, maka disebut
kebiasaan tadi sebagai mores atau tata kelakukan. Tata kelakuan mencerminkan sifat hidup
dan kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun
tidak sadar oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Perkembangan selanjutnya,
khususnya pada saat sekarang ini kegiatan manusia semakin berkembang, yang terlihat dari
bentuk-bentuk hubungan hukum dengan cara membuat suatu perjanjian, yang sering kali
mencantumkan klausula kuasa sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Perbuatan hukum yang banyak dijumpai dalam masyarakat, selain itu pemberian kuasa
adalah perbuatan yang mendasar sekali dan penting dalam proses hubungan hukum maupun
bukan hubungan hukum, dalam hal seseorang menghendaki dirinya diwakili oleh orang
lain untuk menjadi kuasanya, guna melaksanakan segala sesuatu yang merupakan
kepentingan si pemberi kuasa, dalam segala hal, termasuk dalam hubungan-hubungan
dengan pihak lain selain kuasanya. Secara teoritis, pemberian kuasa diatur dalam Pasal 35
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menjelaskan bahwa pemberian kuasa disebutkan
secara tersirat dan konkritnya disebut sebagai bantuan hukum.
Mengutip pendapat dari K. Smith Dan D.J. Keenam, Santoso Poedjosoebroto, bahwa
bantuan hukum atau legal aid diartikan sebagai yang sederhana, cepat dan biaya ringan2.

1
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 195-198.
2
Ibid, hlm. 21
Pemberian kuasa juga diatur dalam Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, atau dalam titel XVI Buku ke III.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Perjanjian Pemberian Kuasa?
2. Apa saja Jenis-jenis Perjanjian Pemberian Kuasa?
3. Apa saja syarat Perjanjian Pemberian Kuasa?
4. Apa saja asas-asas Perjanjian Pemberian Kuasa?
5. Bagaimana Contoh Perjanjian Pemberian Kuasa?
BAB II

Pembahasan

A. Pengertian Perjanjian Pemberian Kuasa


Pemberian kuasa menurut Pasal 1792 KUHPerdata atau burgerlijk Wetboek (BW)
menyatakan :
‘’ Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan
kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan
suatu urusan ‘’
Frase ‘’ menyelenggarakan suatu urusan ‘’ artinya adalah untuk melakukan suatu
perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum. Bahwa apa yang dilakukan adalah atas
tanggungan si pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yag timbul dari perbuatan yang
dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban dari orang yang memberi kuasa.
Sedangkan frase ‘’ untuk atas namanya ‘’ berarti adanya seseorang yang mewakilkan
kepada orang lain untu melakukan suatu perbuatan tertentu. Pemberian kuasa itu
menerbitkan ‘’ perwakilan ‘’, yaitu adanya seseorang yang mewakili orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan hukum. Perwakilan seperti ini ada yang dilahirkan oleh
undang-undang dan ada yang oleh suatu perjanjian.
Kuasa dapat diberikan dan ditrima dalam suatu akte umum dalam suatu tulisan dibawah
tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat
pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa
(pasal 1793). Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa pemberian kuasa itu adalah bebas
dari sesuatu bentuk cara (formalitas) tertentu; dengan perkataan lain, ia adalah suatu
perjanjian konsensual, artinya sudah mengikat (sah) pada derik tercapainya sepakat antara
si pemberi dan penerima kuasa.

B. Jenis-jenis Pemberian Kuasa


Ada dua macam surat kuasa jika di lihat dari KUH pdt
1. Surat Kuasa Khusus
Surat kuasa khusus adalah suatu pemberian kuasa dilakukan hanya untuk satu
kepentingan tertentu atau lebih ( pasal 1795 KUH pdt . dalam surat kuasa
khusus,didalamnya dijelaskan tindak – tindakkan apa saja yang boleh dilakukan oleh
penerima kuasa, jadi karena ada tindakan – tindakan yang dirinci dalam surat kuasa
tersebut,maka surat kuasa tersebut menjadi suray kuasa khusus.
2. Surat Kuasa Umum
Surat kuasa umum dikaji berdasarkan pasal 1796 KUH pdt dinyatakan sebagia suatu
pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata – kata umum, hanya meliputi perbuatan
– perbuatan pengurusan, sehingga surat kuasa umum hanya boleh berlaku untuk
perbuatan – perbuatan pengurusan saja. Sedangkan untuk memindah tangankan benda
– benda atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik,tidak
diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa umum, melaikan harus dengan
surat kuasa khusus.

Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam
macam, yaitu:3
1. akta umum,
Pemberian kuasa dengan akta umum adalah suatu pemberian kuasa dilakukan
antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta notaris atau
akta notariel.
2. surat di bawah tangan,
Pemberian kuasa dengan surat di bawah tangan adalah suatu pemberian kuasa yang
dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa.
3. lisan,
Pemberian kuasa secara lisan adalah suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh
pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
4. Diam-diam,
Pemberian kuasa secara diam-diam adalah suatu kuasa yang dilakukan secara diam-
diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa
5. Cuma-cuma,

3
https://waromuhammad.blogspot.com/2012/02/pemberian-kuasa.html diakses tanggal 12 Oktober 2018
pukul 22.46 WIB.
Sedangkan pemberian kuasa secara cuma-cuma adalah suatu pemberian kuasa yang
dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa,
6. Kata khusus,
Pemberian kuasa khusus, yaitu suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara
pemberi kuasa dengan penerima kuasa,
7. Umum (Pasal 1793 s.d. Pasal 1796 KUH Perdata).
pemberian kuasa umum, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan oleh pemberi kuasa
kepada penerima kuasa,
C. Syarat sah Perjanjian
Menurut pasal 1340 KUH pdt , syarat sahnya suatu perjanjian adalah;
1. Sepakat mereka yang meningkatkan dirinya
Bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian,harus terlebih dahulu
bersepakat atau setuju mengenai hal – hal yang pokok dari perjanjian yang akan
diadakan itu. Kata sepakat tidak sah apabila kata seppakat itu diberikan karena
kekhilafan,paksaan atau penipuan ( pasal 1321 KUH pdt ).
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Pada dasarnya, setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh
udang – undang tidak dinyatakan tak cakap ( pasal 1329 KUH pdt ). Menurut pasal
1330 KUH pdt, mereka yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah:
a. orang yang belum dewasa
b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
c. prang perempuan dalam hal – hal yang ditatepkan oleh undang – undang,dan semua
orang kepada siapa undang – undang telah melarang membuat perjanjian –
perjanjian tertentu.
3. Adanya suatu hal tertentu
Adanya suatu hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian harus jelas dan dapat
ditentukan.menurut pasal 1333 KUH pdt, suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
pokok suatu barang yang lebih sedikit ditentukan jenisnya.menurut pasal 1332 KUH
pdt, hanya barang – barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok
suatu perjanjian. Selanjutnya menurut pasal 1334 ayat (1) KUH pdt, barang – barang
yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
4. Adanya suatu sebeb yang halal
Adanya suatu sebab ( causa dalam bahasa latin ) yang halal ini adalah menyangkut isi
perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum,kesusilaan,dan undang –
undang ( lihat pasal 1337 KUH pdt ). Dengan demikian undang – undang tidak
memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan suatu perjanjian. Menurut
pasal 1335 KUH pdt, suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
D. Asas-asas dalam Perjanjian

1. Asas kebebasan berkontrak


Dalam Pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada
pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan
siapapun, menentukan isi perjanjian/ pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan
bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan sifat atau ciri khas dari Buku III BW, yang
hanya mengatur para pihak, sehingga para pihak dapat saja mengenyampingkannya,
kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.
2. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat 1 BW. Bahwa salah
satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dengan
adanya kesepakatan oleh para pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka
atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni
melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.
3. Asas pacta sunt servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian hukum, berkaitan
dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau
pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 BW yang menegaskan
“perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”

4. Asas iktikad baik (geode trouw)


Ketentuan tentang asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 BW yang
menegaskan “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”
Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak Kreditur dan Debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Asas iktikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni iktikad baik nisbi dan iktikad baik
mutlak. Iktikad baik nisbi adalah orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang
nyata dari subjek. Sedangkan iktikad mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan
keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak)
menurut norma-norma yang objektif.
5. Asas kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang akan
melakukan kontrak hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat pada
Pasal 1315 dan Pasal 1340 BW.
Pasal 1315 menegaskan “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perjanjian
hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.”
Pasal 1340 menegaskan “perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya.”
Jika dibandingkan kedua pasal tersebut, maka dalam Pasal 1317 BW mengatur tentang
perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 BW untuk kepentingan
dirinya sendiri, ahli warisnya, atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
Di samping kelima asas di atas, di dalam lokakarya Hukum perikatan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembina hukum nasional, Departemen Kehakiman (17 s/d 19
Desember 1985) asas dalam hukum perjanjian terbagi atas; asas kepercayaan, asas
persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan,
asas kebiasaan, dan asas perlindungan.
E. Contoh Perjanjian Pemberian Kuasa Khusus

1. Contoh Surat Pemberian Kuasa Umum

SURAT KUASA
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama : Riyan Bahtiar
Pekerjaan : Pensiunan Karyawan PT Kereta Api Indonesia
Alamat : Jalan Bulusan Selata No 38 RT 04 RW 01 Surabaya

Dengan ini memberikan kuasa kepada

Nama : Muh. Rifqi Anam


Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Plamongan Indah 57 Surabaya
Untuk : Mengambil uang pensiun bulan Desember 2014

Surat kuasa ini dibuat berhubung saya sedang sakit dan terpaksa harus dirawat di
rumah sakit.
Demikian surat kuasa ini dibuat dengan sesungguhnya dan dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Surabaya, 31 November 2014

Yang menerima kuasa Yang memberi kuasa

Muh. Rifqi Anam Riyan Bahtiar


2. Contoh Surat Pemberian Kuasa Khusus
SURAT KUASA
Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama: Si Fulan
Pekerjaan: Wiraswasta
Alamat: Jalan X, Kabupaten X, Bogor

Memberikan kuasa serta menunjuk Domisili Hukum kepada:

Advokat KSATRIAWAN ZAENUDDIN, Sarjana Hukum, SK. Ment. Keh. RI NO. A.


1923-Kp. 04-13 tahun 1992: berkantor di Jalan Ahmad Yani No 34, Telp. 123456,
Bogor;(baik bersama-sama maupun masing-masing sendiri).

KHUSUS

Untuk mewakili pemberi kuasa sebagai Penggugat dalam hal:

Mengajukan gugatan terhadap: Ny. Fulana, umur 35 tahun, beralamat di Jl. Pemuda No
12, Bogor; karena menempati tanah milik pemberi kuasa melewati batas
perjanjian/Wanprestasi, di Pengadilan Negeri Bogor.
Kuasa diberi hak untuk, membuat dan mengajukan gugatan, membuat dan
menandatangani surat-surat, menghadap sidang pengadilan, mengajukan jawaban dan
menolak jawaban lawan, mengajukan bukti serta menolak bukti lawan, mengajukan
permohonan dan keberatan, melakukan pembayaran dan menerima pembayaran,
mengadakan perdamaian dan menandatangani akta perdamaian.

Singkat kata, kuasa diberi hak untuk menggunakan segala upaya hukum yang
diperkenankan oleh Hukum Acara Perdata (HIR/R.Bg), menggunakan hak Retensi, hak
Subsitusi.
Bogor, 31 Januari 2014
Yang diberi kuasa Yang memberi kuasa

KSATRIAWAN ZAENUDDIN, SH SI FULAN


BAB III

Penutup

A. Kesimpulan
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan
kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang menerimanya untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan (pasal 1792). Apabila dilihat dari cara terjadinya,
perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam macam, yaitu: akta umum, surat
di bawah tangan, lisan, diam-diam, cuma-cuma,kata khusus, dan umum (Pasal 1793 s.d.
Pasal 1796 KUH Perdata).
Ada lima cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu
1. penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa;
2. pemberitahuan penghentian kuasanya oleh pemberi kuasa;
3. meninggalnya salah satu pihak;
4. pemberi kuasa atau penerima berada di bawah pengampuan; atau
5. pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa;
6. kawinnya perempuan yang memberi dan menerima kuasa (Pasal 1813 KUH
Perdata)
Daftar pustaka

Leli,joko,suryono.ppkok – pokok perjanjian Indonesia

P.N.H , simanjuntak. Hukum perdata Indonesia

https://media.neliti.com/media/publications/80770-ID-aspek-keabsahan-perjanjian-dalam-
hukum-k.pdf

https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/4573/4-.pdf

Anda mungkin juga menyukai