Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HUKUM EKONOMI SYARIAH

“ PRINSIP-PRINSIP HUKUM EKONOMI SYARIAH “

Disusun Oleh :

1. ANDRI SIAGIAN (181010200946)

2. ANGGI ALFIYAH (181010200271)

3. ASTRI DWI YENTI (181010201190)

4. DIAH MAWAR SAFITRI (181010201192)

5. EKO WARDAYA (181010201369)

UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi Ilmu Hukum

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada saya. Sehingga saya berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “PRINSIP-PRINSIP HUKUM EKONOMI
SYARIAH”.
Makalah ini berisikan tentang informasi HUKUM EKONOMI SYARIAH atau yang
lebih khususnya membahas penerapan hukum ekonomi syariah, karakteristik sertas perspektif
hukum ekonomi syariah dalam islam. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi
kepada kita semua tentang hukum ekonomi syariah. 
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Tangerang Selatan, 20 Maret 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------------------------ iii

DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------------------ v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang -------------------------------------------------------------------------------------1

B. Rumusan Masalah----------------------------------------------------------------------------------3

C. Tujuan Pembahasan -------------------------------------------------------------------------------3

BAB II PEMBAHASAN

A. PRINSIP-PRINSIP DALAM MELAKUKAN AKTIVITAS EKONOMI YANG

SESUAI DENGAN ISLAM ----------------------------------------------------------------------4

B. DASAR LANDASAN HUKUM ADANYA PRAKTIK EKONOMI DALAM

ISLAM-----------------------------------------------------------------------------------------------7

C. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA DILIHAT DARI

BERBAGAI ASPEK-----------------------------------------------------------------------------10

BAB III KESIMPULAN

Kesimpulan -------------------------------------------------------------------------------------------14

Saran ---------------------------------------------------------------------------------------------------15

Daftar Pustaka ----------------------------------------------------------------------------------------16

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan ekonomi Islam saat ini secara terus menerus mengalami kemajuan

yang sangat pesat, baik di panggung internasional maupun di Indonesia. Perkembangan

tersebut meliputi kajian akademis di Perguruan Tinggi maupun secara praktik operasioanl

seperti yang terjadi di lembaga- lembaga perekonomian Islam seperti Perbankan Syariah,

Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah,  Reksadana Syariah, Obligasi Syariah, Leasing

Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Baitul Mal wat Tamwil, Koperasi Syariah,

Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Syariah, lembaga keuangan publik Islam seperti

Lembaga Pengelola Zakat dan Lembaga Pengelola Wakaf serta berbagai bentuk bisnis

syariah lainnya.

Perkembangan tersebut diharapkan semakin melebar meliputi aspek dan cakupan

yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah, 

ekonomi makro (kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan serta

pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti 

upah dan perburuhan dan sebagainya. Dalam perkembangan di bidang lembaga

perekonomian agar mampu bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis

modern, diperlukan  inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip

syariah dalam operasionalnya.

Perkembangan tersebut juga berimplikasi kepada banyaknya masyarakat Indonesia

yang beraktivitas dalam ekonomi Islam, maka sangat dimungkinkan terjadinya sengketa

hukum di bidang ekonomi Islam. Oleh karena itu, dibutuhkan aplikasi hukum Islam

2
dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia. Praktik ekonomi Islam di bidang lembaga

perekonomian mengalami akselerasi yang signifikan, baik di dunia  maupun di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah untuk makalah ini

adalah :

1) Apa saja prinsip dalam melakukan aktivitas hukum ekonomi islam?

2) Apakah dasar landasan hukum yang melandasi munculnya praktik

ekonomi dalam islam?

3) Bagaimana perkembangan hukum ekonomi islam di indonesia jika dilihat

dari berbagai macam aspek?

C. TUJUAN

1) Agar lebih mengerti & memahami tentang prinsip yang dilakkukan dalam

menjalankan setiap aktivitas ekonomi yang sesuai dalam islam

2) Mampu memahami tentang berbagai macam dasr landsan hukum yang

mengatur tentang praktik dalam ekonomi islam

3) Mengetahui perkembangan dari hukum ekonomi islam dalam pandangan

berbagai aspek

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. PRINSIP-PRINSIP DALAM MELAKUKAN AKTIVITAS EKONOMI YANG

SESUAI DENGAN ISLAM

Dalam Hukum Ekonomi Islam, sebagai aturan yang ditetapkan syara’, terdapat prinsip-

prinsip yang harus dipenuhi apabila sebuah interaksi antar sesama manusia yang berkaitan

dengan harta dan kepemilikan akan dilakukan. Prinsip-prinsip ini mesti dijadikan sebagai

ugeran (aturan) dalam melakukan aktivitas ekonomi.

Berdasar pada beberapa pendapat para fuqaha ketika mendeskripsikan fiqih al-

mu’amalah (baca: Hukum Ekonomi Islam), maka setidaknya ditemukan empat prinsip, yaitu:

a) Pada asalnya aktivitas ekonomi itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang

mengharamkannya

Prinsip pertama mengandung arti bahwa Prinsip Hukum Ekonomi Islam

sebenarnya mengacu pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Al-

Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an secara substansi berbicara tentang masalah ini

terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 29, “Dialah Allah yang menjadikan segala

yang ada di bumi untuk kamu.” Sedangkan Al-Hadits yang berkaitan dengan

prinsip ini adalah hadits yang diterima Salman Al-Farisi yang diriwayatkan

Turmudzi dan Ibn Majah, Rasulullah Saw bersabda, “Apa yang dihalalkan Allah

adalah halal dan apa yang diharamkan Allah adalah haram dan apa yang

4
didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sungguh

Allah itu tidak melupakan sesuatu pun.” (HR. Al-Bazar dan Al-Thabrani)

b) Aktivitas ekonomi itu hendaknya dilakukan dengan suka sama suka (’an taradlin)

Prinsip Hukum Ekonomi Islam yang kedua memiliki arti seperti mu’amalah yaitu,

hendaknya dilakukan dengan cara suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan

dari pihak manapun. Bila ada dalam sebuah aktivitas ekonomi ditemukan unsur

paksaan (ikrah), maka aktivitas ekonomi itu menjadi batal berdasarkan syara’.

Prinsip mu’amalah ini didasarkan pada nash yang tertuang dalam Al-Qur’an surat

An-Nisa’ ayat 29, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.

c) Kegiatan ekonomi yang dilakukan hendaknya mendatangkan maslahat dan

menolak madharat (jalb  al-mashalih wa dar’u al-mafasid)

Sedangkan prinsip yang ketiga adalah mendatangkan maslahat dan menolak

madharat bagi kehidupan manusia. Prinsip ini mengandung arti, aktivitas ekonomi

yang dilakukan itu hendaknya memperhatikan aspek kemaslahatan dan

kemadharatan. Dengan kata lain, aktivitas ekonomi yang dilakukan itu hendaknya

merealisasi tujuan-tujuan syari’at Islam (maqashid al-syari’ah), yakni

mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Prinsip ketiga itu secara umum

didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107, “Dan tidaklah

Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Rahmat dalam ayat ini bisa diartikan dengan menarik manfaat dan menolak

madharat (jalb al-manfa’ah wa daf al-madharah). Makna ini secara substansial

seiring dengan yang ditunjukkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185, yang

5
menyatakan, Allah tidak menghendaki adanya kesempitan dan kesulitan

(musyaqah) dan surat An-Nisa’ ayat 28, “Allah menghendaki supaya meringankan

bagimu, karena manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.”

d) Dalam aktivitas ekonomi itu terlepas dari unsur gharar, kedzaliman, dan unsur

lainyangdiharapkanberdasarkansyara’.

Sedangkan prinsip terakhir, aktivitas ekonomi harus terhindar dari unsur gharar,

dzhulm, riba’ dan unsur lain yang diharamkan berdasarkan syara’.

 Gharar artinya tipuan, yang diduga dapat meniadakan kerelaan dan juga

merupakan bagian dari memakan harta manusia dengan cara yang bathil.

Jual-beli gharar adalah jual-beli yang mengandung unsur ketidaktahuan

(jahalah) yang dapat membawa pada perselisihan, serta menyebabkan

kemadharatan dan meniadakan kemaslahatan manusia.

 Zhulm (kedzaliman) adalah aktivitas ekonomi yang bila dilakukan

merugikan pihak lain, seperti menumpuk harta (ihtikar) yang dapat

mengganggu mekanisme pasar, jual-beli yang mengandung unsur

spekulasi seperti jual-beli munabadzah (jual-beli dengan saling melempar).

 Adapun riba’ adalah satu tambahan atas pokok harta dalam urusan pinjam-

meminjam. Terdapat beberapa sebab, mengapa riba’ diharamkan.

1. Karena Allah dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Saw dalam Al-Hadits

jelas-jelas menyatakan, riba’ diharamkan

2. Karena esensi riba’ adalah perilaku orang untuk mengambil harta milik

orang lain dengan tidak seimbang

3. Bisa menyebabkan orang malas untuk berusaha, karena selalu

mengharapkan keuntungan dengan tanpa usaha yang riil

6
4. Karena dengan adanya riba’ bisa menyebabkan hilangnya berbuat baik

terhadap sesama manusia

Dari uraian tersebut dapat dipahami, aktivitas ekonomi baru dianggap shahih

apabila memenuhi prinsip-prinsip Hukum Ekonomi Islam tersebut. Bila kativitas

ekonomi itu tidak memenuhi salah satu atau beberapa prinsip Hukum Ekonomi

Islam, maka akan tergolong pada aktivitas ekonomi yang ghayr al-shahih, baik

bathil atau fasad. Pemenuhan prinsip-prinsip itu dalam rangka menciptakan

aktivitas ekonomi yang dapat menegakkan kebenaran, keadilan, kemurahan, dan

kerelaan. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat disimpulkan, prinsip Hukum

Ekonomi Islam ini pada hakikatnya adalah menegakkan kebenaran (shidq),

keadilan (‘adalah), kemurahan (samahah), dan kerelaan (taradhi),  Wallaahu

a’lam.

B. DASAR LANDASAN HUKUM ADANYA PRAKTIK EKONOMI DALAM ISLAM

UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama,

telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Februari 2006. Kelahiran

Undang-Undang ini membawa pengaruh besar terhadap perundang-undangan yang mengatur

harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada UU No. 3 tahun 2006 pasal 49 point i

disebutkan, bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di

bidang ekonomi syariah.

Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi Islam di

Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang

7
ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap

sebagai hukum syari’ah. Dalam realitasnya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini,

penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga perekonomian Islam tersebut,

mengacu pada ketentuan KUH Perdata.

Ketika wewenang mengadili sengketa hukum ekonomi syariah menjadi wewenang

absolut hakim pengadilan agama, maka formalisasi hukum ekonomi Islam dalam bentuk

KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah) yang komprehensip menjadi urgen. Seperti

yang dibuat pemerintahan Turki Usmani dengan nama Al-Majallah Al-Ahkam

al-’Adliyah yang terdiri dari 1851 pasal, dimaksudkan agar hukum ekonomi syariah memiliki

kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standar dalam menyelesaikan kasus-kasus

sengketa di dalam bisnis syari’ah. Hal ini juga menjadi signifikan manakala masalah asuransi

syari’ah, reasuransi, pegadaian syari’ah, reksadana syariah, obligasi syari’ah, pasar modal

syariah, dan berbagai institusi lainnya belum memiliki payung hukum yang kuat.

           Kalaupun ada aturan-aturan hukum tersebut, masih tersebar ke berbagai tempat.

Seperti Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, regulasi BI, kitab-kitab fiqih dan fatwa-fatwa ulama

klasik dan kontemporer. Sehingga belum menjadi satu dalam bentuk kodifikasi. Realitas

inilah yang dijawab Mahkamah Agung dengan menghadirkan KHES. Problem regulasi ini

sangat disadari oleh Mahkamah Agung. Melalui SK Mahkamah Agung Nomor 097/SK/

X/2006 telah ditunjuk sebuah tim (Kelompok Kerja) yang bertugas menyusun  Kompilasi

Hukum Ekonomi Syariah (KHES). 

Kehadiran KHES berdasarkan PERMA No 2 Tahun 2008 tanggal 10 September,

layak diapresiasi dan direspon konstruktif dengan melakukan studi kritis terhadap materi

yang ada di dalam KHES yang berisi 4 buku, 43 bab, 796 pasal. Buku I tentang Subyek

Hukum dan Amwal (3 bab, 19 Pasal), Buku II tentang Akad (29 bab, 655 Pasal). Buku III

8
tentang Zakat dan Hibah (4 bab, 60 Pasal), dan Buku IV tentang Akuntansi Syariah (7 bab,

62 Pasal). Di antara beberapa hal yang perlu dikritisi adalah pertama, posisi KHES dalam

konteks bangunan hukum nasional. Kedua, paradigma dan prinsip yang menjadi pijakan

dalam perumusan KHES. Ketiga, pendekatan dan metode istinbat yang dilakukan tim KHES

dalam melahirkan hukum ekonomi syari’ah. Keempat, hubungan KHES dengan undang-

undang terkait. Kelima, kedudukan dan kewenangan Dewan Syari’ah Nasional (DSN) pasca

lahirnya KHES. Keenam, apakah aturan-aturan hukum di dalam KHES memberikan ruang

yang cukup luas bagi perkembangan ekonomi syariah atau malah sebaliknya akan membatasi

ruang gerak ekonomi syariah.

Pertumbuhan lembaga perekonomian Islam di Indonesia tersebut, juga dibarengi

dengan dikeluarkannya regulasi atau hukum yang mengatur operasionalnya. Berturut turut

sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia sebagai lembaga perekonomian Islam pertama,

pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan seperti, UU No. 7

Tahun 1992 tentang perbankan, yang telah direvisi dalam  UU No. 10 tahun 1998. Dalam UU

tersebut diatur dengan rinci landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan

dan diimplementasikan oleh perbankan syari’ah. Selain itu juga memberikan arahan bagi

perbankan konvensional untuk membuka cabang syari’ah  (dual banking system) atau bahkan

melakukan konversi.

          Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan  UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yang mengatur tentang

kewajiban dan tanggung jawab BI sebagai otoritas moneter dalam mengatur kebijakan bank

syari’ah dan bank konvensional.  

          Kemudian perkembangan tersebut disusul pada 7 Mei 2008 telah disahkan UU Nomor

19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan perkembangan yang

9
sangat signifikan atas hukum perbankan syari’ah ditandai dengan disahkannya UU nomor 21

tahun 2008 tentang perbankan syari’ah. Dalam UU tersebut perbankan syari’ah

dimungkinkan menerbitkan produk atau melakukan kegiatan usaha yang lebih luas, termasuk

kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan.

C. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA DILIHAT DARI

BERBAGAI

ASPEK

Hukum ekonomi Islam secara umum belum dipraktikkan dan belum banyak yang

menjadikan adat-istiadat umat Islam. Hukum ekonomi Islam secara kelembagaan hanya

dipraktikkan lewat lembaga perekonomian yang secara hukum memang harus ada yang

mengaturnya karena menyangkut hak-hak dan kepentingan banyak pihak dan dalam skala

yang lebih besar. Sehingga perbedaan tersebut juga berimplikasi terhadap perbedaan proses

positifisasinya. 

Sehingga positifisasi tersebut berangkat dari gejala institusionalisasi hukum ekonomi

Islam yang secara adat belum banyak dipraktikkan oleh seluruh umat Islam. Kalau melihat

langsung pada praktiknya, justru masih banyak praktik ekonomi umat Islam yang masih

menyimpang dari hukum Islam dan semakin mengkristal menjadi semacam kebiasaan.

Bahkan lembaga-lembaga perekonomian Islam yang menjadi barisan terdepan dalam

penegakan hukum ekonomi Islampun juga belum sepenuhnya mengaplikasikannya.

Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa hasil survei, ternyata bank-bank syari'ah pada

umumnya, lebih banyak menerapkan murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang

utama, meliputi kurang lebih tujuh puluh lima persen (75%) dari total pembiayaan mereka.

10
Sementara itu, hasil penelitian di BMI Semarang pada tahun 1999, sekitar tujuh puluh

delapan persen (78%) dari total pembiayaannya adalah pembiayaan murabahah. Padahal,

sebenarnya bank syari'ah memiliki produk unggulan, yang berbasis profit and loss sharing

(PLS), yaitu mudharabah dan musyarakah. 

Aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia belakangan ini, kurang

banyak menggali aspek-aspek sosiologis umat Islam dan legal opinion di kalangan pakar,

ulama, pesantren, dan akademisi. Yang dilibatkan hanya sebagain kecil saja, meskipun dalam

konteks ini tidak bermaksud negatif. Lain halnya ketika penyusunan KHI sebelumnya yang

banyak melibatkan para ulama (kiai), pesantren, akademisi fakultas syari’ah beberapa IAIN

ternama di Indonesia, dan praktisi.Aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di

Indonesia lainnya adalah penyusunan fatwa DSN MUI.

Para praktisi ekonomi Islam, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan

fatwa-fatwa dari MUI berkaitan dengan praktik dan produk lembaga perekonomian Islam.

Perkembangan lembaga tersebut yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa

hukum Islam yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat

secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999

sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.

Ada kaidah-kaidah yang secara spesifik mendasari banyak fatwa DSN-MUI, yaitu :

a. Tafriq al-halal nin al-haram

Kaidah ini relevan dikembangkan di bidang ekonomi syariah, mengingat bahwa

kegiatan ekonomi syariah belum bisa terlepas sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional

yang ribawi. Paling tidak, lembaga ekonomi syariah akan berhubungan dengan ekonomi

konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk, maupun

11
keuntungan yang diperoleh. Kaidah tafriq al-halal min al-haram (pemisahan unsur halal dari

yang haram) dapat dilakukan sepanjang yang diharamkan tidak lebih besar atau dominan dari

yang halal. Bila unsur haram dan halal telah dapat diidentifikasi maka unsur haram harus

dikeluarkan.

b. I’adah al-nadhar

Pembaruan hukum ekonomi syariah juga dapat dikembangkan dengan

mengedepankan teori i’adah al-nadhar (telaah ulang) dengan cara menguji kembali alasan

hukum. Telaah ulang ini dilakukan, karena hukumnya telah berubah atau karena beberapa

pendapat para ulama terdahulu dipandang tidak aplikatif dan tidak memadai dengan kondisi

kontemporer. Pendapat itu dianggap sudah tidak cocok lagi untuk dipedomani, karena sulit

diimplementasikan. Salah satu cara yang bisa dipakai untuk melakukan telaah ulang adalah

dengan menguji kembali pendapat yang mu’tamad dengan mempertimbangkan pendapat

hukum yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur), karena adanya

„illahhukum yang baru dan atau pendapat tersebut lebih membawa kemaslahatan.

Selanjutnya pendapat tersebut dijadikan pedoman (mu’tamad) dalam menetapkan hukum.

Sejalan dengan perkembangan pesat sistem ekonomi syari’ah di Indonesia wacana

akan upaya kodifikasi hukum ekonomi syari’ah memang sudah sejak lama bergulir di

kalangan para pengambil kebijakan lembaga peradilan hukum. Secara sederhana kodifikasi

merupakan suatu upaya penghimpunan peraturan perundang-undangan yang kemudian

disusun ke dalam sebuah kitab perundang-undangan. Sehingga pengertian dari kodifikasi

hukum ekonomi syari’ah itu sendiri berarti adalah suatu upaya penghimpunan peraturan

perundang-undang yang mengatur aspek-aspek hukum ekonomi syariah ke dalam sebuah

kitab pedoman hukum ekonomi syariah yang selanjutnya kita sebut sebagai KUHES.

12
Kehadiran ekonomi syari’ah di Indonesia tidak hanya semata-mata meperkaya

khazanah intelektual para ilmuwan, tetapi juga turut serta menjadi solusi terbaik bagi

perkembangan dan pembangunan suatu negara, karena ia menjadi alternatif sistem

perekonomian tidak saja di Indonesia tetapi juga dunia dan kelanjutan peradaban umat

manusia. Hanya saja ekonomi Islam itu harus terus dikaji secara mendalam sesuai dengan

perkembangan zaman, tanpa harus melanggar norma-norma atau etika yang diajarkan Al-

Qur-an dan As-Sunnah.

13
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1) Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai mufti bidang

ekonomi syariah, di mana dalam proses penetapan fatwanya telah banyak melakukan

terobosan-terobosan memecah kebekuan dengan melakukan pembaruan hukum

ekonomi syariah.

2) Berdirinya sejumlah lembaga baru di pemerintahan misalnya Direktorat Perbankan

Syariah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah di Departemen Keuangan,

dan berbagai biro di Bapepam.

3) Disahkan berbagai peraturan perundangan, misalnya Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008

Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia,

Peraturan Bapepam dan peraturan-peraturan lainnya.Sejumlah Lembaga Keuangan

Syariah, baik bank ataupun non bank.

4) Dalam hukum Islam dikenal teori ’urf atau adat, sebagai salah satu metode istinbat

hukum. Dalam teori ini hukum dirumuskan dengan mempertimbangkan adat istiadat

masyarakat. Sehingga diperlukan fleksibelitas dalam hukum ekonomi Islam yang

dikenal dengan kaidah,”Al-Asl fi al-Muamalah al-Ibahah Illa ay-Yadulla  Dalilan

14
’ala Tahrimih” ( Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan

kecuali ada dalil yang mengharamkannya)

5) Yurisprudensi terhadap materi putusan hukum ekonomi syari’ah dapat juga diambil

dari penerapan hukum-hukum adat di dalam materi putusan hukum pengadilan negeri

yang tentunya telah banyak diinspirasikan oleh perubahan aktivitas ekonomi

masyarakat adat Indonesia seluruhnya tanpa melupakan kaidah ilmu ushul fiqih dan

qawa’id fiqih yang menjiwainya.

SARAN

Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan

dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena

terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya

dengan judul makalah ini.

Saya banyak berharap para pembaca yang budiman untuk memberikan kritik dan

saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna

khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. www.google.com
2. http://pa-purworejo.go.id
3. kompas.com

16

Anda mungkin juga menyukai