Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut fatwa DSN-MUI Nomor 101/DSN-MUI/X/2016 tentang akad
ijarah al maushufah fi al dzimmah. Akad ijarah al maushufah fi al dzimmah
adalah akad sewa-menyewa atas manfaat suatu barang atau jasa yang pada
saat akad hanya disebutkan sifat-sifat, kuantitas, dan kualitas (spesifikasi).
Perbedaan ijarah almaushufah fi al dzimmah dengan ijarah lainnya adalah
barang atau jasa pada ijarah al maushufah fi al dzimmah belum ada pada
saat akad, jadi manfaat atas barang atau jasa menggunakan mekanisme
pemesanan seperti pembiayaan berdasarkan salam atau istishna. Mayoritas
ulama menyatakan kebolehan IMFD berdasarkan diperbolehkannya salam
menurut syariah. Para ulama berpandangan bahwa ijarah mempunyai
kesamaan dengan jual beli yaitu jual beli terhadap manfaat barang.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan ijarah al maushufah fi al dzimmah?
2. Bagaimanakah landasan syar'i ijarah al maushufah fi al dzimmah dan
ijaraha al maushufah fi al dzimmah untuk produk pembiayaan pemilikan
rumah (PPR)-indent?
3. Bagaimanakah mekanisme penerapan dari ijarah al maushufah fi al
dzimmah untuk produk pembiayaan pemilikan rumah (PPR)-indent?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui tentang definis dari ijarah al maushufah fi al
dzimmah
2. Untuk mengetahui tentang landasan syar'i ijaraha al maushufah fi al
dzimmah dan ijarah al maushufah fi al dzimmah untuk produk
pembiayaan pemilikan rumah (PPR)-indent
3. Untuk mengetahui tentang mekanisme penerapan ijarah al maushufah fi
al dzimmah untuk produk pembiayaan pemilikan rumah (PPR)-indent?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ijarah al Maushufah fi al Dzimmah
1. Definisi Ijarah al Maushufah fi al Dzimmah
Ijarah al-maushufah fi al dzimmah dalam bahasa Arab, terdiri dari
3 kata, yaitu: ijarah, al-mausuf, dan al-dzimmah.
a. Ijarah artinya akad sewa menyewa. Dimana konsumen memiliki hak
guna pakai sesuai ukuran tertentu terhadap barang yang memiliki
nilai ketahanan (tidak habis pakai) seperti menyewa rumah, mobil,
dan sebagainya.
b. Al-Mausuf artinya yang disifati, yaitu sesuatu yang ditetapkan dan
dibatasi berdasarkan kriteria. Sehingga bentuk bendanya belum
tertentu, dan umumnya ketersediaannya banyak di pasaran.
c. Fi al-dzimmah artinya dalam tanggungan/jaminan, sehingga barang
belum ada. Dimana penjual atau penyedia layanan menjamin akan
mendatangkan benda yang dimaksud sesuai kriteria yang disebutkan.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ijarah al-mausufah fi al
dzimmah adalah objek transaksi yang bentuknya belum ada ketika akad,
namun dia sudah dibatasi berdasarkan kriteria yang jelas (Baits).
2. Karakteristik Ijarah al Maushufah fi al Dzimmah
Akad ijarah al maushufah fi al dzimmah adalah gabungan dari 3
akad, yaitu akad ijarah, akad salam dan akad istishna, tetapi yang paling
dominan adalah akad ijarah. Beberapa karakteristik ijarah al maushufah
fi al dzimmah (IMFD). Pertama, akad itu adalah akad ijarah dengan
harga (upah) dibayar tunai, sedangkan objek sewa diserahkan pada
waktu yang disepakati. Kedua, akad (IMFD) itu kombinasi dari dua
akad, yaitu akad ijarah dan akad salam. Disebut akad ijarah karena yang
diperjual belikan adalah jasa. Serta disebut akad salam karena objek
ijarah diserahkan tidak tunai. Oleh karena itu, akad (IMFD) sering
disebut salam jasa (Baits).
Ketiga, manfaat barang atau jasa belum tersedia atau belum bisa
dimanfaatkan pada saat akad. Keempat, akad (IMFD) disamakan dengan
istishna karena bai al-istishna merupakan suatu jenis khusus bai as-salam
di bidang manufaktur. Dengan demikian ketentuan istishna mengikuti
ketentuan dan aturan bai as-salam. Produk istishna menyerupai produk
salam, tetapi dalam istishna pembayaran dapat dilakukan oleh Bank
dalam beberapa kali pembayaran. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
dalam kontrak istishna pembuatan barang pesanan dari pembeli. Kedua
belah pihak sepakat atas harga dan sistem pembayaran sama dengan
akad ijarah al maushufah fi al dzimmah, apakah akan dibayar di muka,
melalui cicilan atau ditangguhkan sampai waktu tertentu.
3. Rukun dan Syarat Ijarah al Maushufah fi al Dzimmah
Rukun Al-Ijrah Al-Maushufah Fi Al-Dzimmah terbagi 3 sebagai berikut:
a. Pihak yang menyewakan (mu'ajjir) dan Penyewa (musta'jir)
b. Shigat (ijab dan qabul)
c. Objek ijarah (ma'jur)
Syarat ijarah yang berkaitan erat dengan pembahasan ijarah al
maushufah fi al dzimmah adalah syarat yang berkaitan dengan manfaat
dan upah, Syarat-syarat objek ijarah harus berupa:
a. Benda yang bernilai dan bisa dimanfaatkan karena objek ijarah
adalah manfaat barangnya
b. Diketahui spesifikasinya dengan jelas
c. Bisa diserah terimakan
d. Digunakan untuk tujuan yang dibolehkan syariat
B. Landasan Syar'i Ijaraha al Maushufah fi al Dzimmah dan Ijarah al
Maushufah fi al Dzimmah Untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah
(PPR)-indent
Akad ijarah al maushufah fi al dzimmah di perbolehkan sebagaimana
Firman Allah SWT:
1. QS. Al-Baqarah ayat 282
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan
utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya............"
2. QS. Al-Baqarah ayat 283
Artinya: "Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak
mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan
yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang
lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)
dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah
kamu menyembunyikan kesaksian karena barang siapa
menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
3. QS. Al-Maidah ayat 1
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.
Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan
kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum
sesuai dengan yang Dia kehendaki."
Hadist yang berkaitan dengan dasar kebolehan ijarah al maushufah fi
dzimmah:
1. Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasuluallah SAW tiba di
Madinah di mana mereka melakukan salaf untuk penjualan buah-
buahan dengan jangka waktu satu tahun atau dua tahun, lalu beliau
bersabda: barang siapa yang melakukan salaf hendaknya
melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas
pula, sampai pada batas waktu tertentu.
2. Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya jual beli itu hanya sah apabila dilakukan atas dasar
suka sama suka.”
Menurut fatwa DSN-MUI Nomor 101/DSN-MUI/X/2016 tentang
akad ijarah al maushufah fi al dzimmah (Fatwa DSN-MUI No. 101/DSN-
MUI/X/2016). akad ijarah al maushufah fi al dzimmah adalah akad sewa-
menyewa atas manfaat suatu barang dan/atau jasa yang pada saat akad
hanya disebutkan sifat-sifat, dan spesifikasinya (MUI, 2016).
1. Ketentuan terkait manfaat barang dan pekerjaan
a. Diketahui dengan jelas dan terukur spesifikasinya supaya terhindar
dari perselisihan dan sengketa
b. Dapat diserah terimakan, baik secara hakiki maupun secara hukum
c. Disepakati waktu penyerahan dan masa ijarahnya
d. Sesuai dengan prinsip syariah
2. Ketentuan terkait barang sewa
a. Kriteria barang sewa dideskripsikan harus jelas dan terukur
spesifikasinya
b. Barang sewa yang dideskripsikan boleh belum menjadi milik
pemberi sewa pada saat akad dilakukan
c. Pemberi sewa harus memiliki kemampuan yang cukup untuk
mewujudkan dan menyerahkan barang sewa
d. Barang sewa diduga kuat dapat diwujudkan dan diserahkan pada
waktu yang disepakati
e. Para pihak harus sepakat terkait waktu serah terima barang sewa
f. Apabila barang yang diterima penyewa tidak sesuai dengan kriteria
pada saat akad dilakukan, penyewa berhak menolaknya dan
meminta ganti sesuai kriteria atau spesifikasi yang disepakati
3. Ketentuan terkait ujrah

a. Ujrah dalam bentuk uang dan selain uang

b. Jumlah ujrah dan mekanisme perubahannya harus ditentukan


berdasarkan kesepakatan

c. Ujrah boleh dibayar secata tunai, tangguh, atau bertahap (angsur)


sesuai kesepakatan

d. Ujrah yang dibayar oleh penyewa setelah akad, diakui sebagai


milik pemberi sewa
4. Ketentuan terkait uang muka dan jaminan

a. Dalam akad ijarah al maushufah fi al dzimmah dibolehkan uang


muka uang kesungguhan yang diserahkan oleh penyewa kepada
pihak yang menyewakan

b. Uang muka dapat dijadikan ganti rugi oleh pemberi sewa atas
biaya-biaya/kerugian yang timbul dari proses upaya mewujudkan
barang sewa apabila penyewa melakukan pembatalan sewa, dan
menjadi pembayaran sewa (ujrah) apabila akad ijarah al maushufah
fi al dzimmah dilakukan sesuai kesepakatan

c. Pemberi sewa dapat dikenakan sanksi apabila menyalahi substansi


perjanjian terkait spesifikasi barang sewa dan jangka waktu.

d. Apabila jumlah uang muka lebih besar dari jumlah kerugian, uang
muka tersebut harus dikembalikan kepada penyewa

e. Dalam akad ijarah al maushufah fi al dzimmah dibolehkan adanya


jaminan yang dikuasai oleh pemberi sewa baik secara hakiki
maupun secara hukum
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 102/DSN-
MUI/X/2016 tentang akad Ijarah al Maushufah fi al Dzimmah Untuk
Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR)-Indent, dalam fatwa tersebut
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ijarah al maushufah fi al dzimmah
adalah akad sewa-menyewa atas suatu barang dan/atau jasa yang pada saat
akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (MUI, 2016).
1. Ketentuan Hukum

a. Akad ijarah al maushufah fi al dzimmah dalam rangka kepemilikan


rumah yang menggunakan akad Musyarakah Muntanaqishah
(MMQ) atau Ijarah al-Muntahiyah Bi Tamlik (IMBT) boleh
dilakukan dengan mengikuti ketentuan dalam fatwa ini.

b. Akad ijarah al maushufah fi al dzimmah sebagaimana huruf a


berlaku secara efektif dan menimbulkan akibat hukum, baik berupa
akibat hukum khusus (tujuan akad) maupun akibat hukum umum,
yaitu lahirnya hak dan kewajiban, sejak akad dilangsungkan.
2. Ketentuan terkait manfaat barang

a. Manfaat harus berupa manfaat yang dapat terukur spesifikasinya


supaya terhindar dari perselisihan dan sengketa

b. Manfaat harus berupa manfaat yang dapat diserah terimakan, baik


secara hakiki maupun secara hokum

c. Jangka waktu penyerahan dan masa ijarah-nya

d. Manfaat harus berupa manfaat yang boleh berdasarkan dengan


prinsip syariah

e. Manfaat yang diharapkan adalah manfaat yang dimaksud dalam


akad yang dapat dicapai melalui akad ijarah al maushufah fi al
dzimmah.
3. Ketentuan terkait barang sewa (PPR) Indent
a. Kriteria barang sewa yang dideskripsikan harus terukur
spesifikasinya

b. Barang sewa yang dideskripsikan boleh belum menjadi milik


pemberi sewa pada saat akad dilakukan

c. Ketersediaan barang sewa wajib diketahui dengan jelas serta


sebagian barang sewa sudah wujud pada saat akad dilakukan

d. Bentuk barang sewa yang dimaksud pada huruf c, harus jelas, siap
dibangun, milik pemberi sewa atau pengembang yang bekerja sama
dengan pemberi sewa, dan bebas sengketa

e. Pemberi sewa harus memiliki kemampuan yang cukup untuk


mewujudkan barang sewa

f. Para pihak harus meyakini bahwa barang sewa dapat diwujudkan


pada waktu yang disepakati

g. Para pihak harus sepakat terkait waktu serah-terima barang sewa

h. Apabila pemberi sewa menyerahkan barang sewa namun tidak


sesuai dengan spesifikasi yang disepakati atau gagal serah pada
waktu yang disepakati, maka penyewa berhak:

1) Melanjutkan akad dengan atau tanpa meminta kompensasi dari


pemberi sewa

2) Membatalkan akad dengan meminta pengembalian dana sesuai


dengan jumlah yang telah diserahkan.
4. Ketentuan terkait ujrah

a. Ujrah boleh dalam bentuk uang dan selain uang

b. Jumlah ujrah dan mekanisme perubahannya harus ditentukan


berdasarkan kesepakatan
c. Ujrah boleh dibayar secata tunai, tangguh, atau bertahap (angsur)
sesuai kesepakatan

d. Ujrah yang dibayar oleh penyewa setelah akad, diakui sebagai


milik pemberi sewa
5. Ketentuan terkait uang muka dan jaminan

a. Dalam akad ijarah al maushufah fi al dzimmah dibolehkan adanya


uang muka uang kesungguhan yang diserahkan oleh penyewa
kepada pemberi sewa

b. Uang muka dapat dijadikan ganti rugi oleh pemberi sewa karena
proses upaya untuk mewujudkan barang sewa apabila penyewa
melakukan pembatalan sewa, dan menjadi pembayaran sewa
(ujrah) apabila akad ijarah al maushufah fi al dzimmah dilakukan
sesuai kesepakatan

c. Apabila jumlah uang muka lebih besar dari jumlah kerugian, maka
uang muka tersebut harus dikembalikan kepada penyewa

d. Apabila pemberi sewa menyalahi substansi perjanjian terkait


spesifikasi barang sewa, jangka waktu dan gagal serah, maka
penyewa berhak:

1) Melanjutkan akad dengan atau tanpa meminta kompensasi dari


pemberi sewa

2) Membatalkan akad dengan pengembalian dana sesuai dengan


jumlah yang telah diserahkan

e. Dalam akad ijarah al maushufah fi al dzimmah dibolehkan adanya


jaminan yang dikuasai oleh pemberi sewa baik secara hakiki
maupun secara hukum
C. Mekanisme Penerapan Ijarah al Maushufah fi al Dzimmah
Menurut fatwa DSN-MUI akad IMFD menjadi akad pelengkap dari
akad musyarakah mutanaqisah (MMQ) atau Ijarah Muntahiya Bittamlik
(IMBT). IMFD menjadi solusi agar pengembalian keuntungan bagi bank
dapat dilakukan jika rumah tersebut belum dibangun. Pembiayaan
perumahan dengan pola musyarakah mutanaqisah (MMQ) dalam
implementasi perbankan syariah diwujudkan dalam akad antara Bank
syariah dengan nasabah untuk pembelian atau pengadaan suatu barang
(benda), dimana aset tersebut menjadi milik bersama. Selanjutnya nasabah
akan membayar (mengangsur) sejumlah modal/dana kepada Bank untuk
membeli bagian atau porsi tertentu dari objek yang diperjanjikan (Felix,
2017).
Dalam suatu pembiayaan berdasarkan prinsip musyarakah terdapat
bagi hasil yang harus diberikan atas usaha tertentu, oleh karena itu
pembelian suatu rumah berdasarkan prinsip musyarakah juga harus
menghasilkan keuntungan tertentu. Berdasarkan hal tersebut maka akad
musyarakah mutanaqisah dapat dikombinasikan dengan akad ijarah di mana
ujrah dari akad ijarah tersebut menjadi keuntungan yang selanjutnya akan
dibagi hasil berdasarkan nisbah yang disepakati. Jika pembiayaan dilakukan
terhadap rumah yang sedang dibangun maka ijarah biasa tidak dapat
diterapkan karena manfaat atas barang belum dapat diserahkan kepada
penyewa pada saat akad dilakukan. Berdasarkan alasan tersebut maka akad
yang digunakan untuk sewa rumah yang sedang dibangun adalah akad ijarah
al maushufah fi al dzimmah. Melalui penerapan akad IMFD walaupun
barang yang hendak disewa belum ada, namun transaksi sewa-menyewa
sudah dapat dilakukan di depan, sehingga selama rumah sedang dibangun
pembayaran angsuran oleh nasabah yang menjadi keuntungan bank sudah
dapat dilakukan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijarah al-mausufah fi al dzimmah adalah objek transaksi yang
bentuknya belum ada ketika akad, namun dia sudah dibatasi berdasarkan
kriteria yang jelas. Dengan ditetapkannya fatwa mengenai ijarah al
maushufah fi al dzimmah (IMFD) oleh DSN-MUI membuka peluang bagi
perbankan syariah untuk memperluas pasarnya. Secara khusus pembiayaan
terhadap aset yang belum ada/akan dibangun seperti pembiayaan
kepemilikan rumah yang belum dibangun dan pembiayaan proyek. Selain
itu IMFD juga berpotensi diterapkan untuk pembiayaan multi jasa di mana
jasa yang diberikan akan dilakukan di masa yang akan datang karena akad
ijarah tidak terbatas pada manfaat atas barang saja tetapi termasuk jasa.

DAFTAR PUSTAKA
Baits, A. N. Diakses pada 19 April, 2020, dari PengusahaMuslim.com:
https://pengusahamuslim.com/6044-mengenal-akad-ijarah-mausuf-fi-
dzimmah-imfd.html
Felix, R. (2017, Oktober). Diakses pada 19 April, 2020, dari ResearchGate.net:
https://www.researchgate.net/publication/320371743_Potensi_Penerapan_
Al-Ijarah_Al-Maushufah_Fi_Al-Dzimmah_Oleh_Perbankan_Syariah
MUI. (2016). Fatwa DSN MUI No.101. Jakarta: Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia.
MUI. (2016). Fatwa DSN MUI No.102. Jakarta: Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai