Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN
ISTISHNA, IJARAH DAN SALAM

A. ISTISHNA
1. Pengertian Istishna

Istishna adalah akad bersama produsen untuk satu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual
beli satu barang yang akan dibuat oleh produsen yang juga menyediakan barang bakunya, sedangkan
jika barang bakunya dari pemesan maka transaksi itu menjadi akad jarah (sewa), pemesan hanya
menerima jasa produsen untuk membuat barang.

Sedangkan dalam kodifikasi produk perbankan Syariah dijelaskan bahwa istishna adalah sebagai
Jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang berdasarkan persyaratan tertentu,
kriteria, dan pola pembayaran sesuai dengan kesepakatan.

Tujuan istishna umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti
pembangunan proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana
jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiyaan investasi.

2. Landasan Hukum Istishna

‫َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربا‬

Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan
adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.

Mengingat istishnâ’ ini metodenya hampir sama dengan metode pada salam maka Secaba umum
landasan syariahnya yang berlakunya pada salam juga berlaku pada istishnâ’.

Selanjutnya ulama’ Hanafi menggolongkan istishnâ’ termasuk akad yang dilarang karena
bertentangan dengan semangat bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa
pokok Montreal penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual. Sementara dalam istishna, pokok
kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui
kontrak istishna atas dasar alasan-alasan berikut.

a. Masyarakat telah mempraktekkan istishna secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan
sama sekali. Hal demikian menjadikan istishnâ’ sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
b. Dalam Syariah dimungkinkan adanya kemungkinan adanya penyimpangan terhadap qiyas
berdasarkan ijma’.
c. Keberadaan didasarkan pada kebutuhan masyarakat, banyak orang yang sering kali
memerlikan barang yang tidak tersedia dipasar, sehingga mereka cenderung melakukan
kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.
d. Istishnâ’ sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak
bertentangan dengan Nash atau Syariah1[6].
3. Rukun dan Syarat Istishna
Pada prinsipnya bai’ al-istishna’ adalah sama dengan bai’ as-salam. Maka rukun dan syarat
istishna’  mengikuti bai’ as-salam.  Hanya saja pada bai’ al-istishna’  pembayaran tidak
dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi
tergantung selesainya barang pada umumnya.  Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa
dipastikan kapan bangunannya selesai.
Agar istishnâ’ menjadi sah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut.
a.         Barang (mashnu’)
Perincian barang yang sah untuk dijadikan objek istishnâ’ adalah sebagai berikut:
1)      Jenis, misal berupa mobil, rumah, pesawat atau yang lain.
2)      Tipe, misal berupa mobil kijang, rumah tipe RSS.
3)      Kualitas, bagaimana spesifikasi teknisnya dan hal lainnya.
4)      Kuantitasnya, berupa jumlah unit.
b.         Harga
Harga harus ditentukan berdasarkan aturan sebagai berikut:
1)      Harus diketahui semua pihak.
2)      Bisa dibayarkan sewaktu akad secara cicilan, atau ditangguhkan pada waktu tertentu pada
masa yang akan datang.
4.      Contoh Kasus
Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepakbola
sebesar Rp 20juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga
sepasang kostum biasanya Rp 40.000,00, sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada bank dengan
harga Rp 38.000,00. Berapa keuntungan yang didapatkan bank?

Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum. Ia hanya ingin
memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp 38.000,00 X
Rp 2.000,00) atau 5% dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih
murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar.

1
B. Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan
pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa didikuti
pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.
Ijarah adalah akad antara bank (mu’ajjir) dengan nasabah (mutta’jir) untuk menyewa
suatu barang/objek sewa milik bank dan bank mendapat imbalan jasa atas barang yang
disewanya, dan diakhiri dengan pembelian obyek sewa oleh nasabah.Landasan syariah
akad ini adalah fatwa DSN-MUI No.09 /DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah.
2. Tujuan Ijarah
Tujuan Akad Ijarah adalah memberikan fasilitas kepada nasabah yang membutuhkan
manfaat atas barang (sewa) dengan pembayaran tangguh dan dengan opsi untuk
memiliki pada kemudian hari.
3. Landasan Hukum Ijarah
a. Al-Quran
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS.al-
Baqarah:233)
b. Hadits
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat
mereka”.(HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, at-Thabrani dan Tirmidzi)
4. Rukun dan Syarat Ijarah
a. Mu’jar(orang/barang yang disewa)
1. Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal
2. Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah
b. Musta’jir (orang yang menyewa)
c. Sighat (ijab dan qabul)
d. Upah dan manfaat
1. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna
2. Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak
bercacat
3. Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ dan merupakan sesuatu yang
bisa disewakan
4. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
5. Upah/sewa dalam akad harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.

5. Fitur dan Mekanisme Ijarah


a. Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), yaitu memperoleh
pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir);dan mengakhiri
akad Ijarah dan menarik objek Ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar
sewa sebagaimana diperjanjikan
b. Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
1. menyediakan objek ijarah yang disewakan;
2. menanggung biaya pemeliharaan objek ijarah;
3. menjamin objek ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat
berfungsi dengan baik.
c. Hak penyewa (musta’jir), antara lain meliputi:
1. menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan;
2. menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-
persyaratan yang diperjanjikan.
d. Kewajiban penyewa antara lain meliputi:
1. membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan;
2. mengembalikan objek iajrah apabila tidak mampu membayar sewa;
3. menjaga dan menggunakan objek ijarah sesuai yang diperjanjikan;
4. tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada
pihak lain.
5. Objek Ijarah
Objek ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan, antara lain:
a. objek ijarah merupakan milik dan/atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan
sebagai pemberi sewa (muajjir);
b. manfaat objek ijarah harus dapat dinilai;
c. manfaat objek ijarah harus dapat diserahkan penyewa (musta’jir);
d. pemanfaatan objek ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak
diharamkan);
e. manfaat objek ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas;
spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui
identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatannya.
6. Sifat dan Hukum Akad Ijarah
Para ulama Fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat
kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat
mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu
pihak yang berakad, seperti contohnya salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan
bertindak hukum. Apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, akad ijarah batal
karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat,
kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang yang berakad
meninggal dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan karena termasuk harta dan
kematian salah seorang pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.

7. Aplikasi Ijarah di Lembaga Keuangan Syariah


Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukanleasing, baik
dalam bentuk operting lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank-
bank tersebut lebih banyak menggunakan Ijarah Muntahiya bit-Tamlik, karena lebih
sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus
pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
Dalam kegiatan perbankan Syariah pembiayaan melalui Ijarah dibedakan menjadi dua
yaitu:
1. Didasarkan atas periode atau masa sewa biasanya sewa peralatan. Peralatan itu disewa
selama masa tanam hingga panen. Dalam perbankan Islam dikenal sebagai Operating
Ijarah.
2. Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik di beberapa negara menyebutkan sebagai Ijarah Wa
Iqtina’ yang artinya sama juga yaitu sama juga yaitu menyewa dan setelah itu
diakuisisi oleh penyewa (finance lease).
8. Contoh penerapan Ijarah
1. Ijarah Multimanfaat

Akad ijarah multimanfaat ini digunakan dalam produk pembiayaan multiguna bank
syariah. Contohnya adalah pembiayaan multiguna bank muamalat atau pembiayaan
multiguna bank mandiri syariah.
Sesuai arahan fatwa DSN-MUI no. 09 tahun 2000, akad ijarah ini dapat digunakan untuk
pembelian manfaat barang, seperti sewa mobil, ruko ataupun peralatan. Dan juga manfaat
jasa, berupa upah. Seperti biaya pendidikan dan pengobatan.

Contoh perhitungan ijarah multijasa pada pembiayaan multiguna adalah pada kasus
pembiayaan untuk keperluan belajar di Universitas.

Pada contoh akad ijarah ini, bank bertindak sebagai pemberi manfaat. Sehingga perlu
menyediakan jasa pendidikan yang akan disewakannya. Hal ini dapat dilakukan melalui
perjanjian kerjasama antara bank dengan lembaga pendidikan.

Misal, biaya kuliah per semester sebesar Rp. 5 Juta, sehingga total biaya kuliah selama 8
semester atau 4 tahun adalah sebesar Rp. 40 Juta.

Maka, total jasa yang digunakan nasabah adalah sebesar Rp. 40 Juta, dan bank
menetapkan ujroh atau upah yang mereka inginkan. Misal, Rp. 8 juta.

Sehingga, nasabah wajib membayar sewa setiap bulannya, sebesar Rp. 1 juta per
bulannya, selama 4 tahun.

2. Akad Ijarah Mutahiyyah Bittamlik


Contoh kasus ijarah muntahiya bittamlik adalah pembiayaan yang digunakan untuk
pembelian kendaraan bermotor pada leasing syariah dan bank syariah.
Akad yang dikenal juga dengan nama akad ijarah wa iqtina, merupakan perjanjian sesuai
syariah, untuk mengantikan praktek sewa-beli ribawi. Seperti yang sering dipraktekkan
pada lembaga leasing dan perbankan konvensional.
Adapun, pengertian akad ijarah muntahiyah bittamlik (IMBT) adalah perjanjian sewa-
menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewakan
kepada penyewa, setelah selesai masa sewa.
Pada skema IMBT, para pihak yang melakukan akad IMBT harus melakukan dua
perjannjian di awal perjanjian pembiayaan.
 Pertama, adalah melakukan perjanjian ijarah terlebih yang memenuhi ketentuan
rukun dan syarat akad ijarah sesuai fatwa DSN no. 09 tahun 2000.
 Kedua, para pihak melakukan perjanjian wa’ad (janji) pemindahan kepemilikan
yang hukumnya tidak mengikat.
3. Skema Ijarah dalam MMQ
Contoh akad ijarah dalam transaksi lain di perbankan adalah perjanjian sewa yang terdapat
dalam skema pembiayaan mengunakan akad musyarakah mutanaqisah (MMQ).
Sederhananya akad MMQ adalah kebalikan dari akad IMBT.
Jika pada akad akad IMBT kepemilikan oleh nasabah baru terjadi pada akhir masa sewa,
setelah nasabah melunasi uang sewanya.

Maka pada akad KPR Syariah mengunakan skema MMQ, Kepemilikan nasabah terjadi
sejak awal pembiayaan. Namun, kepemilikan tersebut masih merupakan kepemilikan
bersama dengan bank. Sehingga produk KPR syariah mengunakan akad MMQ, sering
juga disebut sebagai KPR syariah kongsi.
Adapun transaksi ijarah terjadi ketika aset yang dibeli dengan akad MMQ tersebut,
disewakan oleh bank kepada nasabah selama jangka waktu pembiayaan.
Contoh transaksi ijarah mengunakan akad musyarakah mutanaqisah ini biasa digunakan
untuk pembelian aset yang sudah ada wujudnya. Misal, untuk produk KPR tanpa riba
hunian yang sudah siap dibangun.
C. Salam
1. Pengertian Salam
Secara bahasa as-salam  atau as-salaf  berarti pesanan. Secara terminologis para
ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda,
atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal,
sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”.
Secara istilah salam adalah jual beli sesuatu dengan ciri-ciri tertentu yang akan
diserahkan pada waktu tertentu. Contohnya, orang muslim membeli komoditi tertentu
dengan ciri-ciri tertentu, misalnya: mobil, rumah makan, hewan, dan sebagainya, yang
akan diterimanya pada waktu tertentu. Ia bayar harganya dan menunggu waktu yang
telah disepakati untuk menerima komoditi tersebut. Jika waktunya telah tiba, penjual
menyerahkan komoditi tersebut kepadanya.
Dalam literatur lain salam diartikan sebagai transaksi jual beli barang pesanan
Siantar pembeli dan penjual. spesifikasi dan dan harga pesanan harus sudah disepakati
diawal transaksi, sedangkan pembayarannya dilakukan dimuka secara penuh.
Selanjutnya menurut para ulama’ syafiiyah dan hanabilah, salam iartikan sebagai
transaksi atas pesanan dengan spesifikasi tertentu yang di tangguhkan pembayarannya
pada waktu tertentu yang pembayarannya dilakukan secara tunai di majelis akad. Umala’
malikiyah mengemukakan salam adalah transaksi jual beli yang pembayarannnya
dilakukan secara tunai dan komoditas pesanan diserahkan pada waktu tertentu.
Sedangkan dalam kodifikasi produk perbankan Syariah dijelaskan bahwa pengertian
salam adalah Jual beli barang dengan cara pemesanan berdasarkan persyaratan dan
kriteria tertentu sesuai kesepakatan serta pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
2. Landasan Hukum Salam
Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282.

َ ‫م بِ َد ْي ٍن إِلَى أَ َج ٍل ُم‬Oْ ُ‫ين آ َمنُوا إِ َذا تَ َدايَ ْنت‬


ُ‫س ّمًى فَا ْكتُبُوه‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalahtidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282)
Dalam hadis rasul bersabda :

‫لم‬OO‫ه وس‬OO‫لى هللا علي‬OO‫ ِد َم اَلنَّبِ ُّي ص‬O َ‫ ق‬:‫ا َل‬OOَ‫ ق‬-‫ا‬OO‫ َي هَّللَا ُ َع ْن ُه َم‬O ‫ض‬
ِ ‫ َر‬- ‫س‬
ٍ ‫َع ِن اِ ْب ِن َعبَّا‬
‫ف فِي تَ ْم ٍر‬ َ َ‫سل‬ ْ َ‫ ( َمنْ أ‬:‫ فَقَا َل‬,‫سنَتَ ْي ِن‬ َّ ‫ون فِي اَلثِّ َما ِر اَل‬
َّ ‫سنَةَ َوال‬ Oَ ُ‫سلِف‬ْ ُ‫ َو ُه ْم ي‬,َ‫اَ ْل َم ِدينَة‬
.‫ ِه‬OO‫ق َعلَ ْي‬ ٍ ُ‫ ٍل َم ْعل‬OO‫ إِلَى أَ َج‬,‫وم‬OO
ٌ OOَ‫ ُمتَّف‬ ) ‫وم‬OO ٍ ُ‫ َو َو ْز ٍن َم ْعل‬,‫وم‬OOٍ ُ‫ل َم ْعل‬OO
ٍ ‫لِفْ فِي َك ْي‬OO‫س‬ ْ ُ‫فَ ْلي‬
‫َي ٍء‬ ْ َ‫ َمنْ أ‬:‫ي‬
َ َ‫سل‬
ْ ‫ف فِي ش‬ ِّ ‫َولِ ْلبُ َخا ِر‬
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan
penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu
beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia
meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi.
".Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu
Abdullah bin al-abbas r.a berkata “ ketika Rasulillah Faw. Tiba di Madinah, orang-
orang Madinah melakukan jual beli salam pada buah-buahan selama setahun, atau dua
tahun, atau tiga tahun, ( HR. Muttafaq ‘Alaih).

3. Rukun dan Syarat Salam


Pelaksanaan jual beli salam atau inden memuat rukun sebagai berikut :
a. Pembeli (musalam)
Adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Harus memenuhi kriteria
cakap bertindak hukum (balig dan berakal sehat) serta mukhtar (tidak dalam
tekanan/paksaan).
b. Penjual (musala ilaih)
Adalah pihak yang memasok barang pesanan. Harus memenuhi kriteria cakap bertindak
hukum (balig dan berakal sehat) serta mukhtar (tidak dalam tekanan/paksaan.
c. Ucapan (sighah)
Harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat
memalingkan keduanya dari maksud akad.
d. Barang yang dipesan (muslam fiqh)
Dalam hal ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1)             Dinyatakan jelas jenisnya

2)             Jelas sifat-sifatnya.

3)             Jelas ukurannya.

4)             Jelas batas waktunya.

5)             Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas.

Sementara syarat jual beli salam adalah sebagai berikut :


1. Pembayarannya dilakukan dengan kontan, dengan emas, atau perak, atau logam-
logam, agar hal-hal ribawi tidak diprjualbelikandengan sejenisnya secara tunda.
2. Komodiinya harus dengan spesifikasi yang jelas, misalnya, dengan menyebut jenisnya
dan ukurannya, agar tidak trjadi konflik antara seorang muslim dengan saudaranya
yang menyebabkan dendam dan permusuhan Siantar keduanya.
3. Waktu penyerahan komoditi harus ditentukan, misalnya setengah bulan yang akan
datang atau lebih.
4. Penyerahan uang dilakuakan di dalam satu majelis.

4. Hukum-hukun dalam Jual Beli Salam


Hukum-hukum yang terdapat dalam transaksi jual beli salam adalah sebagai berikut:
1. Waktu penyerahan komoditi adalah masih lama, misalnya, satu bulan atau lebih,
karena penyerahan komoditi pada waktu dekat itu seperti jual beli yang disyratkan
melihat komoditi dan memeriksanya.
2. Waktu penyerahan komoditi adalah waktu yang pada umumnya komoditi tersebut
telah ersedia pada waktunya. Jadi, tidak sah waktu penyerahan kurma dimusim bunga
atau waktu penyerahan anggur dimusim dingin, karena itu bisa menimbulkan
perselisihan Siantar kaum muslimin.
3. Jika tempat penyerahan komoditi tidak disebutkan pada waktu akad maka penyerahan
komoditi harus dilakuakn ditempat akad. Jika tempat penyerahannya dientukan
ditempat khusus, seperti disepakati pada waktu akad, dalam arti kedua belah pihak
sepakat melakukan serah terima ditempat tersebut maka serah terima komoditi
tersebut harus dilakuakn ditempat tersebut, sebab kaum muslimin itu sesuai dengan
syaratnya.
5. Contoh Kasus

Seorang petani memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank sebesar Rp


5.000.000,00. Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan beras
dijual dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi.
Bagaimana perhitungannya?
Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton. Setelah
melalui negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp 2.400,00 per
kg yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga bank mendapat
keungtungan 20%
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, kami dapat menarik
kesimpulan:
Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda,  pembayaran modal
lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan
penjual, Obyek transaksi, Sighat ijab qabul, dan alat tukar.
Al-Istishna adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi
menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di
muka, tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna  mengikuti bai’ as-salam.  Hanya saja
pada bai’ al-istishna  pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya
penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada
umumnya.
Perbedaan salam dan istishna adalah cara penyelesaian pembayaran salam dilakukan
diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishnâ’ tidak secara kontan bisa
dilakukan di awal, tengah atau akhir.
B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis
senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang
sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai