Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH AKUNTANSI SYARIAH

AKUNTANSI SEWA MENYEWA

OLEH KELOMPOK 13
AHMAD YUSUF 185310607
SYAHRUL HADI SUSENO 185310617

DOSEN PEMBIMBING
SISKA, SE., M.Si., Ak

JURUSAN AKUNTANSI S1
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menolong hambaNya menyelesaikan
makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Nya, mungkin penyusun
tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Semoga dengan tersusunnya
makalah ini, dapat berguna bagi kami untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akuntansi
Syariah, dan dapat bermanfaat serta menjadi pedoman bagi yang membacanya.
Makalah ini berisi penjelasan-penjelasan tentang akad ijarah. Penyusunan juga
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, dan kepada Ibu
SISKA, SE., M.Si., Akselaku dosen Mata Kuliah Akuntansi Syariah.
Semoga makalah ini, dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki berbagai kekurangan.
Pekanbaru, 1 Desember 2020

Penyusun,
Kelompok 13
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Ijarah adalah perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang
memperbolehkan penyewa memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa
sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Setelah masa sewa berakhir, maka
barang akan dikembalikan kepada pemilik.
Landasan syariah dari ijarah adalah Alquran, surat Al-Baqarah: 233, “Dan jika
kamu ingin anakmu disusunkan oleh orang lain, tidak ada dosa bagimu, apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kau kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Sedangkan Al-Ta’jiri yaitu perjanjian antara pemilik barang dengan yang
membolehkan penyewa untuk memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa
sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Setelah berakhir masa sewanya, maka
pemilik barang menjual barang tersebut kepada penyewa dengan harga yang disetujui
kedua belah pihak.
Ijarah adalah akad pemindahan hak/manfaat atas suatu asset dalam waktu tertentu,
dengan pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikkan
assset sendiri (PAPSI).
Ijarah sesuai jenisnya dapat dibedakan menjadi:
B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan karya ilmiah ini, kami merumuskan permasalahan didalamnya.
Berikut ini rumusan masalahnya:
1.      Apakah pengertian dari ijarah?
2.      Bagaimana landasan transaksi ijarah?
3.      Bagaimana hak dan kewajiban kedua belah pihak?
4.      Bagaimana kesempatan mengenai harga sewa?
5.      Bagaimana Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT)?
6.      Apa persamaan dan perbedaan antara ijarah dan leasing?
7.      Bagaimana alur transaksi ijarah dan IMBT?
8.      Bagaimana sukuk ijarah?
C.    Tujuan Penulisan
Kami sebagai penulis mempunyai tujuan dalam penulisan karya ilmih ini, berikut
tujuan penulisannya:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari ijarah.
2.      Untuk mengetahui landasan transaksi ijarah.
3.      Untuk mengetahui hak dan kewajiban kedua belah pihak.
4.      Untuk mengetahui kesempatan mengenai harga sewa.
5.      Untuk mengetahui Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT).
6.      Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara ijarah dan leasing.
7.      Untuk mengetahui alur transaksi ijarah dan IMBT.
8.      Untuk mengetahui sukuk ijarah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijarah
Transaksi ijarah dilandasi dengan adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan
perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi, pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan
prinsip jual beli. Perbedaan terletak pada objek transaksinya. Pada jual beli, objek
transaksinya barang, sedangkan pada ijarah, objek transaksinya adalah barang
maupun jasa. Ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa
dengan membayar imbalan tertentu. (Sarkhasi, al-Mabshut, 15:74; Al-Umm, 3:250).
Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran
sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri (2001).
Dengan demikian, dalam akad ijarah tidak ada perubuhan kepemilikan, tetapi hanya
perpindahan hak guna dari  yang menyewakan kepada penyewa.(1)
Jadi, ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat)
atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara
perusahaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa
diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.
B.     Landasan Transaksi Ijarah
Landasan syariah akad ini adalah Fatwa DSN-MUI No.09 /DSN-MUI/IV/2000
tentang ijarah. Beberapa ketentuan yang diatur dalam fatwa ini, antara lain sebagai
berikut:
1. Rukun dan Syarat Ijarah
a) Singhat ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak
y[1]ang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
b) Pihak-pihak yang berakad terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan
penyewa/ pengguna jasa.
c) Objek akad ijarah adalah manfaat dan sewa, dan manfaat jasa dan upah.
2. Ketentuan Objek Ijarah
a) Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
b) Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam
kontrak.
c) Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
d) Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
e) Manfaat harrus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan
jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f) Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya.
Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g) Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada
LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam
jual beli dapat pula dijadikan sewaatau upah dalam ijarah.
h) Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang
sama dengan objek kontrak.Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa
atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Perlakuan akuntansi terhadap ijarah, apabila LKS sebagai pemilik objek ijarah
berkaitan dengan perolehan asset ijarah, penerimaan asset ijarah, penyusutan sewa
ijarah dan perbaikan asset ijarah.
3. Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
a) Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang dan jasa:
 Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.
 Menanggung biaya pemeliharaan barang.
 Menjamin bila terdapat cacat padabarang yang disewakan.
b) Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang dan atau jasa:
 Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keuthan
barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
 Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak
materiil)
 Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari
penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima
manfaat dalam menjaganya, dan ia tidak bertanggung jawab atas
kerusakan tersebut.([2])
C.    Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Apa saja kewajiban penyewa dan pihak yang menyewakan? Pihak yang
menyewakan wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat digunakan
secara optimal oleh penyewa. Misalnya, mobil yang disewa ternyata tidak dapat
digunakan karena akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya. Bila
yang menyewakan tidak dapat memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan untuk
membatalkan akad atau menerima manfaat yang rusak. Bila demikian keadaannya,
apakah harga sewa masih harus dibayar penuh? Sebagian ulama berpendapat, bila
penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa harus dibayar penuh (Mula Khasra,
Syarh Al-Durr, 3:278-279, dan Al-Muhattab, 2:405). Sebagian ulama lain
berpendapat, harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan
kerusakan.
Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syarat akad
atau menurut kalaziman penggunaannya. Penyewa juga wajib menjaga barang yang
disewakan agar tetap utuh. Bagaimana dengan perawatan barang yang disewa? Secara
prinsip tidak boleh dinyatakan dalam akad bahwa penyewa bertanggung jawab atas
perawatan karena ini berarti penyewa bertanggung jawab atas jumlah yang tidak
pasti (gharar). Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa bila penyewa diminta
untuk melakukan perawatan, ia berhak untuk mendapatkan upada dan biaya yang
wajar untuk pekerjaannya itu. Bila penyewa melakukan perawatan atas kehendaknya
sendiri, ini dianggap  sebagai  hadiah dari penyewa dan ia tidak dapat meminta
pembayaran apapun (Al-Fatawa Al-Hindiyah, 4:443; Al-Buhuti, Kasyful Qina’,
4;416; Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, 5:264-256).
D.    Kesepakatan Mengenai Harga Sewa
Misalnya, dikatakan, “Saya sewakan mobil ini selama satu bulan dengan harga
sewa Rp X.” Bila penyewa ingin memperpanjang masa sewa, dapat saja harga
sewanya berubah. Bahkan, “pihak yang menyewakan dapat saja meminta harga sewa
dua kali lipat daripada sebelumnya. Sebaliknya,  penyewa dapat saja menawar
setengah harga sewa sebelumnya. Semuanya tergantung kesepakatan antara kedua
belah pihak: penyewa dan pihak yang menyewakan. Namun, dalam periode pertama
telah disepakati harga sewanya, itulah kesepakatannya. Mayoritas ulama mengatakan,
“Syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual berlaku juga bagi harga sewa” (Al-
Dardir, Syarh Al-Shagir, 4:59; Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, 5:322, Ibnu
Qudhamah, Al-Mughni,5:327).
Bagaimana dengan praktik para penjahit, misalnya menjelang lebaran, yang
menentukan harga jahit makin tinggi? Ulama mazhab memberikan keleluasaan dalam
menentukan harga sewa semacam itu. Al-Jaziri mencontohkan, “Jika Anda
menjahitkan bajuku hari ini, upahnya satu dirham; jika Anda menjahit bajuku besok,
upahnya setengah dirham. Jika Anda tinggal di rumahini sebagai tukang besi,
sewanya sepuluh dirham; jika Anda tinggal di rumah ini sebagai penjual minyak
wangi, sewanya lima dirham.”
E.     Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT)
Bai’u wal Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT) merupakan rangkaian dua buah
akad, yakni bai’u merupakan akad jual beli, dan IMBT merupakan kombinasi antara
sewa-menyewa (ijarah) dan jual atau hibah pada akhir masa sewa. Dalam ijarah
muntahia bit tamlik, perpindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua
cara berikut ini.
1. Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut
pada akhir masa sewa;
2. Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan
tersebut pada akhir masa sewa.
Pilihan untuk menjual barang pada akhir masa sewa (alternati 1) biasanya diambil
bila kemapuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Pilihan untuk
menghibahkan barang pada akhir masa sewa (alternatif 2) biasanya diambil bila
kemapuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar.
Pada Bai’u wal Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT) dengan sumber pembiayaan
dari Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan
secara bulanan. Hal ini karena pihak bank harus mempunyai cash in setiap bulan
untuk memberikan bagi hasil kepada para nasabah yang dilakukan serta bulanan juga.
([3])

Fatwa MUI tentang IMBT, antara lain:


a) Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus
melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan,
baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa
ijarah selesai.
b) Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah
wa’ad yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan,
maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa
ijarah selesai.([4])
Pembiayaan IMBT tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama
dengan sewa beli dan tidak sama pula dengan financial leasing. Ada pun berbagai
persamaan dan perbedaan tersebut, antara lain:
a) Dalam sewa beli, lease tomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa,
sedangkan pada IMBT, janji pemindahan kepemilikan dilakukan awal akad ijarah
adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat. Bila jani itu ingin
dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan
setelah masa ijarah selesai. Pada financial leasing, kepemilikan lease tersebut
hanya terjadi bila hak opsinya dilaksanakan oleh lease.
b) Angsuran bulanan IMBT yang dibayarkan nasabah dengan prinsip pembiayaan
IMBT paling tidak mempunyai dua pilihan, sebagai berikut:
 Memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir
masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil.
 Tidak memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada
akhir masa ijarah, nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa tidak nihil
(nilai residu).
 Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan
barang modal oleh lease dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor,
tetapi dari pihak ketiga atau dari pihak lease sendiri. Pada sewa beli, lessor
bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakannya
itu dengan uang sewa sebagai keuntunganya.
 Pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi
dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri.
 Financial leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sedangkan
sewa beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan.
Penyajian objek sewa yang dibeli untuk disewakan kembali disajikan dalam
neraca pada pos aktiva ijarah. Aktiva ijarah merupakan aktiva yang menjadi objek
transaksi sewa (ijarah) dan dicatat di neraca sebesar harga perolehan dikurangi
akumulasi penyusutan.
Penyusutan IMBT atau amortasi untuk pembiayaan IMBT mengacu pada standar
akuntansi keuangan yang berlaku pada Bank Syariah. Kebijakan penyusutan atau
amortasi yang dipilih harus konsisten dan mencerminkan pola konsumsi yang
diharapkan dari manfaat ekonomi di masa depan dari objek ijarah.
Asset pada IMBT selama maa sewa masih dicatat pada neraca mua’jir, tetapi
mua’jir tidak membebankan beban penyusutan pada laba ruginya, sama seperti fiscal.
Pengakuan asset yang disewakan pada IMBT berbeda dengan Financial Leasing,
dimana pada financial leasing asset yang disewakan telah diakui pada lease
(penyewa) dan penyusutan dilakukan oleh lease. Uang muka pembayaran sewa aktiva
ijarah disajikan dalam pos aktiva lain-lain. Tunggakan pendapatn sewa disajikan
dalam pos piutang pendapatan ijarah. Piutang ijarah adalah tagihan yang timbul
karena adanya pendapatan sewa yang belum diterima oleh LKS sebagai pemilik objek
sewa dari transaksi ijarah atau ijarah Muntahiyah Bittamlik. Pemindahan objek sewa
dapat terjadi LKS dan Bank Syariah dengan posisi sebagai pemilik objek sewa dan
pemakai objek sewa.([5])
F.     Ijarah dan Leasing
Karena ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi
pemindahan kepemilikan, maka banyak orang yang menyamakan ijarah ini
dengan leasing. Ini terjadi karena kedua istilah tersebuut sama-sama mengacu kepada
hal sewa-menyewa. Menyamakan ijarah dengan leasing, ada beberapa karakteristik
yang membedakannya.([6])
Berikut ini persamaan ijarah dan leasing:
a) Memindahkan hak guna sampai waktu tertentu.
b) Tidak mengalihkan kepemilikan barang.
c) Tujuannya mengharapkan keuntungan
d) Perhitungan ujrah pada ijarah hampir sama dengan perhitungan Lease
Payment pada operating lease.
Adapun perbedaan diantara ijarah dan leasing, yaitu sebagai berikut:
a) Akad atau niat pada operating lease hanyalah dapat menggunakan aktiva
tertentu dengan pembayaran sewa tertentu.
b) Akad pada ijarah terdiri dari Qardh dan bagi hasil.([7])
G.    Alur Transaksi Ijarah dan IMBT
Alur transaksi ijarah dan IMBT yaitu; pertama, nasabah mengajukann
permohonan ijarah dengan mengisi formulir permohonan. Berbagai informasi yang
diberikan selanjutnya diverifikasi kebenarannya dan analisis kelayakannya oleh bank
syariah. Bagi nasabah yang dianggap layak, selanjutnya diadakan perikatan dalam
bentuk penandatanganan kontrak ijarah atau IMBT. Kedua, sebagaimana difatwakan
oleh DSN, bank selanjutnya menyediakan objek sewa yang akan digunakan oleh
kepada nasabah. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang
atau jasa yang akan disewa nasabah untuk selanjutnya dibeli atau dibayar oleh bank
syariah. Ketiga, nasabah menggunakan barang atau jasa yang disewakan
sebagaimana yang telah disepakati dalam kontrak. Selama penggunaan objek sewa,
nasabah menjaga dan menanggung biaya pemeliharaan barang yang disewa sesuai
kesepakatan. Sekiranya terjadi kerusakan bukan karena kesalahan penyewa, maka
bank syariah sebagai pemberi sewa akan menanggung biaya perbaikannya. Keempat,
nasabah penyewa membayar fee sewa kepada bank syariah sesuai dengan
kesepakatan akad sewa. Kelima, pada transaksi IMBT, setelah masa ijarah selesai,
bank sebagai pemilik barang dapat melakukan pengalihan hak milik kepada penyewa.
([8])

H.    Sukuk Ijarah
Sukuk ijarah merupakan surat berharga yang merepresentasikan kepemilikan
penyertaan atas asset yang disewakan. Sukuk ini memberikan hak kepada para
pemegangnya untuk mendapatkan uang sewa, serta hak untuk mengalihkan
kepemilikan berdasarkan penyertaan yang mereka miliki tanpa memengaruhi hak si
penyewa, dengan kata lain sukuk ini dapat dijualbelikan.
Para pemilik sukuk menanggung seluruh biaya perawatan dan kerusakan dari
asset yang dimiliki berdasarkan proporsi kepemilikan mereka. Sukuk adalah
sertifikat  partisipasi islami yang dapat diperdagangkan berdasarkan kepemilikan dan
pertukaran dari asset yang disepakati bersama. Suku ijarah, kontrak yang
mendasarinya adalah ijarah yaitu sewa menyewa (leasing) seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Sukuk ijarah tidak boleh bertentangan dengan syariah, seperti:
a) Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang
dilarang.
b) Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan
asuransi konvensional.
c) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan
dan minuman haram.
d) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-
barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat (Fatwa No. 20
DSN-MUI/IV/2001).
e) Keuntungan yang akan dibagikan oleh penerbit sukuk ijarah harus bersumber
dari hasil usaha/pengelolaan suku ijarah itu sendiri.
Untuk dapat melakukan kontrak sukuk berbasisi ijarah, para investor, penerbit
sukuk, dan pihak terkait lainnya wajib memenuhi sejumlah persyaratan tertentu.
a) Pertama, kedua belah pihak yang akan melakukan akad harus berkemampuan
dan berakal.
b) Kedua, akil baligh sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Asy Syafi’i dan
Hambali, sehingga berakad dengan anak kecil dinyatakan tidak sah.

Selanjutnya, agar transaksi berbasis ijarah tersebut menjadi sah (valid), diperlukan
pula sejumlah ketentuan tambahan.
1) Adanya kerelaan kedua belah pihak yang melakukan akad sebagaimana
Firman Allah SWT pada Surat An-Nisa ayat 29.
2) Mengetahui secara sempurrna manfaat dari barang yang menjadi objek
akad, antara lain untuk mencegah terjadinya perselisihan.
3) Barang atau asset yang menjadi objek akad dapat dimanfaatkan sesuai
dengan kriteria, realita dan syara.
4) Asset tersebut sudah jelas, nyata, dan dimiliki penerbit sukuk sehingga
dapat disewakan untuk diambil manfaatnya.
5) Sewa-menyewa yang dilakukan bukan untuk sesuatu yang diharamkan.
Sukuk ijarah dapat diperjualbelikan di pasar modal dengan harga yang ditentukan
oleh kekuatan pasar. Kegiatan ekonomi, investasi, dan resiko yang berhubungan
dengan kesanggupan penyewa untuk membayar harga sewa sera biaya penjaminan
dan pemeliharaan asset menentukan harga sukuk ijarah di pasar keuangan. Namun
demikian, sukuk ijarah menawarkan suatu bentuk surat berharga yang fleksible
dan marketable dibandingkan jenis sukuk lainnya.([9])
Perusahaan dalam menerbitkan sukuk ijarah, menetapkan asset yang akan
diijarahkan, kemudian:
a) Perusahaan menjual manfaat asset kepada investor. Atas transaksi ini,
perusahaan memperoleh pembayaran lumpsum dari investor.
b) Investor memperoleh sertifikat sukukkijarah, dimana investor melakukan akan
ijarah, yang memosisikan perusahaan menjadi lease ddan investor menjadi
leaser.
c) Selanjutnya, investor dan perusahaan menandatangani akad wakalah, yang
berisi bahwa investor memberikan kuasa kepada perusahaan atas manfaat
asset underlying ijarah.
d) Kuasa tersebut, digunakan oleh perusahaan untuk mencari end customer yang
bermaksud untuk menyewa asset underlying ijarah. Hal ini dilakukan karena
perusahaan memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan investor
terhadap industrinya. Setelah menemukan end customer, perusahaan
mentransfer manfaat asset underlying ijarah. Dalam tahap ini seakan-akan
peranan perusahaan adalah sebagai lessor mewakili investor dan end
customer adalah sebagai lease.
e) End customer berkewajiban membayar penggunaan asset underlying ijarah.
Pembayaran ini merupakan sumber kupon ijarah yang akan dibayarkan
perusahaan selaku lease kepada investor selaku lessor.([10])
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Definisi akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu
yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu. Para fuqaha sepakat
bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan oleh syara’, kecuali beberapa
ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-
Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak memperbolehkan Ijarah, karena
ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukan akad, tidak
bisa diserahterimakan. Rukun ijarah ada 4 yaitu: ‘Aqid ( orang yang akad), Shigat
akad, Ujrah (upah), Manfaat.
Syarat ijarah terdiri dari empat macam , sebagaimana syarat dalam jual beli , yaitu
syarat Al-inqad ( terjadinya akad), syarat an-nafadz ( syarat pelaksanaan akad), syarat
sah, dan syarat lazim Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with
purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan.
Definisinya : Istilah ini tersusun dari dua kata : At-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa), At-
tamliik (kepemilikan).
B. Saran
Dalam pelaksanaan ijarah harus ada akadnya. Antara pemberi sewa dan menyewa
harus mengikuti perjanjiannya satu sama lain dan orang yang menyewa barang harus
bertanggung jawab atas barang yang ia sewa. Kegiatan ijarah harus memenuhi rukun
dan syarat yang telah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyono, Djoko. 2015. Perbankan dan Lembaga Keuangan. Yogyakarta: ANDI


Rizal Yaya, dkk. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer.
Jakarta: Salemba Empat.
Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal. 2008. Islamic Financial Management.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

[1]
 Veithzal Rivai, Islamic Financial Management, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2008, hlm. 176.
[2] 
Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta,
2015, hlm. 279-282.
[3]
 Veithzal Rivai, Islamic Financial Management, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2008, hlm. 177-178.
[4] 
Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta,
2015, hlm. 288.
[5] 
Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta,
2015, hlm. 290-295.
[6] 
Veithzal Rivai, Islamic Financial Management, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2008, hlm. 179.
[7]
 Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta,
2015, hlm. 282-283.
[8]
 Yaya Rizal, Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer,
Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm. 289-290.
[9]
 Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta,
2015, hlm. 307-308.
[10] 
Djoko Mulyono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta,
2015, hlm. 309-310.

Anda mungkin juga menyukai