Anda di halaman 1dari 18

KETIKA TRADISI MENJADI PERTIMBANGAN HUKUM

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok pada semester ketiga
Dosen Pengampu : Ahmad Zubaidi, MA



Oleh Kelompok Ketiga:
Ahmad Hafidz
Ali Fitriana Rahmat


Fakultas Ushuludin
Jurusan Tafsir


Sekolah Tinggi Kulliyatul Quran Al-Hikam
Depok Jawa Barat
2013
1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ 1
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 2
I. a. Latar Belakang .................................................................................................. 2
I.b. Rumusan Masalah.............................................................................................. 2
I.c. Tujuan Makalah ................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 4
KETIKA TRADISI MENJADI PERTIMBANGAN HUKUM .............................. 4
A. Pengertian Kaedah dan Definisinya .......................................................... 4
B. Penjelasan Kaedah ..................................................................................... 7
C. Contoh Kaedah .......................................................................................... 8
D. Syarat Diberlakukannya Kaedah ............................................................. 10
E. Sumber Dalil Kaedah ............................................................................... 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 16
BIBLIOGRAFI ...................................................................................................... 17







2

BAB I
PENDAHULUAN
I.a. Latar Belakang
Agama islam memiliki sumber-sumber tetap dalam aturan ajaran agamanya.
Dari sumber tersebut dihasilkan hukum ajaran yang tidak lain adalah syariat. Sumber-
sumber-tetap itu adalah al-Quran dan hadis.
Beberapa permasalahan hukum terkadang tidak diketemukan jalan keluarnya.
Sehingga hal ini menuntut adanya sumber lain selain sumber-sumber tetap di atas.
Salah satu sumber hukum alternatif yang menjadi rujukan ketika tidak diketemukan
nash (sumber-sumber tetap) adalah 'urf.
Meskipun 'urf termasuk salah satu kaedah ushul fiqh, tulisan ini juga akan
sedikit mencamtumkannya. Karena 'urf memiliki akitan erat atau bahkan sama saja
dengan kaedah fiqh yang akan menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Yaitu
(ketika tradisi menjadi sebuah hukum).
I.b. Rumusan Makalah
1. Pengertian Kaedah
2. Penjelasan Kaedah
3. Contoh Kaedah
4. Syarat diberlakukannya kaedah
5. Dasar dalil kaedah
I. c. Tujuan Makalah
Penulisan makalah ini guna untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen
pengampu, sekaligus bertujuan untuk mengetahui salah satu kaedah fikih yang
menjadi acuan suatu hukum.
Dengan memahami seluk beluk kaedah ini, para pembaca diharapkan mampu untuk
mengerti hukum tertentu yang berkaitan dengan adat, tradisi dan kebiasaan. Semoga
3

tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Akhirnya penulis mohon
saran kritik untuk tulisan ini agar dapat diperbaiki ke depannya. Karena makalah ini
masih jauh darin kesempurnaan. Jika saja ada kebaikan dan kebenaran itu semua
berasal dari Allah yang kebetulan dititipkan pada penulis. Kalaupun ada kesalahan
dan kekurangan maka itu murni bersumber dari penulis sendiri.



















4

BAB II
PEMBAHASAN
KETIKA TRADISI MENJADI PERTIMBANGAN HUKUM
Kaedah Kubra yang kelima ialah ;

Ketika tradisi menjadi hukum
Kaedah ini termasuk kaedah yang sangat urgen sekali. Mengingat bahwasanya
tradisi dan adat adalah salah satu rujukan untuk memutuskan sebuah hukum syariat
ketika tidak diketemukannya dalil secara jelas yang menyatakannya.
1

Sudah jelas kiranya jika nash lebih kuat dan lebih dikedepankan ketimbang
adat dan tradisi. Nash yang dimaksud di sini mencakup al-Quran, hadis-yang menjadi
sumber hukum- sampai nash berupa ucapan seseorang. Ambil saja contoh, seseorang
menyuguhkan jamuan di depan para tamu yang menurut tradisi dan adat boleh-boleh
saja bagi tamu untuk menyantapnya karena secara tidak langsung itu adalah izin untuk
menyantapnya. Akan tetapi jika tuan rumah yang menyuguhkan melarang dengan
ucapannya (nash-nya), maka si tamu tidak boleh menyantapnya karena diketemukan
nash yang dapat menyalahi tradisi dan adat tersebut. Jika ia tetap memakan dan
menyantap maka ia telah melanggar nash.
2

A. Pengertian Kaedah dan definisinya
Al-'Aadah berasal dari akar kata 'ain, waw, dan dal. Ibnu Faris menuturkan bahwa
setiap kata yang berakar dari tiga huruf tersebut memiliki arti asal 'pengulangan pada
sesuatu'.
3
Boleh jadi al-'Aadah yang dalam bahasa Indonesia 'kebiasaan' itu muncul
dan ada setelah adanya pengulangan pada sesuatu tersebut. Kemudian Ibnu Faris juga
lanjut menjelaskan bahwa kebiasaan itu bermula dari terus menerus pada sesuatu
sampai melekat dan terbiasa. Para psikolog berpendapat bahwa suatu pekerjaan jika

1
Ali Haidar, Durar al-Hukkam.Dar al-Jil (Beirut: 2003) 44
2
Abdul Azizi Muhammad Azzam, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah. Dar al-Hadis (Kairo : 2005) 172
3
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Maqayis al-Lughah. Ittihad al-Kitab al-Arabi (ttp :
2002) 149
5

sering dilakukan, anggota tubuh akan terbiasa sehingga akan menjadi watak.
4
Ibnu
Nujaim mendefinisikan Al-adah dengan suatu ungkapan dari apa yang terpendam
dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat yang sehat.
'Urf dalam literatur kamus bahasa arab memiliki arti lebih dari satu. Ibnu Faris
dalam kamusnya Maqayis al-Lughah menyebutkan bahwa setiap kata yang berakar
dari huruf 'ain, raa' dan faa' memiliki dua makna asal tenang dan tenteram. Sesuatu
yang (ma'ruf) dikenal atau diketahui akan dirasa lebih tenang bagi seseorang karena
telah dikenal. Berbeda dengan sesuatu yang belum dikenal atau diketahui, karena
seseorang akan kurang nyaman dan tenang dengannya.
5

'Urf dan 'Aadah memiliki makna yang sama. Kedua kata ini adalah kata yang
bersinonim. Karena 'Urf memiliki arti kebiasan dan konvensi yang sudah tetap dan
melekat sehingga bisa diterima oleh orang.
6
Dari sini bisa dimengerti bahwa arti dari
'aadah memiliki kedekatan makna dengan makna 'urf. Pakar bahasa mensyaratkan
berulangnya sesuatu pada 'aadah dan mensyaratkan terus dan berlangsungya sesuatu
pada 'urf.
7

Al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta'rifat menjelaskan, 'urf adalah sesuatu yang
tetap dalam jiwa yang diakui oleh akal dan dapat diterima oleh tabiat dan akal sehat,
demikian juga pengertian 'aadah.
8

Perlu diketahui bahwa 'aadah lebih umum dari pada 'urf, karena 'urf hanya
pada kebiasaan yang sudah dimengerti dan menjadi umum di kalangan tertentu.
Sedangkan 'aadah ialah kebiasaan suatu komunitas tertentu atau daerah tertentu
ataupun kebiasaan seseorang. Seperti kebiasaan jumlah haid seorang perempuan.
9

Dan juga 'aadah mencakup kebiasaan personal dan kebiasaan yang timbul dari faktor
alami yang berlaku umum bagi sekelompok manusia. Sedangkan 'urf adalah
kebiasaan yang berlaku bagi masyarakat umum. Jadi bisa dikatakan bahwa
perbandingan 'aadah dan 'urf adalah perbandingan antara suatu yang umum dengan

4
Saleh bin Ghanim al-sadlan, al-Qawa'id al-Fiqhiyah al-Kubra wa ma tafarra'a 'anha. Dar Blansiyah (
Riyad : 1417 H) 328
5
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Maqayis al-Lughah. Ittihad al-Kitab al-Arabi (ttp :
2002)281
6
Majma' al-Lughah al-'arabiyah, Mu'jam Wajiz. Wizarah al-Tarbiyah wa al-Ta'lim ( Mesir : 1994)
7
Saleh bin Ghanim al-sadlan, al-Qawa'id al-Fiqhiyah al-Kubra wa ma tafarra'a 'anha. Dar Blansiyah (
Riyad : 1417 H) 332 & 333
8
Ali Muhammad al-Jurjani, al-Ta'rifat. Dar al-Kitab al-Arabi ( Beirut : 1405 H)
9
Abdul Azizi Muhammad Azzam, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah. Dar al-Hadis (Kairo : 2005)172
6

suatu yang khusus mutlak. Semua 'urf itu 'aadah dan tidak semua 'aadah itu 'urf.
Karena 'aadah terkadang untuk personal dan terkadang untuk umum.
10

Ketika para pakar fiqh diminta untuk mendifinisikan 'aadah yang menjadi
pertimbangan hukum, mereka menyamakan artinya dengan 'urf dan menjadikan
keduanya adalah sinonim. Sehingga mereka membuat kaedah ini.
11
Kata
'urf sendiri memiliki definisi bermacam-macam bagi fuqaha. Al-Nasafi
mendefinisikannya dengan 'segala sesuatu yang menetap dalam jiwa secara logis
sehingga dapat diterima oleh tabiat dan akal sehat'.
12
Hal ini berarti segala ucapan
atau perbuatan yang dapat diterima baik oleh akal dan dirasa nyaman oleh hati
sehingga orang normal tidak mengingkarinya dan menganggapnya baik. Diantara
mereka juga ada yang mengartikan 'urf dengan 'segala sesuatu yang menetap dalam
jiwa dan dianggap baik dan diterima oleh akal sehingga orang-orang selalu
melakukannya dengan catatan sesuai dengan syari'at dan nash-nashnya'. Ada juga
yang mengartikan urf dengan apa yang dikenal manusia dan mengulang-ulangnya
dalam ucapannya dan perbuatanya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku
umum.
Dari definisi 'aadah dan 'urf diatas, ada dua hal yang penting yaitu: pertama,
dalam al-adah ada unsur berulang-ulang dan dalam al-urf ada unsur (al-maruf)
dikenal suatu yang baik. Kata-kata Al-urf ada hubungannya dengan nilai tata
masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan masyarakat
tetapi juga baik dilakukan atau diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan al-amru bil
maruf wa al-nahy al-munkar " dalam Al-quran.
Tampaknya lebih tepat apabila al-adah atau al-urf ini didefiniskan dengan:
apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan
berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Dalam memutuskan suatu perkara
setidaknya ada dua macam pertimbangan yang harus diperhatikan. Pertama,
pertimbangan keadaan kasusnya itu sendiri, seperti apa kasusnya dimana kapan
terjadinya, bagaiman proses terjadinya , mengapa terjadi, dan siapa pelakunya. Kedua,
perimbangan hukum. Dalam pertimbangan hukum inilah terutama untuk hukum-

10
Al-Zarqa', al-Madkhal al-Fiqhi. Tp (ttp : tt) 843 & 844
11
Saleh bin Ghanim al-sadlan, al-Qawa'id al-Fiqhiyah al-Kubra wa ma tafarra'a 'anha. Dar Blansiyah
( Riyad : 1417 H) 333
12
Al-Nasafi, al-Mustashfa fi fiqh al-hanafiyah. Dar al-Kutub al-Mishriyah (ttp : tt)
7

hukum yang tidak tegas disebutkan dalam Al-Quran dan Al-Hadis, adat kebiasaan
harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara.
13

Menurut ahli ushul arti 'Aadah secara istilah yaitu 'sesuatu yang berulang
tanpa ada kaitan yang logis dan masuk akal'. jika ada suatu pengulangan yang muncul
karena adanya kaitan yang logis maka itu tidak disebut 'aadah. Seperti bergeraknya
cincin karena bergeraknya jari. Karena pengulangan disini ada kaitannya dengan hal
yang logis yakni sebab dan akibat.
Sedangkan fuqaha sendiri mengartikan 'aadah dengan sesuatu yang berulang
dan menetap dalam jiwa dan juga bisa diterima oleh akal sehat'. Dari dua definisi di
atas bisa ditarik pemahaman bahwa ahli ushul dan pakar fiqh menyepakati arti 'aadah
dengan sesuatu yang berulang. Akan tetapi kedua kubu berbeda pengertian dalam hal
penafian adanya kaitan dengan akal. Dari sisi ini definisi ahli ushul lebih khusus
dibanding pengertian fuqaha yang cenderung lebih umum.
Adapun kata muhakkamah memiliki arti 'memutuskan' atau 'menentukan'.
Oleh karena itu 'aadah menjadi penentu dan pertimbangan dalam memutuskan
hukum.
14

B. Penjelasan Kaedah
Makna kaedah ini adalah bahwa tradisi baik yang bersifat umum maupun
khusus- dapat menjadi suatu hukum untuk menetapkan hukum syariat islam. Adapun
tradisi dapat menjadi hukum yang mendapat legitimasi dari hukum islam, apabila
tidak ada nash yang menyatakan hukum itu. Akan tetapi apabila ada nash yang
menyatakan tentang hal itu, maka hukum dari nash tersebut wajib diamalkan dan
tidak ditinggalkan, untuk kemudian melaksanakan tradisi sebagai ganti darinya.
15

Sebelum Nabi muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di
masyarakat baik di dunia arab maupun yang lain termasuk di indonesia. Adat
kebiasaan suatu masyarakat dibangu atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh

13
A. Djazuli, Kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis.
Kencana Prenada Media Group (Jakarta : 2006)
14
Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhah Qawa'id al-Fiqh al-Kulliyah. Muassasah
al-Risalah ( Beirut : 1996) 273-275
15
Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah; 100
Kaidah Fikih dalam kehidupan Sehari-hari. Penerjemah : Muhyidin Mas Rida Pustaka al-Kautsar
(Jakarta : 2008)
8

masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi dan
dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
Ketika islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai ketuhanan
dan nilai-nilai kemanusiaan bertemu dengan nilai-nilai adat kebiasaan dimasyarakat.
Diantaranya ada yang sesuai dengan nilai-nilai islam meskipun aspek filosofnya
berbeda. Ada pula yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada
dengan ajaran islam. Disinilah kemudian ulama, membagi adat kebiasaan yang ada di
masyarakat menjadi (adat yang baik dan benar) dan ada pula
(adat yang salah atau rusak).
Imam Izzudin bin Abdussalam menyatakan bahwa kemashlahatan dan
kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali dengan syariat.
Sedangkan kemafsadatan dan kemashlahatn dunia saja, bisa dikenal dengan
pengalaman, adat kebiasaan, perkiraan yang benar, serta indikator.
16

Abu Ishak As-syatibi (w. 790) menyatakan bahwa dilihat dari sisi bentuknya
dalm realitas, adat dapat dibagi dua: pertama Al-adah Al-ammah (adat kebiasaan
yang umum) adat kebiasaan manusia yang tidak berbeda karena perbedaan waktu,
tempat dan keadaan seperti kebiasaan untuk makan, minum, khawatir, kegembiraan,
tidur, bangun, dan lain-lain. Kedua, Adat kebiasaan berbeda karena perbedaan waktu,
tempat, dan keadaan seperti bentuk-bentuk pakaian, rumah dan lain-lain.
17

Kaedah ini menjadi salah satu solusi bagi banyak permasalahan kontemporer.
Karena kedinamisannya dan fleksibel. Ibnu Abidin pernah mengatakan
18
:
#
'urf dalam syari'at dapat dianggap dan terkadang ia menjadi pertimbangan hukum.
C. Contoh Kaedah
Kaedah ini mempunyai cabangan atau contoh yang sangat banyak sekali. Terkadang
menjadi hukum dan terkadang menjadi pertimbangan hukum.

16
Izzudin bin Abdussalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Tp (ttp :tt) hlm. 10.
17
Abu Ishaq As-syatibi, Al-muwafaqat fi ushulissyariah, (kairo) juz II, hlm, 297.
18
Saleh bin Ghanim al-sadlan, al-Qawa'id al-Fiqhiyah al-Kubra wa ma tafarra'a 'anha. Dar Blansiyah
( Riyad : 1417 H) 327
9

Ijarah
Diantaranya, orang yang menyerahkan bajunya kepada tukang jahit untuk dijahit, atau
kepada tukang loundry untuk dicuci, maka mereka semua berhak mendapatkan upah
sesuai dengan tradisi yang berlaku.
b. Jual beli.
Diantaranya juga, semua yang dilakukan oleh orang yang bertransaksi masuk ke
dalam kategori jual beli, tanpa perlu disebutkan lagi, seperti taman yang mengelilingi
rumah termasuk mabi' dalam akad jual beli rumah tanpa perlu disebutkan lagi, karena
hal itu sudah menjadi tradisi.
19

c. Haidh
Para pakar fiqh menentukan, umur minimal bagi perempuan yang mulai menstruasi
yaitu sembilan tahun. Ketentuan ini berdasarkan penelitian pada kebiasaan perempuan
mulai haidh. Begitu juga dengan waktu minimal haidh, waktu terlama haidh, hingga
waktu minimal suci.
Baligh
Batasan mulainya baligh bagi anak laki-laki dengan mimpi basah untuk pertama kali.
Jika ia tidak pernah mimpi maka batas awal kebalighannya dimulai pada usia 15
tahun. Ini berdasarkan ukuran pada umumnya anak laki-laki mimpi.
Memberi hadiah bagi penegak hukum
Hukum asal memberikan hadiah bagi hakim adalah haram. Akan tetapi jika ia telah
terbiasa memberinya hadiah semenjak ia belum diangkat menjadi hakim, maka
hukumnya boleh-boleh saja dengan catatan pemberian hadiah itu tidak melebihi
jumlah hadiah-hadiah sebelumnya.

Serah terima barang transaksi

19
Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah; 100
Kaidah Fikih dalam kehidupan Sehari-hari. Penerjemah : Muhyidin Mas Rida Pustaka al-Kautsar
(Jakarta : 2008)
10

Penjual menyerahkan barang dan pembeli menerima barang. Penyerahan barang ini
tergantung kebiasaan penyerahan pada barang tertentu. Misalnya jual beli tanah, maka
yang diserahkan adalah surat-suratnya. Penyerahan jual beli tanah dengan
mengosongkan isi perabot rumah. Hal ini berdasarkan adat kebiasaan.
Puasa setengah akhir bulan sya'ban
Puasa pada setengah akhir bulan sya'ban hukumnya tidak boleh kecuali puasanya
bersambung dengan hari kelima belas atau sesuai dengan hari dimana ia berpuasa,
seperti puasa senin dan kamis.
D. Syarat diberlakukannya Kaedah
1. Tidak ada perbedaan pendapat dalam mengamalkan tradisi dan kebiasaan, atau
umumnya dilakukan oleh manusia, sebagaimana yang dinyatakan dalam kaedah
lain, yaitu, "Sesuatu dianggap tradisi, apabila sudah berlaku atau sering kali
dilakukan orang-orang." Akan tetapi jika tradisi dan tradisi itu ada perbedaan
pendapat ataupun tidak umum dilakukan maka kebiasaan dan tradisi ini tidak bisa
dijadikan pertimbangan hukum.
Contoh : seseorang menjual sesuatu dan dia hanya mengucapkan menjual dengan
harga sepuluh. Maka harga sepuluh ini dikembalikan menurut mata uang yang
berlaku bagi penduduk daerah si penjual seperti rupiah atau dollar. Akan tetapi jika
daerah tersebut memiliki dua mata uang maka harus ditentukan mana yang dia
kehendaki.
20

2. Tradisi yang menjadi pertimbangan hukum haruslah kebiasaan yang ada pada
permasalahan ataupun kebiasaan yang ada sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh as-Suyuthi dan Ibnu Nujaim, " 'urf yang menjadi pertimbangan
hukum itu muncul sebelum atau berbarengan dengan permasalahan, bukan setelah
permasalahan. Tidak dianggap adat atau tradisi yang muncul setelah permasalahan
itu.
Berdasarkan hal ini, syarat-syarat para waqif wajib ditafsirkan sesuai dengan tradisi
yang berlaku saat syarat-syarat itu dibuat dan bukan dikarenakan oleh tradisi yang
datang setelah ditetapkannya syarat-syarat itu.

20
Abdul Azizi Muhammad Azzam, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah. Dar al-Hadis (Kairo : 2005)172
11

Contoh : ketika waqif menetapkan syarat bahwa sebagian hasil bumi yang
diwakafkannya diberikan kepada para pelajar (Thalabatul ilmi) di Depok,
sedangkan pada saat itu ketika waqif memberikan syarat- tradisi yang berlaku
adalah jika disebutkan thalabatul ilmi maka yang dimaksud adalah pelajar yang
menuntut ilmu agama. Maka pernyataan waqif ini tidak boleh dibawa kepada
tradisi yang berlaku sekarang, yaitu thalabatul ilmi adalah penuntut segala ilmu
apapun.
3. Disyaratkan juga untuk menetapkan tradisi menjadi hukum apabila tradisi itu tidak
bertentangan dengan nash syariat islam maupun syarat yang ditetapkan antara dua
orang yang melaksanakan akad.
21

Seperti telah dijelaskan di muka bahwa al-adah yang bisa dipertimbangkan
dalam penetapan hukum adalah aladah as-shahihah, bukan al-adah al-fasidah. Oleh
karena itu, kaidah tersebut tidak bisa digunakan apabila:
1. Al-adah bertentangan dengan nash Al-quran dan hadis, seperti: puasa sehari
semalam, kebiasaan menanam kepala hewan kurban waktu membuat
jembatan. Kebiasaan memelihara babi, dan lain sebagainya.
2. Al-adah tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan
kemashlahatan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau
kerusakan, seperti: menghambur-hamburkan harta, hura-hura dalam perayaan
dan lain-lain.
3. Al-adah berlaku umumya dikaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang
bisa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh beberapa orang
saja maka tidak dianggap adat.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ibadah mahdhah tidak dilakukan kecuali
yang disyariatkan Allah dan al-adah tidak diharamkan kecuali yang diharamkan
Allah.
Sering terjadi benturan antara nilai islam dan tata nilai masyarakat dalam
pelaksanaannya. Misalnya; masyarakat indonesia menganut tata nilai kekeluargaan,
islam pun menganut tata nilai persaudaraan dan kekeluargaan. Dalam masyarakat

21
Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah; 100
Kaidah Fikih dalam kehidupan Sehari-hari. Penerjemah : Muhyidin Mas Rida Pustaka al-Kautsar
(Jakarta : 2008)
12

semacam ini, aspek-aspek kelahiran, pernikahan, dan kematian sudah menjadi adat
kebiasaan memperingatinya atau merayakannya. Apabila kita dekati masalah ini dari
sisi kaidah fikih, maka kaidah fikih asasi yang lima tersebut diatas juga harus
diperhatikan dan dijadikan pisau analisis terhadap kasus tersebut. Tidak cukup hanya
dengan menggunakan kaidah al-adah muhakkah tetapi juga kaidah-kaidah asasi
lainnya: al-umuru bi maqoshidiha, al-yaqin la yuzal bisy- syakk, al-masyaqqah
tajlibut taisir, dan adlororu yuzal.
Apabila dalam acara pernikahan, misalnya ada nyanyian, hal itu memang wajar
karena dalam suasana kegembiraan. Apabila kesenian pada zaman nabi adalah rebana,
sekarang boleh dengan cianjuran atau degung di masyarakat sunda asal pakaiannya
menutup aurat dan tidak ada porno aksi.
22

E. Sumber Dalil Kaedah
Ketika kaidah ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-quran dan Hadis Nabi, ternyata
banyak ayat-ayat Al-quran dan Hadis Nabi yang menguatkanya. Sehingga kaidah
tersebut setelah dikritisi dan diasah oleh para Ulama sepanjang sejarah hukum islam,
akhirnya menjadi kaidah yang mapan. Diantara ayat-ayat Al-quran tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Ayat al-Quran
_. _!: _.l _. .-, !. _,,. ` _.l _,`., ,s _,,. _,...l .. !.
_|. .`.. .> ,,!. ,.. _
Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.


22
A. Djazuli, Kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis.
Kencana Prenada Media Group (Jakarta : 2006)
13

Kata Sabil diatas memiliki arti jalan. Kemudian jalan orang-orang mukmin ditafsiri
dengan cara atau metode orang-orang mukmin yang dianggap baik.
.> -l `. .``-l!, `_s _s _,l.>' __
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf serta
berpalinglah dari orang-oarang yang bodoh. (Q.S. al-Araf: 199)
_> `_.. _ _,ls .-!, ___

Dan bagi para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang maruf (Q.S. al-baqarah: 228 )
_>.!s .`-.l!, _

Dan pergauliah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang maruf (baik). ( Q.S.an-
nisa: 19)
...> `!-L| ::s _,>... _. 1. !. .-L. >,l> `.`. __
Kaffarat ( melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian.
(Q.S.89 al-maidah)
Kata awsath tidak dinaskan ukurannya, karena kembali kepada ukuran adat kebiasaan
makanan atau pakaian yang dimakan atau dipakai oleh keluarga tersebut.
_ls :l .` _ _:`. .`-!, ___
14

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
maruf (Q.S. Al-Baqarah: 233)
Rasyid Ridha dalam menjelaskan kata-ata maruf menyatakan bahwa maruf
adalah cukup dan layak untuk wanita yang berlaku di kaumnya dan kelompoknya.
Sedangkan dalam menjelaskan surat Al-Baqarah ayat 233, ia menyatakan bahwa al-
maruf adalah dikenal manusia dalam pergaulannya di keluarga dan yang biasa
berlaku dalam adat mereka. Sedangkan Ibnu Katsir menafsirkan maruf dalam surat
Al-Baqarah ayat 233, dengan adat kebiasaan para wanita yang berlaku di negeri
mereka.
2. Hadis
Adapun dalil hadis dari kaedah ini adalah suatu riwayat dari dari Abdullah bin Mas'ud
ra, ia berkata :

"apa yang menurut kaum muslimin baik, maka ia di sisi Allah baik".
Atsar ini sekalipun mauquf kepada Ibnu Mas'ud, akan tetapi hukumnya marfu', karena
dalam hal ini, akal tidak meiliki peran untuk ikut campur.
23
Hadis telah ditakhrij oleh
al-'alaai dan mengomentarinya tidak ada indikasi dha'if dalam sanadnya. Sebagaimana
tercantum dalam musnad Ahmad yang meriwayatkan dari Abu Wail dari Ibnu
Mas'ud. Dan juga disebutkan dalam kitab sunan al-Bazzar, al-Thayalisi, al-Thabrani,
al-Bayhaqi dan Hilyah al-Awliya.
Adapun Hadis-hadis Nabi di antaranya:

"ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalh ukuran berat ahli makkah, sedangkan
urusan isi yang dipakai adalah ukuran isi penduduk makah.(H.R. Abu Dawud)

23
Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah; 100
Kaidah Fikih dalam kehidupan Sehari-hari. Penerjemah : Muhyidin Mas Rida Pustaka al-Kautsar
(Jakarta : 2008)
15

Ukuraan berat atau timbangan yang dipakai adalah timbangan penduduk
makah, karena kebiasaan penduduk penduduk makah adalah dagang. Sedangkan
ukuran kapasitas (isi) yang digunakan adalah yang biasa digunakan oleh penduduk
ahli Madinah, karena kebanyakan mereka bergerak di bidang pertanian. Maksudnya
apabila terjadi persengketaan, maka ukuran tersebut yang dipakai pada zaman Nabi.


Fatimah binti Abi Hubasysy bertanya kepada Nabi saw: saya ini berada dalam
kondisi Haid yang tidak berhenti apakah saya harus meninggalkan shalat? Nabi
menjawab: tidak, itu adalah darah penyakit, tapi tinggalkanlah shalat berdasarkan
hari-hari yang biasa engkau menstruasi. Kemudian mandilah dan shalatlah. (H.R. Al-
Bukhari dari Aisyah)
Dari hadis diatas, jelas bahwa kebiasaan para wanita, baik itu menstruasi,
nifas, dan menghitung waktu hamil yang paling panjang adalah jadi pegangan dalam
penetapan hukum. Kata-kata qadra ayyam dan seterusnya menunjukkan bahwa
ukuran-ukuran tertentu bagi wanita mengikuti yang biasa terjadi pada diri mereka.
24











24
A. Djazuli, Kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis.
Kencana Prenada Media Group (Jakarta : 2006)
16

BAB III
PENUTUP
Kaedah ini berarti bahwa tradisi baik yang bersifat umum maupun
khusus- dapat menjadi suatu hukum untuk menetapkan hukum syariat islam. Adapun
tradisi dapat menjadi hukum yang mendapat legitimasi dari hukum islam, apabila
tidak ada nash yang menyatakan hukum itu. Akan tetapi apabila ada nash yang
menyatakan tentang hal itu, maka hukum dari nash tersebut wajib diamalkan dan
tidak ditinggalkan, untuk kemudian melaksanakan tradisi sebagai ganti darinya.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya. Penulis
memohon kemurahan hati pembaca untuk mengoreksi ataupun memberikan saran dan
kritiknya sehingga tulisan ini dapat menjadi lebih baik.




















17


BIBLIOGRAFI


Al-Quran al-Karim
A. Djazuli, Kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
praktis. Kencana Prenada Media Group (Jakarta : 2006)
Abdul Azizi Muhammad Azzam, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah. Dar al-Hadis (Kairo :
2005)
Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah fi al-Syari'ah al-
Islamiyyah; 100 Kaidah Fikih dalam kehidupan Sehari-hari. Penerjemah :
Muhyidin Mas Rida Pustaka al-Kautsar (Jakarta : 2008)
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Maqayis al-Lughah. Ittihad al-Kitab al-
Arabi (ttp : 2002)
Abu Ishaq As-syatibi, Al-muwafaqat fi ushulissyariah. (kairo)
Ali Haidar, Durar al-Hukkam.Dar al-Jil (Beirut: 2003)
Ali Muhammad al-Jurjani, al-Ta'rifat. Dar al-Kitab al-Arabi ( Beirut : 1405 H)
Al-Nasafi, al-Mustashfa fi fiqh al-hanafiyah. Dar al-Kutub al-Mishriyah (ttp : tt)
Al-Zarqa', al-Madkhal al-Fiqhi. Tp (ttp : tt)
Izzudin bin Abdussalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Tp (ttp :tt)
Majma' al-Lughah al-'arabiyah, Mu'jam Wajiz. Wizarah al-Tarbiyah wa al-Ta'lim (
Mesir : 1994)
Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhah Qawa'id al-Fiqh al-
Kulliyah. Muassasah al-Risalah ( Beirut : 1996)
Saleh bin Ghanim al-Sadlan, al-Qawa'id al-Fiqhiyah al-Kubra wa ma tafarra'a 'anha.
Dar Blansiyah ( Riyad : 1417 H)

Anda mungkin juga menyukai