DOSEN PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS TARBIYAH
2021/2022
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta
alam. Atas izin dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada
junjungan Rasulullah Muhammad SAW, semoga syafa’atnya mengalir pada kita
di hari akhir kelak.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah Qowaid Fiqhiyyah. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang ( ا َ ْلعَادَةُ ُم َح َّك َمةadat kebiasaan dapat dijadikan
sandaran hukum).
Penulis menyadari makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................4
B. Rumusan Masalah..........................................................................4
C. Tujuan Penulisan............................................................................4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................5
A. Pengertian Kaidah العَادَةُ ال ُم َح َّك َمة.......................................................5
B. Sumber Pembentukan Kaidah العَادَةُ ال ُم َح َّك َمة.....................................6
C. Penerapan/Aplikasi dari Kaidah العَادَةُ ال ُم َح َّك َمة..................................8
D. Kaidah Cabang Serta Penerapannya dari Kaidah العَادَةُ ال ُم َح َّك َمة........8
DAFTAR PUSTAKA................................................................................14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya
budaya (adat atau kebiasaan) serta lebih mudah mencari solusi terhadap
masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah ح َّك َمة
َ ?ال َعادَة ُ ال ُم
2. Apa saja sumber-sumber pembentukan kaidah ح َّك َمة
َ ?ال َعادَة ُ ال ُم
3. Bagaimana penerapan/aplikasi dari kaidah ح َّك َمة
َ ?العَادَة ُ ال ُم
4. Apa saja kaidah-kaidah cabang serta contoh penerapan/aplikasinya dari
nnkaidah ح َّك َمة
َ ? ال َعادَة ُ ال ُم
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian kaidah ح َّك َمة
َ العَادَة ُ ال ُم.
2. Untuk mengetahui sumber-sumber pembentukan kaidah ح َّك َمة
َ ال َعادَة ُ ال ُم.
3. Untuk mengetahui penerapan/aplikasi dari kaidah ح َّك َمة َ ال َعادَة ُ ال ُم.
4. Untuk mengetahui kaidah-kaidah cabang serta contoh
aaaaaaaaapenerapan/aplikasinya dari kaidah ح َّك َمة
َ العَادَة ُ ال ُم.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-
'adah, yaitu al-'urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan,
atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya.sedangkan al-‘urf secara istilah yaitu:
العرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
“Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam
ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku
umum".
1
Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan
Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,2012).hlm.204
5
Kaidah ini berisi bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan
untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua
adat bisa dijadikan pijakan hukum. Dan pada dasarnya atau asal mula kaidah ini
ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan
kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah
berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri
secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika
ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah
biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai.
Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan),
budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran yang
didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi
secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat
penunjang hukum-hukum syara’.2
Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus
itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah)
terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak atau belum
ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu, atau mungkin
ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa
mematahkan sebuah adat.
Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja,
karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan
kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.3
6
َض ع َِن ۡال ٰج ِه ِل ۡين ۡ ف َوا َ ۡع ِر ِ ُخ ِذ ۡالعَ ۡف َو َو ۡام ُۡر ِب ۡالع ُۡر
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan makruf serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
Menurut Al-Suyuthi seperti dikutip Saikh yasin bin Isa al-Fadani kata al-
‘urf pada ayat diatas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga,
adat yang dimaksud disini adalah adat yang tidak bertentangan dengan syariat.
Namun pendapat ini dianggap lemah oleh komunitas ulama lain. Sebab jika al-
‘urf diartikan sebagai adat istiadat, maka sangat tidak selaras dengan asbab
alnuzulnya, dimana ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah yang telah
dilakukan Nabi Muhammad SAW kepada orang-orang Arab yang berkarakter
keras dan kasar, juga kepada orang-orang yang masih lemah imannya.4
b. Surat al-Baqarah ayat 233
علَى ْال َموْ لُوْ ِد لَه ِر ْزقُه َُّن َو ِكس َْوتُه َُّن
َ َاملَي ِْن ِل َم ْن ا َ َرادَ ا َ ْن يُّتِ َّم الرَّ ضَاعَةَ ۗ َوِ ت يُرْ ِضعْنَ اَوْ ََلدَ ُه َّن حَوْ َلي ِْن ك ُ َو ْال ٰو ِل ٰد
ۗ س َعهَاْ ُف ََل ت ُ َكلَّفُ نَ ْفس ا ََِّل و ِ ِْب ْال َمع ُْرو
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya...”.
Kata ma’ruf pada ayat di atas, menunjukan legitimasi syariat terhadap
kadar kemampuan kebiasaan seorang ibu dalam menyusui, dan juga ayat di atas
menjadi legitimasi kewajiban memberikan nafkah sesuai dengan kadar
kemampuan yang sudah menjadi kebiasaan. Hal ini dapat difahami pada kalimat
ayat سعَهَا ْ ُ ا ََِّل و.
2. Hadist
a. Hadist dari Ibnu Mas’ud
ٌسن َّ َ فَ ُه َو ِع ْند،سنًا
َ اَللِ َح ْ َما َرأَى ْال ُم
َ س ِل ُمونَ َح
Artinya : “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di
sisi Allah”.
4
Abdul Haq dkk, Formulasi., 270
7
b. Hadist riwayat al-Baihaki
الو ْز ُن ا َ ْه ِل َم َّكة
َ لم ْكيَا ُل ِم ْكيَا ُل ا َ ْه ِل ال َم ِدنَ ِة َو
ِ َا
Artinya: “Ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalah ukuran berat ahli
mekkah, sedangkan ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli madinah”
D. Kaidah Cabang Serta Contoh Penerapan Dari Kaidah ال َعادَةُ ال ُم َح َّك َمة
8
ِ َّستِ ْع َما ُل الن
اس ُحجَّة يَ ِجبُ العَ َم ُل ِب َها ْ ِا
“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah
hujjah(alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”.
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di
masyarakat,menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya.
Contoh : apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai
menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar
ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
2. Kaidah kedua:
ْ اِنَّ َما ت ُ ْعتَبَ ُر العَادَةُ اِذَا ا
َ ض َط َرد َْت اَو
غلَبَ ْت
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat
yang terus menerus berlaku atau berlaku umum”.
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima
sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering
berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu
syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dijadikan sebagai dasar
hukum.
3. Kaidah ketiga:
شائِ ِع َلَ ِللنَّاد ِِر ِ اَل ِعب َْرةُ ِللغَا ِل
َّ ب ال
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh
manusia bukan dengan yang jarang terjadi”.
4. Kaidah keempat:
9
Contoh : apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim-
piyatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong
royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya
apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa
diupah, datang kesuatu rumah yang sedang dibangun lalu dia bekerja
disitu, tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau
tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran.
5. Kaidah kelima:
Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan
angkutan sampai ke rumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli
sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
6. Kaidah keenam:
ين بِالنَّص ِ ْاَلتَ ْعيِي ُْن بِ ْالعُر
ِ ِف كَالت َّ ْعي
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”.
Contoh : Apabila ada orang yang memeliharakan sapi orang lain, maka
upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu, dengan perhitungan anak
pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua untuk yang punya,
begitulah selanjutnya secara berganti-ganti.
7. Kaidah ketujuh:
ُاَل ُم ْمتَنَ ُع عَادَةُ كَال ُم ْمتَنَع َح ِق ْيقَة
ِ
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak
berlaku dalam kenyataan”.
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat
kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam
kenyataannya.6
5
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi) (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2002), hal 157.
6
Imam Musbikin, Qawaid, hal 100.
10
Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu adalah
miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal usul tanah
tersebut.
8. Kaidah kedelapan:
ا َ ْل َح ِق ْيقَةُ تُتْ َر ُك ِبدَ َلَلَ ِة ال َعادَ ِة
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti
menurut adat”.
Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata dan sudah menyerahkan
uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi,
maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meski
harga batu bata naik.
9. Kaidah kesembilan:
َاَل ْذ ِن اللَ ْف ِظى
ِِ فكِ ْاََل ْذ ُن العُر
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian
izin menurut ucapan”.
Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi
tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya,sebab
menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan makanan berarti sama
dengan mempersilahkannya.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah fikih al adah al muhakkamah adalah tentang adat atau
kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan
kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang
dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara
berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Istilah adat dan al-’Urf
memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula.
Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan
pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu.
adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf
harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya
melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek
pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang
sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang,
dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat
akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa
hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang
baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah. Adapun adat itu
dapat dijadikan sebagai landasan hukum apabila:
1. Tidak bertentangan dengan nash, Berlaku umum
2. Tidak menimbulkan kerusakan atau kemafsadatan
3. Dan adat itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang
akan dilandaskan pada ‘urf itu.
B. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kepada pembaca untuk
memberikan berbagai masukan dan kritik demi perbaikan dan
kesempurnaan makalah ini.
12
DAFTAR PUSTAKA
13