Anda di halaman 1dari 13

‫ا َ ْل َعادَةُ ُم َح َّك َمة‬

“Adat kebiasaan dapat dijadikan sandaran hukum”


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawa’id Fiqih

DOSEN PEMBIMBING :

Dr. Syarif Hidayatullah, S.S.I., MA.

DISUSUN OLEH :

Najla Afifah Hulwah 20320070

Nisa Ali 20320071

FAKULTAS TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA

2021/2022

1
KATA PENGANTAR

‫اَللِ الرَّ حْ َم ِن الرَّ ِحيم‬


َّ ‫ِبس ِْم‬

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta
alam. Atas izin dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada
junjungan Rasulullah Muhammad SAW, semoga syafa’atnya mengalir pada kita
di hari akhir kelak.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah Qowaid Fiqhiyyah. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang ‫( ا َ ْلعَادَةُ ُم َح َّك َمة‬adat kebiasaan dapat dijadikan
sandaran hukum).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Syarif Hidayatullah


S.S.I., MA. Yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Tenggarong, 09 Januari 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................4
B. Rumusan Masalah..........................................................................4
C. Tujuan Penulisan............................................................................4

BAB II PEMBAHASAN............................................................................5
A. Pengertian Kaidah‫ العَادَةُ ال ُم َح َّك َمة‬.......................................................5
B. Sumber Pembentukan Kaidah‫ العَادَةُ ال ُم َح َّك َمة‬.....................................6
C. Penerapan/Aplikasi dari Kaidah‫ العَادَةُ ال ُم َح َّك َمة‬..................................8
D. Kaidah Cabang Serta Penerapannya dari Kaidah‫ العَادَةُ ال ُم َح َّك َمة‬........8

BAB III PENUTUP...................................................................................13


A. Kesimpulan....................................................................................13
B. Saran..............................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA................................................................................14

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Qawaid Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully


(menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawaid
fiqhiyyah mempunyai beberapa kaidah diantaranya adalah seperti
pembahasan dalam makalah ini yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat atau
kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang
diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu
hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui segala
permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan hukum fiqih
dalam waktu, tempat, situasi, dan kondisi yang seringkali berubah-ubah.

Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya
budaya (adat atau kebiasaan) serta lebih mudah mencari solusi terhadap
masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah ‫ح َّك َمة‬
َ ‫?ال َعادَة ُ ال ُم‬
2. Apa saja sumber-sumber pembentukan kaidah ‫ح َّك َمة‬
َ ‫?ال َعادَة ُ ال ُم‬
3. Bagaimana penerapan/aplikasi dari kaidah ‫ح َّك َمة‬
َ ‫?العَادَة ُ ال ُم‬
4. Apa saja kaidah-kaidah cabang serta contoh penerapan/aplikasinya dari
nnkaidah ‫ح َّك َمة‬
َ ‫? ال َعادَة ُ ال ُم‬

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian kaidah ‫ح َّك َمة‬
َ ‫العَادَة ُ ال ُم‬.
2. Untuk mengetahui sumber-sumber pembentukan kaidah ‫ح َّك َمة‬
َ ‫ال َعادَة ُ ال ُم‬.
3. Untuk mengetahui penerapan/aplikasi dari kaidah ‫ح َّك َمة‬ َ ‫ال َعادَة ُ ال ُم‬.
4. Untuk mengetahui kaidah-kaidah cabang serta contoh
aaaaaaaaapenerapan/aplikasinya dari kaidah ‫ح َّك َمة‬
َ ‫العَادَة ُ ال ُم‬.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah ‫ح َّك َمة‬


َ ‫العَادَة ُ ال ُم‬
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( ‫ ) العود‬atau al-
mu'awadah ( ‫ )المؤدة‬yang artinya berulang ( ‫) التكرار‬. Oleh karena itu, tiap-tiap
sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat.
Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :

‫عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة‬


“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-
ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.

Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-
'adah, yaitu al-'urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan,
atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya.sedangkan al-‘urf secara istilah yaitu:

‫العرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا‬
“Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam
ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku
umum".

Menurut sebagian ulama al-adah sama dengan al-‘urf, sedangkan menurut


sebagian ulama yang lain al-adah berbeda dengan al-‘urf, adapun perbedaannya
adalah:
1. ‘Urf hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan, sedangkan al-adah
hanya melihat dari sisi pelaku.
2. ‘Urf harus dilakukan oleh kelompok, sedangkan al-adah boleh dilakukan secara
pribadi maupun kelompok.
3. ‘Urf objeknya lebih menekankan pada sisi pelakunya, sedangkan al-adah
objeknya hanya melihat pada pekerjaan.

Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam pengadilan


dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim
dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.1

1
Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan
Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,2012).hlm.204

5
Kaidah ini berisi bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan
untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua
adat bisa dijadikan pijakan hukum. Dan pada dasarnya atau asal mula kaidah ini
ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan
kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah
berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri
secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika
ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah
biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai.
Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan),
budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran yang
didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi
secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat
penunjang hukum-hukum syara’.2
Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus
itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah)
terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak atau belum
ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu, atau mungkin
ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa
mematahkan sebuah adat.

Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja,
karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan
kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.3

B. Sumber/Dalil Pembentukan Kaidah ‫ح َّك َمة‬


َ ‫العَادَة ُ ال ُم‬
Seluruh kaidah fikih, padasarnya ketika dibentuk menjadi sebuah
kaidah hukum disandarkan kepada nash-nash al-qur’an dan sunnah. Termasuk
kaidah ‫ العادة محكمة‬yang disandarkan pada dalil-dalil syara’ sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
a. Surat al-‘Araf ayat 199
2
Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki
Press,2010).hlm.203.
3
Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.210.

6
َ‫ض ع َِن ۡال ٰج ِه ِل ۡين‬ ۡ ‫ف َوا َ ۡع ِر‬ ِ ‫ُخ ِذ ۡالعَ ۡف َو َو ۡام ُۡر ِب ۡالع ُۡر‬
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan makruf serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
Menurut Al-Suyuthi seperti dikutip Saikh yasin bin Isa al-Fadani kata al-
‘urf pada ayat diatas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga,
adat yang dimaksud disini adalah adat yang tidak bertentangan dengan syariat.
Namun pendapat ini dianggap lemah oleh komunitas ulama lain. Sebab jika al-
‘urf diartikan sebagai adat istiadat, maka sangat tidak selaras dengan asbab
alnuzulnya, dimana ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah yang telah
dilakukan Nabi Muhammad SAW kepada orang-orang Arab yang berkarakter
keras dan kasar, juga kepada orang-orang yang masih lemah imannya.4
b. Surat al-Baqarah ayat 233
‫علَى ْال َموْ لُوْ ِد لَه ِر ْزقُه َُّن َو ِكس َْوتُه َُّن‬
َ ‫َاملَي ِْن ِل َم ْن ا َ َرادَ ا َ ْن يُّتِ َّم الرَّ ضَاعَةَ ۗ َو‬ِ ‫ت يُرْ ِضعْنَ اَوْ ََلدَ ُه َّن حَوْ َلي ِْن ك‬ ُ ‫َو ْال ٰو ِل ٰد‬
ۗ ‫س َعهَا‬ْ ُ‫ف ََل ت ُ َكلَّفُ نَ ْفس ا ََِّل و‬ ِ ْ‫ِب ْال َمع ُْرو‬
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya...”.
Kata ma’ruf pada ayat di atas, menunjukan legitimasi syariat terhadap
kadar kemampuan kebiasaan seorang ibu dalam menyusui, dan juga ayat di atas
menjadi legitimasi kewajiban memberikan nafkah sesuai dengan kadar
kemampuan yang sudah menjadi kebiasaan. Hal ini dapat difahami pada kalimat
ayat ‫سعَهَا‬ ْ ُ‫ ا ََِّل و‬.

2. Hadist
a. Hadist dari Ibnu Mas’ud
ٌ‫سن‬ َّ َ‫ فَ ُه َو ِع ْند‬،‫سنًا‬
َ ‫اَللِ َح‬ ْ ‫َما َرأَى ْال ُم‬
َ ‫س ِل ُمونَ َح‬
Artinya : “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di
sisi Allah”.

Hadis di atas, menandaskan bahwa persepsi positif kaum Muslimin pada


suatu persoalan dapat dijadikan pijakan bahwa hal tersebut positif di sisi
Allah Swt. Oleh karenanya tidak perlu ditentang atau dihapus, akan tetapi
dijadikan pijakan dalam mendesain produk hukum. Hal ini didasarkan pada
bahwa pandangan umum kaum Muslimin tidak lah bertentangan dengan apa
yang dikehendaki Allah sebagai pencipta hukum. Hadis di atas juga sebagai
dasar bahwa kaum Muslimin, khususnya para sahabat dan tabi’in merupakan
orang-orang pilihan Allah Swt untuk mendesain produk hukum yang mungkin
belum dijelaskan secara terperinci oleh Rasul Saw.

4
Abdul Haq dkk, Formulasi., 270

7
b. Hadist riwayat al-Baihaki
‫الو ْز ُن ا َ ْه ِل َم َّكة‬
َ ‫لم ْكيَا ُل ِم ْكيَا ُل ا َ ْه ِل ال َم ِدنَ ِة َو‬
ِ َ‫ا‬
Artinya: “Ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalah ukuran berat ahli
mekkah, sedangkan ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli madinah”

Hadis di atas penegasan Rasul Saw. terhadap kondisi profesi


penduduk Madinah sebagai petani kurma, dan gabah sehingga dalam melakukan
transaksi jual beli diarahkan tetap memakai takaran. Kepada penduduk Mekah
yang rata-rata profesinya sebagai pedagang, Rasul Saw. menegaskan agar
tetap memakai timbangan. Dengan demikian, hal ini menunjukan bahwa Rasul
Saw memberikan legitimasi terhadap tradisi yang berlaku di Madinah dan di
Mekah. Dan tidak menghapus terlebih memaksakan tradisi suatu daerah harus
diterapkan di daerah lainnya.

C. Contoh Penerapan/Aplikasi dari Kaidah ‫ال َعادَة ُ ال ُم َح َّك َمة‬


Telah diketahui bahwa al-adah al-muhakkamah pada dasarnya merupakan
adat kebiasaan manusia yang sesuai dengan syari’at Islam, sehingga oleh
karenanya hukum dari adat tersebut sesuai dengan dalil syar’i yang menjadi
rujukan. Sebagai contoh penerapan al-adah al-muhakkamah adalah sebagai
berikut:
1. Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan daging selama 1 bulan,
sedangkan menurut kebiasaan didaerahnya, apa yang dimaksud dengan
daging dalam hal makanan adalah daging sapi, maka jika ia memakan
ikan, ia dianggap tidak melanggar sumpahnya.
2. Berkumpul dan berdiskusi dengan lawan jenis di dalam satu kelas untuk
kepentingan belajar, hal seperti ini diperbolehkan karena telah menjadi
kebiasaan di lingkungan sekolah.
3. Memberikan penghargaan kepada murid yang berpretasi, hal seperti ini
diperbolehkan karena telah menjadi kebiasaan di masyarakat.
4. Diadakannya upacara bendera setiap hari senin di sekolah, hal seperti ini
diperbolehkan karena telah menjadi kebiasaan di seluruh sekolah.
5. Menggunakan seragam atau baju batik di hari-hari tertentu, hal seperti ini
diperbolehkan karena telah menjadi kebiasaan di seluruh sekolah.
6. Adanya satu hari libur dalam seminggu, karena hal ini sudah berlaku
umum walau tidak ada tertulis dalam peraturan sekolah.

D. Kaidah Cabang Serta Contoh Penerapan Dari Kaidah ‫ال َعادَةُ ال ُم َح َّك َمة‬

Adapun cabang-cabang dari kaidah al-adah al-muhakkamah sebagai


berikut:
1. Kaidah pertama:

8
ِ َّ‫ستِ ْع َما ُل الن‬
‫اس ُحجَّة يَ ِجبُ العَ َم ُل ِب َها‬ ْ ِ‫ا‬
“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah
hujjah(alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”.
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di
masyarakat,menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya.

Contoh : apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai
menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar
ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.

2. Kaidah kedua:
ْ ‫اِنَّ َما ت ُ ْعتَبَ ُر العَادَةُ اِذَا ا‬
َ ‫ض َط َرد َْت اَو‬
‫غلَبَ ْت‬
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat
yang terus menerus berlaku atau berlaku umum”.
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima
sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering
berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu
syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dijadikan sebagai dasar
hukum.

Contoh : Apabila seseorang berlangganan koran dan koran itu selalu


diantar kerumahnya, ketika koran tersebut tidak diantar kerumahnya, maka
orang tersebut dapat protes kepada pihak pengusaha koran tersebut.

3. Kaidah ketiga:
‫شائِ ِع َلَ ِللنَّاد ِِر‬ ِ ‫اَل ِعب َْرةُ ِللغَا ِل‬
َّ ‫ب ال‬
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh
manusia bukan dengan yang jarang terjadi”.

Contoh: menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada


kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar
berdasarkan pada kebiasaan.

4. Kaidah keempat:

‫العرف عرفا كالمشروط شرطا‬


“Sesuatu yang telah dikenal dengan urf seperti yang disyaratkan dengan
suatu syarat”.
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya ikat
seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan.

9
Contoh : apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim-
piyatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong
royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya
apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa
diupah, datang kesuatu rumah yang sedang dibangun lalu dia bekerja
disitu, tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau
tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran.

5. Kaidah kelima:

ْ ‫َّار ك َْال َم‬


‫ش ُروْ ِط َب ْينَ ُه ْم‬ ِ ‫اَل َمع ُْروفُ َبيْنَ تُج‬
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di
antara mereka”.
Sesuatu yang telah menjadi adat antara pedagang, seperti disyaratkan
dalam transaksi.5

Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan
angkutan sampai ke rumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli
sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.

6. Kaidah keenam:
‫ين بِالنَّص‬ ِ ْ‫اَلتَ ْعيِي ُْن بِ ْالعُر‬
ِ ِ‫ف كَالت َّ ْعي‬
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”.
Contoh : Apabila ada orang yang memeliharakan sapi orang lain, maka
upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu, dengan perhitungan anak
pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua untuk yang punya,
begitulah selanjutnya secara berganti-ganti.

7. Kaidah ketujuh:
ُ‫اَل ُم ْمتَنَ ُع عَادَةُ كَال ُم ْمتَنَع َح ِق ْيقَة‬
ِ
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak
berlaku dalam kenyataan”.
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat
kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam
kenyataannya.6

5
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi) (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2002), hal 157.
6
Imam Musbikin, Qawaid, hal 100.

10
Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu adalah
miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal usul tanah
tersebut.

8. Kaidah kedelapan:
‫ا َ ْل َح ِق ْيقَةُ تُتْ َر ُك ِبدَ َلَلَ ِة ال َعادَ ِة‬
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti
menurut adat”.
Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata dan sudah menyerahkan
uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi,
maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meski
harga batu bata naik.

9. Kaidah kesembilan:
‫َاَل ْذ ِن اللَ ْف ِظى‬
ِِ ‫فك‬ِ ْ‫اََل ْذ ُن العُر‬
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian
izin menurut ucapan”.
Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi
tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya,sebab
menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan makanan berarti sama
dengan mempersilahkannya.

10. Kaidah kesepuluh:


‫ََل يُنكَر تغيير اَلحكام بتغيير اَلزمنة واَلمكنة‬
“Tidak diinkari adanya perubahan hukum dengan sebab perubahan waktu
nnnnnn dan tempat”.
Contoh: hukum mulai bolehnya seorang laki-laki menikah atau seorang
perempuan dinikahi dapat berbeda sesuai kebiasaan, perkembangan
budaya, dan peraturan yang berlaku di suatu daerah. Nabi Muhammad
Saw menikah dengan Siti Aisyah yang berusia 9 tahun, akan tetapi hal
tersebut belum tentu berlaku di zaman sekarang atau tempat yang berbeda.
Di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.16 Tahun 2019 tentang
perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yakni usia
minimal kawin perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kaidah fikih al adah al muhakkamah adalah tentang adat atau
kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan
kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang
dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara
berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Istilah adat dan al-’Urf
memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula.
Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan
pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu.
adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf
harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya
melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek
pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang
sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang,
dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat
akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa
hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang
baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah. Adapun adat itu
dapat dijadikan sebagai landasan hukum apabila:
1. Tidak bertentangan dengan nash, Berlaku umum
2. Tidak menimbulkan kerusakan atau kemafsadatan
3. Dan adat itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang
akan dilandaskan pada ‘urf itu.

B. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kepada pembaca untuk
memberikan berbagai masukan dan kritik demi perbaikan dan
kesempurnaan makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya


dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI,2012).
2. Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-
Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010).
3. Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-
Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2002).
4. Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi)
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002).

13

Anda mungkin juga menyukai