Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana diketahui bahwa Islam telah diturunkan selama 14 abad


lebih di daerah jazirah Arab telah memuat sejumlah hukum-hukum baik yang
mengatur hubungan dengan Allah (hablum min Allah) hubungan vertikal dan
yang mengatur hubungan dengan sesama manusia (hablum min an nas)
hubungan horizontal sebagimana yang dalam alQur’an dan hadith-hadith
nabi. Yang pada dasarnya ia telah mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia, namun masyarakat dan tokoh-tokoh agama seperti ulama ushul fiqh
masih merasa ada hal-hal yang harus disempurnakan melalui proses ijtihad
untuk menetapkan hukum yang secara jelas tidak ditetapkan dalam nash-nash
dikarenakan faktor situasi dan kondisi yang berbeda (bukan karena
keterbatasan al-Qur’an). Dan dalam kehidupan manusia di daerah-daerah
tertentu memiliki kebiasaan-kebiasaan baik kebiasaan-kebiasaan yang terjadi
pada pribadi seseorang maupun yang terjadi di dalam kelompok masyarakat
yang secara bahasa dikenal dengan adat kebiasaan atau ‘urf. Hal ini menjadi
salah satu fokus perhatian para ulama ushul fiqh untuk dipertimbangkannya
dalam melakukan ijtihad sehingga dapat mengistinbathkan hukum terhadap
persoalan masyarakat Islam.1

‘Urf (adat istiadat/tradisi) merupakan salah satu metode istinbat


hukum Islam yang diperselisihkan para ulama, kalangan madzhab Hanafi dan
Maliki memandangnya sebagai dalil hukum, akan tetapi kalangan madzhab
yang lain (Syafi’I, Hambali, Dhahiri, Syi’i) tidak memandangnya sebagai
dalil hukum. Meskipun madzhab Syafi’I tidak memandang ‘Urf sebagai dalil
hukum, akan tetapi dalam realitasnya Imam Syafi’ menggunakan sosiokultur
budaya (‘Urf) masyarakat dalam menetapkan sebuah hukum, hal ini terlihat
dengan adanya qaul Qadim dan qaul jadid.

1
Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), Hlm. 177.

1
Masyarakat sangat terikat dengan ‘Urfnya. Pemerintah pun terikat
pula kepada tradisi rakyatnya, pemerintah tidak mudah mengubah sesuatu
yang menjadi tradisi rakyat. Ini menunjukkan begitu besarnya pengaruh ‘Urf
dalam tatanan kehidupan, sehingga rasulullah menetapkan berlakunya ‘Urf
yang dipandang baik dan istimewa dalam permasalahan mu’amalah. Misal,
Abbas Ibn Abdul Muthalib yang pernah menerima laba dari modalnya yang
diusahakan orang lain, Rasulullah mengetahuinya dan diam saja.

Salah satu keistimewaan Islam adalah terletak pada ajarannya yang


memberikan ruang yang cukup untuk menerima masuknya unsur-unsur
budaya luar. Hal ini terbukti Ketika Islam dibawa oleh para mubaligh ke
wilayah-wilayah baru, maka Islam tidak sepenuhnya menyingkirkan ajaran
yang tengah berlaku sejak lama pada masyarakat, tetapi memberikan ruang
dan tempat yang cukup untuk beradaptasi dengan budaya local, seperti pada
masyarakat Indonesia yang memperlihatkan Islam dan budaya setempat
Nampak begitu mesra dan saling mengerti.

Akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya local, dalam


hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan
diakomodasi eksistensinya. Sifat akomodatif Islam ini dapat kita temukan
dalam kaidah fikih yang menyatakan “al-‘adatu muhakkamah” (‘Adah itu
bisa menjadi hukum).2

Hanya saja tidak semua tradisi bisa dijadikan hukum, akrena tidak
semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya local
yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kaidah
fikih diatas terdapat pesan moral agar memiliki sikap kritis terhadap sebuah
tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis ini yang menjadi pendorong
terjadinya transformasi social masyarakat yang mengalami persinggungan
dengan Islam. Berdasarkan kaidah fiqih ini pula, kita memperoleh pesan kuat
bahwa restrukturisasi dan dinamisasi pemahaman keagamaan Islam
hendaknya selalu dikembangkan agar selalu mampu merespon persoalan-
persoalan masyarakat dan budayanya yang selalu dinamis dan berkembang.
2
Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh , Hlm. 179.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah?
2. Apa saja yang menjadi dasar dari kaidah al-‘adatu muhakkamah?
3. Apa saja syarat kaidah al-‘adatu muhakkamah dapat dijadikan sandaran
hukum?
4. Apa saja cabang dari kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah ?
5. Bagaimana Implementasi kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah.
2. Untuk mengetahui dasar dari kaidah al-‘adatu muhakkamah.
3. Untuk mengetahui syarat kaidah al-‘adatu muhakkamah dapat dijadikan
sandaran hukum.
4. Untuk mengetahui cabang dari kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah.
5. Untuk mengetahui Implementasi kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah.

BAB II

PEMBAHASAN

3
A. Definisi Kaidah Fiqih Al-‘Adatu Muhakkamah

Secara etimologi, kata al’Adah berarti pengulangan baik berupa


perkataan atau perbuatan. Al-‘Adah diambil dari kata al-‘aud atau al
mu’awadah yang artinya berulang.3

Secara terminologi, ‘Adah adalah sebuah kecenderungan (berupa


ungkapan atau pekerjaan) pada suatu obyek tertentu, sekaligus pengulangan
akumulatif pada obyek pekerjaan dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau
kelompok. Akibat pengulangan itu, ia kemudian dinilai sebagai hal yang
lumrah dan mudah dikerjakan. Aktifitas itu telah mandarah daging dan
hampir menjadi watak pelakunya.4

Urf secara etimologi berarti “yang baik”, juga berarti perulangan atau
berulang-ulang. Sedangkan secara istilah sebagian ulama ushul memberi
definisi ‘urf dan adat dengan pemahaman yang sama yaitu “sesuatu yang
telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa
perkataan, perbuatan atau keadaan meninggalkan” yang bersifat perbuatan,
seperti saling pengertian manusia dalam jual beli tanpa ada singat lafadhia.

Sedangkan menurut Ahmad Fahmi Abu Sunnah sebagaimana yang


dikutip oleh Nasrun Haroen mengatakan bahwa ulama ushul membedakan
pemahaman antara ‘urf dengan adat, sebagaimana ungkapan-ungkapan bahwa
‘urf adalah Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya
hubungan rasional . Definisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan
dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat.
Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat
luas, yang menyangkut persoalan pribadi seperti kebiasaan seseorang dalam
makan, tidur dll, atau permasalahan yang menyangkut umum, yaitu yang
menyangkut hasil permasalahan yang baik dan yang buruk, contoh adat yang

3
A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), Hlm. 79.
4
Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqih Konseptual (Surabaya: Khalista, 2009),
Hlm. 274.

4
baik berlakunya rumah kediaman orang tua menjadi milik anak perempuan
bungsu dalam sebuah keluarga.

Adat adalah Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkara perkataan


atau perbuatan. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘urf
merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf, ‘urf harus
berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau
kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang
berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari pemikiran dan
pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu
yang menetapkan bahwa untuk menetapkan keperluan rumah tangga pada
suatu perkawinan biasa diambil dari mas kawin yang diberikan suami dan
penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.5

Menurut Fathurrahman Azhari, Qaidah fiqhiyyah asasiyyah kelima


tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang
berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al‘urf. Adat dan ‘urf
keduanya berasal dari kata bahasa arab dan sering dibicarakan dalam literatur
fiqh. ‘Urf secara etimologi berarti yang baik, dan juga berarti pengulangan
atau berulang-ulang. Adapun dalam tataran terminologi, sebagian ulama ushul
Fiqh memberi definisi yang sama terhadap ‘adat dan ‘urf. Dalam penilaian
al-Raghib kata ‘urf yang seakar dengan kata ma’ruf merupakan nama bagi
suatu perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan agama. Makna ini dapat
ditemukan dalam diantaranya dalam Qur’an surah al-Imran ayat 104. Kata
‘urf dan ma’ruf dalam Qur’an dipandang sebagai bagian dari sikap ihsan.
Isyarat ini dapat ditemukan dalam Qur’an surah al-‘Araf ayat199. Menurut
Ibn al-Najar kata al-‘urf yang terdapat dalam ayat ini meliputi segala
sesuatu yang disenangi oleh jiwa manusia dan sejalan dengan nilainilai
syariah.

5
Sulfan Wandi Eksistensi ‘Urf dan Adat Kebiasaan Sebagai Dalil Fiqh . Samarah: Jurnal
Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 2 No. 1. Januari-Juni 2018 183-184

5
Adat pengertian secara terminologi, Adat yaitu segala apa yang telah
dikenal manusia, maka hal itu jadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam
kehidupan mereka baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Sedangkan Urf
yaitu apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik berupa
perkataan, perbuatan atau meningalkan sesuaitu.

Sebagian ulama ada yang membedakan antara adat dengan ‘urf. Adat adalah
suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia
lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau
mengulanginya. Sedangkan ‘urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan
dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena
sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.

Perbedaan ‘Adah dan ‘Urf

‘Urf sering dipahami sama dengan kata adat atau kebiasaan. ‘Urf adalah apa
yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Namun bila diperhatikan dari akar
katanya, ada perbedaan yang mendasar di antara kedua kata tersebut.

1. Kata adat berasal dari bahasa arab, akar katanya: “ada, ya’udu yang
mengandung arti perulangan. Oleh karena itu sesuatu yang baru
dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Namun tidak ada pula tolak
ukur yang pasti berapa kali hal tersebut dilakukan agar dapat dikatakan
sebagai adat. Sedangkan kata ‘Urf pengertiannya tidak melihat dari segi
berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa
perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui Oleh orang
banyak. .
2. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus
Dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontiniu
manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan
atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam
mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima
oleh watak kemanusiaannya.

6
3. Sesuatu yang disebut ‘Urf bukan semata karena dapat diterima tabiat,
tetapi juga harus sejalan dengan akal manusia. Sementara sesuatu yang
disebut adat bukan semata-mata sejalan dengan akal sehat, tetapi juga
telah dipraktekkan manusia secara terus menerus sehingga menjadi
tradisi di kalangan mereka.

Para ulama yang membedakan antara ‘Urf dengan ‘Adah dan memberikan
alasannya sebagaimana berikut ini:

1. Bahwa Adah itu bisa berlaku secara umum, baik dilakukan oleh orang
banyak maupun individu. Sedangkan ‘Urf harus dilakukan oleh
kebanyakan orang, dan tidak dikatakan ‘Urf apabila suatu kebiasaan yang
hanya terjadi pada individu tertentu.
2. Adah bisa muncul secara alami sebagaimana yang berlaku di tengah
masyarakat, sedangkan ‘Urf tidak bisa muncul secara alami tetapi harus
melalui pemikiran dan pengalaman.”
3. Adah tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya
perbuatan yang menjadi Adah tersebut, sedangkan ‘Urf selalu
memberikan penilaian pada segala sesuatu yang menjadi ‘Urf.

Abu Zahrah membatasi ‘urf menyangkut kebiasaan manusia dalam


kegiatan muamalah mereka. Muamalah yang dimaksud ulama ini sebagai
bandingan dari bagian hukum Islam yang lain, yaitu aspek ibadah.
Pembatasan ini tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa umumnya ‘urf
terkait dengan kegiatan muamalah. Sebab, masalah muamalah cukup banyak
diatur dalan bentuk prinsip-prinsip dasar dalam Qur’an dan Hadis sehingga
berpeluang dimasuki unsur ‘urf di mana umat Islam berada. Sebaliknya,
masalah ibadah yang sudah dijelaskan secara rinci kecil kemungkinan
dimasuki unsur ‘urf setelah sumber hukum Islam, Qur’an dan Hadis lengkap
diturunkan.6

6
Fathurrahman Azhari, QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU) Banjarmasin. 2015 118-120

7
Al-Adah muhakkamah berarti suatu tradisi dapat menjadi
pertimbangan dalam penetapan hukum jika dalam masalah tersebut tidak
ditemukan ketentuannya secara jelas dalam teks-teks Al-Qur'an dan Hadis.
Ketentuan ini berlaku jika adat (tradisi) tersebut tidak bertentangan dengan
ketentuan syariat secara umum. Kaidah ini merupakan salah satu dari lima
kaidah dasar dalam kaidah fikih. Dalam fikih klasik, kaidah ini sering kali
dijadikan pijakan dalam menetapkan hukum.

B. Dasar Hukum Kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah


1. Al-Qur’an
Q. S Al A’raf ayat 199

‫الحب العفو وأمر بالُعْر ِف َو َأْع ِر ْض عن الجهلين‬

“Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan


berpalinglah dari orang-orang bodoh.”

Q. S An-Nisa ayat 19

‫َو َعاِش ُروُهَّن ِباْلَم ْعُروِف‬

“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut.”

QS Al Baqarah ayat 180

‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإذا خطر أحدكم الموت إن َتَر َك َخْيًرا الوصية‬

‫الوالدين واألقربين ِباْلَم ْعُروِف‬

“Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi


(tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang
banyak), berwasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara
yang patut (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”

Dan beberapa ayat lainnya yang menyebutkan lafadz ‘urf atau


ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dari ‘urf dan ma’ruf di semua
ayat ini adalah dengan cara yang baik yang diterima oleh akal sehat dan
kebiasaan manusia yang berlaku.

8
2. Sumber Hadis

H.R Ibnu Mas’ud

‫َم ا َر آُه اْلُم ْس ِلُم وَن َحَس ًنا َفُهَو ِع ْنَد ِهللا َحَس ٌن‬

“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi
Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka
menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk.” (H.R
Ahmad Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabir dari Ibnu Mas’ud)

Nabi SAW bersabda:

“Ambilah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara


yang patut.” (HR Bukhari No. 5364 dan Muslim No. 1714)

Diantara perbuatan yang hukumnya oleh Rasulullah SAW ditetapkan


berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan oleh hadits:

“Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Ketika Nabi SAW datang di Madinah,
mereka (penduduk Madinah) telah (biasa) memberi uang panjar (uang
muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun. Maka
Nabi SAW bersabda: Barangsiapa memberi uang panjar pada buah-
buahan maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu,
timbangkanlah yang tertentu dan waktu tertentu.” (H.R Bukhari)7

Tradisi atau adat sangat berperan dalam pembentukan dan


pengembangan hukum Islam. Adanya berbagai aliran hukum dalam sejarah,
sesungguhnya juga karena andil adat istiadat masyarakat setempat. Imam Abu
Hanifah banyak mempertimbangkan adat atau kebiasaan masyarakat Irak
dalam menetapkan hukumnya. Imam Malik banyak dipengaruhi oleh tradisi
atau adat ulama-ulama Madinah. Imam as-Syafi’i memiliki qaul qadim

7
Duski Ibrahim AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) penerbit: Noerfikri,
Palembang 2019. 90-92

9
(ketika ia berada di Baghdad) dan qaul jadid (ketika berada di Mesir),
disebabkan perbedaan adat atau tradisi kedua negara atau wilayah tersebut.

Menurut para ulama, adat bisa dijadikan dasar untuk menetapkan


hukum Islam apabila tradisi tersebut telah berlaku secara umum
dimasyarakat tertentu. Sebaliknya, jika sebuah tradisi tidak berlaku secara
umum, maka ia tidak dapat dijadikan pedoman dalam menentukan boleh atau
tidaknya tradisi tersebut dilakukan.

Di dalam kitab uhsul fiqh disebutkan bahwa di antara sumber-sumber


hukum, ada yang disepakati dan ada pula yang diperselisihkan. Yang
disepakati ialah al.Qur.’an, al Hadis, al Ijma’ dan al Qiyas. Sedang yang
diperselisihkan ialah istihsan, istishhab, istishlah, madzhab as Shahabi, ‘uruf
dan syaru’ maqablana syari’un lana? Mua’atul ‘Uruf beraiti mengendalikan
‘uruf dalam arti ‘uruf yang bersesuaian dengan tujuansyara’ dan
tidakbertentangan dengan prinsip-prinsipnya. Maka ‘uruf seperti itu dapat
dipergunakan sebagai hukum. Dalam usaha mengendalikan ‘urufatau adat
inilah diciptakan kaidah al ‘adah muhakkamah, sehingga apabila lerjadi
permasalahan yang tidak diatur secara tekstual dalam al Qur’an atau al Hadis,
maka adat yang telah merata dalam masyarakat dapat dipergunakan sebagai
ketentuan hukum. Beberapa ketentuan hukum yang diambil dari adst ini
misalnya, batas umur dewasa yang tenggang waktu menstruasi, takaran,
timbangan dan seterusnya.8

C. Syarat Kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah

Seperti yang kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang istimewa.
Salah satu keistimewaan Islam adalah terletak pada ajarannya yang
memberikan ruang yang cukup untuk menerima masuknya unsur-unsur
budaya luar. Hal ini terbukti ketika Islam dibawa oleh para mubaligh ke
wilayah-wilayah baru, maka Islam tidak sepenuhnya menyingkirkan

8
Abd Rachim,AL ADAHMUHAKKAMAH, Al mawarid :jurnal hukum islam vol 4 no 1 hal 10-12

10
ajaranyang tengah berlaku sejak lama pada masyarakat, tetapi memberikan
ruang dan tempat yang cukup untuk beradaptasi dengan budaya lokal, seperti
antara lain pada masyarakat Indonesia yang memperlihatkan Islam dan
budaya setempat nampak begitu mesra dan saling mengerti.

Akuluturasi timbal balik antara Islam dengan budaya lokal, dalam


hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang menginginkan
diakomodasi eksistensinya. Sifat akomodatif Islam ini dapat kita temukan
dalam kaidah-kaidah fiqih yang menyatakan “Al-Adatu Muhakkamah”.

Dengan demikian, Al-‘adah atau ‘Urf merupakan salah satu sumber


dalam istinbath hukum, menetapkan bahwa ia bisa menjadi dalil sekiranya
tidak ditemukan nash dari kitab (Al-Qur’an) dan Sunnah. Adapun syarat-
syarat Adah atau ‘Urf dapat dijadikan Sandaran hukum adalah sebagai
berikut:

a. Tidak bertentangan dengan nash. Artinya, sebuah tradisi bisa dijadikan


sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash Al-
Qur’an maupun hadis Nabi saw. Karena itu, sebuah tradisi yang tidak
memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan Pijakan
hukum bagi masyarakat. Nash yang dimaksud di sini adalah Nash yang
bersifat qati (pasti), yakni nash yang sudah jelas dantegas kandungan
hukumnya, sehingga tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran
lain.
b. Adah atau ‘Urf itu harus berlaku umum. Artinya, ‘Urf itu harus dipahami
oleh semua lapisan masyarakat. Baik di semua daerah maupun pada
daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan *Urf orang-
orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
c. Adah atau Urfitu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘Urf baru,
Dalam hal ini contohnya adalah kalau ada seseorang yang mengatakan
demi Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia
mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging
kambing dan sapi, lalu lima tahun kemudian, ‘Urf masyarakat berubah
bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu

11
orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak di hukumi
melanggar sumpahnya karena sebuah lafadz tidak didasarkan pada Urf
yang muncul belakangan.
d. Tidak berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah
masalah). Jika sebuah ‘Urf berbenturan dengan tashrih, maka ‘Urf itu
tidak berlaku.

Disamping itu ada beberapa syarat dalam pemakaian ‘Urf antara ain yaitu:

a. Urf tidak boleh dipakai untuk hal-hal yang akan menyalahi nash yang
ada.
b. Urf tidak boleh dipakai bila mengesampingkan kepentingan umum.
c. Urf bisa dipakai apabila tidak membawa kepada keburuk-keburukan atau
kerusakan.”9
Jadi, adat kebiasaan yang kita maksudkan dan dianggap sebagai
sumber tambahan bagi hukum Islam, hanyalah adat kebiasaan yang sesuai
dengan dalil-dalil pokok syariat. Oleh karena itu segala yang bertentangan
dengan syariat dengan hikmat tujuannya dan dengan nash-nashnya, itu semua
sama sekali tidak bisa diakui oleh syariat. Misalnya adat Badui yang
melarang perempusan untuk menerima waris.10

Dikalangan ulama ushul fiqh, mereka membicarakannya tentang


macam-Macam adat. Adat mendapat tempat sebagai dasar penetapan hukum
dengan syarat-syarat tertentu, yaitu tidak bertentangan dengan hukum-hukum
syariat yang berlandaskan dalil atau sumber hukum yang sah, baik Al-Qur’an
maupun Sunnah dan dalil lainnya, juga berlaku dan meluas dalam masyarakat
umumnya. Karena itu adat dibagi dua bagian, yaitu:

a. Adat yang shahih, yaitu adat yang tidak bertentangan dengan hukum
syariat. Adat yang seperti ini harus dipelihara, terutama dalam menetapkan
terhadap suatu hokum, atau ketika mempertimbangkan suatu keputusan
9
Fatmah Taufik Hidayat, “Kaedah Adat Muhakkamah dalam pandangan Islan (sebuah tinjauan
sosiologi hukum), Jurnal Sosiologi USK, volume 9, nomor 1. (Banda Aceh: Universitas Syiah
Kuala) 2016. 72

10
Shobi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung: PT Al Ma’arif 1976),262-264.

12
dalam pengadilan. Karena adat yang sudah berlaku di tengah-tengah
masyarakat, merupakan tuntutan yang sesuai dengan kemaslahatan
mereka. Misalnya mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan
perkawinan.
b. Adat fasid, yaitu adat yang berlaku dalam suatu sosial masyarakat yang
senantiasa bertentangan dengan ajaran syariat, Misalnya kebiasaan
mengadakan sesajin untuk sebuah patung atau suatu tempat yang
dipandang mulia, karena bertentangan dengan akidah tauhid.

Adat apabila dipandang dari segi sifatnya, maka dibagi kepada dua, yaitu:

a. Adat qawli (perkataan), yaitu adat yang berupa perkataan, Misalnya


panggilan “walad” untuk anak laki-laki bukan anak perempuan.

b. Adat‘amali perbuatan, yaitu adat berupa perbuatan. Misalnya kebiasaan


jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad yang lengkap
dalam jual beli, tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
tanpa akad jual-beli dan tidak terjadi kekacauan, maka membolehkannya

Adat apabila dipandang dari segi ruang lingkupnya, maka dibagi kepada
dua, yaitu:

a. Adat ‘aam, yaitu adat yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan.
Misalnya memberi hadiah kepada orang yang telah memberikan jasanya
kepada seseorang. Begitu pula mengucapkan terima kasih kepada orang
yang telah membantu.
b. Adat khas, yaitu adat yang hanya berlaku pada tempat, masa dan atau
keadaan tertentu saja. Misalnya mengadakan “halal bi halal” yang biasa
dilakukan oleh orang (masyarakat) Indonesia bagi yang beragama Islam
pada setiap selesai puasa Ramadhan dan berlebaran. Sedangkan di negara
lain tidak merupakan kebiasaan.

Jumhur ulama menggunakan adat shahih dijadikan sebagai dasar


hujjah selama tidak bertentangan dengan syariat. Imam Malik banyak
menetapkan hukum berdasar kepada praktik-praktik penduduk Madinah. Abu
Hanifah serta pengikutnya banyak menggunakan adat, yaitu kebiasaan yang

13
berlaku pada penduduk Kufah. Begitu pula Imam Syafi’i banyak
menggunakan adat, oleh karena itu, setelah ia berada di Mesir pendapatnya
ada yang berubah dari pendapatnya terdahulu ketika ia berada di Bagdad,
yang dikenal dengan “qawl qadim dan qawl jadid” 80. Oleh karena itu, ulama
Hanafiyyah dan Malikiyyah mengatakan, ketetapan berdasarkan adat yang
shahih sama dengan ketetapan berdasar dalil syar’i. Demikian pula, al-
Syarkhasi dalam kitabnya “alMabsuth” berpendapat dalam hal tidak
bertentangan dengan nash, maka ketetapan berdasar adat sama dengan
ketetapan berdasar nash.

Adat itu tidak tetap, dan selalu mengalami perubahan, tergantung pada
zaman dan lingkungan masyarakat yang saling berbeda pula. Oleh karena itu
suatu ketentuan hukum yang pada mulanya hukum itu berdasar adat, maka
bisa saja terjadi kemungkinan mendapat peninjauan kembali, apabila keadaan
menuntut demikian. Seorang hakim atau mufti, sebaiknya mengerti benar
maslah adat yang berlaku dan tumbuh di tengah tengah masyarakat. Dengan
demikian, terpelihara kemaslahatan masyarakat di lingkungannya. Para ulama
menggunakan dalil adat sebagai hujjah, apabila adat itu memenuhi syarat-
syarat, yaitu: Tidak bertentangan dengan nash baik Al-Qur’an maupun Sunah.
Apabila ‘urf bertentangan dengan nash, maka yang didahulukan adalah
hukum yang diterangkan oleh nash. Tidak menyebabkan kerusakan (mafsada)
dan tidak menghilangkan kemaslahatan termasuk tidak memberi kesempitan
dan kesulitan. Telah berlaku pada umumnya kaum muslimin, dalam arti
bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang Islam saja. Tidak
berlaku dalam masalah ibadah mahdhah.

Dengan demikian, adat dapat dicirikan, sebagai berikut:

a. suatu perkataan dan perbuatan yang dilakukan berulangkali dan telah


tertanam dalam diri masyarakat.

b. sesuatu hal yang menjadi terbiasa dan mudah dilakukan, spontanitas atau
tidak.

c. sesuatu yang dapat diterima masyarakat (acceptable).

14
d. berlangsung terus dan konstan serta merata atau mayoritas di suatu
wilayah.

Pada pembahasan qawaid fiqhiyyah, para ulama tidak lagi


membicarakan tentang pembagian adat atau ‘urf sebagaimana ulama ushul
fiqh. Mereka membahas adat ‘urf, berarti adat/’urf yang sahih. Karena
dalam penekanannya, jika ushul fiqh ditekankan kepada kedudukannya
sebagai hal atau kepantasan yang telah secara luas di kenal di dalam
masyarakat. Maka qawaid fiqhiyyah penekanannya pada kebiasaan sebagai
adat kebiasaan yang selalu berulang-ulang. Oleh karena itu, pembicaraan
adat/urf dalam ushul fiqh membicarakan tentang pembagian dan
keabsahannya menurut pandangan syar’i. Sedangkan adat dalam pembicaraan
qawaid fiqhiyyah adalah tenang konsistensi yang bagaimanakah yang
dianggap sah untuk menjadi pertimbangan hukum. 11

Adanya dua sudut pandang yang berbeda tersebut yang menyebabkan


timbulnya dua sebutan yakni „Urf dan adat. Dalam hal tersebut sebenarnya
tidak ada perbedaan yang prinsip, sehingga dapat dipahami suatu perbuatan
yang telah dilakukan berulang-ulang menjadi dikenal dan diakui oleh orang
banyak.12

D. Kaidah Cabang
1. Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/ argumen/
dalil) yang wajib diamalkan.

‫”اْس ِتْع َم اُل الَّناِس ُحَّج ٌة َيِج ُب الَع َم ُل ِبَها‬

Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan
dimasyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya. Contohnya menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah

11
Fathurrahman Azhari, QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU) Banjarmasin. 124-127

12
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 138-139.

15
menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang. Jarum, dan
menjahitnya adalah tukang jahit.

2. Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat


yang terus menerus berlaku atau berlaku umum.

“‫”ِإَّنَم ا ُتْعَتَبُر الَع اَد ُة ِإَذ ا اْض َطَر َد ْت َأو َغ َلَبت‬

Maksudnya, tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan


hukum, apabila adat kebiaaan itu hanya sekali-sekali terjadi dan/ atau tidak
berlaku umum. Kaidah ini sesungguhnya merupakan dua syarat untuk bisa
disebut adat, taitu terus menerus dilakukan dan bersifat umum
(keberlakuannya).

3. Adat yang diakui adalah adat yang umumnya terjadi yang dikenal oleh
manusia bukan dengan yang jarang terjadi.”

‫”الِع ْبَر ُة للَغاِلِب الَّش اِئِع اَل ِللَّناِد ِر‬

Contohnya, para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang,


tetapi bila menggunakan kaidah di atas, maka waktu hamil terpanjang tidak
melebihi satu tahun. Demikian pula menentukam menopause wanita dengan
55 tahun.

4. Sesuatu yang telah dikenal karena ‘Urf seperti yang disyaratkan dengan
suatu syarat.

‫الَم ْع ُروَف ُعْر َفا َك اْلَم ْش ُروِط َشْر َطا‬

Maksudnya adalah adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat


seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidaksecara tegas dinyatakan.
Contohnya apabila seseorang bergotong royong membangun rumah yatim
piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan orang-orang yang bergotong royong
itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya apabila sudah
dikenal tukang kayu atau tukang cat yang biasa di upah, datang ke suatu

16
rumah yang sedang dibangun, lalu dia bekerja disitu, maka dia harus dibayar
upahnya seperti yang lainnya meskipun dia tidak mensyaratkan apapun, sebab
kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila ia bekerja, dia mendapatkan
bayaran.13

5. Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di


antara mereka.

‫”اْلَم ْع ُروَف َبْيَن ُتَج اِر َك اْلَم ْش ُروِط َبْيَنُهْم‬

Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya di bidang muamalah


saja, dan itupun dikalangan pedagang. Misalnya penetapan suatu barang
sesuai dengan harga pasaran.

6. Ketentuan berdasarkan urf seperti ketentuan berdasarkan nash

‫التقيل ِباْلُعْر ِب َك الَّتْعْيِن ِبالَّنِص‬

Maksudnya adalah sesuatu ketentuan berdasarkan Urf yang memenuhi syarat


adalah mengikat dan sama kedudukannya seperti penetapan hukum
berdasarkan nash. Contohnya apabila seseorang umah atau toko tanpa
menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang menempatinya, maka
si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebuttanpa mengubah bentuk atau
kamar-kamar rumah kecuali dengan izin orang yang menyewakan.

7. Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak
berlaku dalam kenyataan.

‫الُمْم َتنُع َعاَد ُة َك اْلُمْم َتَنع َح ِقيَقة‬

Maksudnya adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan


secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya. Contohnya
seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu miliknya. Tetapi
dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal harta tersebut. Sama halnya seperti
13
Sanusi, A. (2017). Implikasi Kaidah-Kaidah Al Adat & Al Urf dalam Pengembangan
Hukum Islam. Al Ahkam, 6(1), 41-21

17
seseorang mengaku anak si A, tetapi ternyata umur dia lebih tua dari si A yang
diakui sebagai bapaknya.

8. Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti


menurut adat.

‫”الحقيقة ُتْتَر ك بداللة العادة‬

Maksudnya adalah arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain
yang ditunjuk oleh adat kebiasaan. Contohnya, yang disebut jual beli adalah
penyerahan uang dan penerimaan barang oleh sipembeli serta sekaligus
penyerahan barang dan penerimaan uang oleh Sekaligus penyerahan jarang dan
penerimaan oleh si penjual. Akan tetapi, apabila sipembeli sudah menyerahkan
tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli
itutelah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya
meskipun harga barang naik.

9. Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian


izin menurut ucapan.

‫”االذن الُعْر ِف َك اِإل ْذ ِن الَّلْفِظ ى‬

Misalkan ketika berkunjung sebagai tamu, ketika di berikan izin untuk bertamu
maka otomatis boleh memakan apa yang dihidangkan tuan rumah tanpa
menunggu tuan rumah mempersilahkan makan.14

D. Implementasi Kaidah Fiqih Al-‘Adatu Muhakkamah

Jual beli dianggap sah dengan setiap lafaz yang biasa berlaku di
kalangan manusia, atau yang mereka telah ketahui dan sudah menjadi adat
kebiasaan mereka meskipun tidak dengan akad ijab-kabul secara lisan.
Karena itu apa yang dipandang manusia sebagai jual beli, atau sewa
menyewa, atau hibah, maka dianggap sebagai jual beli, atau sewa menyewa,

14
Susi Susanti, Implementasi Kaidah Al’adatu Muhakkamah Pada Tradisi Marosok Dalam Akad
Jual Beli Di Pasar Ternak Nagari Palangki Kecamatan Iv Nagari Kabupaten Sijunjung Provinsi
Sumatera Barat Skripsi Uin Suska Riau Pekan Baru 2020 Hal 46-47

18
atau hibah, karena nama-nama ini tidak ada batasnya dalam bahasa dan
syarak. Oleh karena itu, setiap nama yang tidak ada batasannya (qayyid)
dalam bahasa dan syarak, maka dikembalikan batasannya kepada adat
kebiasaan.

Cacat pada barang yang dibeli, adalah disesuaikan dengan adat


kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat. Maka apa yang dipandang
masyarakat sebagai cacat, itu adalah cacat yang karenannya barang itu
dikembalikan, tetapi jika itu tidak dipandang oleh masyarakat sebagai cacat,
maka barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan.

Bank berhak dalam akad murabahah menambahkan biaya yang telah


dikenal dan telah biasa dilakukan oleh para pedagang penambahannya pada
harga, seperti biaya penyimpanan (gudang), memelihara/menjaga,
mengangkut dan lain-lain

Abbas Arfim menyebutkan Contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh


muamalat, Diantarainya Yaitu tradisi memberi upah jasa pada makelar
(perantara) dalam transaksi seperti jual beli Rumah, tanah dan lainnya
sebanyak 2,5% atau sesuai perjanjian. Ini dapat digolongkan Sebagai adat
yang umum berlaku di hampir kebanyakan wilayah di Indonesia. Begitu juga,
dalam contoh aplikasi adat yang khusus. Seperti jual beli telur dengan
ditimbang beratnya adalah adat khusus di Indonesia, karena adat di Mesir
misalnya, berbeda dengan di Indonesia. Yaitu dilakukan tidak dengan
ditimbang, tetapi dihitung jumlah telurnya dengan istilah tabaq (lusin) yang
berisi 12 butir. Sehingga bisa membeli I lusin atau lusin (6 butir).

Atau seperti halal dan sahnya jual beli mu’atah yaitu jual beli yang
tanpa ijab dan qabul secara lisan atau tulisan tapi hanya saling tukar menukar
(surah terima) objek akad (uang dan barang). Maka jual beli semacam ini
tetap sah walau melanggar salah satu dari beberapa rukunnya jual beli, yaitu
adanya lafadz ijab dan qabul dari kedua belah pihak yang melakukan akad
jual beli. Karena sudah menjadi budaya atau tradisi yang umum (merata)
bahkan kalau ijab dan qabul tetap wajih. Maka banyak jual beli di tengah
masyarakat kita yang tidak sah, karena masyarakat banyak atau terbiasa tanpa

19
ijab qabul. Contoh lain misalnya dalam perbankan Islam, akad atau transaksi
hutang piutang pada dasamya adalah tidak wajib. Seperti perintah Allah SWT
dalam Surat Al-baqarah ayat 282 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman
Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan
hendaklah kamu menuliskannya” Dalam tafsir Jalalain disebutkan, tujuannya
adalah sebagai tanda bukti dan supaya tidak terjadi perselisihan diantara
kedua belah pihak. Urf di perbankan Islam adalah setiap akad tabungan atau
hutang piutang adalah wajib dicatat karena untuk menghindari adanya
kerugian di salah satu pihak. Karena syari’at Islam mengajarkan setiap
transaksi yang dilakukan oleh dua pihak haruslah tidak saling merugikan atau
membahayakan salah satunya.15

Tradisi pernikahan masyarakat Jawa, terutama berkaitan dengan


upacara pernikahan mulai dari nontoni, lamaran, pemasangan tarub, sampai
pada prosesi penggih, kitab isa mengambil konklusi bahwa setiap tradisi
tersebut mengandung hikmah serta pesan spiritual yang sangat dalam. Pesan
itulah yang semestinya menjiwai kehidupan kita sehari-hari sehingga kita
memiliki pikiran yang lurus, hati yang kokoh, serta senantiasa menjaga
keharmonisan dan kerukunan sesama.

15
Abbas Arfim. 99 kaidah fiqh : muamalah kulliyah (Malang UIN Maliki Press, 2013), hlm 190

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Secara etimologi, kata al’Adah berarti pengulangan baik berupa
perkataan atau perbuatan. Al-‘Adah diambil dari kata al-‘aud atau al
mu’awadah yang artinya berulang. Secara terminologi, ‘Adah adalah
sebuah kecenderungan (berupa ungkapan atau pekerjaan) pada suatu
obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek pekerjaan
dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau kelompok. Akibat
pengulangan itu, ia kemudian dinilai sebagai hal yang lumrah dan mudah
dikerjakan. Aktifitas itu telah mandarah daging dan hampir menjadi
watak pelakunya. Urf secara etimologi berarti “yang baik”, juga berarti
perulangan atau berulang-ulang. Sedangkan secara istilah sebagian ulama
ushul memberi definisi ‘urf dan adat dengan pemahaman yang sama
yaitu “sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi
tradisi mereka, baik berupa perkataan, perbuatan atau keadaan
meninggalkan” yang bersifat perbuatan, seperti saling pengertian
manusia dalam jual beli tanpa ada singat lafadhia.
2. Dalil yang menjadi dasar dari kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah
diantaranya Q. S Al A’raf ayat 199, Q. S An-Nisa ayat 19, QS Al Baqarah
ayat 180, Hadits riwayat Ibnu Mas’ud, HR Bukhari No. 5364 dan
Muslim No. 1714.
3. Adapun syarat-syarat Adah atau ‘Urf dapat dijadikan Sandaran hukum
adalah sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan nash.
b. Adah atau ‘Urf itu harus berlaku umum.
c. Adah atau Urfitu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘Urf baru.
d. Tidak berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam
sebuah masalah).
4. Kaidah-kaidah cabang dari kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah adalah
sebagai berikut.

21
a. Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/
argumen/ dalil) yang wajib diamalkan.

‫”اْس ِتْع َم اُل الَّناِس ُحَّج ٌة َيِج ُب الَع َم ُل ِبَها‬

b. Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah


adat yang terus menerus berlaku atau berlaku umum.

“‫”ِإَّنَم ا ُتْعَتَبُر الَع اَد ُة ِإَذ ا اْض َطَر َد ْت َأو َغ َلَبت‬

c. Adat yang diakui adalah adat yang umumnya terjadi yang dikenal
oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi.”

‫”الِع ْبَر ُة للَغاِلِب الَّش اِئِع اَل ِللَّناِد ِر‬

d. Sesuatu yang telah dikenal karena ‘Urf seperti yang disyaratkan


dengan suatu syarat.

‫الَم ْع ُروَف ُعْر َفا َك اْلَم ْش ُروِط َشْر َطا‬

e. Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat


di antara mereka.

‫”اْلَم ْع ُروَف َبْيَن ُتَج اِر َك اْلَم ْش ُروِط َبْيَنُهْم‬

f. Ketentuan berdasarkan urf seperti ketentuan berdasarkan nash

‫التقيل ِباْلُعْر ِب َك الَّتْعْيِن ِبالَّنِص‬


g. Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang
tidak berlaku dalam kenyataan.

‫الُمْم َتنُع َعاَد ُة َك اْلُمْم َتَنع َح ِقيَقة‬

h. Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti


menurut adat.

‫”الحقيقة ُتْتَر ك بداللة العادة‬

i. Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan


pemberian izin menurut ucapan.

‫”االذن الُعْر ِف َك اِإل ْذ ِن الَّلْفِظ ى‬

22
5. Abbas Arfim menyebutkan Contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh
muamalat, Diantarainya Yaitu tradisi memberi upah jasa pada makelar
(perantara) dalam transaksi seperti jual beli Rumah, tanah dan lainnya
sebanyak 2,5% atau sesuai perjanjian. Ini dapat digolongkan Sebagai adat
yang umum berlaku di hampir kebanyakan wilayah di Indonesia. Begitu
juga, dalam contoh aplikasi adat yang khusus. Seperti jual beli telur
dengan ditimbang beratnya adalah adat khusus di Indonesia, karena adat
di Mesir misalnya, berbeda dengan di Indonesia. Yaitu dilakukan tidak
dengan ditimbang, tetapi dihitung jumlah telurnya dengan istilah tabaq
(lusin) yang berisi 12 butir. Sehingga bisa membeli I lusin atau lusin (6
butir).

B. Saran

Menurut pemakalah ke 1 Lonita Yulianty,, ikutilah adat kebiasaan


yang tidak bertentangan dengan syariat, jauhilah adat atau kebiasaan
yang memberikan kemaslahatan bagi diri sendiri, maupun orang lain, dan
jangan mengikuti adat yang tidak mempunyai faedah atau hanya sekedar
menyia-nyiakan waktu saja.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku

A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010),.

Abbas Arfim. 99 kaidah fiqh : muamalah kulliyah (Malang UIN Maliki Press,
2013).

Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqih Konseptual
(Surabaya: Khalista, 2009),

Duski Ibrahim AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH)


penerbit: Noerfikri, Palembang 2019.

Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)

Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005),


Shobi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung: PT Al Ma’arif
1976),

Jurnal
Abd Rachim,AL ADAHMUHAKKAMAH, Al mawarid :jurnal hukum islam vol 4
no 1

Fathurrahman Azhari, QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH Lembaga


Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin. 2015

Fatmah Taufik Hidayat, “Kaedah Adat Muhakkamah dalam pandangan Islan


(sebuah tinjauan sosiologi hukum), Jurnal Sosiologi USK, volume 9,
nomor 1. (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala) 2016.

24
Sanusi, AImplikasi Kaidah-Kaidah Al Adat & Al Urf dalam Pengembangan
Hukum Islam. Al Ahkam, 6(1) . (2017).

Sulfan Wandi Eksistensi ‘Urf dan Adat Kebiasaan Sebagai Dalil Fiqh . Samarah:
Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 2 No. 1. Januari-Juni
2018

Susi Susanti, Implementasi Kaidah Al’adatu Muhakkamah Pada Tradisi Marosok


Dalam Akad Jual Beli Di Pasar Ternak Nagari Palangki Kecamatan Iv
Nagari Kabupaten Sijunjung Provinsi Sumatera Barat Skripsi Uin Suska
Riau Pekan Baru 2020

25

Anda mungkin juga menyukai