PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), Hlm. 177.
1
Masyarakat sangat terikat dengan ‘Urfnya. Pemerintah pun terikat
pula kepada tradisi rakyatnya, pemerintah tidak mudah mengubah sesuatu
yang menjadi tradisi rakyat. Ini menunjukkan begitu besarnya pengaruh ‘Urf
dalam tatanan kehidupan, sehingga rasulullah menetapkan berlakunya ‘Urf
yang dipandang baik dan istimewa dalam permasalahan mu’amalah. Misal,
Abbas Ibn Abdul Muthalib yang pernah menerima laba dari modalnya yang
diusahakan orang lain, Rasulullah mengetahuinya dan diam saja.
Hanya saja tidak semua tradisi bisa dijadikan hukum, akrena tidak
semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya local
yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kaidah
fikih diatas terdapat pesan moral agar memiliki sikap kritis terhadap sebuah
tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis ini yang menjadi pendorong
terjadinya transformasi social masyarakat yang mengalami persinggungan
dengan Islam. Berdasarkan kaidah fiqih ini pula, kita memperoleh pesan kuat
bahwa restrukturisasi dan dinamisasi pemahaman keagamaan Islam
hendaknya selalu dikembangkan agar selalu mampu merespon persoalan-
persoalan masyarakat dan budayanya yang selalu dinamis dan berkembang.
2
Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh , Hlm. 179.
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah?
2. Apa saja yang menjadi dasar dari kaidah al-‘adatu muhakkamah?
3. Apa saja syarat kaidah al-‘adatu muhakkamah dapat dijadikan sandaran
hukum?
4. Apa saja cabang dari kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah ?
5. Bagaimana Implementasi kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah.
2. Untuk mengetahui dasar dari kaidah al-‘adatu muhakkamah.
3. Untuk mengetahui syarat kaidah al-‘adatu muhakkamah dapat dijadikan
sandaran hukum.
4. Untuk mengetahui cabang dari kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah.
5. Untuk mengetahui Implementasi kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah.
BAB II
PEMBAHASAN
3
A. Definisi Kaidah Fiqih Al-‘Adatu Muhakkamah
Urf secara etimologi berarti “yang baik”, juga berarti perulangan atau
berulang-ulang. Sedangkan secara istilah sebagian ulama ushul memberi
definisi ‘urf dan adat dengan pemahaman yang sama yaitu “sesuatu yang
telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa
perkataan, perbuatan atau keadaan meninggalkan” yang bersifat perbuatan,
seperti saling pengertian manusia dalam jual beli tanpa ada singat lafadhia.
3
A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), Hlm. 79.
4
Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqih Konseptual (Surabaya: Khalista, 2009),
Hlm. 274.
4
baik berlakunya rumah kediaman orang tua menjadi milik anak perempuan
bungsu dalam sebuah keluarga.
5
Sulfan Wandi Eksistensi ‘Urf dan Adat Kebiasaan Sebagai Dalil Fiqh . Samarah: Jurnal
Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 2 No. 1. Januari-Juni 2018 183-184
5
Adat pengertian secara terminologi, Adat yaitu segala apa yang telah
dikenal manusia, maka hal itu jadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam
kehidupan mereka baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Sedangkan Urf
yaitu apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik berupa
perkataan, perbuatan atau meningalkan sesuaitu.
Sebagian ulama ada yang membedakan antara adat dengan ‘urf. Adat adalah
suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia
lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau
mengulanginya. Sedangkan ‘urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan
dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena
sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.
‘Urf sering dipahami sama dengan kata adat atau kebiasaan. ‘Urf adalah apa
yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Namun bila diperhatikan dari akar
katanya, ada perbedaan yang mendasar di antara kedua kata tersebut.
1. Kata adat berasal dari bahasa arab, akar katanya: “ada, ya’udu yang
mengandung arti perulangan. Oleh karena itu sesuatu yang baru
dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Namun tidak ada pula tolak
ukur yang pasti berapa kali hal tersebut dilakukan agar dapat dikatakan
sebagai adat. Sedangkan kata ‘Urf pengertiannya tidak melihat dari segi
berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa
perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui Oleh orang
banyak. .
2. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus
Dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontiniu
manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan
atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam
mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima
oleh watak kemanusiaannya.
6
3. Sesuatu yang disebut ‘Urf bukan semata karena dapat diterima tabiat,
tetapi juga harus sejalan dengan akal manusia. Sementara sesuatu yang
disebut adat bukan semata-mata sejalan dengan akal sehat, tetapi juga
telah dipraktekkan manusia secara terus menerus sehingga menjadi
tradisi di kalangan mereka.
Para ulama yang membedakan antara ‘Urf dengan ‘Adah dan memberikan
alasannya sebagaimana berikut ini:
1. Bahwa Adah itu bisa berlaku secara umum, baik dilakukan oleh orang
banyak maupun individu. Sedangkan ‘Urf harus dilakukan oleh
kebanyakan orang, dan tidak dikatakan ‘Urf apabila suatu kebiasaan yang
hanya terjadi pada individu tertentu.
2. Adah bisa muncul secara alami sebagaimana yang berlaku di tengah
masyarakat, sedangkan ‘Urf tidak bisa muncul secara alami tetapi harus
melalui pemikiran dan pengalaman.”
3. Adah tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya
perbuatan yang menjadi Adah tersebut, sedangkan ‘Urf selalu
memberikan penilaian pada segala sesuatu yang menjadi ‘Urf.
6
Fathurrahman Azhari, QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU) Banjarmasin. 2015 118-120
7
Al-Adah muhakkamah berarti suatu tradisi dapat menjadi
pertimbangan dalam penetapan hukum jika dalam masalah tersebut tidak
ditemukan ketentuannya secara jelas dalam teks-teks Al-Qur'an dan Hadis.
Ketentuan ini berlaku jika adat (tradisi) tersebut tidak bertentangan dengan
ketentuan syariat secara umum. Kaidah ini merupakan salah satu dari lima
kaidah dasar dalam kaidah fikih. Dalam fikih klasik, kaidah ini sering kali
dijadikan pijakan dalam menetapkan hukum.
Q. S An-Nisa ayat 19
ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإذا خطر أحدكم الموت إن َتَر َك َخْيًرا الوصية
8
2. Sumber Hadis
َم ا َر آُه اْلُم ْس ِلُم وَن َحَس ًنا َفُهَو ِع ْنَد ِهللا َحَس ٌن
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi
Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka
menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk.” (H.R
Ahmad Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabir dari Ibnu Mas’ud)
“Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Ketika Nabi SAW datang di Madinah,
mereka (penduduk Madinah) telah (biasa) memberi uang panjar (uang
muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun. Maka
Nabi SAW bersabda: Barangsiapa memberi uang panjar pada buah-
buahan maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu,
timbangkanlah yang tertentu dan waktu tertentu.” (H.R Bukhari)7
7
Duski Ibrahim AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) penerbit: Noerfikri,
Palembang 2019. 90-92
9
(ketika ia berada di Baghdad) dan qaul jadid (ketika berada di Mesir),
disebabkan perbedaan adat atau tradisi kedua negara atau wilayah tersebut.
Seperti yang kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang istimewa.
Salah satu keistimewaan Islam adalah terletak pada ajarannya yang
memberikan ruang yang cukup untuk menerima masuknya unsur-unsur
budaya luar. Hal ini terbukti ketika Islam dibawa oleh para mubaligh ke
wilayah-wilayah baru, maka Islam tidak sepenuhnya menyingkirkan
8
Abd Rachim,AL ADAHMUHAKKAMAH, Al mawarid :jurnal hukum islam vol 4 no 1 hal 10-12
10
ajaranyang tengah berlaku sejak lama pada masyarakat, tetapi memberikan
ruang dan tempat yang cukup untuk beradaptasi dengan budaya lokal, seperti
antara lain pada masyarakat Indonesia yang memperlihatkan Islam dan
budaya setempat nampak begitu mesra dan saling mengerti.
11
orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak di hukumi
melanggar sumpahnya karena sebuah lafadz tidak didasarkan pada Urf
yang muncul belakangan.
d. Tidak berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah
masalah). Jika sebuah ‘Urf berbenturan dengan tashrih, maka ‘Urf itu
tidak berlaku.
Disamping itu ada beberapa syarat dalam pemakaian ‘Urf antara ain yaitu:
a. Urf tidak boleh dipakai untuk hal-hal yang akan menyalahi nash yang
ada.
b. Urf tidak boleh dipakai bila mengesampingkan kepentingan umum.
c. Urf bisa dipakai apabila tidak membawa kepada keburuk-keburukan atau
kerusakan.”9
Jadi, adat kebiasaan yang kita maksudkan dan dianggap sebagai
sumber tambahan bagi hukum Islam, hanyalah adat kebiasaan yang sesuai
dengan dalil-dalil pokok syariat. Oleh karena itu segala yang bertentangan
dengan syariat dengan hikmat tujuannya dan dengan nash-nashnya, itu semua
sama sekali tidak bisa diakui oleh syariat. Misalnya adat Badui yang
melarang perempusan untuk menerima waris.10
a. Adat yang shahih, yaitu adat yang tidak bertentangan dengan hukum
syariat. Adat yang seperti ini harus dipelihara, terutama dalam menetapkan
terhadap suatu hokum, atau ketika mempertimbangkan suatu keputusan
9
Fatmah Taufik Hidayat, “Kaedah Adat Muhakkamah dalam pandangan Islan (sebuah tinjauan
sosiologi hukum), Jurnal Sosiologi USK, volume 9, nomor 1. (Banda Aceh: Universitas Syiah
Kuala) 2016. 72
10
Shobi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung: PT Al Ma’arif 1976),262-264.
12
dalam pengadilan. Karena adat yang sudah berlaku di tengah-tengah
masyarakat, merupakan tuntutan yang sesuai dengan kemaslahatan
mereka. Misalnya mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan
perkawinan.
b. Adat fasid, yaitu adat yang berlaku dalam suatu sosial masyarakat yang
senantiasa bertentangan dengan ajaran syariat, Misalnya kebiasaan
mengadakan sesajin untuk sebuah patung atau suatu tempat yang
dipandang mulia, karena bertentangan dengan akidah tauhid.
Adat apabila dipandang dari segi sifatnya, maka dibagi kepada dua, yaitu:
Adat apabila dipandang dari segi ruang lingkupnya, maka dibagi kepada
dua, yaitu:
a. Adat ‘aam, yaitu adat yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan.
Misalnya memberi hadiah kepada orang yang telah memberikan jasanya
kepada seseorang. Begitu pula mengucapkan terima kasih kepada orang
yang telah membantu.
b. Adat khas, yaitu adat yang hanya berlaku pada tempat, masa dan atau
keadaan tertentu saja. Misalnya mengadakan “halal bi halal” yang biasa
dilakukan oleh orang (masyarakat) Indonesia bagi yang beragama Islam
pada setiap selesai puasa Ramadhan dan berlebaran. Sedangkan di negara
lain tidak merupakan kebiasaan.
13
berlaku pada penduduk Kufah. Begitu pula Imam Syafi’i banyak
menggunakan adat, oleh karena itu, setelah ia berada di Mesir pendapatnya
ada yang berubah dari pendapatnya terdahulu ketika ia berada di Bagdad,
yang dikenal dengan “qawl qadim dan qawl jadid” 80. Oleh karena itu, ulama
Hanafiyyah dan Malikiyyah mengatakan, ketetapan berdasarkan adat yang
shahih sama dengan ketetapan berdasar dalil syar’i. Demikian pula, al-
Syarkhasi dalam kitabnya “alMabsuth” berpendapat dalam hal tidak
bertentangan dengan nash, maka ketetapan berdasar adat sama dengan
ketetapan berdasar nash.
Adat itu tidak tetap, dan selalu mengalami perubahan, tergantung pada
zaman dan lingkungan masyarakat yang saling berbeda pula. Oleh karena itu
suatu ketentuan hukum yang pada mulanya hukum itu berdasar adat, maka
bisa saja terjadi kemungkinan mendapat peninjauan kembali, apabila keadaan
menuntut demikian. Seorang hakim atau mufti, sebaiknya mengerti benar
maslah adat yang berlaku dan tumbuh di tengah tengah masyarakat. Dengan
demikian, terpelihara kemaslahatan masyarakat di lingkungannya. Para ulama
menggunakan dalil adat sebagai hujjah, apabila adat itu memenuhi syarat-
syarat, yaitu: Tidak bertentangan dengan nash baik Al-Qur’an maupun Sunah.
Apabila ‘urf bertentangan dengan nash, maka yang didahulukan adalah
hukum yang diterangkan oleh nash. Tidak menyebabkan kerusakan (mafsada)
dan tidak menghilangkan kemaslahatan termasuk tidak memberi kesempitan
dan kesulitan. Telah berlaku pada umumnya kaum muslimin, dalam arti
bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang Islam saja. Tidak
berlaku dalam masalah ibadah mahdhah.
b. sesuatu hal yang menjadi terbiasa dan mudah dilakukan, spontanitas atau
tidak.
14
d. berlangsung terus dan konstan serta merata atau mayoritas di suatu
wilayah.
D. Kaidah Cabang
1. Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/ argumen/
dalil) yang wajib diamalkan.
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan
dimasyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya. Contohnya menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah
11
Fathurrahman Azhari, QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU) Banjarmasin. 124-127
12
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 138-139.
15
menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang. Jarum, dan
menjahitnya adalah tukang jahit.
3. Adat yang diakui adalah adat yang umumnya terjadi yang dikenal oleh
manusia bukan dengan yang jarang terjadi.”
4. Sesuatu yang telah dikenal karena ‘Urf seperti yang disyaratkan dengan
suatu syarat.
16
rumah yang sedang dibangun, lalu dia bekerja disitu, maka dia harus dibayar
upahnya seperti yang lainnya meskipun dia tidak mensyaratkan apapun, sebab
kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila ia bekerja, dia mendapatkan
bayaran.13
7. Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak
berlaku dalam kenyataan.
17
seseorang mengaku anak si A, tetapi ternyata umur dia lebih tua dari si A yang
diakui sebagai bapaknya.
Maksudnya adalah arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain
yang ditunjuk oleh adat kebiasaan. Contohnya, yang disebut jual beli adalah
penyerahan uang dan penerimaan barang oleh sipembeli serta sekaligus
penyerahan barang dan penerimaan uang oleh Sekaligus penyerahan jarang dan
penerimaan oleh si penjual. Akan tetapi, apabila sipembeli sudah menyerahkan
tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli
itutelah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya
meskipun harga barang naik.
Misalkan ketika berkunjung sebagai tamu, ketika di berikan izin untuk bertamu
maka otomatis boleh memakan apa yang dihidangkan tuan rumah tanpa
menunggu tuan rumah mempersilahkan makan.14
Jual beli dianggap sah dengan setiap lafaz yang biasa berlaku di
kalangan manusia, atau yang mereka telah ketahui dan sudah menjadi adat
kebiasaan mereka meskipun tidak dengan akad ijab-kabul secara lisan.
Karena itu apa yang dipandang manusia sebagai jual beli, atau sewa
menyewa, atau hibah, maka dianggap sebagai jual beli, atau sewa menyewa,
14
Susi Susanti, Implementasi Kaidah Al’adatu Muhakkamah Pada Tradisi Marosok Dalam Akad
Jual Beli Di Pasar Ternak Nagari Palangki Kecamatan Iv Nagari Kabupaten Sijunjung Provinsi
Sumatera Barat Skripsi Uin Suska Riau Pekan Baru 2020 Hal 46-47
18
atau hibah, karena nama-nama ini tidak ada batasnya dalam bahasa dan
syarak. Oleh karena itu, setiap nama yang tidak ada batasannya (qayyid)
dalam bahasa dan syarak, maka dikembalikan batasannya kepada adat
kebiasaan.
Atau seperti halal dan sahnya jual beli mu’atah yaitu jual beli yang
tanpa ijab dan qabul secara lisan atau tulisan tapi hanya saling tukar menukar
(surah terima) objek akad (uang dan barang). Maka jual beli semacam ini
tetap sah walau melanggar salah satu dari beberapa rukunnya jual beli, yaitu
adanya lafadz ijab dan qabul dari kedua belah pihak yang melakukan akad
jual beli. Karena sudah menjadi budaya atau tradisi yang umum (merata)
bahkan kalau ijab dan qabul tetap wajih. Maka banyak jual beli di tengah
masyarakat kita yang tidak sah, karena masyarakat banyak atau terbiasa tanpa
19
ijab qabul. Contoh lain misalnya dalam perbankan Islam, akad atau transaksi
hutang piutang pada dasamya adalah tidak wajib. Seperti perintah Allah SWT
dalam Surat Al-baqarah ayat 282 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman
Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan
hendaklah kamu menuliskannya” Dalam tafsir Jalalain disebutkan, tujuannya
adalah sebagai tanda bukti dan supaya tidak terjadi perselisihan diantara
kedua belah pihak. Urf di perbankan Islam adalah setiap akad tabungan atau
hutang piutang adalah wajib dicatat karena untuk menghindari adanya
kerugian di salah satu pihak. Karena syari’at Islam mengajarkan setiap
transaksi yang dilakukan oleh dua pihak haruslah tidak saling merugikan atau
membahayakan salah satunya.15
15
Abbas Arfim. 99 kaidah fiqh : muamalah kulliyah (Malang UIN Maliki Press, 2013), hlm 190
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara etimologi, kata al’Adah berarti pengulangan baik berupa
perkataan atau perbuatan. Al-‘Adah diambil dari kata al-‘aud atau al
mu’awadah yang artinya berulang. Secara terminologi, ‘Adah adalah
sebuah kecenderungan (berupa ungkapan atau pekerjaan) pada suatu
obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek pekerjaan
dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau kelompok. Akibat
pengulangan itu, ia kemudian dinilai sebagai hal yang lumrah dan mudah
dikerjakan. Aktifitas itu telah mandarah daging dan hampir menjadi
watak pelakunya. Urf secara etimologi berarti “yang baik”, juga berarti
perulangan atau berulang-ulang. Sedangkan secara istilah sebagian ulama
ushul memberi definisi ‘urf dan adat dengan pemahaman yang sama
yaitu “sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi
tradisi mereka, baik berupa perkataan, perbuatan atau keadaan
meninggalkan” yang bersifat perbuatan, seperti saling pengertian
manusia dalam jual beli tanpa ada singat lafadhia.
2. Dalil yang menjadi dasar dari kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah
diantaranya Q. S Al A’raf ayat 199, Q. S An-Nisa ayat 19, QS Al Baqarah
ayat 180, Hadits riwayat Ibnu Mas’ud, HR Bukhari No. 5364 dan
Muslim No. 1714.
3. Adapun syarat-syarat Adah atau ‘Urf dapat dijadikan Sandaran hukum
adalah sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan nash.
b. Adah atau ‘Urf itu harus berlaku umum.
c. Adah atau Urfitu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘Urf baru.
d. Tidak berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam
sebuah masalah).
4. Kaidah-kaidah cabang dari kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah adalah
sebagai berikut.
21
a. Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/
argumen/ dalil) yang wajib diamalkan.
c. Adat yang diakui adalah adat yang umumnya terjadi yang dikenal
oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi.”
22
5. Abbas Arfim menyebutkan Contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh
muamalat, Diantarainya Yaitu tradisi memberi upah jasa pada makelar
(perantara) dalam transaksi seperti jual beli Rumah, tanah dan lainnya
sebanyak 2,5% atau sesuai perjanjian. Ini dapat digolongkan Sebagai adat
yang umum berlaku di hampir kebanyakan wilayah di Indonesia. Begitu
juga, dalam contoh aplikasi adat yang khusus. Seperti jual beli telur
dengan ditimbang beratnya adalah adat khusus di Indonesia, karena adat
di Mesir misalnya, berbeda dengan di Indonesia. Yaitu dilakukan tidak
dengan ditimbang, tetapi dihitung jumlah telurnya dengan istilah tabaq
(lusin) yang berisi 12 butir. Sehingga bisa membeli I lusin atau lusin (6
butir).
B. Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abbas Arfim. 99 kaidah fiqh : muamalah kulliyah (Malang UIN Maliki Press,
2013).
Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqih Konseptual
(Surabaya: Khalista, 2009),
Jurnal
Abd Rachim,AL ADAHMUHAKKAMAH, Al mawarid :jurnal hukum islam vol 4
no 1
24
Sanusi, AImplikasi Kaidah-Kaidah Al Adat & Al Urf dalam Pengembangan
Hukum Islam. Al Ahkam, 6(1) . (2017).
Sulfan Wandi Eksistensi ‘Urf dan Adat Kebiasaan Sebagai Dalil Fiqh . Samarah:
Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 2 No. 1. Januari-Juni
2018
25