Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui bahwa Islam telah diturunkan selama 14 abad lebih di daerah jazirah
Arab telah memuat sejumlah hukum-hukum baik yang mengatur hubungan dengan Allah
(hablum min Allah) hubungan vertikal dan yang mengatur hubungan dengan sesama manusia
(hablum min an nas) hubungan horizontal sebagimana yang dalam alQur’an dan hadith-
hadith nabi. Yang pada dasarnya ia telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, namun
masyarakat dan tokoh-tokoh agama seperti ulama ushul fiqh masih merasa ada hal-hal yang
harus disempurnakan melalui proses ijtihad untuk menetapkan hukum yang secara jelas tidak
ditetapkan dalam nash-nash dikarenakan faktor situasi dan kondisi yang berbeda (bukan
karena keterbatasan al-Qur’an). Dan dalam kehidupan manusia di daerah-daerah tertentu
memiliki kebiasaan-kebiasaan baik kebiasaan-kebiasaan yang terjadi pada pribadi seseorang
maupun yang terjadi di dalam kelompok masyarakat yang secara bahasa dikenal dengan adat
kebiasaan atau ‘urf. Hal ini menjadi salah satu fokus perhatian para ulama ushul fiqh untuk
dipertimbangkannya dalam melakukan ijtihad sehingga dapat mengistinbathkan hukum
terhadap persoalan masyarakat Islam.

RUMUSAN MASALAH

1. Apa makna penjelasan dari kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah?

2. Apa saja yang menjadi dasar dari kaidah al-‘adatu muhakkamah?

3. Apa saja syarat kaidah al-‘adatu muhakkamah dapat dijadikan sandaran hukum?

4. Apa saja cabang dari kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah ?

5. Bagaimana Implementasi kaidah fiqih al-‘adatu muhakkamah ?

MATERI

Urf secara etimologi berarti “yang baik”, juga berarti perulangan atau berulang-ulang. Adat
diambil dari al-mua’awadah yang berarti mengulang-ulangi. Sedangkan secara istilah
sebagian ulama ushul memberi definisi ‘urf dan adat dengan pemahaman yang sama yaitu
“sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa
perkataan, perbuatan atau keadaan meninggalkan” yang bersifat perbuatan, seperti saling
pengertian manusia dalam jual beli tanpa ada singat lafadhia. Sedangkan menurut Ahmad
Fahmi Abu Sunnah sebagaimana yang dikutip oleh Nasrun Haroen mengatakan bahwa ulama
ushul membedakan pemahaman antara ‘urf dengan adat, sebagaimana ungkapan-ungkapan
bahwa ‘urf adalah Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional . Definisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara
berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukkan
bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut persoalan pribadi
seperti kebiasaan seseorang dalam makan, tidur dll, atau permasalahan yang menyangkut
umum, yaitu yang menyangkut hasil permasalahan yang baik dan yang buruk, contoh adat
yang baik berlakunya rumah kediaman orang tua menjadi milik anak perempuan bungsu
dalam sebuah keluarga. Adat adalah Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkara
perkataan atau perbuatan. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘urf merupakan
bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf, ‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang
di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan
alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari pemikiran dan
pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan
bahwa untuk menetapkan keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan biasa diambil dari
mas kawin yang diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.

Sulfan Wandi Eksistensi ‘Urf dan Adat Kebiasaan Sebagai Dalil Fiqh . Samarah: Jurnal
Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 2 No. 1. Januari-Juni 2018 183-184

Menurut Fathurrahman Azhari, Qaidah fiqhiyyah asasiyyah kelima tentang adat atau
kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu
al-‘adat dan al‘urf. Adat dan ‘urf keduanya berasal dari kata bahasa arab dan sering
dibicarakan dalam literatur fiqh. ‘Urf secara etimologi berarti yang baik, dan juga berarti
pengulangan atau berulang-ulang. Adapun dalam tataran terminologi, sebagian ulama ushul
Fiqh memberi definisi yang sama terhadap ‘adat dan ‘urf. Dalam penilaian al-Raghib kata
‘urf yang seakar dengan kata ma’ruf merupakan nama bagi suatu perbuatan yang dinilai baik
oleh akal dan agama. Makna ini dapat ditemukan dalam diantaranya dalam Qur’an surah al-
Imran ayat 104. Kata ‘urf dan ma’ruf dalam Qur’an dipandang sebagai bagian dari sikap
ihsan. Isyarat ini dapat ditemukan dalam Qur’an surah al-‘Araf ayat199. Menurut Ibn al-
Najar kata al-‘urf yang terdapat dalam ayat ini meliputi segala sesuatu yang disenangi oleh
jiwa manusia dan sejalan dengan nilainilai syariah.

Adat pengertian secara terminologi, Adat yaitu segala apa yang telah dikenal manusia, maka
hal itu jadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan
ataupun perbuatan. Sedangkan Urf yaitu apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya,
baik berupa perkataan, perbuatan atau meningalkan sesuaitu.

Sebagian ulama ada yang membedakan antara adat dengan ‘urf. Adat adalah suatu perbuatan
atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan
secara kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘urf ialah sesuatu perbuatan atau
perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah
sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.

Abu Zahrah membatasi ‘urf menyangkut kebiasaan manusia dalam kegiatan muamalah
mereka. Muamalah yang dimaksud ulama ini sebagai bandingan dari bagian hukum Islam
yang lain, yaitu aspek ibadah. Pembatasan ini tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa
umumnya ‘urf terkait dengan kegiatan muamalah. Sebab, masalah muamalah cukup banyak
diatur dalan bentuk prinsip-prinsip dasar dalam Qur’an dan Hadis sehingga berpeluang
dimasuki unsur ‘urf di mana umat Islam berada. Sebaliknya, masalah ibadah yang sudah
dijelaskan secara rinci kecil kemungkinan dimasuki unsur ‘urf setelah sumber hukum Islam,
Qur’an dan Hadis lengkap diturunkan.

Fathurrahman Azhari, QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH Lembaga Pemberdayaan


Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin. 2015 118-120

Dikalangan ulama ushul fiqh, mereka membicarakannya tentang macam-Macam adat. Adat
mendapat tempat sebagai dasar penetapan hukum dengan syarat-syarat tertentu, yaitu tidak
bertentangan dengan hukum-hukum syariat yang berlandaskan dalil atau sumber hukum yang
sah, baik Al-Qur’an maupun Sunnah dan dalil lainnya, juga berlaku dan meluas dalam
masyarakat umumnya. Karena itu adat dibagi dua bagian, yaitu:

a. Adat yang shahih, yaitu adat yang tidak bertentangan dengan hukum syariat.
Adat yang seperti ini harus dipelihara, terutama dalam menetapkan terhadap suatu
hokum, atau ketika mempertimbangkan suatu keputusan dalam pengadilan. Karena
adat yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat, merupakan tuntutan yang
sesuai dengan kemaslahatan mereka. Misalnya mengadakan pertunangan sebelum
melangsungkan perkawinan.
b. Adat fasid, yaitu adat yang berlaku dalam suatu sosial masyarakat yang
senantiasa bertentangan dengan ajaran syariat, Misalnya kebiasaan mengadakan
sesajin untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang mulia, karena
bertentangan dengan akidah tauhid.
Adat apabila dipandang dari segi sifatnya, maka dibagi kepada dua, yaitu:

a. Adat qawli (perkataan), yaitu adat yang berupa perkataan, Misalnya panggilan
“walad” untuk anak laki-laki bukan anak perempuan.

b. Adat‘amali perbuatan, yaitu adat berupa perbuatan. Misalnya kebiasaan jual-beli


dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad yang lengkap dalam jual beli,
tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat tanpa akad jual-beli dan tidak
terjadi kekacauan, maka membolehkannya

Adat apabila dipandang dari segi ruang lingkupnya, maka dibagi kepada dua, yaitu:

a. Adat ‘aam, yaitu adat yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan.
Misalnya memberi hadiah kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada
seseorang. Begitu pula mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah
membantu.
b. Adat khas, yaitu adat yang hanya berlaku pada tempat, masa dan atau keadaan
tertentu saja. Misalnya mengadakan “halal bi halal” yang biasa dilakukan oleh orang
(masyarakat) Indonesia bagi yang beragama Islam pada setiap selesai puasa
Ramadhan dan berlebaran. Sedangkan di negara lain tidak merupakan kebiasaan.

Jumhur ulama menggunakan adat shahih dijadikan sebagai dasar hujjah selama tidak
bertentangan dengan syariat. Imam Malik banyak menetapkan hukum berdasar kepada
praktik-praktik penduduk Madinah. Abu Hanifah serta pengikutnya banyak menggunakan
adat, yaitu kebiasaan yang berlaku pada penduduk Kufah. Begitu pula Imam Syafi’i banyak
menggunakan adat, oleh karena itu, setelah ia berada di Mesir pendapatnya ada yang berubah
dari pendapatnya terdahulu ketika ia berada di Bagdad, yang dikenal dengan “qawl qadim
dan qawl jadid” 80. Oleh karena itu, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah mengatakan,
ketetapan berdasarkan adat yang shahih sama dengan ketetapan berdasar dalil syar’i.
Demikian pula, al-Syarkhasi dalam kitabnya “alMabsuth” berpendapat dalam hal tidak
bertentangan dengan nash, maka ketetapan berdasar adat sama dengan ketetapan berdasar
nash.

Adat itu tidak tetap, dan selalu mengalami perubahan, tergantung pada zaman dan
lingkungan masyarakat yang saling berbeda pula. Oleh karena itu suatu ketentuan hukum
yang pada mulanya hukum itu berdasar adat, maka bisa saja terjadi kemungkinan mendapat
peninjauan kembali, apabila keadaan menuntut demikian. Seorang hakim atau mufti,
sebaiknya mengerti benar maslah adat yang berlaku dan tumbuh di tengah tengah
masyarakat. Dengan demikian, terpelihara kemaslahatan masyarakat di lingkungannya. Para
ulama menggunakan dalil adat sebagai hujjah, apabila adat itu memenuhi syarat-syarat,
yaitu: Tidak bertentangan dengan nash baik Al-Qur’an maupun Sunah. Apabila ‘urf
bertentangan dengan nash, maka yang didahulukan adalah hukum yang diterangkan oleh
nash. Tidak menyebabkan kerusakan (mafsada) dan tidak menghilangkan kemaslahatan
termasuk tidak memberi kesempitan dan kesulitan. Telah berlaku pada umumnya kaum
muslimin, dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang Islam saja.
Tidak berlaku dalam masalah ibadah mahdhah.

Pada pembahasan qawaid fiqhiyyah, para ulama tidak lagi membicarakan tentang pembagian
adat atau ‘urf sebagaimana ulama ushul fiqh. Mereka membahas adat ‘urf, berarti adat/’urf
yang sahih. Karena dalam penekanannya, jika ushul fiqh ditekankan kepada kedudukannya
sebagai hal atau kepantasan yang telah secara luas di kenal di dalam masyarakat. Maka
qawaid fiqhiyyah penekanannya pada kebiasaan sebagai adat kebiasaan yang selalu
berulang-ulang. Oleh karena itu, pembicaraan adat/urf dalam ushul fiqh membicarakan
tentang pembagian dan keabsahannya menurut pandangan syar’i. Sedangkan adat dalam
pembicaraan qawaid fiqhiyyah adalah tenang konsistensi yang bagaimanakah yang dianggap
sah untuk menjadi pertimbangan hukum.

Fathurrahman Azhari, QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH Lembaga Pemberdayaan


Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin. 124-127

Perbedaan ‘Adah dan ‘Urf

‘Urf sering dipahami sama dengan kata adat atau kebiasaan. ‘Urf adalah apa yang telah
dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun
perbuatan. Namun bila diperhatikan dari akar katanya, ada perbedaan yang mendasar di
antara kedua kata tersebut.

1. Kata adat berasal dari bahasa arab, akar katanya: “ada, ya’udu yang mengandung arti
perulangan. Oleh karena itu sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan
adat. Namun tidak ada pula tolak ukur yang pasti berapa kali hal tersebut dilakukan
agar dapat dikatakan sebagai adat. Sedangkan kata ‘Urf pengertiannya tidak melihat
dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan
tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui Oleh orang banyak. .
2. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus Dilakukan oleh
manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontiniu manusia mau
mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa
merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan
logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.
3. Sesuatu yang disebut ‘Urf bukan semata karena dapat diterima tabiat, tetapi juga
harus sejalan dengan akal manusia. Sementara sesuatu yang disebut adat bukan
semata-mata sejalan dengan akal sehat, tetapi juga telah dipraktekkan manusia secara
terus menerus sehingga menjadi tradisi di kalangan mereka.

Para ulama yang membedakan antara ‘Urf dengan ‘Adah dan memberikan alasannya
sebagaimana berikut ini:

1. Bahwa Adah itu bisa berlaku secara umum, baik dilakukan oleh orang banyak
maupun individu. Sedangkan ‘Urf harus dilakukan oleh kebanyakan orang, dan tidak
dikatakan ‘Urf apabila suatu kebiasaan yang hanya terjadi pada individu tertentu.
2. Adah bisa muncul secara alami sebagaimana yang berlaku di tengah masyarakat,
sedangkan ‘Urf tidak bisa muncul secara alami tetapi harus melalui pemikiran dan
pengalaman.”
3. Adah tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan yang
menjadi Adah tersebut, sedangkan ‘Urf selalu memberikan penilaian pada segala
sesuatu yang menjadi ‘Urf.

Adanya dua sudut pandang yang berbeda tersebut yang menyebabkan timbulnya dua sebutan
yakni „Urf dan adat. Dalam hal tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip,
sehingga dapat dipahami suatu perbuatan yang telah dilakukan berulang-ulang menjadi
dikenal dan diakui oleh orang banyak

Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 138-139.

Dasar Hukum

Q. S Al A’raf ayat 199

‫الحب العفو وأمر بالُعْر ِف َو َأْع ِر ْض عن الجهلين‬


“Dan janganlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang
bodoh.”

Q. S An-Nisa ayat 19

‫َو َعاِش ُروُهَّن ِباْلَم ْعُروِف‬

“Dan pergaulilah mereka secara patut.”

QS Al Baqarah ayat 180

‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإذا خطر أحدكم الموت إن َتَر َك َخْيًرا الوصية‬

‫الوالدين واألقربين ِباْلَم ْعُروِف‬

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)


kematian, jika meninggalkan harta yang banyak untuk berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya seca ma’ruf.”

Q.S Al Baqarah ayat 233

‫َو َع َلى اْلَم ْو ُلوِد َلُه ِر ْز ُقُهَّن َو كْس َو ُتُهَّن ِباْلَم ْعُروِف‬

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya secara ma’ruf.”

Dan beberapa ayat lainnya yang menyebutkan lafadz ‘urf atau ma’ruf yang mencapai 37
ayat. Maksud dari ‘urf dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara yang baik yang
diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku.

Sumber Hadis

Hadits riwayat Ibnu Mas’ud

‫َم ا َر آُه اْلُم ْس ِلُم وَن َحَس ًنا َفُهَو ِع ْنَد ِهللا َحَس ٌن‬
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja
yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai
perkara yang buruk.” (H.R Ahmad Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabir dari Ibnu Mas’ud)

Nabi SAW bersabda:

“Ambilah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR
Bukhari No. 5364 dan Muslim No. 1714)

Diantara perbuatan yang hukumnya oleh Rasulullah SAW ditetapkan berdasarkan adat ialah
seperti yang diterangkan oleh hadits:

“Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Ketika Nabi SAW datang di Madinah, mereka (penduduk
Madinah) telah (biasa) memberi uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu
satu tahun atau dua tahun. Maka Nabi SAW bersabda: Barangsiapa memberi uang panjar
pada buah-buahan maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu,
timbangkanlah yang tertentu dan waktu tertentu.” (H.R Bukhari)

Duski Ibrahim AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) penerbit:


Noerfikri, Palembang 2019. 90-92

Tradisi atau adat sangat berperan dalam pembentukan dan pengembangan hukum Islam.
Adanya berbagai aliran hukum dalam sejarah, sesungguhnya juga karena andil adat istiadat
masyarakat setempat. Imam Abu Hanifah banyak mempertimbangkan adat atau kebiasaan
masyarakat Irak dalam menetapkan hukumnya. Imam Malik banyak dipengaruhi oleh tradisi
atau adat ulama-ulama Madinah. Imam as-Syafi’i memiliki qaul qadim (ketika ia berada di
Baghdad) dan qaul jadid (ketika berada di Mesir), disebabkan perbedaan adat atau tradisi
kedua negara atau wilayah tersebut.

Menurut para ulama, adat bisa dijadikan dasar untuk menetapkan hukum Islam apabila
tradisi tersebut telah berlaku secara umum dimasyarakat tertentu. Sebaliknya, jika sebuah
tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak dapat dijadikan pedoman dalam
menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut dilakukan.

Di dalam kitab uhsul fiqh disebutkan bahwa di antara sumber-sumber hukum, ada yang
disepakati dan ada pula yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah al.Qur.’an, al Hadis, al
Ijma’ dan al Qiyas. Sedang yang diperselisihkan ialah istihsan, istishhab, istishlah, madzhab
as Shahabi, ‘uruf dan syaru’ maqablana syari’un lana? Mua’atul ‘Uruf beraiti mengendalikan
‘uruf dalam arti ‘uruf yang bersesuaian dengan tujuansyara’ dan tidakbertentangan dengan
prinsip-prinsipnya. Maka ‘uruf seperti itu dapat dipergunakan sebagai hukum. Dalam usaha
mengendalikan ‘urufatau adat inilah diciptakan kaidah al ‘adah muhakkamah, sehingga
apabila lerjadi permasalahan yang tidak diatur secara tekstual dalam al Qur’an atau al Hadis,
maka adat yang telah merata dalam masyarakat dapat dipergunakan sebagai ketentuan
hukum. Beberapa ketentuan hukum yang diambil dari adst ini misalnya, batas umur dewasa
yang tenggang waktu menstruasi, takaran, timbangan dan seterusnya

Abd Rachim,AL ADAHMUHAKKAMAH, Al mawarid :jurnal hukum islam vol 4 no 1 hal


10-12

a. Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/ argumen/ dalil) yang
wajib diamalkan.

‫”اْس ِتْع َم اُل الَّناِس ُحَّج ٌة َيِج ُب الَع َم ُل ِبَها‬

Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan dimasyarakat, menjadi
pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya. Contohnya menjahitkan
pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan
benang. Jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit.

b. Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus menerus
berlaku atau berlaku umum.

“‫”ِإَّنَم ا ُتْعَتَبُر الَع اَد ُة ِإَذ ا اْض َطَر َد ْت َأو َغ َلَبت‬

Maksudnya, tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan hukum,
apabila adat kebiaaan itu hanya sekali-sekali terjadi dan/ atau tidak berlaku umum. Kaidah
ini sesungguhnya merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, taitu terus menerus
dilakukan dan bersifat umum (keberlakuannya).

c. Adat yang diakui adalah adat yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan
dengan yang jarang terjadi.”

‫”الِع ْبَر ُة للَغاِلِب الَّش اِئِع اَل ِللَّناِد ِر‬


Contohnya, para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila
menggunakan kaidah di atas, maka waktu hamil terpanjang tidak melebihi satu tahun.
Demikian pula menentukam menopause wanita dengan 55 tahun.

d. Sesuatu yang telah dikenal karena ‘Urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat.

‫الَم ْع ُروَف ُعْر َفا َك اْلَم ْش ُروِط َشْر َطا‬

Maksudnya adalah adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu
syarat yang dibuat, meskipun tidaksecara tegas dinyatakan. Contohnya apabila seseorang
bergotong royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan orang-
orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain
halnya apabila sudah dikenal tukang kayu atau tukang cat yang biasa di upah, datang ke
suatu rumah yang sedang dibangun, lalu dia bekerja disitu, maka dia harus dibayar upahnya
seperti yang lainnya meskipun dia tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu
atau tukang cat apabila ia bekerja, dia mendapatkan bayaran.

Sanusi, A. (2017). Implikasi Kaidah-Kaidah Al Adat & Al Urf dalam Pengembangan


Hukum Islam. Al Ahkam, 6(1), 41-21

e. Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka.

‫”اْلَم ْع ُروَف َبْيَن ُتَج اِر َك اْلَم ْش ُروِط َبْيَنُهْم‬

Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya di bidang muamalah saja, dan itupun
dikalangan pedagang. Misalnya penetapan suatu barang sesuai dengan harga pasaran.

f. Ketentuan berdasarkan urf seperti ketentuan berdasarkan nash

‫التقيل ِباْلُعْر ِب َك الَّتْعْيِن ِبالَّنِص‬

Maksudnya adalah sesuatu ketentuan berdasarkan Urf yang memenuhi syarat adalah
mengikat dan sama kedudukannya seperti penetapan hukum berdasarkan nash. Contohnya
apabila seseorang umah atau toko tanpa menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa
yang menempatinya, maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebuttanpa mengubah
bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan izin orang yang menyewakan.
g. Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam
kenyataan.

‫الُمْم َتنُع َعاَد ُة َك اْلُمْم َتَنع َح ِقيَقة‬

Maksudnya adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional,
maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya. Contohnya seseorang mengaku bahwa
harta yang ada pada orang lain itu miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal
harta tersebut. Sama halnya seperti seseorang mengaku anak si A, tetapi ternyata umur dia
lebih tua dari si A yang diakui sebagai bapaknya.

h. Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat.

‫”الحقيقة ُتْتَر ك بداللة العادة‬

Maksudnya adalah arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain yang ditunjuk
oleh adat kebiasaan. Contohnya, yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan
penerimaan barang oleh sipembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang
oleh Sekaligus penyerahan jarang dan penerimaan oleh si penjual. Akan tetapi, apabila
sipembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat kebiasaan
akad jual beli itutelah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya
meskipun harga barang naik.

i. Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut
ucapan.

‫”االذن الُعْر ِف َك اِإل ْذ ِن الَّلْفِظ ى‬

Misalkan ketika berkunjung sebagai tamu, ketika di berikan izin untuk bertamu maka
otomatis boleh memakan apa yang dihidangkan tuan rumah tanpa menunggu tuan rumah
mempersilahkan makan.

SUSI SUSANTI, IMPLEMENTASI KAIDAH AL’ADATU MUHAKKAMAH PADA


TRADISI MAROSOK DALAM AKAD JUAL BELI DI PASAR TERNAK NAGARI
PALANGKI KECAMATAN IV NAGARI KABUPATEN SIJUNJUNG PROVINSI
SUMATERA BARAT skripsi UIN SUSKA RIAU PEKAN BARU 2020 hal 46-47

Syarat

Seperti yang kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang istimewa. Salah satu
keistimewaan Islam adalah terletak pada ajarannya yang memberikan ruang yang cukup
untuk menerima masuknya unsur-unsur budaya luar. Hal ini terbukti ketika Islam dibawa
oleh para mubaligh ke wilayah-wilayah baru, maka Islam tidak sepenuhnya menyingkirkan
ajaranyang tengah berlaku sejak lama pada masyarakat, tetapi memberikan ruang dan tempat
yang cukup untuk beradaptasi dengan budaya lokal, seperti antara lain pada masyarakat
Indonesia yang memperlihatkan Islam dan budaya setempat nampak begitu mesra dan saling
mengerti.

Akuluturasi timbal balik antara Islam dengan budaya lokal, dalam hukum Islam secara
metodologis sebagai sesuatu yang menginginkan diakomodasi eksistensinya. Sifat
akomodatif Islam ini dapat kita temukan dalam kaidah-kaidah fiqih yang menyatakan “Al-
Adatu Muhakkamah”.

Dengan demikian, Al-‘adah atau ‘Urf merupakan salah satu sumber dalam istinbath hukum,
menetapkan bahwa ia bisa menjadi dalil sekiranya tidak ditemukan nash dari kitab (Al-
Qur’an) dan Sunnah. Adapun syarat-syarat Adah atau ‘Urf dapat dijadikan Sandaran hukum
adalah sebagai berikut:

a. Tidak bertentangan dengan nash. Artinya, sebuah tradisi bisa dijadikan sebagai pedoman
hukum apabila tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an maupun hadis Nabi saw.
Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa
dijadikan Pijakan hukum bagi masyarakat. Nash yang dimaksud di sini adalah Nash yang
bersifat qati (pasti), yakni nash yang sudah jelas dantegas kandungan hukumnya,
sehingga tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.
b. Adah atau ‘Urf itu harus berlaku umum. Artinya, ‘Urf itu harus dipahami oleh semua
lapisan masyarakat. Baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu,
kalau hanya merupakan *Urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai
sebuah sandaran hukum.
c. Adah atau Urfitu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘Urf baru, Dalam hal ini
contohnya adalah kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan
makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud
dengan daging adalah daging kambing dan sapi, lalu lima tahun kemudian, ‘Urf
masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan.
Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak di hukumi melanggar
sumpahnya karena sebuah lafadz tidak didasarkan pada Urf yang muncul belakangan.
d. Tidak berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah). Jika
sebuah ‘Urf berbenturan dengan tashrih, maka ‘Urf itu tidak berlaku.

Disamping itu ada beberapa syarat dalam pemakaian ‘Urf antara ain yaitu:

a. Urf tidak boleh dipakai untuk hal-hal yang akan menyalahi nash yang ada.
b. Urf tidak boleh dipakai bila mengesampingkan kepentingan umum.
c. Urf bisa dipakai apabila tidak membawa kepada keburuk-keburukan atau kerusakan.”

Fatmah Taufik Hidayat, “Kaedah Adat Muhakkamah dalam pandangan Islan (sebuah
tinjauan sosiologi hukum), Jurnal Sosiologi USK, volume 9, nomor 1. (Banda Aceh:
Universitas Syiah Kuala) 2016. 72

Implememtasi

Jual beli dianggap sah dengan setiap lafaz yang biasa berlaku di kalangan manusia, atau yang
mereka telah ketahui dan sudah menjadi adat kebiasaan mereka meskipun tidak dengan akad
ijab-kabul secara lisan. Karena itu apa yang dipandang manusia sebagai jual beli, atau sewa
menyewa, atau hibah, maka dianggap sebagai jual beli, atau sewa menyewa, atau hibah,
karena nama-nama ini tidak ada batasnya dalam bahasa dan syarak. Oleh karena itu, setiap
nama yang tidak ada batasannya (qayyid) dalam bahasa dan syarak, maka dikembalikan
batasannya kepada adat kebiasaan.

Cacat pada barang yang dibeli, adalah disesuaikan dengan adat kebiasaan yang berlaku di
kalangan masyarakat. Maka apa yang dipandang masyarakat sebagai cacat, itu adalah cacat
yang karenannya barang itu dikembalikan, tetapi jika itu tidak dipandang oleh masyarakat
sebagai cacat, maka barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan.
Bank berhak dalam akad murabahah menambahkan biaya yang telah dikenal dan telah biasa
dilakukan oleh para pedagang penambahannya pada harga, seperti biaya penyimpanan
(gudang), memelihara/menjaga, mengangkut dan lain-lain

Abbas Arfim menyebutkan Contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh muamalat, Diantarainya
Yaitu tradisi memberi upah jasa pada makelar (perantara) dalam transaksi seperti jual beli
Rumah, tanah dan lainnya sebanyak 2,5% atau sesuai perjanjian. Ini dapat digolongkan
Sebagai adat yang umum berlaku di hampir kebanyakan wilayah di Indonesia. Begitu juga,
dalam contoh aplikasi adat yang khusus. Seperti jual beli telur dengan ditimbang beratnya
adalah adat khusus di Indonesia, karena adat di Mesir misalnya, berbeda dengan di
Indonesia. Yaitu dilakukan tidak dengan ditimbang, tetapi dihitung jumlah telurnya dengan
istilah tabaq (lusin) yang berisi 12 butir. Sehingga bisa membeli I lusin atau lusin (6 butir).

Atau seperti halal dan sahnya jual beli mu’atah yaitu jual beli yang tanpa ijab dan qabul
secara lisan atau tulisan tapi hanya saling tukar menukar (surah terima) objek akad (uang dan
barang). Maka jual beli semacam ini tetap sah walau melanggar salah satu dari beberapa
rukunnya jual beli, yaitu adanya lafadz ijab dan qabul dari kedua belah pihak yang
melakukan akad jual beli. Karena sudah menjadi budaya atau tradisi yang umum (merata)
bahkan kalau ijab dan qabul tetap wajih. Maka banyak jual beli di tengah masyarakat kita
yang tidak sah, karena masyarakat banyak atau terbiasa tanpa ijab qabul. Contoh lain
misalnya dalam perbankan Islam, akad atau transaksi hutang piutang pada dasamya adalah
tidak wajib. Seperti perintah Allah SWT dalam Surat Al-baqarah ayat 282 yang artinya: Hai
orang-orang yang beriman Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan hendaklah kamu menuliskannya” Dalam tafsir Jalalain disebutkan, tujuannya
adalah sebagai tanda bukti dan supaya tidak terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak.
Urf di perbankan Islam adalah setiap akad tabungan atau hutang piutang adalah wajib dicatat
karena untuk menghindari adanya kerugian di salah satu pihak. Karena syari’at Islam
mengajarkan setiap transaksi yang dilakukan oleh dua pihak haruslah tidak saling merugikan
atau membahayakan salah satunya.

Abbas Arfim. 99 kaidah fiqh : muamalah kulliyah (Malang UIN Maliki Press, 2013), hlm
190

Anda mungkin juga menyukai