DOSEN PENGAMPU
Muhammad Syarif Hidayatullah, S.E.,M.H
DISUSUN OLEH
Siti Rahmah (19500009)
Rahmi Maulida (19500075)
B. Landasan Kaidah
1. Al-Qur’an
Q.S. An-Nisa : 19
Artinya: “Hai orang –orang yang beriman tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembalian sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.(Q.S. an-Nisa’:19)
Q.S. Al-A’raf : 199
“Jadilah Engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh ”. (Q.S. al-A’raf : 199 )
2. Al- Hadits
“Apa yang dipandang baik kaum muslimin maka baik juga di sisi Allah”.Atas dasar ini, maka adat
yang baik (Al-urf al-shahih ), yakni yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dapat dijadikan
sebagai aturan hukum.”3
Hadis riwayat dari banyak perawi Hadis antara lain imam Bukhari ra.:
“Ambillah secukupnya untuk kamu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (kebiasaan yang baik)”
Hadis riwayat al-Hakim dari Abdullah r.a.:
“ Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah. Apa yang
dipandang tidak baik oleh kaum muslimin, maka tidak baik pula disisi Allah” 4
1
Azhari Fathurrahman, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat,2015) hlm. 118-119
2
Darmawan, Kaidah Kaidah Fiqhiyah (Revka Prima Media,2020) hlm. 53
3
D. Aplikasi Kaidah
“Adat kebiasaan yang diterapkan dalam satu segi tidak dapat menempati tempat syarat.”
Dari kaidah ini dipahami bahwa:
1. Manakala dalam suatu komunitas masyarakat tertentu ada suatu kebiasaan bahwa pemegang
gadai dibolehkan memanfaatkan barang gadai, maka kebolehan pemanfaatan itu tidak boleh
menjadi persyaratan dalam gadai. Artinya, dalam gadai tersebut tidak boleh disyaratkan bahwa
orang yang menerima gadai itu dibolehkan mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.
2. Manakala dalam suatu komunitas masyarakat ada suatu kebiasaan bahwa pembayar hutang
selalu melebihkan jumlah pembayarannya ketika membayar, maka penambahan tersebut tidak
boleh menjadi persyaratan. Sebab, apabila disyaratkan demikian, maka utang-piutang itu menjadi
dilarang, karena sudah menjadi riba nasi‟ah. Dengan ungkapan lain, seseorang yang berhutang
boleh
membayar utang dengan melebihkan dari jumlah utang, asalkan tidak disyaratkan ketika terjadi
transaksi utang-piutang7
5
Ibrahim Duski, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Palembang: CV.Amanah, 2019) hlm. 91-93
6
Azhari Fathurrahman, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat,2015) hlm. 122-123
7
Ibrahim Duski, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Palembang: CV.Amanah, 2019)hlm.95