Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH KAIDAH FIQIH

“ ADAT KEBIASAAN DAPAT DITETAPKAN SEBAGAI


HUKUM”

DOSEN PENGAMPU
Muhammad Syarif Hidayatullah, S.E.,M.H

DISUSUN OLEH
Siti Rahmah (19500009)
Rahmi Maulida (19500075)

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD


AL-BANJARI
FAKULTAS STUDI ISLAM
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
BANJARBARU
2021
PENDAHULUAN
Kaidah adalah patokan atau aturan yang dijadikan umat islam sebagai pedoman dalam
bertindak. Fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas
persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Allah. Kaidah fiqih merupakan aturan yang
bersifat umum dalam masalah fiqih, yang dapat diterapkan pada beberapa masalah fiqih.
Dengan begitu mempelajari kaidah fikih sangat penting untuk kehidupan karena dengan
memperlajari kaidah fikih maka kita dapat mempelajari tentang aturan-aturan dalam masalah
kehidupan manusia yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an , As-Sunnah, ataupun ijma. Dengan
menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui segala permasalahan fiqih, karena kaidah
fiqih menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam
menerapkan hukum fiqih dalam waktu, tepat, situasi dan kondisi yang seringkali berubah-ubah.
Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam menyikapi masalah-
masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya budaya (adat atau kebiasaan ) serta lebih
mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat. Didasari itulah pemakalah merasa tertarik untuk mengkaji salah satu kaidah fiqih
khususnya berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai yaitu tentang
adat (kebiasaan) dengan kaidah, al-‘adah al-muhakkamah dengan arti adat atau kebiasaan itu bisa
menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum.
Makalah ini membahas tentang salah satu cabang kaidah fikih. Adapun kaidah fikih
tersebut adalah :
ٌ‫ْال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.”
PEMBAHASAN KAIDAH FIQIH

‫ْال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬

“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.”

A. Istilah Penting dalam Kaidah: Makna Adat kebiasaan dalam Islam


Qaidah fiqhiyyah kelima tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua
istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf.‘Adat dan ‘urf keduanya berasal
dari kata bahasa arab dan sering dibicarakan dalam literatur fiqh. ‘Urf secara etimologi berarti
yang baik, dan juga berarti pengulangan atau berulang-ulang. Adapun dalam tataran terminologi,
sebagian ulama ushul Fiqh memberi definisi yang sama terhadap ‘adat dan 'urf. Adat pengertian
secara terminologi, yaitu: “Adat yaitu segala apa yang telah dikenal manusia, maka hal itu jadi
suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan ataupun perbuatan”
Sedangkan ‘urf, yaitu: “Urf yaitu apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik berupa
perkataan, perbuatan atau meningalkan sesuatu”1
Perbedaan ’’Urf dengan ’Adat bisa diperhatikan dalam tabel di bawah ini :2
‘urf Adat
‘urf mengandung arti yang sempit Adat mengandung arti luas
‘urf terbagi menjadi ‘urf shahih (baik) dan fasid Adat, tidak terbagi menjadi yang baik dan yang
( jelek ) jelek
‘urf adalah tradisi mayoritas manusia Adat meliputi tradisi individu dan tradisi
mayoritas orang
Adat juga muncul dari sebab alami

B. Landasan Kaidah
1. Al-Qur’an
Q.S. An-Nisa : 19
Artinya: “Hai orang –orang yang beriman tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembalian sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.(Q.S. an-Nisa’:19)
Q.S. Al-A’raf : 199
“Jadilah Engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh ”. (Q.S. al-A’raf : 199 )

2. Al- Hadits
“Apa yang dipandang baik kaum muslimin maka baik juga di sisi Allah”.Atas dasar ini, maka adat
yang baik (Al-urf al-shahih ), yakni yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dapat dijadikan
sebagai aturan hukum.”3
Hadis riwayat dari banyak perawi Hadis antara lain imam Bukhari ra.:
“Ambillah secukupnya untuk kamu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (kebiasaan yang baik)”
Hadis riwayat al-Hakim dari Abdullah r.a.:
“ Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah. Apa yang
dipandang tidak baik oleh kaum muslimin, maka tidak baik pula disisi Allah” 4

1
Azhari Fathurrahman, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat,2015) hlm. 118-119
2
Darmawan, Kaidah Kaidah Fiqhiyah (Revka Prima Media,2020) hlm. 53
3

Ibrahim Duski, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Palembang: CV.Amanah, 2019) hlm.96-97


4
Azhari Fathurrahman, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat,2015) hlm. 117-118
C. Penjelasan Kaidah
Tradisi atau adat sangat berperan dalam pembentukan dan pengembangan hukum Islam.
Adanya berbagai aliran hukum dalam sejarah, sesungguhnya juga karena andil adat istiadat
masyarakat setempat. Imam Abu Hanifah banyak mempertimbangkan adat atau kebiasaan
masyarakat Irak dalam menetapkan hukumnya. Imam Malik banyak dipengaruhi oleh tradisi atau
adat ulama-ulama Madinah. Imam as-Syafi‟i memiliki qaul qadim (ketika ia berada di Baghdad)
dan qaul jadid (ketika berada di Mesir), disebabkan perbedaan adat atau tradisi kedua negara atau
wilayah tersebut. Banyak sekali aturan hukum Islam atau fiqih yang ditetapkan dengan
mempertimbangkan adat kebiasaan ini. Umpamanya, jual beli ta‟athi (mengambil barang atau
benda, kemudian memberikan sejumlah uang atau alat tukar lainnya yang telah diketahui),
penemplean atau pelabelan harga barang seperti yang sering dilakukan di mall-mall atau
supermarket, atau pengumuman melalui lisan atau tulisan.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-Nya pernah mengatakan : “Sesungguhnya keadaan
alam, bangsa-bangsa dan adat istiadat mereka tidak kekal (tetap) menurut suatu contoh dan
metode yang tetap. Yang ada adalah perubahan menurut waktu dan keadaan. Hal ini terjadi bagi
perorangan waktu dan tempat, dan terjadi di Negara-negara, waktu dan daerah-daerah itu.
Mencermati kenyataan yang terjadi pada individu masyarakat dan bangsa seperti digambarkan
oleh Ibn Khaldun dan respons Islam terhadapnya, maka adat kebiasaan tersebut harus tetap
dipertahankan.5
Makna adat dalam qaidah fiqh di atas meliputi ‘urf dalam bentuk perkataan dan perbuatan
yang bersifat umum maupun khusus. qaidah ini mengisyaratkan adat dapat dijadikan sebagai dasar
dalam menetapkan hukum Islam ketika nash tidak ada. Adat atau ‘urf berbentuk umum dapat
berlaku dari masa sahabat hingga masa kini yang diterima oleh para mujtahid dan mereka beramal
dengannya. Sementara ‘urf khusus hanya berlaku pada lingkungan masyarakat tertentu yang
terkait dengan ‘urf itu. Menurut al-Suyuthi, banyak sekali masalah hukum Islam yang didasarkan
pada qaidah ini, diantaranya penentuan usia haid, lama masa suci dan haid, usia baligh, lama masa
nifas, batasan sedikit najis yang dapat dimaafkan, batasan berturut-turut (muwalat) dalam wudhu,
jarak waktu ijab dan qabul, jual beli salam, jual beli mu’athah, merawat bumi yang tidak bertuan
(ihya’ al-mawat), masalah titipan, memanfaatkan harta sewaan, masalah hidangan yang boleh
dimakan ketika bertamu, keterpeliharaan harta di tempat penyimpanan dalam masalah pencurian,
dan menerima hadiah bagi hakim. Dimasa Rasulullah Muhammad SAW. Penduduk Madinah
pernah mencengkerami pada buah-buahan, kemudian Rasulullah Muhammad SAW. Bersabda
barangsiapa yang mencngkerami pada buah-buahan, maka cengkeramilah pada takaran tertentu,
timbangan tertentu dan waktu tertentu. 6

D. Aplikasi Kaidah
“Adat kebiasaan yang diterapkan dalam satu segi tidak dapat menempati tempat syarat.”
Dari kaidah ini dipahami bahwa:
1. Manakala dalam suatu komunitas masyarakat tertentu ada suatu kebiasaan bahwa pemegang
gadai dibolehkan memanfaatkan barang gadai, maka kebolehan pemanfaatan itu tidak boleh
menjadi persyaratan dalam gadai. Artinya, dalam gadai tersebut tidak boleh disyaratkan bahwa
orang yang menerima gadai itu dibolehkan mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.
2. Manakala dalam suatu komunitas masyarakat ada suatu kebiasaan bahwa pembayar hutang
selalu melebihkan jumlah pembayarannya ketika membayar, maka penambahan tersebut tidak
boleh menjadi persyaratan. Sebab, apabila disyaratkan demikian, maka utang-piutang itu menjadi
dilarang, karena sudah menjadi riba nasi‟ah. Dengan ungkapan lain, seseorang yang berhutang
boleh
membayar utang dengan melebihkan dari jumlah utang, asalkan tidak disyaratkan ketika terjadi
transaksi utang-piutang7

5
Ibrahim Duski, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Palembang: CV.Amanah, 2019) hlm. 91-93
6
Azhari Fathurrahman, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat,2015) hlm. 122-123
7
Ibrahim Duski, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Palembang: CV.Amanah, 2019)hlm.95

Anda mungkin juga menyukai