Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu ushul fiqh sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa di abaikan oleh
seorang mujtahid dalam upayanya memberi penjelasan mengenai nash-nash syari’at
Islam, dan dalam menggali hukum yang tidak memiliki nash.Dalam ilmu ushul fiqh ini
terdapat banyak sekali pembahasan, diantaranya adalah ‘urf yang akan saya coba
diskusikan yang mana budaya atau ‘urf sebagai salah satu bagian dari ushul fiqh, apa
yang mendasari ulama untuk menjadikan hal tersebut sebagai salah satu pijakan hukum,
bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam kehidupan nyata masyarakat. Hal
tersebut tentunya tidak semudah yang kita diskusikan, karena tidak semua ulama’ setuju
tentang urf ini, akan tetapi tidak sedikit juga yang menjadikannya sebagai pijakan hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ‘urf ?
2. Apa saja macam-macam ‘urf ?
3. Bagaimana Kehujjahan ‘urf ?
4. Apa pengertian Syar’u Man Qablana ?
5. Bagaimana pendapat para ulama mengenai Syar’u Man Qablana?
6. Bagaimana Kehujjahan Syar’u Man Qablana?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Urf
Kata urf berasal dari kata arafa ya’rifu sering di artikan dengan al-ma’ruf dengan arti
sesuatu yang dikenal.1 Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan
menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
Di kalangan masyarakat Urf ini sering disebut sebagai adat.
Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasidari kalangan Hanafi, Ibnu Abidin,Al-Rahawi
dalam Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu Ujaim dalam kitab Al-Aisbah wa al-Nazhair
berpendapat bahwa urf sama dengan adat tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun
sebagian Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan al-Bazdawi membedakan antara adat
dengan urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan
hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa
adanya hubungan rasional. Sedangkan ‘urf ialah kebiasaan mayoritas kaum,baik dalam
perkataan atau perbuatan.
Dalam pengertian ini adat lebih luas daripada urf. Adat mencakup seluruh jenis ‘urf.
Tetapi tidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam
makan, berpakaian, tidur dan sebagainya dinamakan adat tidak dikatakan ‘urf. Tetapi,
dari sisi yang lain, urf lebih umum daripada adat, sebab adat hanya menyangkut
perbuatan , sedangkan ‘urf menyangkut perbuatan dan ucapan sekaligus.2
B. Macam-Macam ‘Urf
Para Ulama Ushul fiqih membagi ‘urf dalam tiga macam:
1. Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a. Al-urf al-lafdzi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau
ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan
itulah yang dipahami dan terlintas dalampikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan
daging yang berarti daging sapi; padahal kata daging mencakup seluruh daging
yang ada. Apabila seorang mendatangi penjual daging, saya beli daging satu

1
Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) 387
2
Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012) 148-149
kilogram pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan
masyarakat setempat yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging
sapi.
b. Al-‘urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah
perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan
kepentingan orang lain, sepertikebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentudalam
satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau
meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian
tertentudalamacara khusus..
2. Dari segi cakupannya,urf di bagi dua, yaitu al-urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan yang besifat khusus).
a. Al-urf al-am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh daerah.
Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki
mobil,seperti kunci,tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalamharga jual,
tanpa akad sendiri,dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang
berlaku bahwa berat barang bawaan bagi penumpang pesawat terbang adalah dua
puluh kilogram.
b. Al-‘urf al-khas, adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
Misalnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu padabarang
yang dibeli dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu,
tidak dapat dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masagaransi
terhadap barang tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku d kalangan
pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus di
bayar duluoleh kliennya. Urf al-khas seperti ini,menurut Mustafa Ahmad Al-
Zarqa, tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai perubahan
situasi dan kondisi masyarakat.
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagidua yaitu al-‘urfal shahih
(kebiasaan yang di anggap sah) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
a. Al-‘urf al shahih, adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash (ayat
atau hadist) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa
madarat bagi mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini di anggapsebagaimas
kawin.
b. Al-‘urf al-fasid, adalah kebiasaan yang beretentangan dengan dalil-dalil syara’ dan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Misalnya, kebiasaan menghalalkan riba,sepertipeminjam uang antara sesama
pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu
bulan harus di bayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan
perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih peminjam,
penambahan utang sebanyak 10% tidaklah memberatkan, karena keuntngan
sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi,
praktek seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam
pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh
saling melebihi (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibnu Hanbal). Selain itu
praktek seperti ini adalah praktek peminjaman yang berlaku di jaman jahiliyyah,
yang dikenal dengan sebutan ribal-nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang).
Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini,menurut ulama ushul fiqih termasuk dalam
kategori al-‘urf al-fasid.3
C. Kehujjahan ‘Urf
Ada beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhjjah dengan ‘urf
danmenjadikannya sebagai sumber hukum fiqih,yaitu:
1. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abdullah bin Mas’ud :
َ ‫سنًافَ ُه َوعندَاللها َ ْم ٌر َح‬
.‫س ٌن‬ َ ‫اراهُالمسل ُمونَ َح‬
َ ‫َم‬
Yang menunjukkan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum muslimin
dan di pandangnya baik adalah pula baik disisi Allah.
2. Sabda Nabi Muhammad SAW kepada Hindun istri Abi Sufyan ketika iamengadukan
suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil memberi nafkah:
. ‫خذى من مال ابىسفيانمايليكوولدَ ِك بالمعروف‬
(ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut ‘urf).

3
Khairul Umam dkk, Ushul Fiqih –I (Bandung: Pustaka Setia. 1998) 160-164
Al Qurthuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdpat ‘urf dalam penetapan
hukum.
3. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukkan bahwa dengan
melakukannya, mereka akan memperoleh maslahat atau terhindar dari mafsadat.
Sedang maslahat ada dalil syar’i sebagaimana menghilangkan kesusahan
merupakan tujuan syara’.4
Adapun alasan ulama yang memakai ‘urf dalam menentukan ‘urf antara lain:
1. Banyak Hukum Syari’at, yang ternyata sebelumnya telah merupakan kebiasaan
orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan keluarga dalam
pembagian waris.
2. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun perbuatan, ternyata
dijadikan pedoman sampai sekarang.5
Secara umum ‘urf itu di amalkan oleh semua ulama fiqh terutama dikalangan ulama
madzhab Hanafiyah dab Malikiyah.
Ulama’ Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad dan salah satu bentuk
istihsan itu adalah istihsan al ‘urf (istihsan yang menyandar pada ‘urf). Oleh ulama’
Hanafiyah, ‘urf itu di dahulukan atas qiyas kahfi khafi dan juga di dahulukan atas nash yang
umun, dalam arti umum, dalam arti ‘urf itu men-takhsis umum nash.
Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli Madinah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadist ahad.
Ulama’ Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan
ketentuan batansannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.6

D. Pengertian Syar’u Man Qablana


Secara etimologis syar’un man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan
oleh Allah SWT, bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah ialah syari ‘at yang
diturunkan Allah kepada umat sebelum ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran
agama sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui perantara nabi Muhammad SAW,

4
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam ( Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2007) 78-80
5
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) 162
6
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, 399
seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain. Contoh dari Syar’u Man
Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 183:
َ‫ب َعلَى الَّ ِذيْنَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَعَلَ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ‫ياَاَيُّ َها الَّذِينَ أ َ َمنُوا ُك ِت‬
ِ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم‬
َ ِ‫الصيَا ُم كَما َ ُكت‬
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-
Baqarah:183).
E. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian
ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan
bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam itu disampaikan kepada Rasulullah
SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan melalui kitab agama mereka yang telah
berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam
terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan yang di kemukakan adalah7
1. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu,
apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an
berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah:
‫ْس أ َ ْن أقِي ُموا الدِينَ َو ََل‬ َ ‫وس َو ِعي‬ َ ‫ص ْينَا ِب ِه ِإب َْرا ِه ْي َما َو ُم‬ َّ ‫صى بِ ِه نُو ًحا َوالَّذِي أَو َح ْينَا ِإلَيْكَ َو َما َو‬ ِ َ‫ع لَ ُك ْم ِمن‬
َّ ‫الدي ِْن َما َو‬ َ ‫ش ََر‬
ُ‫تَتَفَ َّرقُوا فِي ِه َكب َُر َعلَى اْل ُم ْش ِر ِكيْنَ َما تَدْعُو ُه ْم ِإلَ ْي ِه هللاُ يَجْ تَ ِب ْي ِإلَ ْي ِه َم ْن يَشَا ُء َويَ ْهدِى ِإ َل ْي ِه َم ْن يُنِيْب‬
“Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member
petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu,
antara lain firman Allah:
َ‫ث ُ َّم أ َ ْو َح ْينَا إِلَيْكَ أ َ ِن اتَبِحْ ِملَّةَ إِب َْرا ِهي َْم َحنِ ْيفًا َو َما كَا نَ ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكيْن‬
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agam Ibrahim yang
hanif.” (QS. An-Nahl/16:123)8

7
Nasrun Haroen, ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 152.
8
Satria Effendi, ushul fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 165-166.
F. . Kehujahan Syar’u Man Qoblana
Syari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syariat kita jika Al-
Qur’an dan sunnah telah menegaskan bahwasannya syari’at ini di wajibkan baik untuk
mereka (orang yang sebelum kita) dan juga kepada kita utuk mengamalkannya, seperti
puasa dan qishas. Tetapi jika seandainya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menegaskan bahwa
syariat orang sebelum kita telah di nasakh (di hapus) hukumnya maka tidak ada
perselisihan lagi bahwa syari’at orang sebelum kita itu bukan syari’at kita. Seperti
syar’iat Nabi Musa, yang menghukum bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus
dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri, pakaian yang terkena najis tidak
dapat di sucikan kecuali memotong bagian bagian yang terkena najis. Dua syari’at Nabi
Musa tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Muhammad. Allah mengharamkan bagi
orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, sapi dan domba. Syari’at ini tidak berlaku
bagi umat Muhammad. Selin itu juga, terdapat beberapa perbedaan syari’at orang
sebelum kita dengan syari’at kita seperti format ibadah.
Sebagian sahabat abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum
yang disebutkan dalam al-qur’an atau sunnah nabi meskipun tidak diharamkan untuk
umat nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula
untuk umat nabi Muhammad.
Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat
dalam al-qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
1. Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah yang shahih,
maka ia termasuk dalam syari’at samawi.
2. Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan dan tanpa
nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi Muhmmmad.
3. Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-kitab
taurat dan injil.9

9
Eka Devi Sulistianingrum. 2016. http://hp/ushul fiqih smtr 2/U.F/syar'u man qablana ushul fiqih.htm. Diakses
pada 05-10-2019 pukul 20.45 WIB
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan
manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu. Di kalangan
masyarakat Urf ini sering disebut sebagai adat. Secara umum ‘urf itu di amalkan oleh
semua ulama fiqh terutama dikalangan ulama madzhab Hanafiyah dab Malikiyah.
Secara etimologis syar’un man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan
oleh Allah SWT, bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah ialah syari ‘at yang
diturunkan Allah kepada umat sebelum ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran
agama sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui perantara nabi Muhammad SAW,
seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat dalam al-
qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
1. Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah yang shahih,
maka ia termasuk dalam syari’at samawi.
2. Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan
dan tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi Muhmmmad.
3. Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-
kitab taurat dan injil
DAFTAR PUSTAKA

Amir Sayrifuddin,( 2011) Ushul Fiqh jilid 2 Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Basiq Djalil, 2010 Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Eka Devi Sulistianingrum. 2016. http://hp/ushul fiqih smtr 2/U.F/syar'u man qablana ushul
fiqih.htm. Diakses pada 05-10-2019 pukul 20.45 WIB
Khairul Umam dkk, (1998) Ushul Fiqih –I. Bandung: Pustaka Setia.
Nasrun Haroen, (1997) ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
Satria Effendi, 2009 ushul fiqh, Jakarta: Kencana, , hlm.
Sulaiman Abdullah, (2007) Sumber Hukum Islam. Jakarta:Sinar Grafika Offset
Suwarjin,(2012) Ushul Fiqh. Yogyakarta: Penerbit Teras

Anda mungkin juga menyukai