Disusun Oleh :
(2002046036)
SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Diharapkan dapat mengetahui secara seksama tentang wasiat dengan baik. Yakni
menyangkut pembahasan yang dibahas.
BAB II
PEMBAHASAN
Ditinjau secara bahasa, wasiat berasal dari bahasa Arab yaitu fi’il madhi dari kata
وصية- اويص- ويصyang artinya sampainya sesuatu sebab perintah mushi di kala masa hidupnya.
Sedangkan secara istilah, wasiat memiliki banyakk definisi yang dikemukakan oleh pakar ahli,
diantaranya :
1. Mazhab Maliki
Wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan si penerima wasiat berhak memiliki
1/3 harta peninggalan si pemberi setelah meninggal, atau yang mengharuskan
penggantian hak 1/3 harta si pewasiat kepada penerima.1
2. Mazhab Hambali
Wasiat adalah suatu perintah dengan mentasharufkan (harta peninggalan) sesudah
meninggalnya mushi. Seperti berwasiat kepada seseorang untuk memelihara anak-
anaknya yang masih kecil, menikahkan anak perempuannya, atau memisahkan 1/3
hartanya, atau semisalnya.2
3. Mazhab Syafi’i
Wasiat adalah pemberian suatu hak yang berkuatkuasa selepas berlakunya kematian
orang yang membuat wasiat sama ada dengan menggunakan perkataan atau
sebaliknya.3
4. Mazhab Hanafi
Wasiat adalah pemilikan yang berlaku setelah kematian dengan cara sumbangan.4
5. Sayyid Sabiq
Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang, pelunasan
hutang atau manfaat supaya memiliki barang tersebut setelah meninggalnya si pemberi
wasiat5
6. Amir Syarifuddin
1
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 3, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, h. 415
2
Abdurrahman al-Jaziri, Kitabul Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah juz III, Beirut Libanon: Darul Fikr, tt, h
316.
3
Al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Musthafa al-Babi al-Halbi wa aula’duhu, Kairo, 1958 h. 52
4
Muhammad Ja’far Shams al-Din, Al-Wasiyyah wa Ahkamuhu, h. 23
5
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, hlm. 220
Wasiat adalah penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah
mati pemiliknya.6
Dari definisi yang diutarakan oleh pakar ahli diatas, dapat kita tarik secara keseluruhan, bahwa
wasiat merupakan sebuah pesan atau janji yang diutarakan seseorang sebelum ia meninggal
dunia untuk seseorang lainnya yang harus dijalankan oleh orang tersebut sesuai dengan apa
yang pewasiat itu inginkan. Dalam kata lain, wasiat ini merupakan harta yang diberikan oleh
pemiliknya kepada orang lain setelah si pemberi itu meninggal dunia.
Dalam hal ini, kita tahu benar, bahwasanya wasiat adalah bagian dari syariat agama Islam.
Adapun hal – hal yang berkenaan dengan wasiat dalam Islam merupakan suatu keharusan yang
harus ditaati tiap orang dalam menjalankannya. Untuk itu dalam wasiat ini terdapat unsur dan
juga syarat-syarat yang harus dijalankan.
Perlu kita ketahui, bahwa wasiat memiliki 4 rukun yang menjadi unsur dan syarat penting
didalamnya, yaitu :
6
Shalih Bin Ghanim As-Sadlan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Intisari Fiqih Islam, lengkap
dengan jawaban praktis atas permasalahan Fiqih sehari-hari, Surabaya; pustaka La Raiba Bima
Amanta cet. 2 2009, h. 173-174
pembunuh dan penerima wasiat bukan termasuk dari kafir harbi, yakni orang-orang
yang menyatakan perang terhadap orang muslim.
3. Barang yang diwasiatkan (Mushanbihi)
Mushanbihi merupakan suatu barang yang diwasiatkan. Barang yang diwasiatkan
oleh sang pewasiat haruslah barang yang dimiliki. Apabila barang yang diwasiatkan
merupakan barang yang bukan dibawah kepemilikannya atau dalam kata lain bukan
miliknya tapi milik orang lain, maka tidaklah sah hukum mewasiatkannya. Adapun
syarat-syarat bagi barang atau benda yang diwasiatkan adalah:7
1) Barang itu dikira sebagai harta dan ia boleh diwarisi.
2) Barang tersebut dari harta yang boleh dinilai atau mempunyai nilai
kewangan sama ada melibatkan benda atau manfaat dari susut syarak.
3) Barang tersebut boleh dipindahmilik sekalipun tiada pada waktu berwasiat.
4) Barang itu dimiliki oleh pemberi wasiat ketika berwasiat jika zatnya
ditentukan.
5) Barang itu bukanlah sesuatu yang maksiat seperti mewasiatkan rumah untuk
dijadikan gereja, pusat judi dan sebagainya.
6) Harta atau barang tersebut hendaklah tidak melebihi kadar 1/3 harta
pewasiat
4. Kalimat wasiat (lafadz ijab qabul)
Dalam hal ini, wasiat harus disertai dengan ijab dan qabul. Adapun ketika
mengucapkan kalimat wasiat hendaklah wasiat tersebut dilafazkan dengan jelas
ataupun kabur. Kemudian, Hendaklah wasiat ini diterima oleh penerima wasiat jika
wasiat ini ditujukan kepada orang yang tertentu. Serta hendaklah persetujuan
tersebut diambil setelah kematian pewasiat.
Sebagaimana seorang muslim, tentunya kita harus mengetahui kapan batalnya wasiat
tersebut terjadi. Adapun wasiat bisa saja batal apabila pemberi wasiat tersebut tidak cakap atau
tidak mampu dalam bertindak perbuatan hukum, batalnya wasiat juga bisa terjadi apabila orang
yang menerima wasiat tersebut lebih dulu menghembuskan nafas terakhirnya dari pada sang
7
Sayyid Sabiq, ibid.
pemberi wasiat dan masih banyak lagi hal hal yang dapat menyebabkan pembatalannya wasiat
itu.
Disamping itu, Peunoh Daly sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rofiq memerinci hal-hal
yang menjadikan wasiat itu batal yaitu8 :
Sebagai seorang yang memberikan wasiat, tentunya ia memiliki wewenang untuk menarik
kembali wasiat yang dinyatakannya atau yang diberikannya. Adapun pencabutan wasiat
tersebut dapat dilakukan secara lisan atau perbuatan. Dalam Pasal 199 Inpres No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga sudah dicantumkan mengenai hal ini, bahwa
:
8
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h 460.
(2) dikemukakan bahwa apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut,
maka surat wasiat yang dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.
9
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 238
10
Ibid, hlm 239
dan Ibnu Majah, yang menyatakan bahwa “Sungguh Allah SWT. telah memberikan
kepada setiap pemilik hak apa yang menjadi haknya. Karena itu, tidak sah wasiat
kepada ahli waris yang sudah mendapat bagian yang cukup.” Oleh kerenanya, tiap-
tiap ahli waris sudah mendapatkan berapa hak yang diperolehnya. Apabila ia sudah
mendapat bagian yang cukup, maka wasiat itu tidak boleh dilebihkan pemberiannya
terhadapnya.
3. Apabila setelah meninggal si mayit ternyata masih punya kewajiban seperti zakat,
kafarat, haji atau kewajiban-kewajiban lain yang menyangkut harta dan ia
mewasiatkan kepada ahli waris untuk ditunaikan atasnya, maka kewajiban tersebut
dananya diambil dari sepertiga hartanya. Ini adalah pendapat dari kalangan mazhab
Maliki. Sedang menurut Imam Syafi’i, Ahmad Ishaq dan Abu Tsaur, Mazhab
Imamiyah dan Imam Hambali, berpendapat bahwa jika terjadi masalah tersebut
maka kewajiban zakat dananya diambil dari harta pokoknya.11
Selain itu, ketentuan yang lain semisal syarat-syarat yang disebutkan juga dilarang untuk
dilanggar. Seperti halnya pewasiat dilarang untuk memberi wasiat apabila ia tidak
menyerahkannya dengan kemauannya sendiri dan lainnya.
11
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l-Mujtahid 3, Semarang: Asy-Syifa’, 1990, h. 457.
12
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h.63.
13
Chairumman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 1996, h. 130.
2. Ada kemiripan dengan ketentuan pembahagian harta pusaka dalam penerimaan
laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
3. Orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah cucu-cucu laki-laki
maupun perempuan, baik pancar laki-laki maupun pancar perempuan yang
orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek atau
neneknya.14
Di dalam fatwa MKI mengenai hukum perlaksanaan wasiat wajibah juga diterangkan, bahwa
yang berhak mendapat wasiat wajibah mestilah mengikuti syarat-syarat tersebut:15
1. Anak lelaki dan perempuan daripada anak lelaki dan anak perempuan (cucu) ke
bawah adalah layak untuk menerima wasiat wajibah.
2. Hendaklah kedua ibu bapa mereka meninggal dunia terlebih dahulu daripada
datuk atau nenek, atau ibu atau bapa meninggal dunia serentak dengan datuk
atau nenek dalam kejadian yang sama atau berlainan.
3. Cucu lelaki atau perempuan bukan merupakan waris kepada harta pusaka datuk.
Sekiranya mereka merupakan waris ke atas harta pusaka secara fardhu atau
ta'sib maka mereka tidak layak untuk mendapat wasiat wajibah walaupun
bahagiannya sedikit berbanding wasiat wajibah.
4. Sekiranya anak lelaki atau anak perempuan berlainan agama dengan ibu atau
bapa, atau terlibat dengan pembunuhan ibu atau bapa, maka dia tidak berhak
untuk mendapat wasiat wajibah daripada harta pusaka datuk.
5. Sekiranya datuk atau nenek telah memberikan harta kepada cucu melalui hibah,
wakaf, wasiat dan sebagainya dengan kadar yang sepatutnya diterima oleh anak
lelaki atau anak perempuan sekiranya mereka masih hidup, maka cucu tidak lagi
berhak untuk mendapat wasiat wajibah. Sekiranya pemberian tersebut adalah
kurang daripada hak yang sepatutnya diterima oleh cucu daripada bahagian
anak lelaki atau anak perempuan, maka hendaklah disempurnakan bahagian
tersebut.
6. Anak akan mengambil bahagian faraid bapa atau ibu yang meninggal dunia
terlebih dahulu daripada datuk atau nenek dan kadar tersebut hendaklah tidak
melebihi kadar 1/3 daripada nilai harta pusaka. Sekiranya bahagian tersebut
14
Sayyid Sabiq, ibid.
15
JAKIM, Himpunan Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Berhubungan Dengan
Isu-Isu Muamalah, Perpustakaan Negara Malaysia, 2009 Kuala Lumpur, h 56-57
adalah 1/3 atau kurang daripada 1/3, maka pembahagian tersebut hendaklah
dilaksanakan pada kadar tersebut. Sekiranya bahagian tersebut melebihi 1/3
maka hendaklah dikurangkan pada kadar 1/3 melainkan setelah mendapat
persetujuan ahliahli waris yang lain.
7. Pembahagian wasiat wajibah boleh dilaksanakan setelah didahulukan urusan
berkaitan mayat, wasiat ikhtiyariah dan hutang piutang.
8. Pembahagian wasiat wajibah kepada cucu-cucu yang berhak adalah
berdasarkan kepada prinsip faraid yaitu seorang lelaki menerima bahagian 2
orang perempuan.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Ditinjau secara bahasa, wasiat berasal dari bahasa Arab yaitu fi’il madhi dari kata
وصية- اوصي- وصيyang artinya sampainya sesuatu sebab perintah mushi di kala masa hidupnya.
Jika dilihat secara istilah, wasiat memiliki definisi yang berbeda-beda dari pakar ahli
hukumnya. Adapun wasiat adalah syariat dari agama Islam. Oleh karenanya, sesuatu yang
berkenaan dengan wasiat dalam Islam merupakan suatu keharusan yang harus ditaati tiap orang
dalam menjalankannya.
Lalu, mengenai pencabutan wasiat, sudah dicantumkan pada Pasal 199 Inpres No. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jika berbicara mengenai hukum
wasiat, perlu diketahui bahwa wasiat tidak dapat dijauhkan dengan kehidupan manusia.
Adapun hal-hal yang menjadi bagian dari wasiat harus diketahui bagi tiap-tiap orang mengenai
pencabutannya, pembatalannya, hal apa yang dilarang, apa yang dimaksud dengan wasiat
wajibah dan lain-lain.
Daftar Pustaka