Anda di halaman 1dari 13

HUKUM WASIAT

Guna untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam Di Indonesia

Dosen Pengampu : M. Kholidu Adib, SH, MSI

Disusun Oleh :

Geubrina Rizky Ananda Sy

(2002046036)

PROGRAM STUDI ILMU FALAK

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia yang bernyawa, pasti akan mati. Begitulah hukum kehidupan tiap-tiap
orangnya yang ada di dunia ini. Segala sesuatu yang hidup tidaklah kekal baginya di dunia,
karena pada hakikatnya semua makhluk akan kembali pulang kepada Yang Maha Kuasa.
Berbicara mengenai wasiat, hukum wasiat tidaklah luput hubungannya dengan manusia.
Karena wasiat ini sama halnya seperti warisan yang akan selalu hidup berdampingan dan
selalu terkait dengan manusia.
Jika dilihat secara seksama, pembicaraan mengenai kewarisan adalah pembicaraan
yang serius lagi sensitif. Sebab, didalamnya kerap terjadi permasalahan-permasalahan
mengenai kepengurusan segala sesuatu dan kelanjutan sebagai hak milik yang ditinggalkan
oleh seorang pewaris yang telah meninggal dunia. Tidak hanya itu, permasalahan warisan
kerap dijadikan salah satu alasan yang dapat menghancurkan hubungan kekeluargaan
karena dianggap dan dinilai pembagian serta persoalannya tidak adil.
Oleh karenanya dalam syariat Islam, pelaksanaan hukum waris, hibah dan juga wasiat
memiliki kedudukan yang seimbang dimata Islam. Sehubungan dengan hukum kewarisan,
wasiat sangat perlu diperhatikan. Karena, dengan keberadaan wasiat tersebut dapat
meminimalisirkan keretakan hubungan. Selain itu adanya wasiat tersebut agar harta
warisan seseorang yang diperuntukkan kepada orang lain dapat terjaga. Sehingga, tidak ada
yang namanya perebutan harta.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari wasiat?
2. Apa sajakah unsur dan syarat wasiat ?
3. Apakah yang membuat wasiat tersebut batal?
4. Bagaimanakah pelakuan pencabutan wasiat?
5. Apakah batasan yang ada dalam hukum wasiat?
6. Apakah larangan dari wasiat?
7. Apa itu Wasiat wajibah?

1.3 Tujuan
1. Diharapkan dapat mengetahui secara seksama tentang wasiat dengan baik. Yakni
menyangkut pembahasan yang dibahas.
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Wasiat

Ditinjau secara bahasa, wasiat berasal dari bahasa Arab yaitu fi’il madhi dari kata
‫وصية‬-‫ اويص‬-‫ ويص‬yang artinya sampainya sesuatu sebab perintah mushi di kala masa hidupnya.
Sedangkan secara istilah, wasiat memiliki banyakk definisi yang dikemukakan oleh pakar ahli,
diantaranya :

1. Mazhab Maliki
Wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan si penerima wasiat berhak memiliki
1/3 harta peninggalan si pemberi setelah meninggal, atau yang mengharuskan
penggantian hak 1/3 harta si pewasiat kepada penerima.1
2. Mazhab Hambali
Wasiat adalah suatu perintah dengan mentasharufkan (harta peninggalan) sesudah
meninggalnya mushi. Seperti berwasiat kepada seseorang untuk memelihara anak-
anaknya yang masih kecil, menikahkan anak perempuannya, atau memisahkan 1/3
hartanya, atau semisalnya.2
3. Mazhab Syafi’i
Wasiat adalah pemberian suatu hak yang berkuatkuasa selepas berlakunya kematian
orang yang membuat wasiat sama ada dengan menggunakan perkataan atau
sebaliknya.3
4. Mazhab Hanafi
Wasiat adalah pemilikan yang berlaku setelah kematian dengan cara sumbangan.4
5. Sayyid Sabiq
Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang, pelunasan
hutang atau manfaat supaya memiliki barang tersebut setelah meninggalnya si pemberi
wasiat5
6. Amir Syarifuddin

1
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 3, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, h. 415
2
Abdurrahman al-Jaziri, Kitabul Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah juz III, Beirut Libanon: Darul Fikr, tt, h
316.
3
Al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Musthafa al-Babi al-Halbi wa aula’duhu, Kairo, 1958 h. 52
4
Muhammad Ja’far Shams al-Din, Al-Wasiyyah wa Ahkamuhu, h. 23
5
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, hlm. 220
Wasiat adalah penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah
mati pemiliknya.6

Dari definisi yang diutarakan oleh pakar ahli diatas, dapat kita tarik secara keseluruhan, bahwa
wasiat merupakan sebuah pesan atau janji yang diutarakan seseorang sebelum ia meninggal
dunia untuk seseorang lainnya yang harus dijalankan oleh orang tersebut sesuai dengan apa
yang pewasiat itu inginkan. Dalam kata lain, wasiat ini merupakan harta yang diberikan oleh
pemiliknya kepada orang lain setelah si pemberi itu meninggal dunia.

1.2 Unsur dan syarat wasiat

Dalam hal ini, kita tahu benar, bahwasanya wasiat adalah bagian dari syariat agama Islam.
Adapun hal – hal yang berkenaan dengan wasiat dalam Islam merupakan suatu keharusan yang
harus ditaati tiap orang dalam menjalankannya. Untuk itu dalam wasiat ini terdapat unsur dan
juga syarat-syarat yang harus dijalankan.

Perlu kita ketahui, bahwa wasiat memiliki 4 rukun yang menjadi unsur dan syarat penting
didalamnya, yaitu :

1. Pemberi wasiat (Mushiy)


Mushiy merupakan orang yang memberikan wasiat. Dalam hal ini, seorang mushiy
haruslah berakal atau tidak gila. Kemudian, seorang mushiy haruslah baligh dan
juga merdeka serta harus melalakukannya dengan kemauan sendiri. Karena, pada
hakikatnya, wasiat diartikan sebagai menyerahkan. Apabila sang mushiy tidak
menyerahkan wasiat dengan kemauan sendiri (dilakukan dengan cara terpaksa),
maka wasiat itu tidak sah untuk dilakukan.
2. Penerima wasiat (Mushanlahu)
Mushanlahu merupakan penerima wasiat. Disini, yang dimaksudkan dengan
penerima ialah yang bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris
lainnya. Seorang Mushanlahu ini dalam menerima wasiat juga memiliki kriteria
serta syarat yang harus ada pada dirinya. Diantaranya ialah penerima wasiat bukan
ahli waris dari si pemberi wasiat, penerima wasiat hendaklah diketahuai rupa dan
wujudnya ketika wasiat dibuat, penerima wasiat harus dipastikan bukan seorang

6
Shalih Bin Ghanim As-Sadlan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Intisari Fiqih Islam, lengkap
dengan jawaban praktis atas permasalahan Fiqih sehari-hari, Surabaya; pustaka La Raiba Bima
Amanta cet. 2 2009, h. 173-174
pembunuh dan penerima wasiat bukan termasuk dari kafir harbi, yakni orang-orang
yang menyatakan perang terhadap orang muslim.
3. Barang yang diwasiatkan (Mushanbihi)
Mushanbihi merupakan suatu barang yang diwasiatkan. Barang yang diwasiatkan
oleh sang pewasiat haruslah barang yang dimiliki. Apabila barang yang diwasiatkan
merupakan barang yang bukan dibawah kepemilikannya atau dalam kata lain bukan
miliknya tapi milik orang lain, maka tidaklah sah hukum mewasiatkannya. Adapun
syarat-syarat bagi barang atau benda yang diwasiatkan adalah:7
1) Barang itu dikira sebagai harta dan ia boleh diwarisi.
2) Barang tersebut dari harta yang boleh dinilai atau mempunyai nilai
kewangan sama ada melibatkan benda atau manfaat dari susut syarak.
3) Barang tersebut boleh dipindahmilik sekalipun tiada pada waktu berwasiat.
4) Barang itu dimiliki oleh pemberi wasiat ketika berwasiat jika zatnya
ditentukan.
5) Barang itu bukanlah sesuatu yang maksiat seperti mewasiatkan rumah untuk
dijadikan gereja, pusat judi dan sebagainya.
6) Harta atau barang tersebut hendaklah tidak melebihi kadar 1/3 harta
pewasiat
4. Kalimat wasiat (lafadz ijab qabul)
Dalam hal ini, wasiat harus disertai dengan ijab dan qabul. Adapun ketika
mengucapkan kalimat wasiat hendaklah wasiat tersebut dilafazkan dengan jelas
ataupun kabur. Kemudian, Hendaklah wasiat ini diterima oleh penerima wasiat jika
wasiat ini ditujukan kepada orang yang tertentu. Serta hendaklah persetujuan
tersebut diambil setelah kematian pewasiat.

1.3 Batalnya wasiat

Sebagaimana seorang muslim, tentunya kita harus mengetahui kapan batalnya wasiat
tersebut terjadi. Adapun wasiat bisa saja batal apabila pemberi wasiat tersebut tidak cakap atau
tidak mampu dalam bertindak perbuatan hukum, batalnya wasiat juga bisa terjadi apabila orang
yang menerima wasiat tersebut lebih dulu menghembuskan nafas terakhirnya dari pada sang

7
Sayyid Sabiq, ibid.
pemberi wasiat dan masih banyak lagi hal hal yang dapat menyebabkan pembatalannya wasiat
itu.

Disamping itu, Peunoh Daly sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rofiq memerinci hal-hal
yang menjadikan wasiat itu batal yaitu8 :

1) yang menerima wasiat dengan sengaja membunuh pemberi wasiat.


2) yang menerima wasiat meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat.
3) yang menerima wasiat menolak wasiat yang diberikan itu sesudah
meninggalnya si pemberi wasiat.
4) barang yang diwasiatkan itu ternyata kemudian bukan milik yang berwasiat.
5) yang berwasiat menarik kembali wasiatnya.
6) yang memberi wasiat hilang kecakapannya dalam melakukan perbuatan hukum
karena gila terus menerus sampai meninggal dunia.

1.4 Pencabutan wasiat

Sebagai seorang yang memberikan wasiat, tentunya ia memiliki wewenang untuk menarik
kembali wasiat yang dinyatakannya atau yang diberikannya. Adapun pencabutan wasiat
tersebut dapat dilakukan secara lisan atau perbuatan. Dalam Pasal 199 Inpres No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga sudah dicantumkan mengenai hal ini, bahwa
:

1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum


menyatakan persetujuannya atau menyatakan persetujuannya tetapi menarik
kembali.
2. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua
orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akte notaris.
3. Bila wasiat dilakukan secara tertulis, maka pencabutan hanya dapat dilakukan
secara tertulis dengan dua orang saksi atau dengan akte notaris.
4. Apabila wasiat dilakukan dengan akte notaris, maka pencabutan hanya dapat
dilakukan secara tertulis dengan akte notaris. Kemudian dalam Pasal 203 ayat

8
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h 460.
(2) dikemukakan bahwa apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut,
maka surat wasiat yang dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.

1.5 Batasan wasiat


Batasan wasiat merupakan suatu batasan yang bertujuan untuk melindungi ahli waris ,
serta mencegah kerugian yang bisa menimpa mereka. Dalam hal ini apabila seorang
pewaris mewasiatkan sebagian daripada hartanya, maka didahulukan terlebih dahulu
kepentingan ahli warisnya. Hal ini dikarenakan, sang pewaris harus meninggalkan
kehidupan yang berkecukupan pada ahli waris yang lebih baik dari pada keadaan susah
atau miskin.
Mengenai hal ini pun Batasan wasiat telah diatur dalam KHI (Komplikasi Hukum
Islam). Komplikasi Hukum Islam menyatakan bahwa untuk mewasiatkan sebanyak-
banyaknya yang diberikan adalah 1/3 dari harta warisan yang berupa suatu perlindungan
terhadap semua ahli waris yang kelak bersangkutan. Hal ini kembali lagi kepada
persyaratan terhadap penjelasan mengenai barang yang diwasiatkan. Yakni, harta atau
barang tersebut apabila ingin diwasiatkan tidaklah melebihi kadar 1/3 harta pewasiat.

1.6 Larangan wasiat


Adapun dalam hukum wasiat, perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan apa saja yang
yang harus dilaksanakan, dan larangan apa saja yang harus dihindarkan. Mengenai hal ini,
larangan wasiat yag harus diperhatikan dan dihindari ialah :
1. Tidak boleh lebih dari sepertiga harta yang dimiliki oleh pemberi wasiat.9
Seperti penjelasan sebelumnya, dalam hal memberikan wasiat, ada baiknya
diberikan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Yakni, 1/3 dari harta dan tidak
melebihi ketentuan tersebut. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim yang menyatakan bahwa “Alangkah baiknya jika manusia mau
mengurangi wasiat mereka dari sepertiga menjadi seperempat. Karena Rasulullah
SAW. bersabda, ‘Wasiat itu sepertiga, dan sepertiga itu pun sudah banyak”.
2. Jangan memberikan wasiat kepada ahli waris yang sudah mendapat bagian cukup.
Jika hal ini dilakukan, wasiatnya tidak sah tidak boleh dilaksanakan.10. Mengenai
hal ini juga ada hadis yang diriwayatkan oleh HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi,

9
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 238
10
Ibid, hlm 239
dan Ibnu Majah, yang menyatakan bahwa “Sungguh Allah SWT. telah memberikan
kepada setiap pemilik hak apa yang menjadi haknya. Karena itu, tidak sah wasiat
kepada ahli waris yang sudah mendapat bagian yang cukup.” Oleh kerenanya, tiap-
tiap ahli waris sudah mendapatkan berapa hak yang diperolehnya. Apabila ia sudah
mendapat bagian yang cukup, maka wasiat itu tidak boleh dilebihkan pemberiannya
terhadapnya.
3. Apabila setelah meninggal si mayit ternyata masih punya kewajiban seperti zakat,
kafarat, haji atau kewajiban-kewajiban lain yang menyangkut harta dan ia
mewasiatkan kepada ahli waris untuk ditunaikan atasnya, maka kewajiban tersebut
dananya diambil dari sepertiga hartanya. Ini adalah pendapat dari kalangan mazhab
Maliki. Sedang menurut Imam Syafi’i, Ahmad Ishaq dan Abu Tsaur, Mazhab
Imamiyah dan Imam Hambali, berpendapat bahwa jika terjadi masalah tersebut
maka kewajiban zakat dananya diambil dari harta pokoknya.11

Selain itu, ketentuan yang lain semisal syarat-syarat yang disebutkan juga dilarang untuk
dilanggar. Seperti halnya pewasiat dilarang untuk memberi wasiat apabila ia tidak
menyerahkannya dengan kemauannya sendiri dan lainnya.

1.7 Wasiat wajibah.


Wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan
wasiat kepada orang tertentu dalan keadaan tertentu.12 Wasiat wajibah adalah tindakan yang
dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan
wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu
dalam keadaan tertentu pula.13 Wasiat wajibah ini dasar hukum penentuannya adalah
kompromi. Dimana, kompromi tersebut didapatkan dari pendapat-pendapat yang dikemukakan
oleh ulama.
Dalam buku karangan Fachtur Rahman yakni ilmu waris, ia mengemukakan perihal
mengapa wasiat wajibah ini muncul, diantaranya ialah :
1. Hilangnya unsur ikhtiar bagi orang yang memberi wasiat dan munculnya
kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung
kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan orang yang menerima wasiat.

11
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l-Mujtahid 3, Semarang: Asy-Syifa’, 1990, h. 457.
12
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h.63.
13
Chairumman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 1996, h. 130.
2. Ada kemiripan dengan ketentuan pembahagian harta pusaka dalam penerimaan
laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
3. Orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah cucu-cucu laki-laki
maupun perempuan, baik pancar laki-laki maupun pancar perempuan yang
orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek atau
neneknya.14

Di dalam fatwa MKI mengenai hukum perlaksanaan wasiat wajibah juga diterangkan, bahwa
yang berhak mendapat wasiat wajibah mestilah mengikuti syarat-syarat tersebut:15

1. Anak lelaki dan perempuan daripada anak lelaki dan anak perempuan (cucu) ke
bawah adalah layak untuk menerima wasiat wajibah.
2. Hendaklah kedua ibu bapa mereka meninggal dunia terlebih dahulu daripada
datuk atau nenek, atau ibu atau bapa meninggal dunia serentak dengan datuk
atau nenek dalam kejadian yang sama atau berlainan.
3. Cucu lelaki atau perempuan bukan merupakan waris kepada harta pusaka datuk.
Sekiranya mereka merupakan waris ke atas harta pusaka secara fardhu atau
ta'sib maka mereka tidak layak untuk mendapat wasiat wajibah walaupun
bahagiannya sedikit berbanding wasiat wajibah.
4. Sekiranya anak lelaki atau anak perempuan berlainan agama dengan ibu atau
bapa, atau terlibat dengan pembunuhan ibu atau bapa, maka dia tidak berhak
untuk mendapat wasiat wajibah daripada harta pusaka datuk.
5. Sekiranya datuk atau nenek telah memberikan harta kepada cucu melalui hibah,
wakaf, wasiat dan sebagainya dengan kadar yang sepatutnya diterima oleh anak
lelaki atau anak perempuan sekiranya mereka masih hidup, maka cucu tidak lagi
berhak untuk mendapat wasiat wajibah. Sekiranya pemberian tersebut adalah
kurang daripada hak yang sepatutnya diterima oleh cucu daripada bahagian
anak lelaki atau anak perempuan, maka hendaklah disempurnakan bahagian
tersebut.
6. Anak akan mengambil bahagian faraid bapa atau ibu yang meninggal dunia
terlebih dahulu daripada datuk atau nenek dan kadar tersebut hendaklah tidak
melebihi kadar 1/3 daripada nilai harta pusaka. Sekiranya bahagian tersebut

14
Sayyid Sabiq, ibid.
15
JAKIM, Himpunan Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Berhubungan Dengan
Isu-Isu Muamalah, Perpustakaan Negara Malaysia, 2009 Kuala Lumpur, h 56-57
adalah 1/3 atau kurang daripada 1/3, maka pembahagian tersebut hendaklah
dilaksanakan pada kadar tersebut. Sekiranya bahagian tersebut melebihi 1/3
maka hendaklah dikurangkan pada kadar 1/3 melainkan setelah mendapat
persetujuan ahliahli waris yang lain.
7. Pembahagian wasiat wajibah boleh dilaksanakan setelah didahulukan urusan
berkaitan mayat, wasiat ikhtiyariah dan hutang piutang.
8. Pembahagian wasiat wajibah kepada cucu-cucu yang berhak adalah
berdasarkan kepada prinsip faraid yaitu seorang lelaki menerima bahagian 2
orang perempuan.
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Ditinjau secara bahasa, wasiat berasal dari bahasa Arab yaitu fi’il madhi dari kata
‫وصية‬-‫ اوصي‬-‫ وصي‬yang artinya sampainya sesuatu sebab perintah mushi di kala masa hidupnya.
Jika dilihat secara istilah, wasiat memiliki definisi yang berbeda-beda dari pakar ahli
hukumnya. Adapun wasiat adalah syariat dari agama Islam. Oleh karenanya, sesuatu yang
berkenaan dengan wasiat dalam Islam merupakan suatu keharusan yang harus ditaati tiap orang
dalam menjalankannya.

Adapun warisan memiliki unsur dan syarat-syarat tertentu didalamnya. Diantaranya :


mushiy, mushanbihi, mushanlahu serta ijab qabul atau yang menjadi kalimat wasiat. Kemudian
mengenai wasiat tersebut bisa saja batal apabila pemberi wasiat tersebut tidak cakap dalam
bertindak perbuatan hukum, selain itu batalnya wasiat juga bisa terjadi apabila orang yang
menerima wasiat tersebut lebih dulu menghembuskan nafas terakhirnya.

Lalu, mengenai pencabutan wasiat, sudah dicantumkan pada Pasal 199 Inpres No. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jika berbicara mengenai hukum
wasiat, perlu diketahui bahwa wasiat tidak dapat dijauhkan dengan kehidupan manusia.
Adapun hal-hal yang menjadi bagian dari wasiat harus diketahui bagi tiap-tiap orang mengenai
pencabutannya, pembatalannya, hal apa yang dilarang, apa yang dimaksud dengan wasiat
wajibah dan lain-lain.
Daftar Pustaka

Al-Din, Muhammad Ja’far Shams. n.d. Al-Wasiyyah wa Ahkamuhu.


Al-Jaziri, Abdurrahman. n.d. Kitabul Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah juz III. Beirut Libanon:
Darul Fikr.
Al-Munajjid, Shalih Bin Ghanim As-Sadlan Syaikh Muhammad Shalih. 2009. Intisari Fiqih
Islam, lengkap dengan jawaban praktis atas permasalahan Fiqih sehari-hari. 2.
Surabaya: Pustaka La Raiba Bima Amanta.
H. Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis. 1994. Hukum perjanjian dalam Islam . Jakarta:
Sinar Grafika.
JAKIM. 2009. Himpunan Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan
Berhubungan Dengan . Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia,.
Mughni al-Muhtaj, Al-Syarbaini. 1958. Musthafa al-Babi al-Halbi wa aula’duhu. Cairo.
Rahman, Fatchur. 1979. Ilmu Waris. Jakarta: Bulan Bintang.
Rofiq, Ahmad. 1995. Hukum Islam Di Indonesia,. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rusyd, Ibnu. 1990. Bidayatu’l-Mujtahid 3. Semarang: Asy-Syifa’.
Sabiq, Sayid. n.d. Fiqh al-Sunnah Juz 3. Cairo: Kairo: Maktabah Dar al-Turas.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah jilid 14. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Umam, Dian Khairul. 2006. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai