Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ARIYAH , GHASAB, DAN SYUF’AH

Mata Kuliah : Agama & Ke-Nu-An 5


Dosen : M. Burhanudin, L.c., M.A.

Kelompok 3

1. Nur Rohman (204210005)


2. Ahmad Arif Khaqiqi (204210007)
3. Suhermansyah (204210008)

Institut Teknologi Dan Sains Nahdlatul Ulama Pekalongan


Tahun 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Hukum Islam berlaku secara menyeluruh sesuai dengan perkembangan umat manusia yang
bertujuan mewujudkan perbaikan ummat dan menghindari segala bentuk kerusakan. Oleh
karena itu, Islam memberikan porsi yang lebih banyak kepada akal untuk menganalisis
berbagai hukum-hukum syara’, menelusuri perkembangan dan tetap berpedoman pada ayat-
ayat yang telah ada agar hukum Islam tetap fleksibel. Hukum Islam adalah hukum yang
paripurna yang tidak saja mengatur hubungan manusia dengan Allah swt., dalam bentuk
ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia yang disebut dengan
muamalah. Manusia tidak bisa hidup di dunia ini tanpa ada manusia yang lain. Artinya antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain saling membutuhkan, baik yang menyangkut
hubungan sosial, ekonomi dan sebagainya. Manusia di dalam hidupnya tidak akan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, baik itu sandang, pangan, papan, dan lain sebagainya.
Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menempuh berbagai jalan, seperti
melalui jual beli, hutang piutang, gadai, pinjam meminjam, zakat, hibah, dan lain sebagainya.
Seluruh kegiatan di atas dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang dikenal
dengan kegiatan ekonomi secara umum.
Pesantren adalah suatu lembaga yang aturanaturannya berpedoman pada ajaran agama Islam.
Target utama lembaga pendidikan berbasis agama islam ini bukan hanya semata-mata
mencari ilmu pengetahuan, namun menciptakan insan yang bertaqwa dan diaplikasikan
dalam perilaku seharihari sesuai dengan ajaran Al-Quran, Hadits maupun aturan yang ada di
masyarakat
Jabatan tertinggi dan termahal dalam ilmu syari'ah adalah tafsir. Muslim
membutuhkannya untuk memahami makna Al-Qur'an selama berabad-abad, dan itu adalah
ilmu paling mulia dengan tujuan dan subjek. Seorang Muslim tidak dapat memahami mutiara
berharga dari ajaran ilahi yang terkandung dalam
Al Qur'an tanpa interpretasi.

B. Rumusan Masalah
1.Pengertian Ariyah(pinjam meminjam),ghasob ,dan syuf’ah
2.Hukum Ariyah(pinjam meminjam),ghasob,dan syuf’ah
3.Syarat Ariyah(pinjam meminjam),ghasob,dan syuf’ah
4.Penerapan di zaman sekarang
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pinjam Meminjam (Ariyah), Ghasob, dan syuf’ah


1.pengertian Ariah (pinjam meminjam)
Dalam kitab fiqh pinjam meminjam disebut dengan istilah “ariyah”maka selanjutnya
penulis akan menggantikan kata pinjam meminjam dengan memakai istilah ariyah.
Menurut etimologi, ariyah diambil dari kata ‫ راع‬yang berarti datang dan pergi. Menurut
sebagian pendapat ariyah sama artinya dengan saling tukar menukar dan mengganti,
yakni dalam tradisi pinjam meminjam. Bisa juga berarti pinjaman, sesuatu yang
dipinjam, pergi dan beredar. Pinjam meminjam diartikan memberikan sesuatu yang
halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya,
agar dapat dikembalikan zat barang itu.3
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah menerangkan, bahwa pinjam
meminjam itu ialah sejumlah harta yang diberikan oleh orang yang meminjamkan,
dengan ketentuan agar dikembalikan kepada yang meminjamkan seumpamanya
(seutuhnya) kepada pemiliknya, pada waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah
pihak tersebut.4 Dalam buku Figh Syafi’i ‘ariyah adalah pemberian jasa dengan
meminjamkan benda dan benda itu masih tetap, tidak berkurang, meminjamkan benda
yang membawa jasa (manfaat) kepada orang lain sedang benda itu sendiri masih tetap. 5
Dalam fikih, pinjam-meminjam disebut dengan al-qardh. Menurut bahasa, al-qardh
adalah memotong.6Diartikan demikian, karena orang yang memberi pinjaman akan
memotong sebagian dari hartanya kepada orang yang meminjam.7 Qardh adalah
pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.7 Sedangkan,
menurut istilah fikih, al-qardh adalah memberikan suatu harta kepada orang lain untuk
dikembalikan tanpa ada tambahan.8
Hakikat pinjam meminjam adalah perjanjian yang terjadi timbal balik antara kedua belah
pihak , dengan salah satu pihak memberikan barang yang habis pakai, dengan perjanjian
bahwa pihak yang menerima akan mengembalikan barang tersebut sebagaimana barang
tersebut diterimanya.9

2.Pengertian Ghasob
Ghasab merupakan perilaku menggunakan barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
Fenomena ghasab sudah sering terjadi di Pesantren Persatuan Islam 67 Benda Tasikmalaya.
Hampir seluruh santri mengetahui fenomena ghasabmerupakan hal negatif, namun tetap di
laksanakan. Perilaku santri dalam melakukan ghasab dapat memicu terjadinya perilaku
ghasab
lainnya. Sehingga timbulah anggapan “Barang siapa yang mengghasab, pasti dia akan
dighasab”.

3.pengertian syuf’ah
Menurut prinsip taflis, kreditur harus memperlakukan debitur dengan baik ketika
mereka mengajukan pailit, sesuai dengan ajaran hukum Islam. Karena dalam agama
mu'amalah, manusia tidak boleh saling merugikan. Sebagaimana yang dijelaskandi dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29:

‫ٰٓي َاُّي َه ا اَّلِذْي َن ٰا َم ُنْو ا اَل َت ْأُك ُلْٓو ا َاْم َو اَلُك ْم َب ْي َن ُك ْم‬
‫ِآاَّل َاْن َت ُك ْو َن ِتَج اَر ًة َع ْن َت َر اٍض ِّم ْنُك ْم ۗ َو اَل‬
‫َاْنُفَس ُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن ِبُك ْم َر ِحْيًما‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu
Tafsirnya:
Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk tidak jujur
memakan harta sesamanya, dan Allah melarang mereka untuk terlibat dalam riba,
perjudian, dan bentuk penipuan lain yang tampaknya sesuai dengan syariat, tetapi Allah
mengetahui bahwa apa yang dilakukan hanyalah sebuah tipu muslihat pelaku untuk
mengelak dari ketentuan hukum yang digariskan oleh syariat Allah. Misalnya, dengan
cara ibn Abbas s.r. Riwayat Ibnu Jarir mengatakan bahwa jika seorang teman menjual
kemeja kepada Anda dan Anda tidak menyukainya, Anda dapat mengembalikannya
dengan tambahan dirham di atas harga yang Anda bayarkan.
Penghasilan sukarela uang melalui perdagangan oleh kedua belah pihak
dikecualikan dari larangan ini, menurut Allah.
Menurut Imam Syafi’i, berdasarkan ayat ini, jual beli melanggar syari'at kecuali
jika disertai dengan kata-kata yang menunjukkan kesepakatan. Sebaliknya, Imam Malik,
Abu Hanifah, dan Imam Ahmad berpendapat cukup dengan menyerahkan barang yang
bersangkutan. karena tindakan tersebut sudah berpotensi untuk menyampaikan
konsensual dan persetujuan.

B. Syarat-Syarat Ariyah,Ghasob, dan Syuf’ah

a. Syarat-Syarat Ariyah
1. Orang yang meminjam harus berakal
Para ulama menyebutkan bahwa orang yang menjalankan akad ariyah harus berakal
dan cakap dalam ranah hukum. Sebab, orang yang tidak berakal sulit untuk
memegang amanah. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak
diperbolehkan untuk melakukan akad atau transaksi ariyah.
2. Barang yang dipinjam tidak langsung habis atau musnah
Barang yang dipinjam dalam transaksi ariyah tidak boleh berupa barang yang
langsung habis atau musnah seperti makanan. Disarankan untuk memakai barang
yang bisa dimanfaatkan dalam jangka panjang seperti rumah, kendaraan, dan
pakaian.
3. Barang harus dikuasai peminjam
Artinya dalam akad atau transaksi ariyah, pihak peminjam harus menerima
langsung barang itu. Kemudian, barang yang dipinjamkan juga harus bisa
dimanfaatkan secara langsung.
4. Manfaat barang yang dipinjam sifatnya mubah
Manfaat barang yang dipinjam dalam transaksi ariyah harus bersifat mubah atau
dibolehkan oleh syara’. Misalnya ketika meminjam kendaraan orang lain,
hendaknya kendaraan itu digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat seperti untuk
ziarah, silaturahmi, dan lain sebagainya.

b. Syarat-Syarat Ghasob
secara tersirat ghosob terbagi menjadi dua,
1.mengambil barang milik orang lain dan kemudian menguasai dzat barang tersebut.
2. mengambil barang milik orang lain tapi tanpa menguasai dzat barang tersebut, hanya mengambil
manfaat barang tersebut dan kemudian dikembalikan lagi kemudian dilanjutkan, tentang perintah
untuk mengembalikan barang-barang yang diambil secara dholim tersebut kepada pemiliknya .

c. Syarat-Syarat syuf’ah
Syarat syafii’ adalah berserikat dengan entitas yang bercampur, bukan sekadar
bertetangga (berdampingan).
Syarat Masyfuu’
1. Barangnya bisa dibagi.
2. Tidak berpindah dari tanah.
3. Memilikinya dengan adanya ganti rugi.

C. Hukum-Hukum Ariyah,Ghasob, dan syuf’ah

1. Hukum Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-
Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam.
Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah: “Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat
kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan
permusuhan.”( Terjemahan Al-Maidah:2). Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah
Al-Hadis, yang artinya:“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”(Riwayat Abu
Daud).

Pada dasarnya, hukum ‘ariyah adalah sunnah. Hukum ‘ariyah terkadang bisa menjadi wajib,
seperti meminjamkan pakaian agar tidak terkena sengatan panas dan dingin, meminjamkan sesuatu
yang bisa menyelamatkan orang dari tenggelam, seperti tali ataupun yang lainnya, meminjamkan
pisau untuk menyembelih hewan yang bisa dimakan yang mana hewan tersebut akan segera mati
jika tidak langsung disembelih. Terkadang hukum ‘ariyah tersebut bisa menjadi makruh, seperti
meminjamkan budak islam kepada orang kafir. ‘ariyah terkadang dihukumi mubah, seperti
meminjamkan sesuatu kepada orang yang tidak terlalu membutuhkan terhadap barang yang
dipinjam.

Dalam bab ‘ariyah terdapat empat rukun, diantaranya:

 Mu’ir (orang yang memberi pinjaman), dengan syarat orang tersebut meminjamkan barangnya tidak
merasa terpaksa atau meminjami dengan sukarela.

 Musta’ir (orang yang meminjam), dengan syarat orang yang meminjam harus jelas
 Mu’ar (barang yang dipinjamkan), dengan syarat barang tersebut harus halal diambil manfaatnya
serta barang tersebut keadaannya tetap dan tidak mudah rusak. Jika seseorang meminjam sesuatu
dan ia tidak menjelaskan barang yang akan dipinjam, seperti “Pinjamkanlah kepadaku seekor
hewan”, kemudian orang yang memberi pinjaman mengatakan kepada orang tersebut “Masuklah ke
dalam kandang dan ambillah sesukamu”, maka hukum ‘ariyah dalam hal tersebut dianggap sah.

 Adanya sighot (baik secara lafad maupun tulisan) dengan niat ataupun isyarat yang menunjukkan
perizinan untuk mengambil manfaat dari barang yang akan dipinjam tersebut. Seperti “ Saya
meminjamkan ini kepadamu ” atau “ Saya perbolehkan kamu mengambil manfaat dari barang ini ”
atau

“ Kendarailah ini ” atau “ Ambillah manfaat dari benda ini “.

Perlu diketahui bahwa orang yang meminjam suatu barang pada orang lain itu tidak
diperbolehkan meminjamkan barang tersebut kepada orang lain tanpa seizin mu’ir (orang yang
memberi pinjaman).

Orang yang meminjam itu wajib menanggung kerusakan yang terdapat pada mu’ar (barang
yang dipinjam) jika terjadi kerusakan. Baik dengan cara mengganti harga barang tersebut ataupun
dengan cara yang lain. Adapun syarat kerusakan yang harus ditanggung itu hendaknya kerusakan
barang tersebut tidak digunakan dengan semestinya, jika kerusakan tersebut terjadi ketika orang
yang meminjam menggunakan barang dengan semestinya, maka orang itu tidak wajib menanggung
kerusakan yang terjadi.

Diperbolehkan bagi orang yang meminjam maupun orang yang memberi pinjaman melakukan
pencabutan kembali pada akad ‘ariyah, baik yang mutlak maupun yang dibatasi masa (waktu). Jika
ada seseorang meminjam tanah untuk mengubur mayat (selain mayat orang yang murtad dan kafir
harby), ketika si mayat sudah diletakkan di dalam liang lahat, maka bagi musta’ir ataupun mu’ir
boleh melakukan pencabutan akad dalam hal ‘ariyah tersebut, dengan syarat si mayat belum
ditimbuni dengan tanah, Jika si mayat sudah ditimbuni dengan tanah hingga setelah hancur
tubuhnya, maka tidak diperbolehkan melakukan pencabutan akad (‘ariyah).

Suatu permasalahan, apabila ada seseorang meminjam tanah untuk ditanami atau didirikan
bangunan di atasnya, maka hal itu hanya boleh dilakukan sekali, jika bangunan itu sudah dibongkar
atau tanaman itu telah hilang, maka orang yang meminjam tidak berhak membangun dan menanami
untuk kedua kalinya, kecuali setelah ia mendapatkan izin baru untuk hal itu, ataupun telah ia
jelaskan terlebih dahulu bahwa ia akan melakukan untuk kedua kalinya.
2. Hukum-Hukum Ghasob

1. Surat An Nisa ayat 29


‫َي أيَه ا الِذيَن آَم ُنوا َال َت أُك ُلوا أْم َو اَلُك م َب ْي َن ُك م ِبالَباِط ِل إَّال أْن َت ُك وَن ِتَج اَر ًة َع ْن َت راٍض ِم ْنُك م َو َال َت ْقُت لُو ا أْنُفَس ُك م إّن هللا َك اَن ِبُك م‬
‫َر ِحيًما‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.
2. Surat Al Baqarah 188
‫َو َال َت أُك لُو ا أْم َو اَلُك م َب ْي َن ُك م ِباْلَباِط ِل َو ُتْد ُلواِبَه ا إلَى ْالُح ّك اِم ِلَت أُك لُو ا َفِر يًقا ِمْن أْم َو اِل الَّن اِس ِبا إلثِم َو أْنُت م َت ْع َلُموَن‬
Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
3. Sabda Rasulullah
“Darah dan harta seseorang haram bagi orang lain (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Bakrah)
“Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati
pemiliknya (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik.

Hukuman orang yang Ghasab


Ia berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang lain.
Jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya
Apabila barang tersebut hilang/rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.
Mazhab Hanafi dan Maliki
Denda dilakukan dengan barang yang sesuai/sama dengan barang yang dighasab.Apabila
jenis barang yang sama tidak ada maka dikenakan denda seharga benda tersebut ketika
dilakukan ghasab.
Mazhab Syafi’i –>denda sesuai dengan harga yang tertinggi
Mazhab Hanbali –> denda sesuai dengan harga ketika jenis benda itu tidak ada lagi di
pasaran.
Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah benda yang telah dibayarkan dendanya itu
menjadi milik orang yang menggasabnya
Mazhab Hanafi –> orang yang menggasab berhak atas benda itu sejak ia melakukannya
sampai ia membayar denda.
Mazhab Syafii dan Hanbali –> orang yang menggasab tidak berhak atas benda yang yang
digasabnya walaupun sudah membayar denda.
Mazhab Maliki –> orang yang mengasab tidak boleh memanfaatkan benda tersebut jika
masih utuh, tetapi jika telah rusak, maka setelah denda dibayar benda itu menjadi miliknya
dan ia bebas untuk memanfaatkannya.
Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah, kemudian dibangun rumah diatasnya,
atau tanah itu dijadikan lahan pertanian, maka jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa
tanah itu harus dikembalikan. Rumah dan tanaman yang ada diatasnya dimusnahkan atau
dikembalikan kepada orang yang dighasab. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah
“ Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (lalim) tidak berhak diterima oleh orang
yang melakukan (perbuatan aniaya) tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud dari Urwah bin
Zubair)

3. Hukum-Hukum Syuf'ah

Syuf'ah itu hukumnya wajib penyampuran harta dengan sempurna, dan bukan sekadar
percampuran jiwar (tidak sempurna) dan terjadi pada barang yang bisa dibagi. Syuf'ah pada
barang yang tidak bisa dipindahkan bisa berlaku atas bumi, kebun atau sejenisnya.”

D.Penerapan di zaman sekarang


1. penerapan ariyah di zaman sekarang

Akad ariyah dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu Ariyah Mutlaqah dan Ariyah Muqayyadah yang
penjelasannya sebagai berikut:

a. Ariyah mutlaqah Ariyah mutlaqah adalah proses pinjam-meminjam barang yang akadnya
tidak menjelaskan adanya syarat apa pun atau tidak menerangkan tentang penggunaannya.
Contohnya yaitu meminjam sepeda motor tapi peminjam tidak menyebutkan peruntukannya.
Hal ini disesuaikan dengan kebiasaan di daerah setempat dan tidak berlebihan dalam
pemakaian.
b. Ariyah muqayyadah Ariyah muqayyadah yaitu meminjamkan barang yang terdapat
persyaratan pembatasan dalam hal pemanfaatan dan waktu peminjaman, baik
dipersyaratkan kedua pihak yang berakad atau salah satunya. Jika ada persyaratan,
peminjam harus amanah untuk merawat dan mengembalikan barang dengan kondisi sesuai
perjanjian.

2. penerapan ghasob di zaman sekarang

Berkembang pemahaman bahwa orang yang meminjam barang orang lain tanpa
seizin pemiliknya, misalnya: pinjam sandal di masjid untuk wudhu, atau pinjam
sepeda teman untuk keperluan sejenak, disebut ghasab.Pemahaman ini perlu
diluruskan. Karena dalam ghasab, orang yang mengambil sejak awal punya
tujuan untuk menguasai barang itu secara utuh tanpa ada keinginan untuk
mengembalikannya.Untuk kasus semacam ini, hukumnya kembali kepada
standar yang berlaku di masyarakat.Jika menurut standar masyarat, tindakan
semacam ini tidak perlu izin, karena dinilai barangnya murah, seperti sandal,
maka meminjam tanpa izin sesuai standar masyarakat tidak terhitung
kesalahan. Dengan adanya standar ini, dia dihukumi seolah telah mendapat
izin.Sebaliknya, jika menurut standar masyarakat, meminjam barang tertentu
harus izin pemilik, terutama barang mahal, seperti pinjam mobil, motor, laptop,
maka tidak boleh memakainya tanpa seizin pemiliknya.Memakai tanpa seizin
pemiliknya, terhitung tindakan kedzaliman.Sebagaimana berlaku dalam kaidah,

3.penerapan syuf’ah di zaman sekarang

ada dua mitra yang ingin membeli sebidang tanah dengan luas 375 m2 senilai Rp3M .
Masing masing dari mitra membayar uang patungan senilai Rp1.5M. karna satu dan lain hal
sala satu mitra membutuhkan uang dengan segera, maka dilakukanlah upaya penebusan
kepemilikan. akhirnya kedua mitra tersebut sepakat dengan harga tanah yang lama senilai
Rp3M dan pihak penebus memberikan uang sejumlah Rp1.5M kepada mitra lainnya

Gugurnya hak Syuf'ah

Hak syuf'ah gugur ketika :

- Syafii' mengakhirkan hak syuf'ah tanpa ada alasan (uzur).

- Syafii' melepaskan hak dari syuf'ah.

- Syafii' membeli aset yang menjadi bagiannya


BAB III
PENUTUP
A.kesimpulan
Ariyah,ghasob,dan syuf’ah merupakan bentuk -bantuk barang pinjam-meminjam dan
mengambil hak Dalam kehidupan kita sehari hari.ariyah adalah memberikan manfaat sesutu
barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma.Jika digantikan dengan sesuatu atau
ada imbalannya, maka tidak dapat dikatakan 'ariyah.ghasob adalah suatu tindakan di mana
seseorang memakai barang seseorang tanpa izin. Namun tidak untuk diambil ataupun dimiliki.
Sehingga ghosob merupakan tindakan yang hampir sama dengan mencuri. Namun kalau
mengghosob barang, barang tersebut akan dikembalikan.syuf’ah adalah hak untuk membeli secara
paksa yang ditetapkan untuk serikat lama atas serikat baru dengan sebab adanya perserikatan
terhadap harta yang mereka miliki bersama.dan setiap hukum memiliki Syariah yang berbeda beda
dengan kontesnya dan aktivitas sehari hari dalam islam.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Islam dan Masalah-Masalah Kemasyarakatan. Jakarta: Pustaka Panjimas,


1983. Diibul, Mustofa Bigha, Fikh Syafi’i, Surabaya : Bintang Pelajar, 1984. Dib, Musthafa,
Al-bugha, Buku Pintar Transaksi Syari’ah: Menjalin Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan
Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam, (Terj: Fakhri Ghafur), Cet. I, Jakarta Selatan:
Hikmah, 2010. K, Martin, Lewis dan Lathifah M. Algoud, Perbankan Syariah: Prinsip,
Praktek dan Prospek (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001. Ludin, Atus Mubarok,
“Praktik Pinjam Meminjam Uang Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Bumdes
Gotra Sawala Kertaraharja), Jurnal Mutawasith. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh
Muamalah, Jakarta:Kencana, 2012. Perwata, Karnaen. Atmaja, dan M. Syaf’i Antonio, Apa
dan Bagaimana Bank Islam. Jakarta: Dana Bakti Wakaf, 1992. Pasaribu, Chairuman
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Pinjaman Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), cet. 2 h.
133. Syafei, Rachmat. Fiqih Muamalah, Cet. X Bandung: Pustaka Setia, 2001

Al- Quran dan terjemahannya. (2008). Departemen Agama RI. Bandung: CV. Diponogoro.
A’la, Abdul. (2006) Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Aminatuzzuhriyah. (2010). Kenakalan Remaja Di Pondok Pesantren (Studi Deskriptif
Tentang Persepsi Kenakalan Remaja Bagi Santri , Alasan dan Bentuk-Bentuk Kenakalan
Remaja). Asnawi, Y. H., Soetarto, E., Damanhuri, D. S., & Sunito, S. (2012). Catabolism of
Space and utilization of community as A Survival Strategy of Pesantren. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hasan, (2006). Tarjamah Bulugul Maram. Cet. XXVII. Bandung: CV. Diponogoro. Horton
Paul, Hunt C.L. (1984). Sociology. Six Edition. Jakarta: Erlangga. Khaulani, A. T. (2015).
Ghasab Di Pondok Pesantren Daarun Najaah (Tinjauan Pendidikan Akhlak). Khoiriyah, K.
(2014). Perilaku Gasab Di Pondok Pesantren (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Al-
Luqmaniyyah Yogyakarta), 70–73. Mulyani, Lena. (2012). Peran Pondok Pesantren Dalam
Membina Perilaku Santri Yang Berwatak Terpelajar Dan Islami. Bandung. Muin, Idianto.
(2006). Sosiologi SMA Untuk Kelas X. Jakarta: Erlangga. Narwoko, J. Dwi dan Suyanto.
(2010). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan edisi ketiga. Jakarta: Prenada Media Group.
Raindi, Adi Bakti. (2007). Pola Pembinaan Pesantren Daar Al-Taubah terhadap Akhlak
Wanita Tuna Susila. Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Setiadi, Elly
Malihah dan Usman Kolip. (2013). Pengantar Sosiologi. Pemahaman Fakta Dan Gejala
Permasalahan Sosiao: Teori, Aplikasi Dan Pemecahannya. Bandung: Kencana Prenada
Media Group. Suharti, N. (2011). Peran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Membina
Karakter dan Mencegah Munculnya Perilaku Menyimpang di Kalangan Siswa. Skripsi.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Vembiarto, St. (1991). Pathologi Sosial.
Yogyakarta: Andi Offset. Wahyudi, I. (2008). Budaya Ghasab Di Pondok Pesantren
Salafiyah Al-Muhsin Condong Catur, Depok, Sleman.

Anda mungkin juga menyukai