Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

ARIYAH

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :
RISKI
RESTU
RAKA
RISKI PM
SAAVITRI

GURU MATA PELAJARAN


Drs. WIDODO

MTsN 2 MUKOMUKO
TAHUN AJARAN 2022 / 2023
KATA  PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat  Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun makalah ini
yang berjudul "ARIYAH" tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita sanjung pujikan
kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita ke
alam yang terang benderang ini.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah
ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini. Wassalam.
  
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling sempurna, agama
keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala ketentuan yang menjadi rambu-rambu
dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus taat pada
semua rambu dan tunduk pada segala ketentuan. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-
hari, praktek berislam harus kita-kita laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam
urusan minjam-meminjam. (Ariyah)
Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak teratur,
antara yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar, yang halal dan yang haram
semakin tipis. Ditambah lagi dengan manusianya yang menyepelekan hal-hal yang sudah ada
aturannya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan,
seperti  meminjam tanpa izin pemiliknya, dst. Maka dari itu kita sebagai muslim yang taat
terhadap ketentuan agama islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh
agama kita dan tidak menyepelekan peraturan-peraturan agama.
Seperti kita ketahui, dalam ketentuan Ariyah ada beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranya Al-Muir dan Al-Mustair adalah orang yang berakal dan dapat
bertindak atas nama hokum, tidak diperkenankan orang yang hilang akal melakukan akad
‘Ariyah, barang yang dipinjam bukan bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan
habis atau musnah, seperti makanan, minumana. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang
yang utuh dan tidak musnah, contohnya buku atau barang lain yang dapat dimanfaatkan oleh
peminjam.
B.       Rumusan Masalah
1.      Jelaskan pengertian Ariyah?
2.      Rukun dan Syarat Ariyah?
3.      Perbedaan antara Qard dengan Ariyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian
Menurut bahasa ‘ariyah berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah mengambil
manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk
dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. (Al Aziz, 2005:390)
Definisi ‘ariyah yang dikemukaan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1.      Ulama Hanafiah
Menurut syara’ ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat tanpa disertai dengan
imbalan.
2.      Ulama Malikiyah
Sesungguhnya ‘ariyah itu adalah kepemilikan atas manfaat yang bersifat sementara
tanpa disertai dengan imbalan.
3.      Ulama Syafi’iyah
Hakikat ‘ariyah menurut syara’ adalah dibolehkannya mengambil manfaat dari orang
yang berhak memberikan secara sukarela dengan cara-cara pemanfaatan yang dibolehkan
sedangkan bendanya masih tetap utuh, untuk kemudian dikembalikan kepada orang yang
memberikannya.
4.      Ulama Hanbaliyah
I’jarah adalah kebolehan memanfaatkan suatu barang tanpa imbalan dari orang yang
memberi pinjaman atau lainnya. (Muslich, 2010: 467)
B.       Dasar Hukum
Dasar hukum ‘ariyah adalah sebagai berikut:
1.        Q.S. Al Madinah (5): 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
2.        Hadits Anas bin Malik
Dari Anas bin Malik ia berkata, “Telah terjadi rasa ketakutan (atas serangan musuh)
di kota Madinah. Lalu Nabi S.A.W. meminjam seekor kuda dari Abi Thalhah yang diberi
nama Mandub, kemudian beliau mengendarainya. Setelah beliau kembali beliau bersabda,
‘Kami tidak melihat apa-apa, dan yang kami temukan hanyalah lautan.’’ (H.R. Muttafaq
‘alaih).
Dari ayat Al Qur’an dan hadits tersebut, membuktikan bahwa ‘ariyah diperbolehkan
bahkan dianjurkan dalam Islam.
C.      Rukun dan Syarat
Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut
jumhur ulama termasuk Syafi’iyah, rukun ‘ariyah adalah:
1.      Orang yang meminjamkan
2.      Orang yang meminjam
3.      Barang yang dipinjamkan
4.      Shighat
Syarat-syarat dalam ‘ariyah berkaitan dengan rukun-rukunnya. Berikut syarat-syarat
‘ariyah:
1.      Syarat-syarat orang yang meminjamkan
Orang-orang yang meminjamkan sesuatu harus memiliki kemampuan tabarru’ (pemberian
tanpa imbalan), yang meliputi:
a.       Baligh. Menurut ulama Hanafiyah, baligh tidak dimasukkan dalam syarat ‘ariyah
melainkan cukup mumayyiz.
b.      Berakal
c.       Bukan  orang yang boros atau pailit
d.      Orang yang meminjamkan harus pemilik atas barang yang manfaat akan dipinjamkan.

2.      Syarat-syarat orang yang meminjam


 Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat berikut
a.       Orang yang meminjam harus jelas
b.      Orang yang meminjam harus memiliki hak nafkah atau memiliki wali yang memiliki
sumber nafkah.
3.      Syarat-syarat barang yang dipinjam
Barang yang memiliki syarat sebagai berikut:
a.       Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarang maupun nanti.
b.      Barang yang dipinjamkan harus berupa barang yang mubah, yakni barang yang
diperbolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara’ bukan barang yang diharamkan.
c.       Barang yang dipinjamkan apabila diambil menfaatnya tetap utuh.
4.      Syarat-syarat shighat
Shighat disyaratkan harus menggunakan lafal yang berisi pemberian izin kepada peminjam
untuk memanfaatkan barang yang dimiliki oleh orang yang meminjamkan.
D.      Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki
hutang kepada yan berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang
yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk
aniaya. Rasulullah saw bersabda:
“orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”. (HR.
Bukhori dan Muslim).[1]
Meminjam Pinjaman Dan Menyewakan
Abu hanifa dan malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-
benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika
penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlaianan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut madzhab hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang peminjaman atau siapa
saja yang menggantikan statusnya selama peminjamannya berlangsung, kecuali jika barang
tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliah menyewakan barang pinjaman
tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain,
kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan salah seorang
diantara keduanya. Dalam keadaan hal ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminan
kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak. [2]
Perubahan Status
Status amanah pada ‘ariyah dapat berubah menjadi status tanggungan disebabkan oleh
beberapa alasan sebagai berikut:
1.      Ditelantarkan. Misalnya menempatkan barang di tempat yang tidak aman.
2.      Tidak dijaga dengan baik ketika menggunakan.
3.      Menggunakan barang pinjaman secara berlebihan tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku menurut kebiasaan.
4.      Menyalahi cara menjaga barang yang disepakati. Tidak sesuai pesan dari orang yang
meminjamkan barang tersebut.
E.       Perbedaan Qardh dan Ariyah
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna
Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang
diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari
harta orang yang memberikan hutang kepda orang yang menerima hutang.
Sedangkan pengertian istilah Qardh menurut ulama  Hanafiyah berpendapat qardh
adalah: harta yang diberikan seseorang dari maal mitsli  untuk kmudian dibayar atau
dikembalikan. Safi’iyah berpendapat qardh adalah: sesuatu yang diberikan kepada orang lain,
yang suatu saat harus di kembalikan.
Hanbaliyah berpendapat qardh adalah:  memberikan harta kepada orang yang
memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantiannya. Atau dengan kata lain,
Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman
kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah
yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp 1.000.000 maka di masa depan si peminjam
akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Al-Qardhu atau Al-Qard menurut pandangan syara’ adalah sesuatu yang dipinjamkan
atau hutang diberikan. Menurut istilah para fuqaha, hutang ialah memberi hak milik sesuatu
barang kepada orang lain dengan syarat orang tersebut mengembalikannya tanpa tambahan.
Lebih jelasnya perbedaan antara qardh dengan ‘ariyah yaitu kalau Qardh, pemberian
barang yang dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang serupa, terjadi
pemindahan kepemilikan. Contohnya, uang satu juta dikembalikan uang satu juta, dan beras
satu kilo dikembalikan beras satu kilo.  Sedang ‘Ariyah, tidak terjadi pemindahan
kepemilikan, yang dikembalikan barang yang dipakai. Contohnya, meminjam bajak sawah
dikembalikan bajak sawah.
F.       Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-
piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut :
a.       pinjam meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang meminjam dengan
menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki dan 2 (dua) orang
saksi perempuan.
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak
ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa”. (Q.S. Al-Baqarah : 282)
b.      Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam
hati akan membayar/mengembalikannya.
c.       Pihak yang memberi pinjaman hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak
yang meminjam. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang
hendaknya membalaskannya.
d.      Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat
pembayaran pinjamannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.
G.      Adab Pinjam Meminjam
Adab pinjam meminjam terbagi 2 yaitu untuk musta’ir  dan mu’ir :
a.       Untuk Musta’ir
Tidak meminjam kecuali dalam kondisi darurat
Berniat melunasinya
Berusaha untuk meminjam kepada orang yang shalih
Meminjam sesuai dengan kebutuhan
Lunasi tepat pada waktunya dan jangan menundanya
Membayar dengan cara yang baik
b.      Untuk Mu’ir
Niat yang benar dalam memberi pinjaman
Bersikap baik dalam menagih pinjaman
Memberi tenggang waktu jika yang meminjam belum mampu membayar pada waktunya
Menghapus pinjaman bagi yang tidak mampu mengembalikanya.[3]

H.      Tanggung Jawab Peminjam


Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut
rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena
yang lainnya. Demikian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda: “Pemegang kewajiban
menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.[4]
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak
berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan,
karena Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan” (Dikeluarkan
al-Daruquthin)
Kewajiban Peminjam
1.      Mengembalikan batang itu kepada pemiliknya jika telah selesai. Rasulullah SAW
bersabda : “Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar”.
(HR. Abu Dawud)[5][5]
2.      Merawat barang pinjaman dengan baik. Rasulullah SAW bersabda : “Kewajiban meminjam
merawat yang dipinjamnya, sehingga ia kembalikan barang itu”. (HR. Ahmad)

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Menurut bahasa ‘ariyah berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah mengambil
manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk
dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. Kemudian untuk terciptanya
proses ‘ariyah, terdapat beberapa rukun yang harus ada didalamnya, yaitu orang yang
meminjamkan, orang yang meminjam, shighat, serta barang yang dipinjamkan. Tidak sampai
kepada rukun saja, ada beberapa syarat yang harus disanggupi demi terwujudnya proses
ariyah yang benar, yaitu orang-orang yang meminjamkan sesuatu harus memiliki kemampuan
tabarru’ (pemberian tanpa imbalan), yang meliputi: Baligh, berakal, bukan  orang yang boros
atau pailit, dan orang yang meminjamkan harus pemilik atas barang yang manfaat akan
dipinjamkan. Selanjutnya yaitu orang yang meminjam harus jelas dan orang yang meminjam
harus memiliki hak nafkah atau memiliki wali yang memiliki sumber nafkah. Tak kalah
penting, barang yang dipinjamkan memiliki kriteria syarat yaitu barang tersebut bisa diambil
manfaatnya, baik pada waktu sekarang maupun nanti, barang yang dipinjamkan apabila
diambil menfaatnya tetap utuh, barang yang dipinjamkan harus berupa barang yang mubah,
yakni barang yang diperbolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara’ bukan barang
yang diharamkan. Maka sudah jelaslah perbedaan antara qardh dan ariyah yang dimana qardh
adalah pemberian barang yang dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis
yang serupa, terjadi pemindahan kepemilikan. Sedangakan ariyah tidak terjadi pemindahan
kepemilikan, yang dikembalikan barang yang dipakai.
B.       Saran
Makalah ini merupakan bentuk dari hasil kerja kerja keras kami dalam memenuhi
tugas mata kuliah Fiqh Muamalah 2. Kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan baik
dari redaksi maupun penyusunan makalah secara
DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi. FIQH MUAMALAH, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2011,
Lihat Sayyid Sabiq, dalam; Fikh al-sunnah,
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
IbnuHajar al-Asqalani, Bulugh Al Maram Min Adillat Al Hakam, (Jakarta : Akbar,
2007)

Anda mungkin juga menyukai